Share

Gadis yang Tertawan bab 8

Ananta berdiri di tengah kebun teh yang terlihat bagai permadani hijau membentang tiada ujung, tetapi ia merasa sedang berdiri di tengah Padang gurun. Dari luar, tampilannya tampak rapi—memakai setelan jas dan sepatu kulit mengkilap. Namun dari dalam, hatinya hancur bak sebuah guci yang terpecah beberapa bagian.

Fokusnya terganggu oleh rambut Senja yang berkibar tertiup angin musim kemarau, dan berkilau diterpa sinar matahari. Untuk beberapa waktu, mereka berdua hanya berdiri bergeming tanpa suara. Namun, isi kepala mereka dipenuhi dengan pertanyaan dan penjelasan yang tertahan di ujung lidah.

Ananta mengusap tengkuknya yang sedikit berkeringat karena gugup. Setelah menormalkan tekanan perasaannya yang naik-turun, sekali lagi ia menatap ke dalam bola mata milik Senja. Tangan Ananta refleks menyelipkan rambut Senja ke belakang telinga karena sedikit menutupi waja. Gadis itu segera menunduk, kelopak matanya sedikit bergetar.

"Apa benar kalau ayahmu membatalkan pertunangan kita?" Suara Ananta terdengar serak, seperti burung gagak yang sedang sekarat.

Senja mengangkat kepala, mengamati ekspresi Ananta yang terlihat sendu. Sekali saja lelaki itu berkedip, maka air mata akan jatuh ke pipinya yang memerah.

"Itu benar, semalam kedua orang tua kita sudah membahas masalah ini, Mas, mereka memilih untuk membatalkan pertunangan kita," jawab Senja berusaha tenang.

"Apa kamu tidak keberatan?" tanya Ananta meskipun ragu mendapat jawabannya yang sangat ia inginkan.

Senja terdiam sesaat, memikirkan kata-kata yang dirasa pas, agar tidak menyakiti hati lelaki yang saat ini berdiri dengan penuh harap. Senja sendiri belum mengenal dengan baik Ananata, pemuda ini baru saja kembali ke desanya, setelah menyelesaikan pendidikan di Amsterdam dua bulan yang lalu.

"Orang tua kita sudah berbeda jalan, kalau kita tetap meneruskan hubungan ini, yang ada hanya menambah perselisihan. Baik ayahku atau ayahmu, kurasa keduanya sudah mencapai kesepakatan untuk mengakhiri pertunangan kita, Mas."

"Apa kamu menerima begitu saja?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Ananta.

Lelaki itu dengan sadar menanyakannya, meski terlihat tidak tahu malu, ia merasa harus melakukannya untuk memastikan perasaan gadis itu.

"Dari awal aku menerima apa yang dianggap baik oleh keluarga yang sangat menyayangiku, termasuk menerima keinginanmu untuk menunda pernikahan kita. Mungkin sudah menjadi takdir kalau kita tidak berjodoh." Senja tetap berusaha tenang walau dirinya sudah merasa lelah dengan semua keegoisan Ananta.

Mata Ananta nyaris membulat sempurna, dan tenggorokannya serasa tercekat mendengar jawaban tidak terduga Senja. Ingin berusaha mempertahankan hubungan mereka pun terasa sungkan. Dulu, saat mereka berdua dijodohkan, Ananta masih berada di Amsterdam, sehingga tidak tahu bagaimana rupa Senja.

Ananta membayangkan kalau gadis itu sama seperti gadis kebanyakan, dengan bentuk dan tinggi rata-rata gadis desa, serta kulit berwarna kayu eboni. Ia menunda kepulangannya untuk menemui Senja. Setelah benar-benar bertatap muka, Ananta menyadari kebodohannya.

"Waktu itu aku memang salah membuat keputusan, kau pun tahu, aku sedang bersekolah. Tolong maafkan aku karena sudah membuatmu menunggu terlalu lama," sesal Ananta.

"Mas, bisa pulang lebih cepat setelah menyelesaikan pendidikan. Tapi nyatanya, Mas, memilih waktu dua tahun lebih lama lagi untuk tinggal di sana."

"Tapi bagaimana penilaian orang-orang terhadapmu?"

Senja tersenyum, bibirnya berwarna merah muda—dengan sedikit lengkungan lembut yang menyerupai bentuk hati terbalik.

"Aku sudah terbiasa mendengar mereka mengatakan kalau aku terlambat menikah, mau bagaimana lagi, calon suamiku saat itu masih berada di negara orang."

"Tapi calon suamimu saat ini sudah kembali, dan sedang berdiri di hadapanmu, apa tidak bisa kita perbaiki hubungan kita dan kedua orang tua kita?"

"Calon suamiku memang sudah kembali, tetapi kesempatan yang ia punya sudah terlewat dan habis dimakan waktu."

Senja membuka kotak yang sejak tadi ia pegang. Secara bersamaan, tercium aroma kayu gaharu yang keluar. Lapisan dalam terbuat dari kain beludru berwarna merah. Senja mengambil sebuah cincin emas dengan batu berlian kecil yang terlihat manis.

"Aku memang tidak ditakdirkan untuk memakai cincin ini. Sekarang, aku akan mengembalikan kepadamu, semoga cincin ini menemukan tangan yang pas untuk dipakaikan."

Ananta bungkam, gadis yang ada di hadapannya benar-benar ingin mengakhiri hubungan. Senja berbalik dan menapaki jalan dengan langkahnya yang sangat hati-hati. Ananta terus memandanginya sampai bayangan Senja hilang di balik pohon akasia.

"Senja ...," ucap Ananta lirih.

Di bawah cahaya lampu yang tamaram disebuah bar. Pipi kanan Ananta menempel di atas meja bundar yang terbuat dari kayu jati, tiga botol minuman keras tutupnya terbuka dan isinya sudah kosong. Suasana hatinya menjadi tidak menentu. Mata, pipi, dan daun telinganya sudah berubah menjadi kemerahan.

Nyatanya, mabuk tidak bisa menghilangkan ingatan siang tadi saat berpisah dengan Senja, kenangan itu terus terulang bagai kaset rusak. Masih dalam posisi yang sama, Ananta meneguk seloki lagi brendi berjenis cognac dengan kadar alkohol yang cukup tinggi.

___

Hari itu, terhitung sudah dua bulan kapal SS Voorwaarts berlayar membelah samudra. Di salah satu ruangan, beberapa orang berkerumun melihat kegaduhan yang terjadi beberapa menit yang lalu. Sebuah tamparan keras dari tangan penuh dosa berhasil mendarat di pipi ranum Senja.

"Brutale vrouw! durf je tegen me te vechten!" teriak salah satu tentara Belanda bertubuh jangkung dan bermata biru.

Senja jatuh ke ubin kapal setelah tamparan keras, dan cap lima jari berhasil tercetak di pipinya. Tidak hanya itu saja, bahkan sudut bibirnya mengeluarkan darah.

Senja hanya bergeming dan menahan rasa sakit, gadis itu tersenyum sinis kepada tentara Belanda yang telah memukulnya. Bagi Senja ini bukan apa-apa. Matanya menyorotkan kemarahan, ada yang lebih sakit dari perlakuan yang baru saja ia terima. Yaitu saat dirinya diambil paksa dari kedua orangtuanya, saudaranya dan juga orang-orang yang Senja sayangi.

Api itu sudah membara dan berkecamuk hebat di dalam dada. Kemarahannya tak dapat lagi terbendung, menyapu habis setiap jengkal rasa saat menyaksikan gadis seusianya, hendak dipaksa untuk dijadikan pemuas nafsu para kompeni di atas kapal yang sedang berlayar.

Senja membantu gadis yang belum ia ketahui namanya, menyulut kemarahan dari pria tersebut, dan berakhir siksaan pada dirinya. Rambut Senja ditarik paksa karena berani membalas tatapan tentara Belanda.

Beberapa helai yang tercabut dari kulit kepalanya—menggambarkan betapa kasar dan kejamnya para kompeni. Kemudian tubuh Senja di lempar ke dinding kapal, oleh perwira pertama Belanda yang bernama Kapten Graaf Van Eeden.

Saat Senja akan dipukul kembali, oleh tangan yang telah membunuh satu atau bahkan puluhan warga pribumi, seorang wanita dewasa yang mengenakan kebaya merah dengan kain batik motif sidoluhur—menahan gerakan lelaki itu dengan suara lembutnya.

"Wacht, Meneer. Untuk apa tuan meladeni gadis ingusan seperti mereka."

"wie ben jij om mij te durven bannen?" tanya Eeden pada wanita yang berani menghalangi perbuatannya.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status