Sementara Sarah menyiapkan kebutuhan putranya, karena besok adalah hari keberangkatan putra semata wayangnya menuntut ilmu agama ke pondok sebagai bekalnya kelak. Sarah membuat kue kesukaan putranya selesai ia berjalan ke arah putranya Shaka.
"Sudah selesai mengemas, Nak?" Sarah menghampiri putranya yang masih mengemas baju ke dalam tas. Shaka mengangguk. "Bun, inilah yang aku rindu usapan dan perhatian Bunda padaku." Sarah masih mengusap lembut di rambutnya. Rasa sesak menyergap dada Sarah. Terlebih saat melihat putranya meneteskan air mata. "Jangan menangis, nanti berat langkahmu pergi ninggalin Bunda." Sarah segera mengusap air matanya dengan tangan. Mereka berpelukan sebentar, lalu melanjutkan lagi merapikan barang bawaan Shaka. Beres satu tas baju dan tiga kardus kecil barang jajanan juga susu renteng telah siap. "Oke kita makan malam ya setelah itu kamu istirahat. Bunda tadi belikan baso kesukaan kamu." Shaka tersenyum. "Baik Bunda." Sarah tersenyum mengacak rambut putranya. Ia hampir gil-a memperjuangkan hidup. Sarah mati-matian terlihat bahagia dan baik-baik saja di depan Shaka. Dihajar habis-habisan oleh keadaan yang menusuk pola pikir dan batin, tapi Sarah masih beruntung punya Shaka jika tidak ia pasti sudah gil-a. Tetes demi tetes air matanya terus mengalir membasahi wajah. Sarah berusaha menolak saat Shaka menariknya dalam pelukan. Pelukan yang kemudian terasa semakin erat saat bahu Sarah bergetar kencang. "Bunda sudah jangan sedih ada Shaka di sini, Shaka akan baik-baik saja di Pondok," bisiknya di telinganya. Sarah mencengkram erat lengan kemejanya, menumpahkan tangis yang sempat tertahan. "Bunda cuma terharu, saja. Ketika teman-tamanmu tak ingin ke pondok justru kamu ingin mondok, kamu memang jadi kebanggaan Bunda. Jadi anak yang pintar dan soleh ya, Nak." "Iya Bunda." Sarah mendongak dengan sisa air mata yang masih menetes, menatapnya masih dengan sisa kelembutan. "Bisa, kan?" tanya Sarah pelan, tapi dengan sorot mata yang begitu dalam. Sikap lembutnya seketika membuat air mata Sarah menetes semakin deras, seiring rasa sesak yang memenuhi dada. "Apapun demi Bunda. Shaka bisa." "Bunda mencintaimu, Nak." "Shaka juga. Bunda tahu apa yang disampaikan oleh Ustadz pada Shaka." "Apa?" "Bahwa Allah tidak berjanji hidup itu mudah tapi Allah berjanji sesudah kesulitan pasti ada kemudahan." "Ya itu benar, Nak." "Semangat, Bunda." "Eumm harus semangat. Selama ada Shaka Bunda akan baik-baik saja." Malam hampir larut. Sarah menarik selimut menutup tubuh Shaka sebatas dada. Menyalakan kipas angin dengan suhu rendah agar Shaka bisa tidur dengan nyaman. Akhirnya Shaka tidur setelah meminta untuk membaca cerita. *** Sarah menatap putranya senang. Jarang-jarang mereka berkumpul karena Shaka lebih memilih ke pondok, hanya liburan saja mereka bisa bercanda dan bersama. "Ayo habiskan sarapannya," ucap Sarah membawa satu gelas susu untuk Shaka. Lalu meletakkannya di meja makan. "Cepat makannya Nak, nanti kita terlambat." "Iya Bunda." "Sini, biar Bunda suapin." Sarah meraih sendok di tangan dan mulai menyuapinya. "Bunda Shaka sudah besar. Sudah biasa makan sendiri." "Shaka please." Shaka tertawa melihat tingkah Bundanya. "Oke." Shaka hanya diam memperhatikan Bundanya. Sesekali ia menyeruput susu terenak buatan Bundanya. "Hari ini Bunda yang akan mengantar Shaka ke Pondok?" tanya Sarah sambil mengarahkan suapan terakhir untuk Shaka. "Beneran?" tanya Shaka senang. Sarah mengangguk. "Asyik!" Matahari sudah beranjak naik. Sarah sudah siap dengan sepeda motornya, Sarah gelisah menunggu Shaka di ambang pintu. Meremas tangannya mengusir kegusaran. "Beneran Bunda jadi yang antar?" tanyanya seraya memakai kaos kaki. "Ya seperti biasa. Siapa lagi?" "Biasanya kan di titipkan ke Ayahnya Shakila." "Ya waktu itu kan Bunda masuk kerja. Dan, kali ini Bunda ingin mengantar putra kesayangan Bunda." Shaka mengangguk. Sebelum berangkat Sarah memeluk dan menciumi kepala putranya berulang kali. Sarah menangis. Berat rasanya melepaskan putra kesayangannya ke pondok untuk menimba ilmu agama. "Sudah jangan sedih, Bunda juga tiap jum'at jenguk Shaka kan?" "Tapi Shaka tak tega jika Bunda di rumah sendirian." "Oke tapi anak laki-laki tidak boleh cengeng." "Padahal Bunda yang cengeng." Sarah tertawa. "Iya benar." Sarah mengusap kasar air mata di pipi agar tak ketahuan Shaka putranya. Menghirup napas sebanyak mungkin. Ia tidak boleh cengeng dihadapan putranya. Kembali Shaka memeluk ibunya erat. "Bunda jaga diri ya." "Eummm. Shaka juga." "Kan aku banyak teman di pondok nah kalau Bunda?" "Jangan khawatirin Bunda. Bunda bisa jaga diri." "Oke." "Sudah siap yuk berangkat." "Ya Bun." *** Jarak dari kampung ke kota lumayan jauh. Akhirnya Sarah mengantarkan Shaka ke pondok. Bismillaah. Do'a Sarah dalam hati agar memantapkan niat dan langkahnya berjuang mencari uang untuk kebutuhan dan biaya pondok untuk Shaka. Sesampainya di pondok tempat Shaka menimba ilmu, suasana pondok pagi itu begitu ramai, ratusan santri baru berkumpul bersama keluarga yang mengantar. Pun dengan Sarah ia sedang menunggu giliran untuk konsultasi pada Bu Nyai. Kini gilirannya menemui Bu Nyai dan menyerahkan kembali Shaka untuk kembali berjuang meraih ilmu yang bermanfaat. "Shaka jaga diri baik-baik ingat jangan berantem, jangan membully teman dan semanggat belajar ya." "Siap Bun." "Bunda pulang ya." "Bunda ngak kerja?" "Kerja lah." Bohongnya. "Ok hati-hati Bunda." Shaka memeluk Ibunya lama. "Ya sudah sana masuk." "Ya Bunda." Sarah merasa sedih, pertama masuk pastilah semua diantarakan sama Ayah dan Ibunya sementara Shaka hanya melihat tanpa bertanya satu katapun padanya tentang Ayahnya. Sejujurnya Sarah juga tahu kegelisahan anaknya itu. Sakit itu berubah menjadi hawa panas. Hawa yang perlahan terasa menyesakkan, lalu panasnya menjalar ke mata hingga berubah menjadi buliran yang kembali membasahi pipi. "Singkirkan kemarahan ini, Sarah! Jangan biarkan bayangan laki-laki itu menghancurkan keluarga kecilmu. Semua akan kembali baik-baik saja. Ya ... semua pasti baik-baik saja." Bisiknya dlaam hati. Sarah bangkit dan berjalan ke arah parkir lalu kembali pulang. Meninggalkan separuh hatinya yang tertinggal di sana. *** Jam istirahat telah mulai sejak tadi, tetapi Geasya juga belom kelihatan. Namun dengan sabar Sarah menunggu sahabatnya itu "Sarah." "Ge lama sekali ditungguin." "Maaf banyak pasien. Gimana rencana kamu?" tanya Geasya. "Belom tahu." "Shaka sudah kembali ke pondok?" Sarah mengangguk. "Ya aku habis mengantarkannya." "Oh ada apa ke sini?" "Mengambil sisa gajiku." "Loh ngak otomatis masuk Rek." Sarah menggulingkan kepala. "Tidak aku yang harus ke sini sekalian tanda tangan." "Aneh jangan-jangan ulah Pak Beno." "Sepertinya begitu.""Ya Zahira pelakunya."Devan mencoba menjelaskan, tetapi mengherankan karena saat menjawab tak sedikit pun ia berani menatap Sarah."Astagfirullah jadi?''Devan diam. "Mas!""Iya dia." Sarah bahkan tak tahu jika suaminya Devan menyembunyikan sesuatu yang mungkin bisa membuat Sarah marah. "Kenapa, Mas tak memberitahu aku?" Sarah sungguh tak ingin berprasangka buruk, tetapi ia seorang wanita. Ekspresi sangat bersalah jelas ia tunjukkan, matanya masih belum berani menatap mata Sarah. "Aku tak ingin kamu kepikiran."Sarah diam."Maaf Sayang.""Apa menurut, Mas aku tak bisa dipercaya?" cecar Sarah bertubi-tubi."Sayang bukan begitu.""Aku tidak paham apa yang ada di pikiranmu. Kenapa menyembunyikan sesuatu yang penting begini?""Maaf, Sayang," ujar Devan. "Bukan masalah minta maaf, Mas. Tapi lihat ini kelewatan. Astaga? Dia hampir mencelakai kita semua lo. Pantasnya dia dipenjara kan?""Iya sih tapi belom punya bukti. Lagian hembus yang beredar saat kecelakaan dia hampir kritis.""Mas
"Bunda lihatlah Kak Shaka teleponan sama seorang wanita." Adu Raiyan pada sang Bunda. Sarah tersenyum. "Masa? Benar itu Shaka?" tanya Sarah penasaran karena selama ini Shaka begitu rapat menyimpan teman wanitanya. "Tidak ada. Orang ini teman mengajar aku Bunda. Adek saja yang kepo," jawabannya seraya menunduk. "Itung-itungan buat semangatin kalau ngajar kan, Mas.""Apaan ngak ngak ngak.""Dih. Cakep tau itu fotonya." Goda adiknya Raiyan. Shaka merasa malu. "Adek." Shaka kembali menggendong adik perempuannya Syena. Sarah menggelengkan kepala, "sudah-sudah mungkin Kakak kamu ingin fokus mengajar Raiyan."Raiyan tergelak, jalan pikiran kakaknya Shaka memang lain dari yang lain. Baginya itu sangat menghibur karena ia tipe pendiam, "Ide bagus. Tapi jangan kelamaan jomblo Mas." Godanya seraya menemani Syema bermain. "Raiy sudah jangan ganggu Kakakmu, lihatlah mukanya merah itu." Kata Sarah tersenyum. "Iya iya, Bunda."Shaka menguncir rambut adiknya. ''Bunda Syena dan Syema sudah maka
Devan mengisap dalam-dalam rokoknya, lalu mengembuskannya pelan. Ia menatap istrinya lama. Tatapan mata itu yang dulu selalu berhasil meluluhkan Devan, hingga Devan kalah berulang kali. "Minumlah, Mas!" Sarah membawakan secangkir kopi panas untuk suaminya. "Ya.""Bagaimana tangannya masih linu?'' tanya Sarah pada suaminya lagi. "Lumayan sih."Sarah menggeleng. "Jadi hari ini terakhir kontrol?''"Ya Sayang. Alhamdulillah pen sudah dilepas semua normal tinggal pemulihan saja.''"Alhamdulillah kalau begitu." Sarah duduk didekat suaminya. "Kamu tidak mencintaiku lagi?" Sarah tertawa keras hingga air mata menghentikannya. "Mas."Kekhawatiran berlebih pada sesuatu yang belum terjadi, kerap menimbulkan ketakutan tak beralasan, karena usai jatuh beberapa tahun lalu Devan harus terapi karena tangannya cidera akibat menghindari mobil yang mengarah ke pada dirinya. Sarah mendorong pelan dadanya untuk melepaskan diri dari pelukannya. Tersenyum kaku saat melihat tatapannya yang seolah menunt
Tangan Zahira mengusap cepat air yang tersisa di mata dan pipi. Ia lantas mengulas sebuah senyum, senyum yang bisa Zahira pastikan hanya sebuah kamuflase. Ya, hanya untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Padahal, gurat kesedihan dan kecewa terlihat jelas di wajahnya."Pagi Sayang.""Pagi, Ma.""Bagaimana semalam tidurnya nyenyak?""Eumm.""Syukurlah. Kita lalui ini sama-sama," ucap Mamanya seraya menariknya dalam pelukan. Zahira tahu Mamanya bermaksud menghiburnya, tetapi yang terjadi ia malah kembali menangis, hingga terisak-isak di pelukannya. "Sudah, jangan nangis lagi. Hanya kamu satu-satunya harta Mama.''"Kenapa pas kecelakaan aku tak mati saja, Mama. Kenapa harus Joy?" "Hus. Jangan bicara begitu, mungkin Allah punya rencana lain untukmu, Nak."Zahira terdiam. "Sabar ya."Sang Ibu mendorong kursi Zahira ke dekat sofa. "Tapi aku bukan wanita sempurna aku cacat, Mama."''Kamu masih punya Mama. Tenanglah.''Zahira menggelengkan kepala. "Tidak, aku kesepian, Ma.""Sudah, ja
Sekarang apa yang bisa Zahira lakukan selain menjalani hidup tanpa arti, mungkin itu karmanya karena sikap jahatnya selama ini padanya. Mata kini terpejam, segera kembali terbuka ketika mobil sepertinya sudah berhenti di depan rumah. Zahira menyusuri halaman rumah di dorong dengan kursi roda, oleh bodyguard sekaligus sopir kiriman Papanya tiga tahun lalu. "Deri, apa aku terlalu buruk?" tanyanya tidak sanggup lagi menahan ucapan. Ada yang menekan keras hati di dalam sini, seluruh sendi seakan lepas dari pengait. "Siapa yang bilang, Non?" tanya balik Deri pada majikannya itu. "Aku. Aku bahkan wanita tak berguna juga wanita jahat, aku telah menyakiti banyak orang.""Non semua orang punya masa lalu.""Aku lelah bolak-balik berobat ke Singapore tapi sepertinya tak ada hasil."Deri menatapnya lembut, terlihat dia tersenyum. "Karena bolak-balik itu akan membuat, Non bisa berjalan lagi."Zahira menunduk karena tidak kuasa menahan rasa bersalah, merasa malu telah berbuat semena-mena dengan
Tiga tahun kemudian. Perjalanan pulang dari Singapura terasa panjang dan melelahkan. Bandara Soekarno Hatta yang selalu ramai juga jalanan Jakarta yang padat, menyambut kedatangan Zahira seperti sekarang ini. Sudah hampir satu tahun belakangan ini Sarah mondar-mandir Jakarta-Singapura. Demi pengobatan kakinya yang lumpuh karena tak bisa jalan. Zahira menghela napas panjang. Mematikan layar ponsel dan memasukannya ke tas yang ia kenakan. Di dorong Deri sang bodyguard dengan kursi roda itu membuatnya muak dan putus asa, ia menangis hampir setiap saat. Zahira memejamkan mata lelah dan berat. Teringat terakhir kali mereka bertemu Devan di kantor sehari setelah Zahira mengalami kecelakaan hebat, Karena Zahira ingin menabrak Devan hingga dirinya terbanting sendiri bahkan rekan kerja juga sahabatnya Joy meninggal di tempat. Berdua duduk berdampingan siang itu, Zahira mulai berkeluh kesah. Mulai menyesali diri, mengutuki diri karena kematian Joy sahabatnya. Masih Zahira ingat perkataan Devan