Share

369. Malam Panas

Author: Lil Seven
last update Last Updated: 2025-10-23 15:23:57

Penerbangan ke Milan berlangsung dalam diam.

Giovanni duduk di sisi jendela, earphone terpasang, wajahnya tampak tenang… tapi jari-jarinya mengetuk sandaran kursi dengan ritme tak beraturan — tanda jelas ia sedang menahan sesuatu.

Sementara Cia di sebelahnya sibuk pura-pura membaca dokumen kontrak. Padahal, matanya tidak benar-benar fokus.

Setiap kali Giovanni bergerak sedikit, aroma khas parfum maskulin yang tajam tapi hangat itu menyusup ke inderanya.

Membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari seharusnya.

“Berhenti gelisah,” ucap Giovanni tiba-tiba tanpa menoleh.

“Aku nggak gelisah,” jawab Cia cepat, refleks.

“Kamu bolak-balik halaman yang sama lima kali,” katanya santai, mata masih menatap ke luar jendela.

Cia mendengus pelan. “Kamu memperhatikan?”

Giovanni akhirnya menoleh, menatapnya dari atas ke bawah.

“Kalau kamu terus begitu, susah buat nggak memperhatikan.”

Wajah Cia langsung memanas. “Terserah kamu mau lihat apa. Aku tetap kerja profesional.”

“Profesional, tap
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   371. Permainan

    Pesawat pribadi Giovanni meluncur mulus di atas langit Eropa. Alicia duduk di kursi kulit putih di seberang Giovanni, dengan tablet di tangan dan wajah berusaha setenang mungkin. Tapi tentu saja, itu percuma. Sejak insiden makan malam itu, setiap kali pria itu menatapnya, Cia merasa tubuhnya otomatis siaga—antara ingin lari, dan ingin tetap di sana. “Berhenti gelisah,” suara Giovanni memecah keheningan. “Kau membuatku pusing.” Alicia menatap, kesal. “Aku nggak gelisah. Aku cuma—” “Bohong,” potong Giovanni dengan nada datar. “Kaki kananmu mengetuk lantai sejak lima menit lalu.” Alicia spontan berhenti. “Kau menghitung lagi, ya?” Giovanni menyandarkan punggung, senyum tipis muncul. “Aku selalu menghitung hal yang menarik perhatianku.” “Dan apa aku termasuk di dalamnya?” tanya Cia dengan nada sarkastik. Giovanni memiringkan kepala, tatapan matanya terlalu tajam. “Kau bahkan satu-satunya.” Alicia menelan ludah. Ia langsung menunduk, pura-pura fokus pada tablet. Tapi setiap deti

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   370. Cemburu!

    Langit sore di Milan mulai berubah jingga ketika Giovanni dan Alicia baru keluar dari ruang rapat. Presentasi berjalan mulus, klien puas, tapi suasana antara mereka jauh dari tenang. Alicia berjalan di belakang Giovanni, menatap punggung tegap pria itu yang tampak semakin menjauh setiap kali ia mencoba mendekat. Sejak insiden di restoran malam itu, Giovanni berubah. Ia tetap dingin, tetap profesional di depan orang lain—tapi setiap kali mata mereka bertemu, ada kilatan yang membuat jantung Alicia berdetak lebih cepat. “Kau akan diam terus begitu?” tanya Giovanni tiba-tiba tanpa menoleh, langkahnya tetap mantap menuju lift pribadi. Alicia menatapnya kaget. “Aku tidak tahu kau ingin bicara, Tuan Giovanni. Biasanya kau hanya—” “—memerintah?” potongnya dengan nada datar, tapi di ujung bibirnya terlukis senyum sinis yang terlalu singkat untuk ditangkap siapa pun selain Alicia. Dia menatapnya lama, seolah menantang. “Ya. Itu memang tugasku, kan? Memerintah sekretarisku.” Nada suarany

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   369. Malam Panas

    Penerbangan ke Milan berlangsung dalam diam. Giovanni duduk di sisi jendela, earphone terpasang, wajahnya tampak tenang… tapi jari-jarinya mengetuk sandaran kursi dengan ritme tak beraturan — tanda jelas ia sedang menahan sesuatu. Sementara Cia di sebelahnya sibuk pura-pura membaca dokumen kontrak. Padahal, matanya tidak benar-benar fokus. Setiap kali Giovanni bergerak sedikit, aroma khas parfum maskulin yang tajam tapi hangat itu menyusup ke inderanya. Membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari seharusnya. “Berhenti gelisah,” ucap Giovanni tiba-tiba tanpa menoleh. “Aku nggak gelisah,” jawab Cia cepat, refleks. “Kamu bolak-balik halaman yang sama lima kali,” katanya santai, mata masih menatap ke luar jendela. Cia mendengus pelan. “Kamu memperhatikan?” Giovanni akhirnya menoleh, menatapnya dari atas ke bawah. “Kalau kamu terus begitu, susah buat nggak memperhatikan.” Wajah Cia langsung memanas. “Terserah kamu mau lihat apa. Aku tetap kerja profesional.” “Profesional, tap

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   368. Tidak Bisa Pergi

    Sudah tiga hari Giovanni berusaha menjaga jarak. Tidak ada tatapan intens, tidak ada komentar sinis, bahkan tidak ada sapaan selain urusan kerja. Ia berbicara dengan Cia seperti berbicara dengan bawahan biasa. Dingin. Formal. Terukur. Dan entah kenapa… itu membuat Cia lebih gelisah daripada ketika pria itu bersikap terlalu dekat. “Dia lagi kenapa sih?” gumam Cia di ruang pantry, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Dari kaca, ia bisa melihat sosok Giovanni di ruangannya, berdiri tegak di depan jendela, tangannya di saku, seolah seluruh dunia ada di bawah kendalinya. “Dia cuek banget akhir-akhir ini,” tambah Cia, kali ini kepada rekan satu lantai yang sedang menyusun laporan. “Ya mungkin karena kamu sempat bikin scene waktu di hotel itu,” jawab rekan itu setengah bercanda. Cia mendengus pelan. “Dia yang mulai, kok aku yang disalahin?” Sebelum sempat membalas lagi, pintu lift berbunyi ting — dan Leonardo keluar dari sana, membawa seikat bunga putih. Cia hampir tersedak

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   367. CEO Bucin

    Giovanni menatap pantulan dirinya di dinding kaca ruang kerja. Setelan jas hitamnya masih rapi, dasinya masih terikat sempurna, tapi ada sesuatu di balik mata itu — sesuatu yang tak bisa lagi ia samarkan dengan logika atau gengsi. Sejak pertemuan dengan Leonardo Valez siang tadi, pikirannya tidak tenang. Bayangan tawa Alicia, cara perempuan itu menatap pria asing dengan mata berbinar, terus berputar di kepalanya seperti penghinaan yang halus tapi menyakitkan. Ia sudah berusaha menahan diri. Tapi yang tersisa sekarang hanyalah sisa kesabaran yang menipis seperti api yang kekurangan udara. “Kenapa aku masih peduli?” gumamnya, menekan pelipis dengan satu tangan. Telepon di meja berdering pelan. Giovanni melirik sekilas — nama di layar: Cia. Jari-jarinya berhenti di udara beberapa detik sebelum akhirnya ia menekan tombol jawab. “Kenapa?” suaranya datar, tapi ada nada dalam yang tak bisa disembunyikan. “Gio…” suara di seberang terdengar hati-hati, lembut tapi ragu. “Aku cuma mau

  • Gairah Berbahaya sang CEO: Ciumanku Membuatnya Bangun dari Koma   366. Benci Atau Butuh?

    “Aku bilang diam, Cia.” Nada Giovanni terdengar rendah, tajam, dan entah kenapa… bergetar di udara. Tatapannya menahan banyak hal — marah, cemburu, tapi juga sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Aku terpaku. Tangannya masih di sisi kursi, menjebakku di antara tubuhnya dan meja kaca itu. “Giovanni, kamu—” “Jangan panggil aku seperti itu,” potongnya cepat, suaranya pelan tapi menekan. “Kau tahu aku benci saat suaraku keluar dari bibirmu seperti itu.” “Lalu apa? Bos?” Aku mengangkat dagu, mencoba menutupi debar di dada. “Kau mau aku terus memanggilmu seperti bawahan?” Giovanni menyipit. “Kau selalu tahu cara memancingku, ya?” “Aku hanya jujur,” balasku, menahan napas saat tubuhnya sedikit condong ke depan. “Kau pikir aku takut?” Sekilas, sudut bibirnya terangkat — tapi itu bukan senyum lembut. Itu adalah tatapan seorang pria yang tahu ia berkuasa. “Tidak, Cia,” katanya pelan, hampir berbisik di dekat telingaku. “Kau tidak takut. Dan itulah masalahnya.” Aku bergeming. Napas kami h

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status