Share

Gadis yang Tertawan
Gadis yang Tertawan
Penulis: Mariposa

Gadis yang Tertawan bab 1

Malam itu, pelita-pelita kecil yang dihasilkan dari biji jarak, berpendar menerangi setiap sudut rumah yang paling mewah. Di langit, bulan menggantung pada puncaknya, kehadirannya di angkasa tidak terhalang awan, cahayanya menciptakan bayangan temaram di halaman.

Angin kemarau di malam hari terasa dingin memeluk tubuh Senja yang tengah berdiri kaku. Gadis itu meremas jari-jemarinya karena merasa takut dan cemas. Di depan sana, kedua kakanya terlihat sedang menyelidiki satu per satu para penjaga rumah mereka.

Satu dokumen penting telah hilang dari ruang kerja ayahnya. Di dalam benak Senja, terlintas satu nama yang memungkinkan menjadi pelaku utama. Namun, Senja hanya bisa menggigit bibir, seakan dia takut untuk berbicara.

Kakak pertama Senja—Bumi, meraup wajahnya dengan frustasi, sedangkan kakak keduanya—Lembayang, menggelengkan kepalanya dengan lemah. Para penjaga terlihat hanya berdiri bergeming, pandangan mereka menyapu pada bebatuan yang menyembul dari balik tanah yang kering dan padat.

Senja semakin dilanda keresahan, ia berpikir kalau ini semua adalah sebagian dari kesalahannya. Meski demikian, kedua kakaknya yang mendapati Senja sedang memperhatikan mereka dari selasar, memberikan seulas senyuman—seolah itu adalah sebuah isyarat untuk menenangkan adiknya.

"Ayo kita masuk, Lembayang," ajak Bumi pada adiknya, ia berjalan lebih dulu, diikuti Lembayang di belakangnya.

"Senja terlihat sangat sedih, Raka," ucap Lembayang, ia berkata dengan suara yang rendah—dekat telinga kanan Bumi.

"Kita harus menenangkannya."

Saat kedua kakaknya berjalan dengan langkah yang tenang ke arahnya, Senja semakin menangis. Diraihnya tubuh Senja ke dalam pelukan Bumi. Lelaki itu menepuk-nepuk punggung Senja dengan sentuhan lembut. Tidak ada satu pun kata yang keluar, tetapi perlakuan Bumi mampu membuat gadis itu sedikit lebih tenang.

"Tidak apa-apa, Senja, kita pasti akan menemukannya," ucap Lembayang seraya mengelus rambut panjang Senja.

Gadis itu melepaskan pelukan Bumi, ia beralih pada kakak keduanya, dan Lembayang segera menghapus jejak air mata di pipi ranum Senja dengan telapak tangannya yang lebar.

"Sebaiknya kita masuk ke dalam, udaranya semakin dingin di luar sini," ajak Bumi. Ia merangkul Senja dan membawanya masuk ke dalam rumah—tepatnya ke ruang kerja ayah mereka.

Dari ambang pintu, Senja melihat ayahnya tengah duduk berhadapan dengan ibunya. Kedua tangan ayahnya berada di atas meja dengan siku sebagai tumpuan, rasa lelah tercetak jelas saat sang ayah mulai memijit pelipisnya yang terasa berdenyut.

"Bapak," sapa Lembayang.

Lembayang mulai memasuki ruangan tersebut, sontak ayah dan ibunya menoleh, saat melihat anak-anak mereka, buru-buru keduanya memasang wajah tegar.

"Ah, kalian, ayo-ayo masuklah. Kenapa hanya berdiri di depan pintu?"

Bumi tetap tidak melepaskan genggamannya pada tangan Senja, ia menuntun adiknya masuk.

"Bumi percaya pada para penjaga kita, Pak, mereka tidak mungkin melakukan semua ini. Lagipula, Bumi dan Lembayang ada bersama mereka saat itu."

"Bapak sendiri merasa heran, Nak, kenapa surat-surat berharga kita bisa hilang. Bapak tidak mungkin menaruh dokumen sepenting itu di sembarang tempat."

"Apa orang lain yang melakukan ini, Pak?" tanya ibunya yang sedari tadi diam.

"Entahlah, Bu, semoga saja dokumen itu bisa ditemukan. karena kalau tidak, bukan hanya kita saja yang akan rugi, tetapi banyak keluarga yang akan kehilang pekerjaan," ujar ayah mereka, lelaki itu berusaha untuk tenang agar suaranya tidak bergetar.

Tiba-tiba saja, terdengar suara Gerungan dari beberapa mobil yang beriringan melaju di jalanan desa, suara itu semakin dekat dan tampaknya berhenti di pekarangan rumah Senja—membuat gadis itu semakin merasa tegang.

Beberapa truk Belanda—lengkap dengan tentara yang sudah dipersenjatai, turun satu-persatu dan membentuk setengah lingkaran. Seorang prajurit yang lebih dulu turun, berbicara dengan gayanya yang arogan sambil menenteng senapan.

"Panggilkan tuanmu, bilang Mayor Rutger ingin bertemu!"

Para penjaga saling pandang, mereka menguatkan genggamannya pada golok yang terselip di pinggang.

"Ada apa, Meneer, ingin bertemu dengan juragan kami?"

"Bukan urusanmu! panggilkan saja tuan kalian atau kami akan menorobos masuk ke dalam," ucap salah satu dari mereka dengan penuh penekanan.

"Tidak ada yang bisa memaksa masuk ke dalam untuk menggangu ketenangan juragan, selama kami yang menjaga!" Salah satu penjaga, yang menjadi ketua berkata tegas dan dengan nada yang tak kalah dingin.

Mereka semua tidak merasa takut, bahkan dengan senjata yang tentara bawa. Sedangkan para tetangga tidak berani ke luar. Mereka hanya mengintip di balik celah jendala dan reregan carang. Tentara Belanda tersulut emosi—merasa tidak terima kalau ada pribumi yang menentang.

Pada akhirnya perkelahian tidak bisa dihindari, tentara Belanda yang tadi bertanya mulai memancing keributan, dan ia menghantamkan sebuah tinju ke arah penjaga. Namun, berhasil dihalau dengan mudah.

"Verdomme!" Tentara mengumpat dalam bahasa ibunya. Kemudian ia mengarahkan senjatanya ke arah penjaga tadi, ia menarik pelatuk.

Sedetik kemudian—bersamaan suara letusan dari senapan, tubuh itu jatuh ke tanah dengan lubang di dada yang terus mengeluarkan darah.

Suara itu membuat Senja semakin menguatkan praduganya ke orang yang ia curigai, tidak akan ada asap jika tidak ada api. Tanpa membuang waktu, ia segera berlari ke arah Jendela. Ia menyibak gorden dan memperhatikan kondisi di luar sana.

"Di luar banyak tentara Belanda, Pak!" seru Senja.

"Senja dan ibu sebaiknya menunggu di dalam. Jangan ada yang ke luar sampai keadaan aman!" perintah ayahnya dengan tegas.

Ayah dan kakaknya memeluk Senja sebelum pergi memastikan. Meski enggan, ia dengan terpaksa melepas kepergian ketiga lelaki yang sangat ia sayangi. Senja merasakan firasat buruk malam itu, ia menatap satu-persatu punggung mereka sampai hilang di balik lorong rumahnya.

Ibunya sudah menangis dan terkulai lemas di lantai. Senja segera membawa ibunya duduk di kursi, gadis itu memberikan segelas air—berharap agar ibunya sedikit tenang. Jantung Senja berdebar lebih kencang dari biasanya, sehingga ia merasa mual dan ingin memuntahkan sesuatu. Senja kembali ke jendela untuk mengawasi apa yang selanjutnya akan terjadi.

Di luar sana, Senja melihat susana semakin memanas, ayahnya memulai percakapan. Namun, setiap perkataan yang ayahnya ucapkan—seolah hanya dianggap angin lalu oleh si pimpinan tentara. Entah apa yang memicu situasi semakin panas? Senja tidak dapat mendengar keributan di luar sana dengan jelas dari ruang kerja ayahnya.

Tiba-tiba, Bumi dan Lembayang melawan, mereka balik menyerang. Tendangan, pukulan, dan serangan bertubi-tubi mengenai para tentara. Sebuah hantaman dari gagang senapan berhasil mendarat di tengkuk ayahnya dan Bumi, Membuat keduanya merasakan kepalanya berat dan pandangannya menjadi gelap.

Senja menyaksikan itu semua dengan perasaan yang kalut, ia membekap mulutnya sendiri, air mata sudah berderai seakan tiada habisnya.

"Bapakkkkk!"

Suara teriakan dari Lembayang membuat Senja mengabaikan perintah dari sang ayah. Ia dan ibunya berhamburan lari ke luar untuk memastikan. Senja melihat Bumi diseret dalam keadaan tidak sadarkan diri dan diangkut ke dalam truk, amarah membuatnya sesak nafas, suaranya bertenaga penuh kemurkaan.

"Mau kalian bawa ke mana saudaraku, bedebah?!"

Senja melawan, gadis itu mendorong dan memukuli satu tentara yang berada paling dekat dengan jangkauannya, satu hal yang sia-sia karena kekuatannya tidak seimbang.

Mayor Rutger yang sedari tadi hanya diam—kini memperhatikan. Terpesona dengan kecantikan dan keberanian gadis muda yang sedang memberontak di hadapannya.

"Bawa gadis itu ke dalam Jeepku!"

Dengan satu perintah, tubuh Senja ditarik paksa memasuki mobil jeep Rutger yang tengah memimpin operasi penangkapan. Ibunya dan ayahnya melawan, mencoba menghalangi tentara Belanda, sedangkan Lembayang tidak berdaya di bawah todongan moncong senapan.

Teriakan lolongan sumpah serapah menggema di malam yang menjadi saksi kehancuran keluarga Senja. Bersamaan dengan suara dua letusan senjata api yang menggelegar, tubuh ibu dan ayahnya ambruk ke tanah.

Lembayang dan Senja bergetar menahan amarah, pandangan mereka menjadi nanar, nafas mereka tercekat, dan akhirnya tangis dua kakak-beradik itu semakin pecah.

"Ibuuuu!" Senja berteriak dan mencoba terus memberontak. Ia terus diseret menjauh dari keluarganya.

"Kalian bajingan, kalian biadab, tidak akan aku maafkan kalian semua!" Lembayang memaki. Ia mengamuk dan meraih moncong senapan yang sedari tadi di arahkan kepadanya.

"Raka, tolong aku! Lepaskan, lepaskan tangan kalian dari tubuku, aku tidak Sudi, mau dibawa ke mana aku?!"

Senja meraung meluapkan perasaannya. Kakinya yang bebas, berusaha untuk menendang.

Tiba-tiba waktu berputar lebih cepat, lebih berat, dan lebih menekan saat sebuah hantaman keras dari gagang senapan mengenai pelipis Lembayang. Sesuatu yang hangat dan kental mengalir dari kepalanya. Lembayang berkedip.

Di akhir kesadarannya, Lembayang mendengar samar-samar suara senjata api yang saling bersahutan. Teriakan-teriakan kesakitan tentara Belanda dalam bahasanya, dan teriakan orang-orang dari bangsanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status