"Aku tidak bisa duduk diam begitu saja, " gumam Rigen, matanya menatap kosong ke layar laptop yang sekarang kosong. File dari flashdisk itu—lenyap seketika. Entah bagaimana, sistem laptop seolah ter-reset sendiri. Tak ada jejak. Tak ada cache. Tak ada riwayat file. “Seolah seseorang sengaja menghapus semua bukti...” Ia berdiri dari kursi, tubuhnya masih terasa nyeri akibat luka-luka semalam. Tapi pikirannya... jauh lebih sakit. Luka dari orang yang dicintainya sendiri. Ariella... tak mengucap sepatah kata pun padanya sejak semalam. Bahkan setelah polisi menyelamatkan mereka dari penyerangan Isabella. Dia hanya memeluk perutnya dan menunduk, seakan ingin melindungi bayi itu... dari dirinya sendiri. Dan dari dirinya... Rigen Ataraka. "Aku harus tahu siapa yang bermain di balik semua ini," desisnya, meninju meja keras-keras. "Kalau aku tidak bisa lindungi Ariella... lalu siapa yang akan melindungi dirinya?" Ia membuka ponselnya. Menghubungi satu nomor lama—dokter prib
"Apa maksudmu...?" Suara Ariella terdengar nyaris patah, gemetar di udara dingin ruangan itu. Matanya bergeser ke lantai, ke benda kecil yang baru saja dilempar Isabella—flashdisk perak berukuran mungil, tapi terasa seperti bom waktu di tengah konflik ini. Isabella menatap puas. "Kamu tahu, Riel... kadang, kejujuran bisa jadi lebih menyakitkan daripada kebohongan. Dan sayangnya, aku tahu semuanya," ujarnya dengan nada mengejek. Rigen, yang masih berlutut dengan darah mengalir dari sudut bibirnya, menggeleng lemah. "Jangan percaya dia, Riel... Dia hanya ingin menghancurkan kita. Apa pun isinya, itu rekayasa—" "Cukup!" bentak Ariella, suaranya bergetar. Tangannya mengepal. "Aku... aku ingin tahu, Rigen. Tolong jangan hentikan aku." Setelah mengatakan hal itu, dia berjalan perlahan, lututnya nyaris lemas saat ia memungut flashdisk itu. Pandangan matanya tak lepas dari wajah Rigen yang tampak hancur—tak hanya karena luka di wajahnya, tapi karena luka yang mulai tu
Ariella menatap layar ponsel itu dalam diam.Gambarnya jelas.Wajah Rigen. Senyumnya yang hangat. Elisabeth di sampingnya, mengenakan mantel biru—mantel yang sangat ia kenal, karena itu adalah hadiah dari keluarga Ataraka beberapa bulan lalu. Dan di latar belakang…Langit senja.Restoran rooftop.Tanggal di metadata: dua malam lalu.Tepat di hari Rigen bilang ia ada rapat penting hingga larut malam.Ariella menggigit bibir. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena amarah dan luka yang menganga tanpa peringatan.“Satu hari saja untuk masa lalu?” ia berbisik.“Kalau kau masih butuh satu hari untuk dia... kenapa kau paksa aku jadi istrimu?”Drake yang sedari tadi berdiri di sampingnya, akhirnya angkat suara.“Riel... kamu yakin masih mau bertahan dalam hubungan ini?”Ariella tidak menjawab.“Kadang luka itu bukan karena kebohongan, tapi karena harapan yang dibunuh perlahan.”Ia menatap ponsel di tangannya lagi.Tapi detik berikutnya… matanya menyipit.Ada yang aneh.Ia memperbe
"Kenapa.... "Rigen menatap kosong ke cermin kamar mandi. Bajunya masih basah oleh hujan semalam. Rambutnya kusut, mata merah karena begadang—bukan karena kurang tidur, tapi karena tak ada satu pun kata dari Ariella.Ia telah menelepon. Berkali-kali.Tak dijawab.Pesan-pesan? Centang satu.Ia bahkan sempat menyuruh tim pengawalnya memeriksa seluruh sudut vila, tapi Ariella hanya meninggalkan satu kalimat pendek pada secarik kertas:[“Aku butuh waktu sendiri.”]Dan Rigen benci kalimat itu.Benci karena kalimat itu dingin. Jauh. Seperti tembok tinggi yang tak bisa ia tembus.“Kamu salah paham, Riel… tapi aku yang salah karena tidak menjelaskannya lebih dulu,” bisiknya, mengepalkan tangan. “Aku harus cari cara.”Ia keluar dari kamar. Langsung menuju ruang kerja. Mengabaikan para pengurus rumah yang menunduk gugup.Di atas meja, tergeletak satu benda penting:Cincin kawin Ariella.Rigen menatapnya lama.Ia tahu betul—Ariella tidak pernah melepas cincin itu, kecuali... hatinya benar-benar
Rumah Sakit Pusat Ataraka – Ruang Pemulihan Khusus Ariella terbangun dengan pelan. Sinar lampu redup menyapu wajahnya. Detak jantung monitor di sampingnya memetakan denyut kehidupannya yang perlahan stabil. Ia menoleh—dan mendapati kursi di samping tempat tidurnya kosong. "Rigen...?" bisiknya, matanya menyapu sekeliling ruangan. Tak ada siapa-siapa. Ia mencoba duduk, namun tubuhnya masih lemah. Tangannya menyentuh perutnya—masih ada kehidupan di dalam sana. Bayinya selamat. Tapi mengapa hatinya terasa hampa? Beberapa detik kemudian, pintu kamar terbuka. Ariella menoleh cepat—namun yang masuk adalah seorang perawat muda. "Suamiku... Rigen... dia di mana?" tanya Ariella lirih. Perawat itu terlihat ragu sejenak, sebelum menjawab pelan. "Tuan Rigen... pergi terburu-buru beberapa menit lalu. Kami dengar... ada serangan kedua." "Serangan...?" Ariella menegang. "Ke siapa?" Perawat itu terdiam, lalu menjawab tanpa melihat langsung ke mata Ariella. "Kabarnya... ke Nona Elisabeth.
"Ariella hilang dari ruang rawat."Kalimat itu terus menggema di kepala Rigen saat ia menginjak gas mobil sekuat tenaga. Sirine dari kendaraan pengawal di belakangnya meraung, menembus keheningan malam kota.Tangannya menggenggam setir begitu erat hingga buku-bukunya memutih. Wajahnya tegang, matanya fokus lurus ke depan."Jangan sampai terlambat... jangan sampai terlambat..." gumamnya berulang-ulang, seperti doa yang putus asa.Telepon di tangan kirinya masih tersambung. "Katakan lagi, apa yang terjadi di rumah sakit?"Suara dari ujung telepon panik."Kami masuk ke ruang rawatnya lima menit lalu... tapi tempat tidur kosong. CCTV di lorong utama rusak, dan satu-satunya saksi bilang melihat dua orang berseragam perawat mendorong ranjang keluar melalui lift servis!""ID mereka?""Tak terdaftar dalam sistem, Tuan Rigen. Ini... jelas perencanaan matang."Rigen mengumpat pelan, menekan tombol di dasbor mobil."Hubungi kepala keamanan. Tutup seluruh jalan keluar dari rumah sakit sampai pel