Ananta berdiri di tengah kebun teh yang terlihat bagai permadani hijau membentang tiada ujung, tetapi ia merasa sedang berdiri di tengah Padang gurun. Dari luar, tampilannya tampak rapi—memakai setelan jas dan sepatu kulit mengkilap. Namun dari dalam, hatinya hancur bak sebuah guci yang terpecah beberapa bagian.
Fokusnya terganggu oleh rambut Senja yang berkibar tertiup angin musim kemarau, dan berkilau diterpa sinar matahari. Untuk beberapa waktu, mereka berdua hanya berdiri bergeming tanpa suara. Namun, isi kepala mereka dipenuhi dengan pertanyaan dan penjelasan yang tertahan di ujung lidah.Ananta mengusap tengkuknya yang sedikit berkeringat karena gugup. Setelah menormalkan tekanan perasaannya yang naik-turun, sekali lagi ia menatap ke dalam bola mata milik Senja. Tangan Ananta refleks menyelipkan rambut Senja ke belakang telinga karena sedikit menutupi waja. Gadis itu segera menunduk, kelopak matanya sedikit bergetar."Apa benar kalau ayahmu membatalkan pertunangan kita?" Suara Ananta terdengar serak, seperti burung gagak yang sedang sekarat.Senja mengangkat kepala, mengamati ekspresi Ananta yang terlihat sendu. Sekali saja lelaki itu berkedip, maka air mata akan jatuh ke pipinya yang memerah."Itu benar, semalam kedua orang tua kita sudah membahas masalah ini, Mas, mereka memilih untuk membatalkan pertunangan kita," jawab Senja berusaha tenang."Apa kamu tidak keberatan?" tanya Ananta meskipun ragu mendapat jawabannya yang sangat ia inginkan.Senja terdiam sesaat, memikirkan kata-kata yang dirasa pas, agar tidak menyakiti hati lelaki yang saat ini berdiri dengan penuh harap. Senja sendiri belum mengenal dengan baik Ananata, pemuda ini baru saja kembali ke desanya, setelah menyelesaikan pendidikan di Amsterdam dua bulan yang lalu."Orang tua kita sudah berbeda jalan, kalau kita tetap meneruskan hubungan ini, yang ada hanya menambah perselisihan. Baik ayahku atau ayahmu, kurasa keduanya sudah mencapai kesepakatan untuk mengakhiri pertunangan kita, Mas.""Apa kamu menerima begitu saja?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Ananta.Lelaki itu dengan sadar menanyakannya, meski terlihat tidak tahu malu, ia merasa harus melakukannya untuk memastikan perasaan gadis itu."Dari awal aku menerima apa yang dianggap baik oleh keluarga yang sangat menyayangiku, termasuk menerima keinginanmu untuk menunda pernikahan kita. Mungkin sudah menjadi takdir kalau kita tidak berjodoh." Senja tetap berusaha tenang walau dirinya sudah merasa lelah dengan semua keegoisan Ananta.Mata Ananta nyaris membulat sempurna, dan tenggorokannya serasa tercekat mendengar jawaban tidak terduga Senja. Ingin berusaha mempertahankan hubungan mereka pun terasa sungkan. Dulu, saat mereka berdua dijodohkan, Ananta masih berada di Amsterdam, sehingga tidak tahu bagaimana rupa Senja.Ananta membayangkan kalau gadis itu sama seperti gadis kebanyakan, dengan bentuk dan tinggi rata-rata gadis desa, serta kulit berwarna kayu eboni. Ia menunda kepulangannya untuk menemui Senja. Setelah benar-benar bertatap muka, Ananta menyadari kebodohannya."Waktu itu aku memang salah membuat keputusan, kau pun tahu, aku sedang bersekolah. Tolong maafkan aku karena sudah membuatmu menunggu terlalu lama," sesal Ananta."Mas, bisa pulang lebih cepat setelah menyelesaikan pendidikan. Tapi nyatanya, Mas, memilih waktu dua tahun lebih lama lagi untuk tinggal di sana.""Tapi bagaimana penilaian orang-orang terhadapmu?"Senja tersenyum, bibirnya berwarna merah muda—dengan sedikit lengkungan lembut yang menyerupai bentuk hati terbalik."Aku sudah terbiasa mendengar mereka mengatakan kalau aku terlambat menikah, mau bagaimana lagi, calon suamiku saat itu masih berada di negara orang.""Tapi calon suamimu saat ini sudah kembali, dan sedang berdiri di hadapanmu, apa tidak bisa kita perbaiki hubungan kita dan kedua orang tua kita?""Calon suamiku memang sudah kembali, tetapi kesempatan yang ia punya sudah terlewat dan habis dimakan waktu."Senja membuka kotak yang sejak tadi ia pegang. Secara bersamaan, tercium aroma kayu gaharu yang keluar. Lapisan dalam terbuat dari kain beludru berwarna merah. Senja mengambil sebuah cincin emas dengan batu berlian kecil yang terlihat manis."Aku memang tidak ditakdirkan untuk memakai cincin ini. Sekarang, aku akan mengembalikan kepadamu, semoga cincin ini menemukan tangan yang pas untuk dipakaikan."Ananta bungkam, gadis yang ada di hadapannya benar-benar ingin mengakhiri hubungan. Senja berbalik dan menapaki jalan dengan langkahnya yang sangat hati-hati. Ananta terus memandanginya sampai bayangan Senja hilang di balik pohon akasia."Senja ...," ucap Ananta lirih.Di bawah cahaya lampu yang tamaram disebuah bar. Pipi kanan Ananta menempel di atas meja bundar yang terbuat dari kayu jati, tiga botol minuman keras tutupnya terbuka dan isinya sudah kosong. Suasana hatinya menjadi tidak menentu. Mata, pipi, dan daun telinganya sudah berubah menjadi kemerahan.Nyatanya, mabuk tidak bisa menghilangkan ingatan siang tadi saat berpisah dengan Senja, kenangan itu terus terulang bagai kaset rusak. Masih dalam posisi yang sama, Ananta meneguk seloki lagi brendi berjenis cognac dengan kadar alkohol yang cukup tinggi.___Hari itu, terhitung sudah dua bulan kapal SS Voorwaarts berlayar membelah samudra. Di salah satu ruangan, beberapa orang berkerumun melihat kegaduhan yang terjadi beberapa menit yang lalu. Sebuah tamparan keras dari tangan penuh dosa berhasil mendarat di pipi ranum Senja."Brutale vrouw! durf je tegen me te vechten!" teriak salah satu tentara Belanda bertubuh jangkung dan bermata biru.Senja jatuh ke ubin kapal setelah tamparan keras, dan cap lima jari berhasil tercetak di pipinya. Tidak hanya itu saja, bahkan sudut bibirnya mengeluarkan darah.Senja hanya bergeming dan menahan rasa sakit, gadis itu tersenyum sinis kepada tentara Belanda yang telah memukulnya. Bagi Senja ini bukan apa-apa. Matanya menyorotkan kemarahan, ada yang lebih sakit dari perlakuan yang baru saja ia terima. Yaitu saat dirinya diambil paksa dari kedua orangtuanya, saudaranya dan juga orang-orang yang Senja sayangi.Api itu sudah membara dan berkecamuk hebat di dalam dada. Kemarahannya tak dapat lagi terbendung, menyapu habis setiap jengkal rasa saat menyaksikan gadis seusianya, hendak dipaksa untuk dijadikan pemuas nafsu para kompeni di atas kapal yang sedang berlayar.Senja membantu gadis yang belum ia ketahui namanya, menyulut kemarahan dari pria tersebut, dan berakhir siksaan pada dirinya. Rambut Senja ditarik paksa karena berani membalas tatapan tentara Belanda.Beberapa helai yang tercabut dari kulit kepalanya—menggambarkan betapa kasar dan kejamnya para kompeni. Kemudian tubuh Senja di lempar ke dinding kapal, oleh perwira pertama Belanda yang bernama Kapten Graaf Van Eeden.Saat Senja akan dipukul kembali, oleh tangan yang telah membunuh satu atau bahkan puluhan warga pribumi, seorang wanita dewasa yang mengenakan kebaya merah dengan kain batik motif sidoluhur—menahan gerakan lelaki itu dengan suara lembutnya."Wacht, Meneer. Untuk apa tuan meladeni gadis ingusan seperti mereka.""wie ben jij om mij te durven bannen?" tanya Eeden pada wanita yang berani menghalangi perbuatannya.Belum pernah aku melihat perempuan yang terlihat begitu berkharisma. Usianya sudah lebih dari empat puluh, tetapi penampilannya seperti seorang gadis belia. Tubuh tinggi nan ramping itu berdiri tegak di ruang tamu seakan ratu tanpa mahkota. Dia mengenakan gaun putih panjang yang tertutup, dihias dengan rimpel yang menumpuk dan bersusun, serta lengan hanya sebatas siku. Pergelangan tangannya tersembunyi dalam sarung tangan putih dari renda. Wajahnya pucat karena terlalu putih, atau mungkin ia jarang terkena sinar matahari.Rambut coklatnya yang lurus panjang tidak dikonde tapi diatur dengan minyak mawar, menggantung tenang di punggung sementara ia berjalan ke arahku. Aku merasa pusing karena wewangian yang ia pakai, tercampur bau dari buket-buket mawar yang memenuhi ruangan. Dengan sopan ia mengulurkan tangannya kepadaku. Kusambut dengan rasa gugup, aku dapat merasakan jari-jari tangannya panjang dan ringkih. "Kenalkan, aku Helena Jacques. Ibu kandung dari Maxwell, kau pasti Senja,
"Kau tau wanita yang sedang kau ancam? Jika kau lupa akan aku ingatkan. Dia adalah Mademoiselle Demesringny, dan dia datang bersamaku!" Sebenarnya siapa Rosie? Aku bertanya-tanya dalam hati. Sudah berbulan-bulan kami saling mengenal. Dan yang aku tahu, wanita cantik yang kini terlihat mengejek pria bernama sir Lynch itu terlihat santai. Tidak merasa terdiskriminasi oleh tatapan yang seolah-olah siap menerkam. 'Rosie sudah memiliki kekasih? Apa pria itu Maxwell. Jika iya, alangkah sempurnanya mereka bersandiwara untuk menutupi hubungan.' Aku terus berpikir, hingga aku tersentak kala terdengar gebrakan meja yang begitu kuat."Kau dan kau!" Sir Lynch mengangkat jari telunjuknya ke arah Maxwell dan Rosie dengan wajah yang merah padam. "Apa kalian pikir aku, Bocah ingusan? Camkan ini baik-baik! Kalian akan menyesal. Terutama kau, Mademoiselle Demesringny. Suatu saat aku akan memastikan kau akan kalah dengan penuh penyesalan," hardik pria itu.Rosie tersenyum semakin lebar. "Ah, sayang se
Selama berlayar dan ada di atas kapal, Maxwell dan perawat Rosie mengajarkan aku banyak hal. Kebetulan aku fasih berbahasa Belanda, mengingat aku pernah mengenyam pendidikan di sekolah ternama. Orang tuaku yang seorang priyayi, sangat mampu untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Namun sayang, takdir berkata lain. Semua kemewahan yang kami miliki, lenyap hanya dalam satu malam. "Uhhh, tanganmu kasar sekali, Dara. Bekas lukanya tak kunjung hilang. Lihat, wajahmu pun ada bekas jahitan. Rambutmu sedikit kusam, dan warna kulitmu kecoklatan." Perawat Rosie sibuk menelisik penampilanku. Ia akan menggeleng jika menemukan kekurangan. Mulai dari rambut hingga kaki, semuanya tak luput dari pemeriksaannya. Aku hanya bisa pasrah, dan Maxwell sesekali memperhatikan kami. Ia sibuk dengan buku yang ada di tangannya."Ohh, sungguh. Aku tidak sabar ingin segera tiba di tempat tujuan. Aku berjanji akan merubah penampilanmu. Dasarnya kau memang cantik, pasti tidak akan sulit. Lagipula, aku yakin mad
Hari hampir siang saat kapal SS Nieuw Amsterdam siap untuk berlayar. Kapal itu berwarna abu, putih, bercampur biru. Tampak gagah dan besar, di atasnya terdapat sebuah tiang yang mengeluarkan asap kehitaman yang terbawa angin di dermaga. Aku menatap kagum, meski ada sedikit rasa takut akibat trauma masa lalu.Di sampingku Diah tergugu dengan tubuh yang sedikit bergetar. Matanya tampak bengkak, dengan pangkal hidung yang terlihat merah. Sedangkan mba Sidja lebih bisa menguasai diri, meski jejak air mata sangat kentara di wajahnya yang selalu memancarkan ketulusan. Begitu teduh dan nyaman.Ini adalah bagian yang aku benci, karena setiap pertemuan pasti akan ada yang namanya perpisahan. Kedua wanita ini yang selalu membersamai diriku. Sudah menjadi teman untuk segala keluh kesahku. Dalam canda, dalam tawa, dalam suka maupun duka."Mba tega meninggalkanku? Kita datang ke tempat ini bersama-sama, dan sekarang, Mbak, ingin pergi lebih dulu?" Aku menghel
POV DARAEntah nyata atau hanya mimpi. Dalam sinar mentari yang terbit di pagi ini, hatiku bergemuruh. Saat ini darahku seakan tak mengalir, saat ini detak jantung seakan berhenti, dan pikiranku dijejali oleh ribuan pertanyaan. Tanganku bergetar tatkala memegangi sepucuk surat yang akhirnya datang padaku. Mataku mengembun, dan bersamaan bulir bening yang menetes di pipi, maka tumpahlah segala isi hati. Entah bagaimana caranya aku bisa mengekspresikan kebahagiaan ini."Aku bebas?" tanyaku yang masih tidak percaya.Inilah hari yang aku nantikan. Tak ada lagi beban, tak ada lagi siksaan, tak ada lagi Kungkungan. Di setiap hela nafas ini, aku merasakan kehidupan yang baru. Kini, waktu tak lagi berlari. Karena aku sudah bebas dalam pikiran, angan, dan kebahagiaan. "Selamat, Dara. Kau sudah jadi orang yang merdeka." Maxwell merentangkan kedua tangannya, dan aku menghambur ke dalam pelukannya yang hangat. Lelaki ini menepati semua janjinya kepadaku. Membuktikan kalau dia bersungguh-sunggu
"Kau pulang terlambat, Dara." Maxwell berdiri seraya menyandarkan dirinya pada sebuah tiang besar yang ada di selasar, melipat kedua tangannya di depan dada, sambil memperhatikan Dara yang berjalan menaiki anak tangga."Maaf, Ell. Apa aku membuatmu cemas?" tanya Dara hati-hati, wajah Maxwell yang bermandikan cahaya dari lampu kekuningan tampak dingin, apalagi mengetahui orang yang mengantar gadis itu pulang sampai depan pagar."Tentu saja aku sangat mengkhawatirkanmu, aku sengaja pulang lebih cepat agar kita bisa makan malam bersama. Tapi kata orang rumah, kau belum juga sampai." Maxwell segera membawakan buku-buku yang menumpuk di tangan Dara."Sekali lagi maafkan aku, Ell. Aku lupa waktu kalau sedang membaca buku. Kau pernah berkata, bukan? Kalau sudah waktunya untukku merubah diri menjadi lebih baik." "Mari masuk," ajak Maxwell saat seorang pelayan membukakan pintu setinggi dua meter setengah untuk mereka. "Dan kau memilih menambah pengetahuan lewat buku-buku ini? Jika demikian, t