Karin duduk gelisah di bawah tatapan tajam pria yang akan menjadi bosnya, kalau ia lolos dalam wawancara kerja ini. Ryan menatap dengan penuh minat kepada wanita, yang melamar menjadi sekretarisnya. Entah mengapa ia merasa, kalau wajah wanita itu mengingatkannya akan seseorang. Didekatinya wanita muda yang terlihat gugup tersebut dan ditanyakannya, apakah mereka pernah bertemu sebelumnya? Dengan gugup wanita itu menjawab, kalau mereka sama sekali belum pernah bertemu sebelumnya. Ryan merasakan ada getaran yang begitu kuat di antara dirinya, dengan calon sekretarisnya itu. Getaran yang membuatnya merasakan gairah dan ketertarikan kepada wanita itu. Hanya saja Ryan tidak mengetahui, apakah rasa tertarik itu hanya sementara saja, sama seperti barisan mantan kekasihnya, ataukah untuk selamanya. Karin menanti dengan gelisah, apakah ia akan diterima sebagai sekretaris dari pria yang membuat jantungnya berdebar kencang, karena ia sangat membutuhkan pekerjaan itu.
Lihat lebih banyak'Astaga! Sudah jam berapa ini? Aku bisa terlambat menghadiri wawancara kerja hari ini. Bagaimana aku akan diterima bekerja, kalau untuk menghadiri wawancara kerja saja aku sampai datang terlambat,' batin Karin.
Ia pun bergegas menuju kamar mandi, lalu mandi di bawah air pancuran. Selesai mandi Karin pun mengambil kemeja berwarna putih dan rok dengan panjang di atas lutut. Ia lalu mematut dirinya di depan cermin besar, yang ada di dalam kamarnya. Ia hanya mengenakan make up tipis dan lip tint, agar wajahnya tidak terlihat pucat.
Selesai sarapan, dengan menyandang tas kecil di pundaknya. Karin pun berjalan ke luar dari apartemennya menuju ke halte bis.
Tak lama berselang, bis yang ditunggunya datang. Karin pun duduk di dalam bis dengan perasaan yang tegang dan gugup. Hari ini ia akan menjalani wawancara, untuk lowongan sebagai sekretaris yang dilamarnya. Sesekali ia melihat jam tangannya, untuk memastikan ia tidak datang terlambat.
Begitu bis yang ditumpanginya berhenti di halte, yang letaknya tidak jauh dari perusahaan yang akan ditujunya. Rasa lega, menghinggapi hati Karin, karena ia tidak terlambat. Masih ada waktu baginya, untuk bersiap nantinya sebelum menjalani wawancara.
Ia terlalu bersemangat, dengan wawancara yang akan dijalaninya pada hari ini. Ada harapan besar, yang ia inginkan dari wawancaranya nanti. ‘Aku harus mendapatkan pekerjaan itu, karena ini bisa jadi merupakan jawaban dari masalahku selama ini,’ gumam Karin dalam hati.
Dengan terburu-buru, Karin keluar dari dalam bis dan berjalan cepat menuju gedung tempatnya akan menjalani wawancara. Sesampainya di dalam gedung tersebut Karin pun bertanya, di mana ruangan pimpinan tersebut berada.
Menurut informasi yang didapatnya ia akan menjalani wawancara langsung, dengan sang pimpinan perusahaan tersebut. Duduk di depan ruangan dengan dinding yang di car warna putih, rasa gugup itu semakin terasa.
Sebuah suara terdengar menyebut namanya dan mempersilakan kepadanya untuk masuk ke dalam ruangan, yang pintunya tertutup rapat.
"Nona Karin Arvantie?" panggil seorang wanita yang mengenakan setelan profesional. Ekspresi jutek terpasang di wajahnya, membuat jantung Karin berdegup kencang ketika dipanggil. "Giliranmu," ucapnya saat menangkap keberadaan orang yang dipanggil.
Karin pun berdiri dari kursinya dan melangkah masuk ke dalam ruangan. Bulir-bulir keringat menghiasi dahi Karin, menunjukkan jelas kegugupannya menghadapi wawancara kerja yang segera menantinya. Ini merupakan pengalaman pertama Karin menjalani wawancara pekerjaan.
Diabaikannya sorot tatapan tidak suka dari wanita itu, ia akan menghindari wanita dengan raut wajah jutek, yang dengan jelas memperlihatkan aura tidak suka kepadanya. Diketuknya pintu yang tertutup rapat di depannya dan setelah dipersilakan masuk ia pun membuka pintu tersebut.
Saat masuk ke dalam ruangan, pandangan Karin terarah pada seorang pria yang terduduk di depan sebuah meja dengan kertas menutupi wajahnya. Rambut hitam pria itu ditarik ke belakang, terlihat sangat rapi. Tubuhnya yang dibalut kemeja putih tetap kentara kekar di mata Karin, terlebih karena lengan kemeja itu digulung mencapai siku. Dengan dua kancing kemeja bagian atas yang dibuka dan memperlihatkan sedikit rambut di dadanya.
"Permisi, Pak," panggil Karin sembari berdiri di sebelah kursi yang disediakan untuknya, tidak berani duduk sebelum dipersilakan.
Mendengar suara wanita tersebut, pria di hadapan pun menurunkan kertas yang sedang dia pegang. Detik itu, juga Karin membeku. Jantungnya langsung berdetak kencang, berhadapan dengan wajah tampan.
Tatapan tajam yang diberikan netra hitam itu begitu menghanyutkan. Ditambah guratan alis tebal dan rahang tegas, wajah pria tersebut patut Karin akui sebagai pria tertampan yang pernah dia lihat secara langsung. Bahkan, bila Karin menonton televisi pun, sepertinya agak sulit menemukan pria setampan itu!
"Duduk." Suara dalam pria tersebut menggetarkan hati Karin, membuat wanita itu tanpa berpikir langsung bertindak sesuai arah. "Perkenalkan dirimu," titahnya tegas, membuat Karin entah kenapa merasa sedikit jengkel.
'Dia ... belum memperkenalkan diri, 'kan?' batin Karin.
Memang, tanpa diberi tahu, Karin sebenarnya sudah bisa menebak siapa pria di hadapannya. Pria itu tidak lain adalah Ryan Atmaja, CEO Atmaja Corp. yang sedang mencari seorang sekretaris, pekerjaan yang sedang Karin incar. Rumor mengatakan bahwa pria itu memang sangat tampan, tapi juga dingin dan kejam. Itulah alasan kenapa tidak ada sekretaris pribadi yang bertahan bekerja untuknya lebih dari tiga bulan.
Ah, Karin lupa. Tidak hanya itu, pria tersebut juga sering dikabarkan sebagai seorang playboy yang senang mempermainkan wanita.
Namun, bahkan dengan rumor dan berita-berita tentang Ryan, masih banyak wanita yang bersedia mencoba menjadi sekretaris pribadi pria tersebut. Lagi pula, bayaran dan benefit yang ditawarkan sangatlah menggiurkan!
Sebelum melamun terlalu lama, Karin pun langsung memperkenalkan dirinya, "Nama saya Karin Arvantie, saya merupakan lulusan universitas ternama di kota ini dengan predikat cumlaude."
Selagi Karin memperkenalkan dirinya, wanita itu merasa netra hitam tersebut tidak berpindah dari wajahnya. Ada sesuatu dari pandangan Ryan yang membuat darah Karin berdesir. Namun, wanita itu berusaha untuk tetap tenang dan profesional, menunjukkan sisi terbaiknya agar bisa mendapatkan posisi yang dia inginkan itu.
‘Kenapa ia terus menatapku dan membuatku menjadi resah? Apakah ada yang salah dengan penampilanku? Seharusnya tadi aku mematut diriku dahulu di dalam toilet, sebelum masuk ke dalam ruangan ini,’ gumam Karin dalam hatinya.
Selesai memperkenalkan diri, Karin terkejut dengan pertanyaan yang terlontar dari bibir Ryan. “Apakah kita pernah bertemu?" Dengan manik terpaku pada sosok Karin, Ryan menambahkan, "Wajahmu terlihat tidak asing di mataku?”
'Apa ini ... cara baru untuk merayu wanita?' batin Karin dalam hati, teringat rumor bahwa pria di depan adalah seorang playboy. Karena ditatap dengan tajam dan begitu intens oleh Ryan, dia mengepalkan tangannya untuk menahan kegugupannya. Hanya dengan sebuah senyuman tipis, wanita itu pun membalas, "Kalau kita pernah bertemu, saya rasa saya tidak akan melupakan pria seperti Anda, Pak.”
Ryan berdiri dari kursinya, mengitari meja sebelum akhirnya bersandar di sana. Dua tangan terlipat di depan dada, sebuah senyuman terlukis di bibirnya. "Pintar menyanjung," balasnya, entah itu sindiran atau pujian. "Apa yang membuatmu melamar ke perusahaanku?"
Pertanyaan Ryan membuat Karin menggigit bibir, sedikit kesulitan dengan pertanyaan yang diajukan. Namun, dengan cepat wanita itu menjawab, "Pengalaman, gaji, dan juga jenjang karir. Saya yakin Atmaja Corp. adalah tempat yang tepat untuk mendapatkan yang terbaik untuk tiga hal tersebut."
Netra Ryan terarah pada bibir Karin yang memerah karena sempat digigit. "Begitukah?" Pria itu berjalan menghampiri wanita di kursi itu, menyebabkan senyuman profesional Karin sedikit bergetar dan tubuhnya menempel pada sandaran kursi. Dengan dua tangannya mendarat di tanganan kursi Karin dan wajah hanya berjarak beberapa inci dari wajah wanita tersebut, sudut bibir Ryan pun terangkat. "Apa kamu yakin kamu kemari bukan karena diriku?"
“Maaf, Tuan Ryan! Seperti yang Anda baca begitulah hasil pemeriksaan dari kesuburan Tuan! Ternyata benturan yang tuan alami berpengaruh terhadap kesuburan Tuan,” ucap dokter tersebut. Lebih lanjut lagi dokter itu mengatakan, kalau Ryan sangat kecil kemungkinannya bagi Patrick untuk bisa membuat pasangannya menjadi hamil. Karin yang duduk di samping Ryan menjadi terdiam. Ia urung membaca hasil tes miliknya. Pada saat tangannya hendak meraih tangan Ryan, pria itu menepisnya dengan pelan serayang mnyunggingkan senyum yang tampak sedih. “Kau langsung saja ke kantor aku ingin sendirian dahulu! Nanti kita bertemu di apartemen, setelah aku merasa lebih tenang.” Tidak menunggu jawaban dari Karin, Ryan berjalan keluar dari ruangan dokter tersebut. Karin meminta maaf, kepada dokter yang memeriksa mereka atas sikap kasar Patrick yang pergi begitu saja. Setelahnya ia keluar dari ruangan dokter tersebut dengan perasaan tidak
“Ibu, kau mengejutkan kami! Apakah kau tidak ingin menyapa kami dengan hangat?” Tanya Ryan. Ibu Ryan memberikan senyuman hangat untuk Ryan, tetapi ia menatap curiga kepada Karin. Melihat sorot mata Ibunya yang tampak tidak suka melihat Karin, Ryan meminta kepada Ibunya, agar mereka berbicara di dalam saja, sambil duduk santai. Dengan anggun Ibu Ryan memutar badan, lalu berjalan masuk ke rumah diikuti oleh Ryan dan Karin. Mereka semua pun duduk dengan nyaman di sofa ruang tamu rumah tersebut. Seorang pelayan datang menghampiri, dengan membawa sebuah baki yang berisikan minuman juga kue, kemudian pelayan itu pergi meninggalkan ruangan tersebut. “Katakan Ryan ada perlu apa kamu mengatakan datang mengunjungi Ibu?” Tanya Ibu Ryan. Ryan meraih jemari Karin yang tersemat cincin pertungan darinya. “Aku akan menikah dengan Karin!” Mata Ibu Ryan melotot ia merasa tidak yakin dengan apa yang didengarnya. “Katakan
“Mengapa kau menyandingkan dua potret ini berdampingan? Apakah kau ingin mengatakan kepadaku, kalau usia anakmu jauh lebih lama berada dalam kandungan tunanganmu, dibandingkan anakku?” Tanya Karin lirih. Hatinya merasa sakit melihat kedua potret tersebut. Tidakkah Ryan sadar dengan apa yang dilakukannya? Mengapa ia begitu tega. Ryan meraih jemari Karin bermaksud untuk menenangkan wanitanya tersebut. Namun, Karin menepis dengan kasar tangan Ryan. “Bukankah kita akan terbuka dan bersama memecahkan masalah! Baiklah, aku akan mengatakan kepadamu mengapa aku meletakkan potret itu secara bersamaan.” Ryan sedikit kecewa, karena Karin menolak dirinya. Walaupun demikian ia merasa ada harapan, karena Karin tampak mendengarkan apa yang dikatakannya. “Aku melakukannya, karena aku ingin kau mengetahui, bahwa pernah hadir dua buah hati yang sama-sama kucintai, meskipun mereka berasal dari Ibu yang berbeda.” Ditatap
“Kalau begitu, katakan kepadaku, apakah semua yang barusan kau katakan benar?” Tanya Karin dengan dada yang terasa sakit. Ryan tersenyum mengejek ke arah Karin dengan dingin ia berkata, “Terserah apa yang kau pikirkan saja, karena aku jujur pun tidak kau percaya!” Ia berjalan meninggalkan Karin, tetapi Karin dengan cepat menarik tangannya. Ia meminta kepada Ryan untuk tidak pergi dahulu, sebelum masalah mereka tuntas. Dijawab Ryan dengan perkataan, kalau dirinya memerlukan udara segar, biar bisa berfikir dengan jernih. Karin mengatakan, kalau ia akan ikut menemani Ryan. Dan, kalau Ryan menginginkannya untuk diam ia akan melakukannya. Jawaban yang diberikan Ryan hanya anggukan kepala saja. Ia terus berjalan, tetapi berhenti sebentar untuk mengambil jaketnya dan Karin dari gantungan baju. Ketika Karin berada dekat dengannya ia memasangkan jaket tersebut ke badan Karin, setelahnya ia meneruskan langkahnya
“Kau mengejutkanku! Aku hanya ingin menuntaskan apa yang menurutku menjadi ganjalan dalam hubungan kita!” sahut Karin lemah. Kepalanya menunduk ke bawah, karena merasa bersalah sudah mengkhianati kepercayaan dari Ryan, yang baru saja mereka bangun. Terdengar suara helaan napas Ryan berat, Karin pun memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan ia menyesal sudah datang ke sini tanpa memberitahu Ryan. Ia bisa melihat dengan jelas kekecewaan di mata Ryan. Setelah selama beberapa saat tidak ada yang membuka suara Ryan memecah keheningan itu. “Kau sadar bukan, kalau yang kau lakukan itu membuat apa yang coba kita perbaiki menjadi rusak!” Dengan ragu-ragu Karin menyentuh tangan Ryan. Ia meminta maaf, sudah membuat pria itu merasa sedih dengan datang kembali ke pemakaman orang-orang yang pernah ia cintai dalam hidupnya. Dengan kasar Ryan melepas tangan Karin dari tangannya. Ia lalu berjalan memasuki areal pemakaman terse
“Untuk apa, kau mencari tahu tentang seseorang yang sudah lama terkubur?” Tanya Luke. Ia pun duduk di atas tempat tidurnya. Karin mengatakan, kalau ia hanya ingin mengunjunginya saja. Ia ingin meletakkan bunga di nisan tersebut, karena Ryan pernah mengatakan di sana juga anaknya dikuburkan. Terdengar suara tarikan napas di ujung sambungan telepon, juga selimut yang disibak. Setelah diam selama beberapa saat Luke, kemudian mengatakan di mana letak makam tersebut. Ucapan terima kasih langsung saja terlontar dari bibir Karin. Sekarang ia hanya mencari waktu yang tepat saja, untuk pergi ke sana tanpa sepengetahuan Ryan. Ia tidak tahu, apakah Ryan akan marah atau mengijinkan dirinya ke sana. Hanya saja, ia tidak mau mengambil resiko. Ia akan melakukannya secara diam-diam.**** Tiga hari kemudian, Ryan sudah diperbolehkan kembali ke rumah. Dan Ryan bersikeras untuk kembali ke kota asal mereka saja. Ia merasa sudah cukup
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen