Share

BAB 3 : Gagal Move On

Berharap perkataannya dapat menyadarkan Raka, ternyata Tara salah besar. Justru karena hal itu, Tara terseret ke sebuah mall dengan Raka. Emosinya sudah sampai ubun-ubun saat lelaki itu dengan seringai jahilnya menatap Tara. “Kata siapa gue suka rela ngasih lo donat? Temenin gue beli hadiah.”

Tara menolak. “Minta temenin aja sama pacar lo!”

Dan ketika Raka menjawab, “Kan kadonya buat pacar gue. Lo bantu cariin.”

Ia berusaha meredam amarahnya. Si bodoh ini benar-benar keterlaluan! Apa tidak bisa sedikit saja memikirkan perasaannya? Mereka bahkan baru putus beberapa bulan lalu.

Tapi apa boleh buat, ia tidak mau merasa memeras Raka, setelah izin pada Dio dan menyerahkan kotak donat itu pada adiknya, Tara akhirnya mengekori ke mana pun langkah Raka pergi. Terhitung sudah sudah satu jam lebih, beberapa toko telah mereka sambangi, namun tak ada satu pun barang yang menarik perhatian lelaki itu. Atau, memang Raka tidak berniat membeli hadiah yang dia maksud.

Langkah panjang lelaki itu meninggalkan Tara di depan, terhalang tiga orang. Tara menarik napas panjang sebelum kembali menyusul Raka setelah mengisi kesabarannya lebih banyak. Kali ini lelaki itu masuk ke toko aksesoris wanita, seperti yang sudah-sudah, Raka melihat rak-rak yang memajang perintilan aksesoris rambut seperti bandana, ikat rambut dengan berbagai model, hingga jepit rambut. Tara mengamatinya dengan diam, dapat ia tebak Raka berpindah ke rak lainnya, berbicara sebentar pada penjaga toko lalu keluar.

Raka kembali berjalan tanpa menoleh pada Tara.

“Lo mau beli apa, sih, sebenarnya?” Tara menghentikan langkahnya. Kakinya mulai terasa pegal.

““Nyari yang nggak ada.”                                    

“Udah sinting kali, ya,” gumam Tara.

“Tadi pagi lo udah sarapan belum?” Alih-alih menjawab, Raka menariknya memasuki toko donat yang sama dengan yang dibawanya tadi. “Belum, ya? Lo kan gak biasa makan nasi pagi-pagi, nih, ambil,” katanya menyerahkan nampan kosong pada Tara.

Mendapati perlakuan seperti itu, membuat Tara merasa deja vu. “Lo baru aja beliin gue donat, bahkan mungkin belum Dio makan. Gak usahlah,” katanya.

Raka menaikan sebelah alisnya. “Kata siapa gue mau beliin? Lo bayar sendirilah.”

Kurang ajar.

Tanpa menunggu lama, Tara memilih donat kesukaannya, lalu berjalan menuju kasir. Tak lama, setelah itu ia duduk di hadapan Raka yang lagi-lagi sibuk dengan ponselnya. Mungkin sedang berbalas pesan dengan Kaila. Tara tidak ambil pusing, ia sibuk melahap donatnya.

By the way, daripada menanyakan sarapan, harusnya lelaki itu bertanya apakah ia sudah makan malam atau belum, atau, setidaknya makan siang karena kini hari sudah berubah malam. Rupanya Raka perlu belajar lagi mengenai pembagian waktu siang dan malam.

Raka menopang dagu dengan kedua tangannya. “Kalau makan pelan-pelan, kan gak lucu kalau gue bawa lo balik dalam keadaan mati keselek donat.”

“Lucu lo.”

“Makasih.”

“Sama-sama.”                                                     

 Hening sejenak, sampai Raka mendapati panggilaan telepon dari Jaffar.

“WOY, SUMPIT HOKBEN.”

“Apa-apaan lo?” tanya Raka.

“Kita belum bikin power point buat demo ekskul! Ketuanya gimana, sih, ini?”

Sorry, bukan gue.”

“Kan elo calonnya. Pura-pura bego lagi.”

“Emang iya?”

“Cek gruplah, Ka. Makin hari makin gak jelas tujuan hidup lo.”

“Jangan dengki gitu. Hidup gue udah sempurna.”

Jaffar berdecih. Malas menanggapi, akhirnya Raka mematikan sambungan telepon. Ia mengamati Tara, kemudian melahap donat yang dipegang perempuan yang kini menatapnya sinis.

“Kira-kira Kaila suka hadiah, apaan, ya, Tar?” tanyanya dengan mulut penuh.

“Gak tahu.”

Raka berdecak. “Gak ada tahu-tahunya lo.”

“Tanya aja sama orangnya langsung.”

“Gak surprise dong, namanya.”

“Gue gak peduli.”

“Gak ada gunanya ngajak lo juga, ya. Balik aja, deh,” ucap Raka gemas sendiri mendengar jawaban itu. Ia menyentil dahi Tara, kemudian beranjak meninggalkannya yang masih duduk d tempatnya.

“Sakit! Pasti merah, nih.” Tara mengusap dahinya. “Ada ya, orang kayak lo, bedebah!”

Raka kembali menatapnya yang belum beranjak, melotot saat bedebah yang dimaksud Tara adalah dirinya.

“Apa? Mau protes? Sini maju!” Tara balas menantang. “Muka lo emang cocok dikata-katain!”

[]

“Dari mana, Dek?” tanya Eva saat ia baru saja memasuki rumah. Penampilan ibunya masih sama seperti tadi sore.

“Nganter Raka beli hadiah,” jawabnya dengan tatapan terarah pada meja yang sudah berantakan. Ada kotak Richeese yang sudah kosong, juga donat yang sisa setengah.

“Hadiah? Buat siapa?”

Tara tak menyahut, ia menyimpan sling bag-nya di atas buffet TV, bersiap ke kamar.

“Dek, mau ke mana? Ibu kan lagi nanya.”

“Buat siapa lagi kalau bukan pacarnya? Udah, ah, Tara mau istirahat.” Ia sungguh malas membahas Raka, terlebih dengan ibunya.

“Terus kenapa Raka gak disuruh mampir?”

“Buat apa?” Tara menatap malas ibunya yang mulai menyebalkan.

“Ngobrol sama ibu lah.”

“Gak penting.”

“Kamu jealous, Dek?” Eva memicingkan matanya. “Kamu gak dibeliin apa gitu sama Raka? Masa cuma nganter beli hadiah aja? Biasanya kan dia suka bawain sesuatu. Donat selusinlah minimal.”

Gila! Itu kan lain cerita, Bu! Ingin sekali Tara berkata begitu. “Kenapa ibu kayak cewek gagal move on gini?”

Eva tergelak.

“Raka itu bukan siapa-siapa kita. Gak penting bahas dia.”

“Menjalin silaturahim itu penting, lho, Dek.”

Tara mulai jengah. “Bu?”

“Iya, iya. Kamu kok jadi emosi gitu.”

Bagaimana ia tidak emosi kalau ibunya terus menanyakan Raka? Sebelum Tara memasuki kamarnya, ia kembali melirik meja. “Oh, iya, donat itu dibeliin Raka sebelum kita pergi tadi.”

[].

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status