Sesampainya di rumah Sarah membuka pintu dengan kunci lalu berlari menuju kamar meraih obat dalam tas yang baru saja ia beli dari apotik langganannya, lalu meminumnya dengan segelas air putih. Sarah tidak perlu obat itu lagi, meskipun sebenarnya ia sudah bosan minum obat. Bahkan sudah hampir dua tahun ia tak lagi mengonsumsi obat itu.
Namun setelah dengar kabar soal laki-laki itu Sarah jadi ketakutan, Sarah memang depresi tapi tidak gil-a. Sarah sedikit tenang menatap hampa foto Shaka ia memeluknya, tubuhnya rubuh di pembaringan, lalu bangkit lagi duduk di lantai tangannya memeluk lutut, peristiwa kejam itu kembali terbayang dan membuatnya menggigil ketakutan. "Sarah kamu dimana, Sarah." Wanita paruh baya itu mendengar isakan dari kamar Sarah. "Kamu kenapa Sarah?" tanya Bibi saat mengunjungi rumah Sarah. Kini Sarah meringkuk dengan tubuh dibasahi keringat. Sarah menggeleng. Bibinya menyentuh kening Sarah yang basah berpeluh. "Aku nggak apa-apa, Bi," ucap Sarah lirih. "Kamu kambuh lagi?" "Eumm maaf. Bibi kesini aku malah begini." "Harusnya kamu rutin minum obat, Sarah." "Aku sudah hampir dua tahun tak minum obat, Bi." Sarah ketakutan saat memandang wajah Bibi Nik. Kini Bibinya mendekap Sarah dengan erat. "Sudah sabar ya. Ada apa lagi?" "Bi, aku takut!" kata Sarah sambil duduk memeluk lutut di lantai kamarnya. Wajahnya pias berkeringat. "Apa yang kamu takutkan?" Sarah tidak menjawab. Dia hanya menggeleng sambil memeluk lututnya yang gemetar. "Jangan takut." Bibinya masih memeluk Sarah untuk menenangkan. Setelah diam beberapa saat, Sarah kembali tenang. Namun sekarang, bagaimana keadaan Sarah yang hampir pulih kini kambuh lagi. Bibi Nik masih memperhatikan Sarah yang membiarkan rambut panjang itu terurai panjang. Wanita itu jauh berbeda dari Sarah yang dikenalnya dulu. Sarah dulunya sangat cerdas, bahkan paling cantik di antara anak seusianya. Tapi ternyata peristiwa naas malam itu telah merubah segalanya. Seperti terlahir dengan paras cantik, yang akhirnya malah mengundang segala tindak kejahatan. "Ada apa?" tanyanya pelan. "Sarah di pecat Bi." "Hah. Kenapa dipecat?" Sarah terdiam. "Mau bekerja di rumah bos yang Bibi Kerja sekarang?" "Kerja apa, Bi?" "Merawat anak kecil sih? Lumanya juga gajinya tak kalah sama kamu jadi perawat di rumah sakit." "Masa, Bi." "Iya. Majikan Bibi juga baik." "Tapi...." "Sarah, tidak semua orang jahat. Banyak orang baik di dunia ini. Terapkan positive thinking dalam dirimu. Banyaklah istighfar. Lawan pikiran buruk yang berusaha mempengaruhimu. Semenjak Bibi bekerja di rumah Pak Adiyasa jarang sekali ia menemui keponakannya Sarah, mereka jarang bertemu. Apalagi setelah Ayahnya Sarah meninggal. "Kamu baik-baik saja, kan?" "Ya, aku baik-baik saja. Tadi aku hanya shok saja, Bi." "Bagaimana kabarnya Shaka?" Sarah tersenyum sambil mengangguk. "Aku baru pulang mengantarkan dia ke pondok Bi." "Padahal Bibi sudah rindu dengannya." Sarah tersenyum. "Aku dengar pondok Shaka lumanyan mahal ya Sarah." "Ya lumayan, Bi." "Makanya kamu harus sehat terus demi Shaka." "Tapi kadang, saat anak lain yang sedang diantar sama Ayahnya, ada rasa iri di dalam Shaka aku yakin itu. Temannya, masing-masing punya satu sosok yang dipanggil Ayah, tapi tidak dengan Shaka?" Bibi Nik menarik napas, "bersamamu saja sudah membuat Shaka tersenyum bahagia. Percayalah, bukankah mencari ilmu masuk akal daripada mempertanyakan satu sosok yang tak pernah dilihatnya?" "Eumm Bibi benar." "Kalau setuju ikut bekerja sama Bibi. Ini telepon Bibi nanti Bibi jemput kamu ya." "Baik Bi." "Bibi akan bantu kamu, meminta izin setiap hari jumat untuk menjenguk Shaka ya." "Emang boleh Bi?" "Semoga boleh ya. Sekarang kamu makanlah Bibi bawakan kamu makanan kesukaan kamu nih." "Ya, Bi." Bibi Nik menatap tak tega. Dia dulu seorang gadis dengan lekuk tubuh nyaris sempurna. Berwajah oval dengan sinar mata indah, hidung mancung, dan bibir sensual kemerahan. Ditambah dengan rambut hitam panjang, menyempurnakan penampilannya sebagai wanita. Terlihat sangat menarik perhatian dengan gayanya yang kasual. Sayang, nasibnya tak secantik wajahnya. Bagaimana ia berjuang membesarkan anaknya, menutupi aib dari para tetangga. Selalu berpindah agar meninggalkan jejak kelamnya membesarkan anak dengan sangat baik. *** Tiga hari kemudian. "Sarah!" Panggil wanita paruh baya yang berlari memeluk Sarah erat. "Bibi." Wanita anggun paruh baya itu memeluk keponakannya yang baru-baru ini telah ia jemput. "Kamu baik, Sarah?'' tanya wanita paruh baya itu menatap lekat ke arah Sarah lekat. "Alhamdulillah baik, Bi." "Yakin dengan keputusan kamu untuk bekerja di tempat Bibi bekerja." "Emm InsyaAllah Bi. Bebrapa lamaranku juga belom ada panggilan. "Sabar ya. Ayo kesana itu mobilnya Tuan Adiyasa." Sarah mengangguk setuju. "Ya, Bi." Di dalam mobil Bibi Nik menceritakan pekerjaan yang akan ia terima. Menjaga cucu Majikannya. Selama ini Bibi juga bekerja tertahun-tahun di rumah besar milik keluarga besar Pak Adiyasa itu. Sarah mengerti dan menyetujuinya. Mobil berbelok ke arah rumah besar berdinding cat abu-abu. Sampai di rumah besar itu membuat nyali Sarah menciut, ia takut jika berhadapan dengan orang kaya. "Bibi yakin ini rumah majikannya? Besar sekali seperti istana?" tanya Sarah antara tak percaya dan cemas. "Iya. Tenanglah kamu bisa bekerja dan mendapatkan banyak uang untuk bisa biaya pondok Shaka." Sarah hanya terdiam, ia sangat rindu dengan anak semata wayangnya, ia menunduk dan tak terasa cairan bening mulai membasahi pipinya. "Sudah Bibi yakin kamu paati bisa. Ayo turun." Sarah hanya menurut perkataan Bibinya itu. Wanita paruh baya itu membawa Sarah kepada wanita cantik yang sedang duduk di sofa. "Nyonya ini keponakan saya, yang sering saya ceritakan." Jelas Bibi Nik. Wanita cantik itu menatap Sarah. "Bagus." Wanita cantik itu kembali menatap Sarah dari atas hingga ke bawah. "Kau sepertinya wanita baik dan jujur, aku suka penampilanmu sederhana. Kamu yakin bisa menjaga cucu kesayanganku?" tanyanya pada wanita paruh baya itu. Sarah menunduk. "InsyaAllah yakin, Nyonya." "Bagus aku percayakan cucuku padamu." "Nggeh Nyonya.""Ya Zahira pelakunya."Devan mencoba menjelaskan, tetapi mengherankan karena saat menjawab tak sedikit pun ia berani menatap Sarah."Astagfirullah jadi?''Devan diam. "Mas!""Iya dia." Sarah bahkan tak tahu jika suaminya Devan menyembunyikan sesuatu yang mungkin bisa membuat Sarah marah. "Kenapa, Mas tak memberitahu aku?" Sarah sungguh tak ingin berprasangka buruk, tetapi ia seorang wanita. Ekspresi sangat bersalah jelas ia tunjukkan, matanya masih belum berani menatap mata Sarah. "Aku tak ingin kamu kepikiran."Sarah diam."Maaf Sayang.""Apa menurut, Mas aku tak bisa dipercaya?" cecar Sarah bertubi-tubi."Sayang bukan begitu.""Aku tidak paham apa yang ada di pikiranmu. Kenapa menyembunyikan sesuatu yang penting begini?""Maaf, Sayang," ujar Devan. "Bukan masalah minta maaf, Mas. Tapi lihat ini kelewatan. Astaga? Dia hampir mencelakai kita semua lo. Pantasnya dia dipenjara kan?""Iya sih tapi belom punya bukti. Lagian hembus yang beredar saat kecelakaan dia hampir kritis.""Mas
"Bunda lihatlah Kak Shaka teleponan sama seorang wanita." Adu Raiyan pada sang Bunda. Sarah tersenyum. "Masa? Benar itu Shaka?" tanya Sarah penasaran karena selama ini Shaka begitu rapat menyimpan teman wanitanya. "Tidak ada. Orang ini teman mengajar aku Bunda. Adek saja yang kepo," jawabannya seraya menunduk. "Itung-itungan buat semangatin kalau ngajar kan, Mas.""Apaan ngak ngak ngak.""Dih. Cakep tau itu fotonya." Goda adiknya Raiyan. Shaka merasa malu. "Adek." Shaka kembali menggendong adik perempuannya Syena. Sarah menggelengkan kepala, "sudah-sudah mungkin Kakak kamu ingin fokus mengajar Raiyan."Raiyan tergelak, jalan pikiran kakaknya Shaka memang lain dari yang lain. Baginya itu sangat menghibur karena ia tipe pendiam, "Ide bagus. Tapi jangan kelamaan jomblo Mas." Godanya seraya menemani Syema bermain. "Raiy sudah jangan ganggu Kakakmu, lihatlah mukanya merah itu." Kata Sarah tersenyum. "Iya iya, Bunda."Shaka menguncir rambut adiknya. ''Bunda Syena dan Syema sudah maka
Devan mengisap dalam-dalam rokoknya, lalu mengembuskannya pelan. Ia menatap istrinya lama. Tatapan mata itu yang dulu selalu berhasil meluluhkan Devan, hingga Devan kalah berulang kali. "Minumlah, Mas!" Sarah membawakan secangkir kopi panas untuk suaminya. "Ya.""Bagaimana tangannya masih linu?'' tanya Sarah pada suaminya lagi. "Lumayan sih."Sarah menggeleng. "Jadi hari ini terakhir kontrol?''"Ya Sayang. Alhamdulillah pen sudah dilepas semua normal tinggal pemulihan saja.''"Alhamdulillah kalau begitu." Sarah duduk didekat suaminya. "Kamu tidak mencintaiku lagi?" Sarah tertawa keras hingga air mata menghentikannya. "Mas."Kekhawatiran berlebih pada sesuatu yang belum terjadi, kerap menimbulkan ketakutan tak beralasan, karena usai jatuh beberapa tahun lalu Devan harus terapi karena tangannya cidera akibat menghindari mobil yang mengarah ke pada dirinya. Sarah mendorong pelan dadanya untuk melepaskan diri dari pelukannya. Tersenyum kaku saat melihat tatapannya yang seolah menunt
Tangan Zahira mengusap cepat air yang tersisa di mata dan pipi. Ia lantas mengulas sebuah senyum, senyum yang bisa Zahira pastikan hanya sebuah kamuflase. Ya, hanya untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Padahal, gurat kesedihan dan kecewa terlihat jelas di wajahnya."Pagi Sayang.""Pagi, Ma.""Bagaimana semalam tidurnya nyenyak?""Eumm.""Syukurlah. Kita lalui ini sama-sama," ucap Mamanya seraya menariknya dalam pelukan. Zahira tahu Mamanya bermaksud menghiburnya, tetapi yang terjadi ia malah kembali menangis, hingga terisak-isak di pelukannya. "Sudah, jangan nangis lagi. Hanya kamu satu-satunya harta Mama.''"Kenapa pas kecelakaan aku tak mati saja, Mama. Kenapa harus Joy?" "Hus. Jangan bicara begitu, mungkin Allah punya rencana lain untukmu, Nak."Zahira terdiam. "Sabar ya."Sang Ibu mendorong kursi Zahira ke dekat sofa. "Tapi aku bukan wanita sempurna aku cacat, Mama."''Kamu masih punya Mama. Tenanglah.''Zahira menggelengkan kepala. "Tidak, aku kesepian, Ma.""Sudah, ja
Sekarang apa yang bisa Zahira lakukan selain menjalani hidup tanpa arti, mungkin itu karmanya karena sikap jahatnya selama ini padanya. Mata kini terpejam, segera kembali terbuka ketika mobil sepertinya sudah berhenti di depan rumah. Zahira menyusuri halaman rumah di dorong dengan kursi roda, oleh bodyguard sekaligus sopir kiriman Papanya tiga tahun lalu. "Deri, apa aku terlalu buruk?" tanyanya tidak sanggup lagi menahan ucapan. Ada yang menekan keras hati di dalam sini, seluruh sendi seakan lepas dari pengait. "Siapa yang bilang, Non?" tanya balik Deri pada majikannya itu. "Aku. Aku bahkan wanita tak berguna juga wanita jahat, aku telah menyakiti banyak orang.""Non semua orang punya masa lalu.""Aku lelah bolak-balik berobat ke Singapore tapi sepertinya tak ada hasil."Deri menatapnya lembut, terlihat dia tersenyum. "Karena bolak-balik itu akan membuat, Non bisa berjalan lagi."Zahira menunduk karena tidak kuasa menahan rasa bersalah, merasa malu telah berbuat semena-mena dengan
Tiga tahun kemudian. Perjalanan pulang dari Singapura terasa panjang dan melelahkan. Bandara Soekarno Hatta yang selalu ramai juga jalanan Jakarta yang padat, menyambut kedatangan Zahira seperti sekarang ini. Sudah hampir satu tahun belakangan ini Sarah mondar-mandir Jakarta-Singapura. Demi pengobatan kakinya yang lumpuh karena tak bisa jalan. Zahira menghela napas panjang. Mematikan layar ponsel dan memasukannya ke tas yang ia kenakan. Di dorong Deri sang bodyguard dengan kursi roda itu membuatnya muak dan putus asa, ia menangis hampir setiap saat. Zahira memejamkan mata lelah dan berat. Teringat terakhir kali mereka bertemu Devan di kantor sehari setelah Zahira mengalami kecelakaan hebat, Karena Zahira ingin menabrak Devan hingga dirinya terbanting sendiri bahkan rekan kerja juga sahabatnya Joy meninggal di tempat. Berdua duduk berdampingan siang itu, Zahira mulai berkeluh kesah. Mulai menyesali diri, mengutuki diri karena kematian Joy sahabatnya. Masih Zahira ingat perkataan Devan