Share

Gadis yang Tertawan bab 2

Senja duduk meringkuk dalam ruang tahanan yang luasnya hanya lima meter persegi, tempat itu gelap tanpa ada pencahayaan. Udaranya terasa pengap karena berada tiga meter di bawah tanah.

Jeruji besi yang mengurung kebebasannya sebagian sudah berkarat. Bersama Senja, ada beberapa tahanan lain. Semuanya adalah wanita, mulai dari yang muda sampai yang sudah tua. Mereka terlihat kurus dan suram.

Suara langkah kaki yang menuruni anak tangga terdengar menggema di lorong yang sunyi itu. Cahaya dari obor, menciptakan bayangan dua sosok lelaki yang memantul dan membesar pada dinding-dinding yang sudah berlumut.

Pintu sel Senja dibuka, menimbulkan suara berkerit dari besi yang menggesek lantai. Semua tahanan wanita menengadah dengan perasaan takut. Di depan mereka, mayor Rutger berdiri dengan sikap arogan.

Senter di tangan kanannya menyoroti satu persatu para tahanan, mukanya menunjukkan ekspresi jijik saat cahaya senter menerpa wajah yang kotor dan kumal. Sampai di satu titik, ia tersenyum puas. Kali ini ia menemukan gadis yang dicarinya.

Mata Senja terasa pedih saat seberkas sinar terang dan menyilaukan menerpa wajahnya, semalaman berada dalam kegelapan, membuat ia sensitif terhadap cahaya. Gadis itu mengernyitkan dahi dan menutup matanya dengan kedua tangan yang terikat rantai. Tiba-tiba saja, tangan dingin dan kasar meraih pergelangan tangannya, Senja dipaksa berdiri.

"Kau baik-baik saja, Nona manis?" tanya Rutger. Suaranya terdengar menjijikan di telinga Senja.

"Jangan tanya kabarku, kau lelaki brengsek!" umpat Senja.

Andai lengannya tidak terikat rantai, sudah barang tentu ia akan melukai lelaki itu bagaimanapun caranya.

"Mulutmu setajam belati, kau beruntung karena wajahmu menyelamatkanmu." Rutger tersenyum, matanya memandang Senja dengan tatapan lapar.

"Dan wajahku akan membawa kematian untukmu!"

Lelaki itu sekali lagi menelisik penampilan senja—rambut Senja berbau mawar dan warnanya sehitam malam yang paling gelap. Mata hitam gadis itu berbentuk seperti buah badam—simetris sempurna dengan sudut luar yang sedikit terangkat.

Bibirnya berwarna merah muda—dengan sedikit lengkungan lembut yang menyerupai bentuk hati terbalik. Sedangkan hidung dan rahangnya terlihat tegas. Segala sesuatu yang melekat pada Senja, membuat Rutger ingin mendaulat sebagai miliknya, dan lebih dari itu, Rutger berpikir kalau gadis ini bisa menghasilkan banyak keuntungan.

Rutger semakin mengeratkan genggaman pada tangan Senja dan semakin tertantang. Ia menyeret gadis itu ke luar sel tahanan dalam langkah kaki yang lebar.

Senja meringis dan merasa tenaganya sudah habis. Berkali-kali gadis itu terjatuh, tetapi Rutger tidak memperdulikannya. Senja dibawa ke sebuah sel yang sedikit penghuninya, letaknya berada di atas sel lamanya.

Rutger mendorong tubuh Senja dengan kasar, sehingga gadis itu terhuyung-huyung hilang keseimbangan. Beberapa tahanan wanita hanya saling pandang. Di hadapan mereka, dengan kurang ajar Rutger membelai wajah Senja dengan tangan kasarnya, ia mengusap bibir Senja yang mulai kering dan pecah-pecah.

"Kau akan berterima kasih kepadaku, Senja, ah tidak ... beberapa hari lagi kau akan terlahir dengan nama baru dan kehidupan baru. Kau akan tinggal di tempat yang lebih baik, bukan di neraka ini. Sebaiknya kau mempersiapkan diri."

"Lebih baik aku mati! Cekik aku, racuni aku, atau ledakkan saja kepalaku, Bedebah! Aku tidak rela satu detik saja bersamamu."

Senja meludah tepat ke muka Rutger. Pria itu menjadi berang, apalagi beberapa pasang mata dan telinga melihatnya, ia menampar wajah Senja dengan keras, sampai sudut bibir gadis itu berdarah dan jatuh tersungkur di lantai. Helaian rambut senja menutupi sebagian wajahnya.

"Ini yang terkahir kalinya, Senja, lebih dari ini, aku tidak akan melunak lagi!" Ia keluar dari tempat itu.

Senja mengusap satu titik darah pada bibirnya, gadis itu menatap kepergian Rutger dengan pancaran mata yang mengisyaratkan kebencian mendalam.

Tanpa suara, gadis itu berjalan ke sudut ruangan, ia menekuk kakinya sampai menyentuh dada, kemudian ia memeluk lutut dan membenamkan wajahnya. Orang-orang yang melihat Senja merasa sangat prihatin, mereka memiliki duka dan nasib yang tidak jauh berbeda.

Rutger pergi berlalu meninggalkan Senja di sel barunya, ia berjalan dengan perasaan penuh amarah, seorang ajudan mengikutinya dari belakang tanpa bersuara. Mereka terus berjalan, kali ini ke sebuah ruang perawatan.

"Bagaimana keadaan gadis ini?" tanya Rutger.

Ia memperhatikan seorang gadis yang terbaring lemah di atas ranjang perawatan. Berlapis-lapis kain kasa membalut hampir keseluruhan tubuhnya.

"Semakin hari tubuhnya melemah, Mayor. Luka bakarnya sangat serius, bisa bertahan selama dua hari adalah suatu keajaiban," jelas ajudannya.

"Bagus sekali, sekarang sudah saatnya. Pindahkan gadis yang satunya ke sel yang ada di barat."

Rutger tersenyum licik, membayangkan rencana yang telah ia siapkan.

Sedangkan jauh dari tempat Senja berada, Lembayang tersadar. Ia mendapati dirinya di sebuah rumah sederhana berdinding bambu yang disulam. Sekelebat bayangan tentang peristiwa semalam membuat Lembayang bertanya kepada dirinya sendiri.

"Apakah itu semua nyata? atau hanya mimpi?"

Saat lembayang mencoba untuk bangun, ia merasakan kepalanya pusing berkunang-kunang dan tubuhnya terasa lemah. Lembayang mencoba meraba pelipisnya karena ia merasa janggal, ternyata ada kain tebal yang membebat kepalanya.

"Luka ini nyata ... jadi semalam itu?"

Suara pintu yang dibuka memecahkan lamunan Lembayang. Terlihat sorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik diusianya, dia adalah salah satu teman baik kedua orang tuanya, setahu Lembayang. Nyai Aminah menikah dengan lelaki Belanda yang kaya raya dan terpandang, serta memiliki pabrik gula sebagai usahanya.

"Nyai, Aminah?"

"Kamu sudah siuman, Nak?" tanya Nyai Aminah seraya menuangkan air ke dalam batok kelapa, ia menyerahkan kepada Lembayang untuk diminum.

Lembayang menerima air pemberian wanita itu dan langsung meneguknya sampai tandas tidak tersisa.

"Ibu, bapak, Senja dan yang lainnya. Bagaimana keadaan mereka?" tanya Lembayang penasaran seraya menghapus sisa air di bibirnya.

Nyai Aminah menatap pada sosok lelaki yang ada di hadapannya. Lembayang yang biasanya berpenampilan necis dengan beskap, kini terlihat kacau dan beberapa memar menghiasi wajah tampannya.

Saat ia tahu kalau keluarga Lembayang di tangkap, ia menyuruh penjaganya untuk diam-diam menyelamatkan pemuda itu, meski harus menanggung risiko besar.

"Untuk saat ini kami masih melacak keberdaan Senja dan Bumi, sedangkan bapak dan ibumu ... kami tidak bisa menyelamatkan mereka, jenazah mereka ada kamar sebelah," jelas nyai Aminah dengan berat hati.

Tanpa aba-aba, Lembayang langsung berlari ke ruangan yang tadi disebutkan nyai Aminah. Ia mengabaikan rasa sakit yang mendera sekujur badannya. Lembayang melihat dengan jelas dua tubuh yang saat ini terbujur kaku di atas dipan. dengan tangannya yang bergetar, Lembayang berusaha menarik kain jarik yang menutupi jenazah ibu dan ayahnya.

"Ibu ... jangan tinggalkan kami di dunia yang kejam ini, Bu." Lembayang memeluk erat tubuh Nyai Asna yang sudah dingin dan sangat pucat pasi karena tidak ada aliran darah.

"Arrrgggggggg!"

Suara tangis Lembayang bagaikan lolongan serigala di malam hari yang ditinggal sendirian oleh kawanannya. Begitu dalam, pilu, dan menyayat hati bagi siapapun yang mendengar.

"Nyai, ibu dan bapak me–mereka su–sudah tidak ada di dunia ini lagi." Lembayang mengadu kepada Aminah dengan berurai air mata.

"Kuatkan hati kamu, Nak. Nyai yakin kamu mampu melewati ujian ini. Nyai berjanji akan membantu menemukan keluargamu, Nak."

Siang itu Lembayang dibantu modin, dan beberapa orang, menguburkan ibu dan ayahnya di sebidang tanah di dekat kaki gunung. Badai berkecamuk tiba-tiba. Petir menyambar, dan angin menjerit seperti kawanan binatang buas yang murka.

Langit menangis—memuntahkan kesedihannya ke bumi. Nyai Aminah memandang punggung Lembayang. Pemuda itu bergeming di depan nisan ibu dan ayahnya, wajahnya tertunduk dan tangannya mengepal kuat tanah merah yang sudah bercampur dengan guyuran air hujan.

"Nyai, saya sudah melakukan apa yang, Nyai pinta," ucap seorang pelayan.

"Baiklah, terima kasih karena sudah bergerak cepat."

"Apa ada pekerjaan lain yang harus saya lakukan, Nyai?"

"Tidak ada, kamu bisa pergi untuk beristirahat."

***

Hujan yang sore itu mengguyur kota Buitenzorg—hawa dinginnya memeluk orang-orang yang berdiam diri di dalam rumah, bau tanah menguar begitu saja. Angin kencang menggoyangkan pohon pisang—seperti wayang dalam peperangan antara gelap dan terang.

Seorang laki-laki kaukasia berdiri di dekat jendela ruang kerjanya. Dari sana, ia dapat melihat orang-orang yang berlalu lalang di jalanan—laki-laki menutup kepalanya dengan sarung, dan perempuan mengangkat kainnya setinggi betis.

Kilat acap kali membuat sinar benderang, meninggalkan garis kuning yang patah-patah. Dan sesaat terdengar gema bergemuruh, mirip sebuah bola meriam yang ditembakkan.

Saat pintu ruangannya diketuk dari luar, ia menengok, dan muncul orang yang menjadi bawahannya. Orang itu memberikan hormat sebelum berbicara, saat melihat lelaki itu mengangguk, ia menyerahkan sebuah amplop.

"Kapten Xander, ada surat untuk Anda."

Lelaki itu mengernyitkan dahinya. "Dari siapa?"

"Maaf, Kapten, saya hanya diminta untuk menyampaikan kepada Anda."

"Baiklah, bawa kemari."

Bawahannya memberikan amplop itu kemudian berlalu pergi, Xander membaca setiap kata yang tertuang dalam suratnya.

"Jadi, sudah saatnya bagi kami untuk membayar hutang? Sial, mengapa dengan cara seperti ini."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status