"Bertambah lagi?! Bagaimana bisa jumlah orang yang tertular masih terus bertambah? Sebenarnya apa saja kerjamu selama ini, Rudolf?!" Suara Aurora meninggi dengan rahang mengetat. Gadis itu sedang dipenuhi dengan gelora amarah. Ia kemudian berdesis rendah, "Kau benar-benar tidak becus!"
Rudolf menunduk dengan wajah memucat, "Sa-saya juga tidak tahu bagaimana bisa jadi seperti ini, Lady. Semuanya telah kita lakukan. Persembahan pada Dewa sekaligus membunuh mereka yang pendosa dan terkena wabah juga sudah kita lakukan."
"Lantas di mana letak kesalahannya, Rudolf?"
Rudolf yang sedang berdiri di hadapan Aurora dengan kepala menunduk hanya menggeleng, tanpa suara.
Sementara Aurora yang sedang duduk di kursi kayu mahoni seketika menghirup pipa panjang berisi tembakau masih dengan wajah mengetat. Setelahnya, gadis itu menyesap segelas bir untuk meredakan amarahnya, "Lalu, bagaimana dengan perkembangan di Desa Oldegloe?"
Rudolf mengangkat kepala masih denga
Aurora dan Rudolf melakukan observasi di rumah kesehatan yang berada di Desa Wolfoo. Puluhan ranjang di dalam rumah kesehatan itu sudah dipenuhi dengan penduduk yang terkena wabah. Bahkan, beberapa di antaranya merupakan Dokter istana yang juga ikut tertular. Hanya tersisa dua Dokter saja yang masih dapat bertugas. Sungguh kondisi yang cukup kacau dan memprihatinkan.Aurora yang berdiri di sebelah ranjang sedang memicing kala melihat kondisi seorang wanita tua yang tergeletak di atas ranjang tersebut. Dengan benjolan sebesar buah apel di lehernya serta kulit keriputnya yang sudah menghitam membuat Aurora bergidik ngeri. Aurora seketika menjadi mual dan berlari menjauh."Oh astaga, Rudolf! Semenjijikan inikah kondisi di sini? Mengapa orang-orang seperti itu masih dibiarkan hidup? Mengapa tidak langsung kita bunuh saja mereka?" cecar Aurora masih dengan wajah menahan mual. Gadis berambut pirang kemerahan itu memang baru kali ini berkunjung untuk melihat secara langsung k
Claude mendudukkan tubuh Bella di atas kursi kayu mahoni yang ada di kamar gadis tersebut. Sedangkan Bella kini terduduk dan sedikit meringis perih lantaran merasa nyeri pada permukaan kulitnya yang melepuh akibat tersiram teh panas yang memang disengaja oleh Beatrice.Claude mengambil sebuah kotak perkakas yang ada di dalam kamar tersebut. Kotak perkakas itu memang sengaja diletakkan di sana oleh Emma lantaran sebelumnya digunakan pelayan mungil itu untuk mengobati pelipis Bella.Kini, sebuah botol kecil telah berada di tangan Claude. Botol itu berisi ramuan salep yang biasa digunakan untuk kulit melepuh. Sering berada di medan perang, menjadikan sosok Pangeran yang sedang menyamar tersebut cukup mengenali jenis obat dan terbiasa mengobati lukanya sendiri.Claude menarik kursi kayu mahoni kosong yang ada di sebelah Bella. Pria itu membawanya hingga berada di depan gadis tersebut. Ia lantas mendudukkan tubuhnya di kursi itu hingga mereka berdua saling berhadapan
Bella mengernyit, 'Sesuatu yang kuminta?' Gadis itu bergeming untuk sepersekian detik hingga akhirnya ia tersadar jika Claude saat ini masih berada di dalam kamarnya dan sedang memandanginya. Bola mata gadis itu seketika membeliak dengan semburat merah yang kembali menyebar di wajah cantiknya."Emm ... sepertinya kau harus segera pergi, Claude," usir Bella dengan memalingkan wajah ke sembarang arah. Gadis itu mendadak menciut dan tidak berani menatap netra biru pria tersebut. Bella menjelma bagai seekor kucing kecil yang berusaha untuk kabur.Sedangkan Claude tersenyum tipis kala melihat ekspresi malu-malu kucing seorang gadis di hadapannya yang begitu kentara. Pria itu kemudian beranjak berdiri dari kursi kayu mahoni yang ia duduki. Ia berjalan ke arah gadis yang sedang salah tingkah untuk berbisik lirih di daun telinganya, "Tujuh ... kau mendapat nilai tujuh dari sepuluh," ujarnya dengan tersenyum menyeringai kemudian berjalan pergi.Bagai kilatan petir
"Jadi, apa rencanamu?" Beatrice terlihat cukup penasaran dan meloloskan keingintahuannya kepada Aurora.Aurora tersenyum simpul, "Kemarilah! Ikut denganku dan aku akan menunjukkanmu."Mendengar hal itu, Beatrice masih menampakkan guratan keraguan. Gadis itu menimang-nimang dalam hati. Apakah ia harus benar-benar ikut dan menyetujui? Hingga akhirnya, gadis berambut emas itu pun menyetujuinya. Ya, ia mengenyahkan segala rasa kemanusiaan yang ada.Di dalam kamar Aurora, Beatrice terduduk di atas kursi yang ada di dalam kamar tersebut. Sementara Aurora duduk dengan menyesap wine di sebelah tangannya. Tidak lupa ia juga menyuguhkan wine tersebut kepada Beatrice. Sedangkan Adik perempuan bontot dari Duke Arandel itu hanya menghela napas jengah."Sudahi basa-basi ini, Lady. Jadi, apa rencanamu?" Beatrice tampak tidak sabar.Aurora tersenyum tipis, "Kau terlalu terburu-buru, Lady. Bukankah kita harus menjalin keakraban terlebih dulu sebelum bekerja sama?"
~Dear, Bella My Sweet heart.Ibu baik-baik saja dan Ibu juga sangat merindukanmu, Nak. Kau tidak perlu mengkhawatirkan Ibu. Jagalah kesehatanmu! Kau adalah putri Ibu yang sangat Ibu cintai. Untuk itu, Ibu akan menunggumu di taman Oldegloe besok kala malam tiba. Ibu akan menyuruh pelayan untuk memberikan sesuatu padamu karena Ibu tidak bisa pergi ke mana pun. Dan, ingatlah untuk pergi sendirian, Sayang. Jangan mengajak siapapun karena Ibu tidak ingin kau mendapat masalah jika ada yang melihat. Ibu tidak ingin kau dianggap curang dalam misi pelatihan."~Selalu mencintaimu, Liliana.Netra cokelat Bela mengernyit melihat sebuah tulisan yang sedikit berbeda di pertengahan kalimat. Bella tahu jika ibunya hanya bisa berbaring dan surat itu ditulis oleh pelayannya. Namun, Bella tahu betul jika tulisan tangan pelayan itu terlihat sedikit berbeda di pertengahan kalimat. Sebab, isi sesungguhnya adalah Liliana yang menunggunya di rumah. Bukan di taman Oldegloe.
Bella segera berjalan ke arah pria bertubuh tambun yang sedang menunggunya. Sedangkan Claude masih berada di tempatnya dan menatap gadis itu dari kejauhan. Dan kini, Bella telah berdiri tepat di belakang sosok si pria tambun tersebut.Bella sedikit berdeham untuk menunjukkan keberadaannya. Sang pria itu pun sontak membalik tubuh dan menatap Bella. Di detik berikutnya, pria itu memberikan salam dengan sopan, "Selamat malam, Lady. Saya adalah Justin, seorang pelayan baru di kediaman Duke Marthin."Bella menarik sudut bibirnya dan tersenyum, "Apa kau diberi perintah oleh ibuku untuk datang ke mari?"Justin mengangguk, "Benar, Lady.""Jadi, apa yang ingin kau tunjukkan padaku saat ini?" Bella memiringkan sedikit kepala dengan seraut wajah datar.Justin menggeleng, "Bukan di sini, Lady. Saya akan membawa Anda ke suatu tempat sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Ibu Anda."Bella mengernyitkan dahi, "Ke suatu tempat?""Benar, Lady
Kedua kelopak mata yang dinaungi bulu mata lentik perlahan terbuka hingga menampakkan keindahan mata berwarna cokelat madu Bella. Namun, kilatan tercengang seketika tersebar di kedua mata tersebut. Bella mengernyit mendapati tubuhnya yang didudukkan di sebuah bangku kayu dengan kedua tangan terikat di bagian belakang sandaran bangku serta kedua kaki yang juga terikat di bawah sana.Bella kembali terkesiap kala melihat di bagian bawah kakinya sudah tertata cukup banyak kayu bakar seolah tubuhnya sedang dipersiapkan untuk dibakar hidup-hidup. Mengalihkan pandangan ke depan, Bella mengedarkan pandangan dan menatap banyak orang yang sudah berdiri dan mengelilinginya.Dengan pakaian bergaya renaisans klasik, mereka yang terdiri dari pria dewasa, remaja, bahkan ibu-ibu yang membawa anaknya sedang fokus menatap Bella dengan seraut wajah penuh amarah. Lebih parahnya lagi, di tangan mereka sudah dipenuhi dengan batu bahkan balok kayu. Bella mengingat dengan jelas jika mereka ad
Bella masih menatap sosok Pangeran berkuda putih itu dengan lekat. Begitu juga dengan Claude yang kini hanya mengarahkan netra birunya pada Bella. Pangeran itu beranjak turun dari kuda. Kedua kakinya menapak di tanah dan melewati mereka yang masih bersujud seakan menyembah di kakinya.Langkah kaki jenjang Pangeran itu tertuju pada seorang gadis yang terkulai lemah tidak berdaya, yaitu Bella. Sedangkan Bella yang menatap sosok itu berjalan ke arahnya, merasa hatinya seketika menghangat.Kekalutan dan ketakutan yang sebelumnya Bella rasakan kala nyawanya berada di ujung tanduk seketika menenang dengan gelenyar yang sungguh tidak dapat terlukiskan. Untuk yang kesekian kalinya, pria itu datang dan menolongnya. Bella tidak pernah menyangka jika sosok yang selalu menolongnya dan menjadi perisainya selama ini adalah pria yang ia benci, Pangeran Neraka.Melipat sebelah kaki, Claude menyejajarkan tubuh di hadapan Bella. Tanpa sepatah kata, pria itu melepaskan