Share

Lepaskan Aku!

“Kamu ...!”

Rambut perak yang dia kenal, serta seringai yang membuatnya teringat ke malam itu seketika membuat emosi kembali memenuhi kepalanya.

Emily buru-buru bangkit dari tempat tidur, bermaksud untuk kabur dari tempat itu, namun rasa pusing menusuk kepalanya hingga membuatnya pandangannya menjadi kabur.

Belum sempat kaki jenjangnya menyentuh lantai, Benedict melingkarkan lengan kekarnya di pinggang Emily.

"Lepaskan aku!" Teriak Emily dengan keras, mencoba mencari pertolongan dari siapapun yang ada di rumah besar itu. 

Emily menyapukan kukunya ke wajah pria itu, membuat Benedict mengumpat dengan keras. Namun meskipun ada rasa perih yang menjalari wajahnya, Benedict tetap tidak melepaskan pegangannya.

Karena melepaskan berarti menjatuhkan ke lantai. Sedangkan kondisi wanita dengan kuku bak Wolverine ini masih belum stabil.

Sebagai gantinya Benedict mengangkat Emily ke dalam pelukannya lalu menjatuhkannya ke tempat tidur.

"Jangan berani-berani turun dari ranjang ini." Dia memperingatkan, sambil menunjuk Emily. Dengan terpaksa Emily beringsut dan meringkuk seperti anak kucing di kepala ranjang.

Benedict perlahan duduk di sofa di sudut kamar tidur, lalu menyilangkan kedua kakinya dengan elegan sembari mengusap goresan di wajah sempurnanya dengan tisu antiseptik. "Agnes.” Panggilnya.

"Ya, Tuan." Agnes yang mengerti buru-buru menyerahkan secangkir teh hangat pada Emily.

Emily yang melihat itu merasa ragu, siapa yang tahu apa yang dimasukkan ke sana oleh ‘pria sempurna’ itu. Sedangkan beberapa waktu sebelumnya Emily saja dijual oleh pacarnya.

Melihat itu, Agnes mengambil sendok kecil lalu mencicipi teh hangat tersebut di depan Emily. Seolah dengan melakukan itu, dia berkata ‘lihat tidak ada racun di teh ini! Kau minum saja selagi Tuanku yang duduk di sana itu masih bersikap baik!”

Emily menarik napas, dengan berat hati dia menerima teh itu, “Terima kasih,” katanya kepada Agnes yang mengangguk sambil tersenyum lalu diapun meninggalkan ruangan.

Suasana ruangan menjadi dingin. Tapi Emily merasa badainya belum berlalu. “ Kenapa aku ada di sini? Kau menculikku ya?”

Ada keheningan yang terentang sebelum kemudian terdengar tawa, “Itu sangat menggelikan. Menurutmu apa aku sekurang kerjaan itu sampai menculik wanita yang bukan siapa-siapa sepertimu?”

Emily hanya bisa tertawa kecil, tak tahu harus bagaimana menghadapi sifat arogan dari pria tampan dengan rambut perak aneh itu. Namun, Emily tak bisa mengelak. Jika dibandingkan dengan pria itu, dirinya memang bukanlah siapa-siapa.

Melihat dari ruangan ini saja, tidak dapat dipungkiri kalau pria ini kaya. Sangat kaya bahkan. Itu menjelaskan mengapa Zack menjual Emily padanya. Tapi, sekaya apapun pria ini, tapi tetap saja kata-kata pedas yang keluar dari mulutnya tidak bisa menyamarkan perasaan malu dan terhina yang Emily rasakan.

"Aku melihatmu pingsan di jalan tak jauh dari kediaman Zack," lanjut Benedict datar.

Ingatan itu seketika terlintas di benak Emily, tanpa sadar dia memeluk tubuhnya. Masih terang di ingatannya bagaimana Zack, calon tunangannya itu "menjual" dirinya kepada keparat berambut perak itu, sedangkan dia selingkuh bersama sepupunya sendiri.

Seketika, dia merasa terhina. "Lalu pakaianku?"

"Agnes yang mengganti pakaianmu." jawabnya santai.

Diam-diam Emily menghembuskan napas lega.

Benedict menyeringai, seolah mencibir Emily yang wajahnya masih memerah.

"Kau masih malu? Aku bahkan sudah melihat ..." Mata Benedict memandang ke dada dan paha Emily … "semuanya!"

Menggigit bibir bawahnya, Emily menutupi pahanya lalu berpaling dari pria itu.

"Hei, tuan putri, mengapa kau belum putus dari Zack? Dan kenapa juga malam itu kau kembali kepadanya?"

Bagaimana pria ini tahu? Kecuali pria ini menguntitnya. Hati Emily mencelos. Ini mulai mengkhawatirkan apa yang diinginkan pria ini darinya sekarang.

 

"Stop panggil aku dengan sebutan itu! Lagipula, mengapa kamu kepo sekali!? Putus atau tidak, itu bukan urusanmu!" 

Emily ragu kalau pria ini menolongnya di jalan saat pingsan adalah semata-mata karena hanya ingin berbuat baik saja. Pasti ada sesuatu. Mungkin saja pria ini menginginkan putaran seks yang lain, atau mungkin dia menganggap Emily sebagai pemuas hasratnya yang ingin dibungkam agar kelakuan ‘bejad’ pria itu tetap terlindungi.

 

Ck! Emily menggigit bibirnya, "Begini Tuan, kesepakatan apa pun yang telah kau buat dengan Zack mengenai diriku, aku tidak mau ikut campur dan tidak mau terlibat. Kau tahu sendiri kan aku tidak tahu mengenai hal itu. Jadi, dengan segala hormat, kau dan Zack sialan urus saja urusan kalian sendiri. Jangan libatkan aku lagi.”

 

Emily meletakkan cangkir teh yang tidak diminumnya itu ke atas meja lalu bangkit dari tempat tidur. Bukannya dia tidak sopan pada kebaikan Agnes, tapi, dia baru saja dijual, mengertilah sedikit dengan rasa waspadanya. Emily lantas melangkah menuju pintu dengan kepala sedikit pusing.

"Tunggu sebentar." Nada suara Benedict terdengar dingin dan tenang.

Emily berhenti dan menatapnya dengan waspada, "Apa lagi?"

"Kalau aku tidak salah, tanpa Zack, perusahaan pamanmu akan tutup. Dan kau sebagai keponakan tentu tidak menginginkan hal itu terjadi kan?” Dia mengambil sebotol minuman beralkohol lalu menuangnya ke dalam gelas.

 

Sikapnya yang santai dalam mengatakan hal mengerikan itu membuat Emily merinding,  "Apa maksudmu?"

 

"Pamanmu yang memaksamu berbaikan dengan Zack, kan?"

Emily menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Secara tidak langsung itu benar. Dia memang terpaksa melakukannya.

“Setelah semua yang terjadi, apa kau akan benar-benar bersedia kembali pada Zack dan melanjutkan hubungan kalian seolah tidak terjadi apa-apa?” Emily menatap Benedict yang sedang menggoyang-goyangkan cairan alkohol   yang ada di gelasnya dengan santai. Pria ini benar-benar ‘mengerikan’. Dia mengatakan rasa takut Emily yang dengan keras berusaha ia tiadakan demi pamannya dan perusahaan.

“Aku bisa membantumu memutuskan hubungan toxicmu itu dengan Zack dan membantu  perusahaan pamanmu tetap beroperasi seperti biasa. Tapi, dengan satu syarat.”

Emily tahu tidak ada yang gratis di dunia ini. Buang air kecil saja bayar. “Syarat apa?” Dia bertanya.

 

Benedict menyesap minuman yang ada di tangannya, mata gelap pria itu terlihat berbahaya, “Syarat ini tidaklah terlalu sulit.” Benedict meletakkan gelasnya ke atas meja samping. “Kau harus menjadi wanitaku.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status