Eeden menelisik penampilan wanita yang ada di hadapannya. Dari kepala hingga kaki, tanpa melepaskan cengkraman dari rambut Senja, wanita berpempilan anggun itu sangat kontras dengan wanita lainnya, ia berjalan mendekat dan mencoba mengalihkan perhatian.
"Mijn naam is Sundari, Meneer. Ik ben een zanger dan saya diundang langsung oleh Kolonel Damyon Van Devivere," jelas Sundari."Benarkah hanya penyanyi? Atau kau juga seorang gundik papan atas milik kolonel Devivere?" Eeden berkata seraya menyeringai, melontarkan kalimat ejekan.Sundari masih memasang wajah tenang. Bukan sekali dua kali ia menerima penghinaan seperti itu, apa yang dikatakan Eeden tidak sepenuhnya benar. Tetapi, tidak sepenuhnya salah.Bukan tanpa alasan Sundari melakukan semua ini. Ada alasannya yang tidak bisa ia ungkapkan. Saat tadi ia melihat Senja yang melawan tanpa rasa takut para tentara, Sundari seperti melihat sosok adik perempuannya—Mentari, yang telah hilang sepuluh tahun silam.Sundari mendekatkan bibirnya ketelinga Van Eeden. "Aku bisa menjadi gundik siapa saja, daripada bermain-main dengan gadis kecil itu. Bagaimana kalau, Tuan. Melakukan sedikit permaninan denganku." Sundari menghembuskan nafasnya yang hangat ke leher Eeden dan menggapai tangan kasar lelaki itu di rambut Senja."Bagaimana, Meneer?"Graaf Van Eeden tentu saja tidak menolak tawaran dari Sundari. Tubuh sintal dengan buah dada yang mencuat, memperlihatkan belahannya membuat mata Graaf menjadi gelap dan bernafsu."Hoe kan ik de uitnodiging van. Mevrouw, weigeren?" ucap Eeden dengan tatapan lapar, tidak bisa menolak tawaran Sundari."Wacht, Meneer. Wilt u deze twee meisjes laten gaan?" pinta Sundari agar melepaskan kedua gadis yang telah berselisih dengan Eeden."Ik ben vrijgevig, satu gadis akan ik lepaskan. Tetapi tidak dengan gadis yang sudah membangkang ini!"Tubuh Senja diseret paksa untuk mengikuti langkah kaki Eeden yang lebar. "Ikuti aku!"Sundari menghela nafasnya dan mengikuti mereka kesebuah kamar yang berada di deck atas. Van Eeden mengeluarkan tali dan mengikat tubuh Senja pada tiang yang ada di dalam kamar itu.Eeden mencengkram rahang Senja dengan tekanan yang kuat. "Kamu harus belajar bagaimana cara meminta maaf setelah membuat kesalahan, Perhatikan kami! Agar nanti kamu bisa melayaniku dengan baik!"Eeden menarik pinggang Sundari. Ia merapatkan dada dan perut Sundari sehingga menempel di tubuhnya. Senja memejamkan matanya saat Sundari dan Eeden mulai saling cumbu dan melepas satu persatu pakaian mereka hingga polos. Suara mengecap yang keluar dari mulut mereka, membuat rambut-rambut halus Senja meremang.Eeden membaringkan Sundari di atas ranjang yang tidak terlalu besar, lelaki itu mengambil posisi di atas tubuh Sundari. Kala ia hendak memasukkan miliknya, Eeden menatap Senja dan melemparkan gelas yang mengenai pelipis Senja."Kau tuli! Aku bilang perhatikan kami, kalau kau masih terpejam. Akan kucongkel keluar bola matamu!"Senja membuka matanya dengan pandangan jijik, permainan Sundari dan Van Eeden menghasilkan suara lenguhann yang khas. Untung saja Eeden terbuai dengan pesona Sundari, sehingga Senja bisa mengalihkan matanya ke arah lain.Ditengah permainan panas mereka, dari luar seseorang mengetuk pintu, membuat Eeden kesal dan mengumpat."Verdomme!" Eeden memakai kain putih untuk menutupi tubuhnya yang polos dan berjalan membukakan pintu. "Kapten, Xander. Kau selalu menggangu kepuasaanku!" cibir EedenLelaki yang dipanggil Eeden dengan nama Xander itu menatap seniornya tanpa rasa hormat. "Apa kamu membawa dua gadis ke dalam kamarmu, Kapten Eeden?""Cih, apa urusannya denganmu? Ingat Xander kau adalah juniorku! Tunjukan rasa hormatmu!"Xander hanya tersenyum tipis. "Aku sedang malas mencari keributan, sekarang serahkan wanita yang paling muda kepadaku!""Ahh ... apa aku tidak salah dengar? Maximilian Xander Van Dijck menginginkan wanita rendahan? kamu sekarang menginginkan gadis pribumi?" ejek Eeden.Xander mengeluarkan pistol yang terselip di sabuknya dan mengarahkan ke kemaluann Eeden. "Kau mau merasakan timah panas ini bersarang di tubuhmu, atau kau sudah bosan dan ingin menjadi budak keluargaku, Eeden?" ancam Xander dengan mimik wajah datarnya.Keberanian Graaf Van Eeden seketika menciut. Ia tahu kalau Xander bukan tentara biasa, Xander menyandang nama Dijck yang ia tahu bahwa nama itu memiliki pengaruh di kota asalnya. Kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki keluarga Van Dijck mampu membalikan posisi Kapten yang sedang dijabat Eeden menjadi budak dalam waktu singkat.Eeden juga tahu kalau terjunnya Xander menjadi tentara yang dikirim ke Hindia-Belanda adalah sebuah hukuman karena selalu membangkang, meskipun sekarang status Xander hanya anak buangan, tidak menutup kemungkinan kalau suatu saat Xander akan kembali ke keluarganya. Melihat Xander yang sangat ahli dalam bidang apapun, dan memiliki otak yang cerdas serta keberanian yang kuat.Eeden membuang nafasnya kasar dan memberi jalan untuk Xander. "Masuklah, apa gadis itu yang kau maksud?"Xander mengitari kamar Eeden dan mendapati satu sosok gadis yang sejak dari Batavia sampai berlayar ia perhatikan gerak-geriknya, sekarang gadis itu terlihat lebih kacau dan terikat pada tiang."Apa kau yang bernama Senja?" bisik Xander di telinga Senja.Senja yang merasa terancam dan takut kalau dirinya akan diperlakukan sama dengan Sundari, menatap dingin pada Xander. "Kalau iya kau mau apa, Meneer. Ingin meniduriku? Jangan mimpi, kau bisa melakukannya setelah melangkahi mayatku!" ucapnya tegas."Kau gadis kecil yang sombong rupanya, aku tidak tertarik denganmu meski kau menawarkan tubuhmu itu padaku!"Xander melepaskan ikatan tali di lengan Senja dan memandang Sundari yang diam saja di atas kasur. "Aku akan membawa gadis ini! Silahkan kau lanjutkan permainanmu dengan wanita itu."Xander menarik lengan Senja keluar kamar. "Mau dibawa kemana aku?" tanya Senja dengan sikap waspada.Xander terus membawa Senja ke kamarnya yang berada di ujung lorong deck atas. Senja terus melawan dan mengigit lengan lelaki yang tidak pernah ia kenal sekuat tenaga.Kesabaran Xander sangat tipis, ia menodongkan moncong pistol tepat ke dahi Senja. "Ikuti aku, atau kau ingin aku meledakan kepala mu!"Senja menatap nyalang pada Xander setelah mendapat ancaman. "Kau mau meledakkan kepalaku, Meneer. Kalau begitu lakukan saja, aku tidak takut!""Kalau aku berniat untuk meniadakanmu, aku tidak perlu repot-repot membayar mahal kebebasanmu. Nona, kau diberi kesempatan untuk hidup kedua, harusnya kau bersyukur. Kalau tahu kau akan menyia-nyiakan hidupmu seperti ini, tak perlu sejauh ini kau pergi. Cukup di Batavia atau Buitenzorg saja kau mati!""Apa maksudmu dengan membayar mahal kebebasanku?!" tanya Senja penuh selidik. Ia mendelik dan rahangnya mengeras.Tidak langsung menjawab, Xander memaksa Senja untuk mengikuti langkahnya. Sampai tiba di sebuah ruangan yang paling ujung, Xander membuka pintunya dan melemparkan Senja ke atas kasur."Kau ingin menjadi pahlawan? Harusnya kau urus saja dirimu sendiri, jangan campuri urusan orang lain!" bentak Xander."Seharusnya itu yang kau lakukan, Tuan. Aku tidak mengenalmu, tapi kau tiba-tiba menyeret dan mengatakan hal-hal yang tidak aku pahami!""Kalau bukan karena kepedulian nyai Asna, mungkin kau saat ini sudah mati atau menjadi tawanan mayor Rutger! Bahkan sudah dijual ke pria hidung belang!""Ba–bagaimana kau bisa tahu?""Karena aku yang merencanakan semua ini! aku yang membebaskanmu, dan aku yang mengirimmu kemari!"Senja mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Xander, dan satu hal yang ia sadari, kalau ini bukan rencana nyai Asna, seperti apa yang dikatakan oleh Leon. Senja berdiri tegap di depan Xander, ia menatap Netra biru keabu-abuan Xander."Jadi ini semua bukan rencana nyai? Kau
Xander menoleh pada suara yang menyapanya, kemudian ia mendapati seorang pria yang diperkirakan berusia lima puluhan, mengenangkan seragam Koninklijke Marine berwarna putih. Pada bagian lengan terdapat empat garis stripe, juga sebilah pedang tersemat di sisi pinggangnya. Xander menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan kepada sang nakhoda."Anda terlalu sungkan, Kapten. Xander ... Anda dapat memanggilku dengan nama itu," jawab Xander.Sang nakhoda terkekeh dan mengeluarkan sebatang cigarette dari kotaknya yang terbuat dari kaleng segi empat, mengambil satu batang—menghidupkannya, lalu menawarkan pada Xander. "Pindah tugas juga?""Saya akan di tempatkan di pabrik gula Marienburg selama beberapa bulan. setelah itu akan ke Netherland.""Keluargamu cukup terkenal Groningen, Xan. Apakah kau akan berkunjung ke sana?" tanya nahkoda."Tidak, Kapten. Saya akan ke Deen Haag untuk menjalankan beberapa formalitas." Xander mengambil satu batang dan ikut menyalakan cigarettenya."Aa, begitu rup
Seorang gadis yang lebih muda dari Dara datang dan menghampiri, ia mengulurkan tangan kanannya. "Namaku Diah, terima kasih karena telah membantuku, dan maaf karena sudah membuat, Mbak, susah. Aku berhutang budi pada, Mbak."Dara menatap gadis yang ada di sampingnya, mencoba mengingat. Saat ia mendapat ingatannya, ia tersenyum tipis dan menerima jabatan tangan gadis itu. "Senj–" Dara menghentikan kalimat yang akan dia ucapkan.Dara menghela nafas. "Dara, namaku Dara. Tidak usah sungkan, mungkin kemarin hari sialku." Saat menyebutkan nama lain yang bukan namanya, ada rasa sakit dan perasaan tidak nyaman dalam hatinya."Tidak ... tidak, kemarin itu, Mbak, telah menolongku dengan sangat berani.""Sudah kubilang, kemarin adalah hari sialku," jawab Dara malas. Ia terlalu lelah untuk mengingat dan membahas peristiwa kemarin."Ahh, ngomong-ngomong tentang nasib sial. Kita semua yang terkurung dan terombang-ambing selama enam puluh hari belakangan ini semuanya bernasib sial, Nona–" Seorang le
Saat Stien berusaha mencumbu Dara lagi, gadis itu membenturkan kepala mereka dengan kuat sehingga Stien bangun dari atas tubuh Dara. Melihat kesempatan itu, ia segera berlari ke arah pintu dan berhasil membukanya. Baru satu langkah keluar dari kamar. Kulit kepala Dara terasa perih karena dijambak dengan kuat, rupanya Stien berhasil meraih rambut Dara.Tubuh Dara di hempas dengan sangat kuat dan membentur dinding kapal. Rasa nyeri dan linu seketika menjalar seluruh tubuhnya. Stien yang belum puas, segera mencengkram rahang Dara dan hendak menamparnya. Baru saja tangannya di angkat, sebuah tangan dengan cepat menahan gerakannya. Ia menoleh untuk sekedar memastikan."Kau?""Begitu terkejut, Mayor?"Xander mencengkram dengan kuat tangan kanan Stien. Tadi, saat ia hendak kembali ke kamarnya setelah berjalan-jalan, ia mendengar suara gaduh seperti orang yang tengah bertengkar. Xander mencoba untuk acuh. Tapi saat melihat gadis yang ia kenal di ujung lorong, rasa penasaran pria itu tiba-tiba
"L'amour est enfant de bohêmeIl n'a jamais, jamais connu de loiSi tu ne m'aimes pas, je t'aimeSi je t'aime prends garde à toiPrends garde à toiSi tu ne m'aimes pasSi tu ne m'aimes pas, je t'aimePrends garde à toiMais si je t'aime, si je t'aimePrends garde à toi."Suara tepuk tangan terdengar saat Sundari selesai menyanyikan 'Habanera', sebuah aria penuh perasaan dari Opera kesayangan Kolonel Harland yaitu Carmen."Geweldige, Juffrouw, je stem is zo mooi met een ander accent." Kolonel Harland memuji Sundari karena suaranya yang begitu merdu."Anda terlalu memuji, Kolonel," balas Sundari seraya membungkukkan sedikit badannya."Kau memang pantas menerima undangan dari Kolonel Devivere, tidak percuma dia mengatur perjalanan ini. Kau sangat menghibur dengan suaramu yang merdu, Nona.""Terima kasih, Kolonel, saya sangat tersanjung atas perkataan Anda."Di tengah perbincangan antara Sundari dan kolonel Harland, suara ketukan pintu dari luar membuat mereka berdua spontan menatap ke a
Xander duduk berhadapan dengan Kolonel Harland. Selain itu ada beberapa petinggi yang ikut melakukan tugasnya. Tampak dari seragam yang mereka kenakan, orang-orang ini lebih tinggi pangkatnya dari Xander, pantas saja ia mendapati beberapa luka lebam di wajah tampannya."Kalian duduklah!" perintah salah seorang diantara mereka.Setelah Dara dan Sundari duduk di kursi yang sudah disediakan, Kolonel langsung bertanya pada Dara, "Kau yang bernama Dara?""Benar, Tuan. Saya adalah Dara.""Kau sempat pergi ke kamar mayor Stien beberapa waktu yang lalu?""Saat sedang makan siang saya dibawa oleh dua orang tentara ke kamar mayor Stien, Tuan.""Untuk apa dia memanggilmu?""Dia mengatakan kalau nanti malam saya harus menemaninya, Tuan.""Hanya itu? Berapa lama kau ada di kamar mayor Stien?"Dara tidak langsung menjawab seperti sebelumnya, ia berpikir sejenak. Mengingat kalau di kamar Stien ia sempat melihat gaun malam wanita yang menggantung di salah satu dinding, Dara mencoba membuat alasan."M
Xander melihat kapten Lewis yang datang dengan seorang prajurit di belakangnya, ia berdiri dan jari-jarinya memegang besi berkarat yang membatasi antara tahanan dan budak, dengan para buruh."Siang, Kapten. Terimakasih sudah mau datang kemari."Lewis terkekeh setelah melihat penampilan Xander. "Kau terlihat kacau, Nak. Aku sudah dengar semuanya, entah apa masalahmu tapi dapat kukatakan kalau tindakanmu sangat ceroboh.""Maafkan aku, Kapten. Karena telah membuat keonaran di atas kapalmu. Aku tidak bermaksud demikian.""Kami sudah menaruh mayatnya di dalam peti mati, sekarang apa yang ingin kau sampaikan, Xander?""Aku hanya ingin bertanya kapan kita tiba di Paramaribo, Kapten. Selain itu apakah aku bisa meminta tolong padamu, untuk mengirim telegram pada keluargaku setibanya nanti di pelabuhan?""Kemungkinan kita akan tiba dalam tiga pekan lagi, Kapten, dan untuk mengirim pesan ... aku tidak bisa menjamin karena saat di darat nanti, aku tidak memiliki kekuasaan. Tanggung jawabku hanya
Bara berjalan memegangi pundak orang-orang yang berjajar di sepanjang ruangan. "Aku benci melakukan ini, Dara. Tapi aku harus memastikan, jangan khawatirkan aku, cukup kalian doakan saja!""Apa maksudmu, Mas Bara?" tanya Diah."Apa yang aku lakukan? Kira-kira ingin melihat keadaan luar, aku cukup penasaran apakah ada yang menolong tuan itu?" Bara menatap Dara dan Diah bergantian."Kembalilah, Mas. Jangan gila! Ini sangat berbahaya," teriak Diah."Sebenarnya aku sudah terbiasa. Namun, badai di samudra berbeda dengan badai yang ada di selat." Setelah mengucapkan itu, Bara sudah tidak ada di pandangan mereka."Apa yang dia maksud? Dia benar-benar gila!" seru Dara.Di luar sana, beberapa prajurit nampak meneriakkan Xander yang masih berusaha bertahan hidup, mereka melemparkan sebuah benda mengembang yang sudah terikat dengan tali di pagar pembatas.Bara yang melihat mereka berteriak layaknya anak gadis, tidak tahan untuk mengumpat. "Berteriak seperti itu tidak akan membantu apa-apa, dasar