“Mengapa kau menyandingkan dua potret ini berdampingan? Apakah kau ingin mengatakan kepadaku, kalau usia anakmu jauh lebih lama berada dalam kandungan tunanganmu, dibandingkan anakku?” Tanya Karin lirih. Hatinya merasa sakit melihat kedua potret tersebut. Tidakkah Ryan sadar dengan apa yang dilakukannya? Mengapa ia begitu tega. Ryan meraih jemari Karin bermaksud untuk menenangkan wanitanya tersebut. Namun, Karin menepis dengan kasar tangan Ryan. “Bukankah kita akan terbuka dan bersama memecahkan masalah! Baiklah, aku akan mengatakan kepadamu mengapa aku meletakkan potret itu secara bersamaan.” Ryan sedikit kecewa, karena Karin menolak dirinya. Walaupun demikian ia merasa ada harapan, karena Karin tampak mendengarkan apa yang dikatakannya. “Aku melakukannya, karena aku ingin kau mengetahui, bahwa pernah hadir dua buah hati yang sama-sama kucintai, meskipun mereka berasal dari Ibu yang berbeda.” Ditatap
“Ibu, kau mengejutkan kami! Apakah kau tidak ingin menyapa kami dengan hangat?” Tanya Ryan. Ibu Ryan memberikan senyuman hangat untuk Ryan, tetapi ia menatap curiga kepada Karin. Melihat sorot mata Ibunya yang tampak tidak suka melihat Karin, Ryan meminta kepada Ibunya, agar mereka berbicara di dalam saja, sambil duduk santai. Dengan anggun Ibu Ryan memutar badan, lalu berjalan masuk ke rumah diikuti oleh Ryan dan Karin. Mereka semua pun duduk dengan nyaman di sofa ruang tamu rumah tersebut. Seorang pelayan datang menghampiri, dengan membawa sebuah baki yang berisikan minuman juga kue, kemudian pelayan itu pergi meninggalkan ruangan tersebut. “Katakan Ryan ada perlu apa kamu mengatakan datang mengunjungi Ibu?” Tanya Ibu Ryan. Ryan meraih jemari Karin yang tersemat cincin pertungan darinya. “Aku akan menikah dengan Karin!” Mata Ibu Ryan melotot ia merasa tidak yakin dengan apa yang didengarnya. “Katakan
“Maaf, Tuan Ryan! Seperti yang Anda baca begitulah hasil pemeriksaan dari kesuburan Tuan! Ternyata benturan yang tuan alami berpengaruh terhadap kesuburan Tuan,” ucap dokter tersebut. Lebih lanjut lagi dokter itu mengatakan, kalau Ryan sangat kecil kemungkinannya bagi Patrick untuk bisa membuat pasangannya menjadi hamil. Karin yang duduk di samping Ryan menjadi terdiam. Ia urung membaca hasil tes miliknya. Pada saat tangannya hendak meraih tangan Ryan, pria itu menepisnya dengan pelan serayang mnyunggingkan senyum yang tampak sedih. “Kau langsung saja ke kantor aku ingin sendirian dahulu! Nanti kita bertemu di apartemen, setelah aku merasa lebih tenang.” Tidak menunggu jawaban dari Karin, Ryan berjalan keluar dari ruangan dokter tersebut. Karin meminta maaf, kepada dokter yang memeriksa mereka atas sikap kasar Patrick yang pergi begitu saja. Setelahnya ia keluar dari ruangan dokter tersebut dengan perasaan tidak
'Astaga! Sudah jam berapa ini? Aku bisa terlambat menghadiri wawancara kerja hari ini. Bagaimana aku akan diterima bekerja, kalau untuk menghadiri wawancara kerja saja aku sampai datang terlambat,' batin Karin. Ia pun bergegas menuju kamar mandi, lalu mandi di bawah air pancuran. Selesai mandi Karin pun mengambil kemeja berwarna putih dan rok dengan panjang di atas lutut. Ia lalu mematut dirinya di depan cermin besar, yang ada di dalam kamarnya. Ia hanya mengenakan make up tipis dan lip tint, agar wajahnya tidak terlihat pucat. Selesai sarapan, dengan menyandang tas kecil di pundaknya. Karin pun berjalan ke luar dari apartemennya menuju ke halte bis. Tak lama berselang, bis yang ditunggunya datang. Karin pun duduk di dalam bis dengan perasaan yang tegang dan gugup. Hari ini ia akan menjalani wawancara, untuk lowongan sebagai sekretaris yang dilamarnya. Sesekali ia melihat jam tangannya, untuk memastikan ia tidak datang terlambat. Begitu bis yang ditumpanginya berhenti di halte, yan
“Apa maksud bapak berkata seperti itu? Saya benar-benar hanya menginginkan pekerjaan menjadi sekretaris bapak dan bukannya yang lain. Saya tidak akan merendahkan diri saya, hanya agar supaya diterima bekerja," ucap Karin dengan tegas. Ia tidak mau, kalau dirinya sampai dianggap sebagai seorang wanita yang mudah dirayu demi uang dan jabatan. Ryan menyunggingkan senyum sinis ke arah Karin. “Mengapa saya tidak percaya dengan apa yang kamu katakan! Saya merasa ada yang kamu sembunyikan dari saya.” Ia lalu merendahkan badan nya, hingga wajahnya sejajar dengan wajah Karin. Bahkan, hembusan napas keduanya terasa. Karin menjadi semakin gugup, ditambah tatapan mata Ryan yang begitu tajam dan membius dirinya. Tatapan mata, yang seakan ingin menga mjaknya pergi ke tempat tidur. “Bapak mungkin tidak percaya dengan apa yang saya katakan, karena pengalaman bapak sebelumnya. Namun, saya tidak berbohong dengan apa yang saya katakan tadi.” Karin mencoba untuk mendorong Ryan menjauh, meskipun kesanny
“Nanti, kalau kamu ke luar dari sini. Pergilah ke ruangan yang ada di seberang lift. Katakan kepada wanita yang berada di ruangan itu, kalau kamu diterima untuk bekerja di sini.” Dengan dingin Ryan mempersilakan kepada Karin untuk keluar dari ruangannya, tanpa melihat ke arahnya, seakan sudah tidak sabar Karin keluar dari ruangannya. Karin yang sudah hendak ke luar dari ruangan Ryan, membalikkan badannya. “Baik, pak! akan saya katakan.” Ke luar dari ruangan Ryan, Karin langsung menuju ruangan yang tadi dikatakan oleh bosnya. Berdiri di depan pintu yang terlihat kokoh, Karin pun mengetuk pintu tersebut. Setelah dipersilakan untuk masuk, barulah ia membuka pintu tersebut. Karin duduk di hadapan seorang wanita dengan penampilan rapi dan kaku. Ia menatap menyelidik ke arah Karin. “Siang, bu! Nama saya Karin dan saya disuruh oleh pak Ryan untuk melapor kepada ibu, kalau saya sekarang sudah menjadi sekretarisnya,” terang Karin.
'Syukurlah aku tidak bangun kesiangan, walaupun aku semalaman menangis karena teringat dengan almarhumah Ibuku, tetapi mengapa tadi malam aku bermimpi tentang pria yang seharusnya kupanggil Ayah? Apakah ini merupakan pertanda, kalau pria itu sebenarnya mencariku? Kenangan masa lalu yang coba kusimpan rapat kini kembali hadir semenjak aku menjadi sekretaris Ryan,' batin Karin. Dirinya langsung saja menyalakan oven dan memanggang roti di dalamnya. Ia lalu mengoles roti tersebut dengan selai kacang dan sesudahnya menyantapnya dengan nikmat. Dilihatnya jam tangan sudah menunjukkan pukul 07.15 pagi. Masih ada waktu setengah jam baginya untuk sampai ke kantor. Selesai sarapan, dengan terburu-buru Karin ke luar dari apartemennya. Ia pun berjalan menuju halte bis dan ia tidak menunggu lama. Bis yang menuju ke tempat kerjanya datang, lalu berhenti di depan halte tempatnya duduk. Dirinya pun memilih duduk di bagian tengah yang masih kosong. Sesekali ia meli
“Terima kasih, atas tawaran bapak. Namun, saya lebih suka untuk berganti pakaian di toilet karyawan saja, pak!” sahut Karin, sambil berlalu pergi dari ruangan Ryan. Mana mungkin ia berani berganti pakaian di kamar mandi bosnya. Terlebih lagi, dengan bosnya yang secara terang-terangan coba merayunya. Ryan berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat ke tempat Karin berdiri. Ia lalu berkata dengan suara pelan. “Apakah kau berani mengambil kunci ini, agar bisa ke luar dari ruanganku?” Karin memejamkan kedua matanya, ditariknya napas dalam-dalam. Rasanya ia hendak memaki bos nya ini, yang sudah membuat dirinya menjadi seakan terkurung di kndang Singa. Dittadahkannya tangannya ke arah Ryan. “Tolong berikan kunci pintunya, pak!” Ryan justru meraih jemari Karin dan meletakkan tepat di saku kemeja yang dikenakannya. “Aku tidak melarangmu, untuk mengambilnya secara langsung. Hanya saja ada syaratnya, kalau kamu mau aku yang menyerah