‘Pria sialan!’ Bella menggemeratakkan giginya dengan mengepalkan sebelah tangannya erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia memutuskan untuk kembali bergabung di tempat duduk sebelumnya, tepatnya di meja bar dan di sebelah Emma.
Suasana canggung karena kedatangan Glenn seketika terasa dan membuat semua menghentikan permainan. Apa yang baru saja terjadi merupakan sebuah pemandangan mengejutkan yang tidak pernah mereka lihat dari sosok Glenn sebelumnya. Sebagian wanita yang juga merupakan aktris yang terpilih membintangi film kini menatap kagum pada sosok Glenn.
Lain halnya dengan para wanita itu, Bella justru menatap Glenn dengan sorot mata tajam penuh kekesalan. Gadis itu menenggak wine dengan kasar, masih dengan tatapan membunuh yang tidak lepas dari lelaki itu.
"Hei hentikan! Apa kau ingin bunuh diri dengan minum sebanyak itu?" bisik Emma lirih pada sahabatnya.
"Diamlah kau, Emma! Aku ingin mencuci mulutku dari kotoran kecoak mesum yang tiba-tiba hinggap di mulutku," gumam Bella yang membuat semua yang duduk di meja seketika mendelik ke arahnya, kaget dengan pernyataan Bella yang begitu berani.
Emma kebingungan dan tersenyum kikuk, "Sepertinya dia sudah sangat mabuk. Aku akan segera mengantarnya pulang,” pamit Emma seraya membantu Bella berdiri dan segera undur diri.
Malam semakin pekat. Suhu yang mencapai minus tiga derajat celcius memberikan sensasi menusuk pada tulang mereka yang berada di luar rumah. Taksi yang sebelumnya membawa Bella dan Emma baru saja pergi lantaran jalanan menuju rumah Bella terlalu sempit dan hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki.
Sembari berjalan, Emma harus merangkul bahu Bella yang tengah mabuk berat. Gadis itu begitu berusaha keras karena tubuhnya yang kecil membopong tubuh Bella yang lebih tinggi darinya.
Dengan jalan sempoyongan, Bella bergumam sendiri sambil terus memaki Glenn tiada henti. Tanpa sungkan, Bella terus mengatakan bagaimana Glenn merupakan seekor kecoak mesum yang menjijikkan. “Karena kecoak itu bibirku sudah tidak suci lagi. Bagaimana dengan nasib pangeran berkuda putihku?! Kesucianku tak berhasil kupertahankan," Bella mulai merengek. Lalu, ekspresinya kembali terlihat marah. "Lihat saja, Glenn Lucas! Akan kupastikan untuk membalasmu!"
Emma menggeram rendah, merasa tubuh Bella sangat berat. "Ayolah, yang kau sebut kecoak adalah lelaki yang digilai para gadis di kota ini. Aku tidak yakin apa yang akan dilakukan para penggemarnya jika mendengarmu menyamakan idola mereka dengan seekor kecoak mesum. Apa kau tidak tahu bagaimana gilanya fans fanatik dari seorang Glenn Lucas?" Dia tak lagi tahan diam saja ketika mendengar celotehan Bella.
Mata Bella membesar, lalu memicing ke arah Emma. "Kenapa kau malah membela kecoak mesum itu? Apa kau lupa tentang pangeran berkuda putihku? Aku telah berjanji padanya! Namun, sekarang aku malah mengingkari janjinya.” Bella menghentikan kalimatnya sejenak sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya ke hadapan wajah Emma. “Dan, ini semua terjadi karenamu, Emma!"
Emma memutar bola matanya jengah. "Itu hanya mimpi Bella, apa yang bisa seorang pria dalam mimpi lakukan untukmu?” Dia melanjutkan, “Hadapi kenyataan! Sampai kapan kau akan terus menghindar dari seorang pria? Aku tidak ingin kau menjadi perawan tua dan tidak pernah berkencan selamanya.” Walau Emma tahu sahabatnya itu mungkin tak akan ingat ucapannya di esok hari, tapi di saat itu, yang dia inginkan adalah menasihati Bella.
Karena yang Bella lakukan setelah itu adalah menegur dirinya, Emma malas untuk melanjutkan percakapan lain. Tak akan ada yang beres ketika berhadapan dengan seorang mabuk.
Tak lama, Emma—dengan Bella dalam pelukannya—tiba di depan pekarangan rumah sederhana, tempat itu merupakan tempat tinggal Bella. Sudah lebih dari tiga kali Emma menekan tombol bel rumah seraya berdiri tepat di depan pagar. Namun, masih belum juga terdengar suara atau tanda-tanda dibukanya pagar oleh sang empu rumah yang berada di dalam.
Beberapa menit berselang, keluarlah seorang wanita bertubuh pendek, sedikit tambun, dan berambut keriting berwarna pirang. Wajah wanita itu mencerminkan usianya yang hampir mencapai setengah abad. Ia membuka pagar rumahnya sembari menautkan kedua alis kala menatap dua gadis yang sudah menggangu tidurnya dengan suara bel.
Hening, wanita itu tidak membuka suara. Sebaliknya, wanita paruh baya itu hanya menyilangkan kedua tangannya di depan dada seraya menampilkan raut wajah tidak suka.
"Selamat malam, Miss Dorothy," sapa Emma dengan menelan ludah susah payah.
"Ck, bawa dia masuk dan cepatlah pergi!" decak Miss Dorothy dengan wajah tidak acuh kemudian membalik tubuh dan melenggang pergi.
Ya, wanita itu dikenal dengan panggilan “Miss Dorothy”, bibi dari Bella. Akibat kecelakaan yang menyebabkan kematian kedua orang tuanya, sejak berusia sepuluh tahun Bella tinggal bersama Miss Dorothy dan sepupunya yang bernama Barbara. Walau mereka memiliki hubungan darah, tapi Bella tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari bibinya itu. Ia selalu diperlakukan tidak adil layaknya pembantu. Bahkan, ia juga harus menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari uang yang harus diberikan pada Miss Dorothy.
Menakjubkan bagaimana gadis itu masih bisa tumbuh dengan senyum ceria yang terus menempel di wajahnya.
Sesampainya di ruang tamu yang ada di dalam rumah, tampak seorang gadis cantik berambut hitam panjang dan sedikit bergelombang, memiliki tahi lalat kecil di atas bibir. Ia adalah Barbara, sepupu Bella. Terlihat gadis itu sedang bersantai sembari berbaring di atas sofa sambil memainkan telepon genggam miliknya.
Menyadari kedatangan Bella dan Emma, gadis itu mengalihkan pandangannya sejenak hanya untuk melemparkan tatapan sinis pada keduanya. Tatapannya sama persis dengan tatapan yang diperlihatkan Miss Dorothy sebelumnya, yaitu tatapan tidak suka.
Namun, Emma tidak menanggapi dan hanya mengembuskan napas panjang. Ia hanya ingin segera merebahkan tubuh Bella yang semakin lama semakin terasa berat di tubuhnya yang mungil. Emma sudah benar-benar merasa kelelahan.
Sesampainya di kamar berukuran kecil dan sederhana milik Bella, Emma segera merebahkan tubuh sahabatnya itu di kasur. "Apa berat badanmu bertambah? Kau harus menjaga berat badanmu sebagai seorang artis. Apa kau ingin terlihat seperti seekor piggie di layar televisi?" cecar Emma setelah berhasil merebahkan tubuh Bella.
Untuk membalas cecaran Emma, Bella hanya bisa meracau tidak jelas. “Aku seksi! Itu alasannya pangeran berkuda putih menyukaiku!” Matanya terpejam selagi tubuhnya telah memeluk guling kesayangannya.
Emma menggelengkan kepalanya, tahu bahwa setengah roh temannya itu telah tenggelam ke dunia mimpi. "Aku pulang dulu," ujar Emma seraya meraih tasnya dan berjalan ke arah pintu.
Masih dengan mata terpenjam, Bella membalas Emma, "Bye-bye, Emma. I love you, bestie!"
Emma yang sedang menggenggam kenop pintu tersenyum. Sebagai teman baik Bella, Emma tahu bagaimana gadis itu sangat menyayanginya. Sebaliknya, Emma juga demikian. Bella merupakan sahabat baik dan juga salah satu orang terpenting bagi Emma.
“Sampai berjumpa besok, Bestie.”
~~~
"Lady Bella! Tolong jangan berlari seperti itu! Anda bisa terjatuh!" teriak beberapa wanita yang tengah mengejar seorang gadis.
Beberapa wanita itu mengenakan pakaian serupa dayang-dayang dalam film kerajaan Eropa zaman dahulu. Di sisi lain, gadis yang sedang dikejar para pelayan tersebut mengenakan gaun mewah yang begitu cantik.
Mendengar teriakan pengejarnya, gadis bernama Bella itu menoleh ke belakang. Tunggu, wajah itu … bukankah itu Bella Marlene?!
Bella tidak menghentikan langkah kakinya seraya berteriak, “Tenanglah! Kalian pergi saja! Ayah tidak akan menghukumku karena aku berjanji tidak akan membuat masalah lagi!"
Tak peduli apa ucapan majikan muda mereka, para dayang tidak bersedia menyerah untuk mengejar Bella. Hingga akhirnya, gadis itu sampai pada jalan tembusan keluar kecil dari kediamannya. Pandangan mata Bella mengedar dengan kepala cecelingukan.
Bersamaan dengan itu, terdengar suara tapak kuda yang menggema dari arah hutan. Seorang pria yang wajahnya tidak seberapa jelas terlihat tengah menunggang kuda berwarna putih dan menghampiri Bella. Pria itu terbalut dengan jubah berwarna hitam dengan penutup kepala.
Melihat pria itu, Bella tersenyum lebar. “Pangeran!”
~~~
Alhamdulillah ... penulis dapat merampungkan cerita GCBT sesuai dengan plot yang sudah ada di dalam kepala. Bagaimana dengan endingnya? Maaf jika ending cerita ini cukup berbeda dengan kebanyakan novel yang diakhiri dengan ritual pernikahan, bulan madu, dan memiliki bayi. Kalian bisa mengimajinasikan kebahagiaan itu sendiri untuk kisah Bella dan Glenn yang sudah berakhir bahagia ️ Dan sesuai dengan janji penulis sebelumnya berkaitan dengan giveaway, penulis akan memilih satu dari komentar yang terbaik dan mendapat paket bingkisan dari penulis. Namun, penulis juga akan memberi hadiah transfer atau pulsa senilai @50.000 pada bebe
Langit malam seketika menyambut netra seorang gadis yang berada dalam gendongan pria yang dicintainya. Wajah gadis itu memucat dan tidak ada lagi semburat warna di wajahnya. Warna-warna itu telah pergi bersama dengan sebuah kehormatan yang dimiliki. Gadis itu adalah Bella yang hanya menunggu hitungan detik untuk kematiannya. Pandangan Bella yang mulai meremang berusaha menatap sayu pada ukiran wajah tampan pria yang dicintainya dari bawah sinar rembulan dan langit malam yang bertabur bintang. Sayangnya, jiwa gadis itu telah terbunuh sebelum belati tajam mengiris pembuluh darah arteri karotis di lehernya. Jika Tuhan memberikannya kesempatan, gadis itu ingin mengungkapkan rasa cintanya pada sosok pria tampan yang kini sedang ia lihat di bawah sinar rembulan, sosok pria yang selalu menjadi perisai di hidupnya, sosok pria yang tetap datang di saat-saat terakhir, dan sosok pria yang merupakan Pangeran berkuda putihnya. Namun, takdir berkata lain. Takdir itu
Pintu terbuka dengan suara nyaring karena terbentur dinding. Pangeran Glenrhys berdiri di ambang pintu dengan aroma kematian yang tersebar di wajah. Bella dapat melihat keterkejutan dan rasa sakit hati yang terpancar di riak-riak mata pria yang dicintainya tersebut. Tiba-tiba, Bella merasakan ujung pisau di lehernya. "Majulah selangkah dan kau akan melihat pisauku tertancap di leher wanitamu, Kakak." Pangeran Stefan tersenyum menyeringai dengan belati lipat di tangannya yang diarahkan di leher Bella. Pangeran Glenrhys membeku. "Apa yang kau inginkan, Stefan?" Suaranya tenang, tetapi terlihat betapa tajamnya tatapan Pangeran Glenrhys pada adik tirinya. Percayalah! Bella justru merasa ingin mengakhiri hidupnya saat ini juga. Rasa malu, trauma, hina, dan marah kini bergejolak dalam darahnya dan merasuk hingga tulangnya. Gadis itu tidak pernah menyangka jika seseorang yang ia cintai—Pangeran Glenrhys akan melihatnya dalam kondisi tanpa sehelai benan
✍️ Hallo, bab ini menurut penulis akan cukup dark. Jika tidak suka, bisa diskip meskipun bab ini cukup vital dan juga merupakan inti dari cerita. ~~~ Bella kembali membuka mata. Kedua tangan dan kakinya masih terikat dengan tali. Mulutnya juga tersumpal dengan kain. Masih terbalut gaun mewah dengan bawahan mengembang, wajah Bella sudah tampak lusuh meskipun kecantikanya masih tetap terlihat. Sudah berhari-hari Bella diculik dan disekap oleh Pangeran Stefan. Berkali-kali Pangeran gila itu menyatakan cinta dan berkali-kali pula Bella menolaknya dan meludah di wajah Pangeran tersebut. Bella berusaha membebaskan diri dari ikatannya, tetapi tak satupun ikatan itu mengendur. Gadis itu benar-benar ingin kabur dan melarikan diri dari Pangeran mengerikan yang terobsesi padanya. Saat masih berusaha melepas ikatan tali, tiba-tiba terdengar suara pintu berderit, pertanda seseorang telah membukanya. Sosok pria berdiri di ambang pintu. Ya, pria itu ad
Pangeran Glenrhys menaiki kereta kuda kala baru saja keluar dari kapal yang membawanya dari London. Pangeran itu menuju istana untuk bertemu dengan Ratu Cecilia. Turun dari kereta kuda, langkah Pangeran Glenrhys menyusuri taman istana barat untuk menuju aula Ratu.Hingga akhirnya, Pangeran itu telah tiba di depan pintu kamar Ratu. Jemari panjangnya mulai terulur dan membuka pintu ganda kamar yang seketika memperlihatkan seorang wanita yang sedang terbaring di atas tempat tidur.Pangeran Glenrhys melangkah mendekat, "Apakah kau sudah meminum obatmu?" Suara bariton yang terdengar begitu dalam keluar dari mulut Pangeran tersebut.Ratu Cecilia yang awalnya memejamkan mata mulai membuka kelopak mata yang dinaungi bulu mata lentik dan seketika memperlihatkan iris mata biru yang indah, mirip seperti iris mata milik Pangeran Glenrhys. Wanita cantik itu menarik sudut bibirnya dan tersenyum menatap sang putra yang tiba-tiba datang mengunjunginya."Obat
Secret~Seorang pria paruh baya berambut hitam panjang dan bertopi fedora memasuki salah satu ruang kamar yang berada di istana. Ia menunduk sopan kala berhadapan dengan seorang Pangeran yang duduk santai di peraduannya dengan sebatang cerutu di tangannya. Pria paruh baya itu adalah Pollux. Sedangkan Pangeran itu adalah Stefanus Aldrich."Dia sudah menyetujuinya, My Lord. Duchess Marimar bersedia berada di pihak kita. Semua rencana sudah kita bicarakan dan tinggal menunggu waktunya."Senyuman menyeringai tergambar di bibir Pangeran Stefan. Sebelah tangannya mulai mendekatkan sebatang cerutu di bibir merah mudanya. Menyesap sari pati tembakau, Pangeran itu mengembuskannya secara perlahan, "Bagus, Pollux. Aku sudah tidak sabar menunggu hari itu tiba. Aku tidak sabar bersama dengannya," desis Pangeran Stefan masih dengan senyuman menyeringai yang belum memudar.Hingga akhirnya, hari itu pun tiba. Hari di mana Enzo menjemput Bella yang sedang berada di markas