“Terima kasih, atas tawaran bapak. Namun, saya lebih suka untuk berganti pakaian di toilet karyawan saja, pak!” sahut Karin, sambil berlalu pergi dari ruangan Ryan.
Mana mungkin ia berani berganti pakaian di kamar mandi bosnya. Terlebih lagi, dengan bosnya yang secara terang-terangan coba merayunya.
Ryan berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat ke tempat Karin berdiri. Ia lalu berkata dengan suara pelan. “Apakah kau berani mengambil kunci ini, agar bisa ke luar dari ruanganku?”
Karin memejamkan kedua matanya, ditariknya napas dalam-dalam. Rasanya ia hendak memaki bos nya ini, yang sudah membuat dirinya menjadi seakan terkurung di kndang Singa.
Dittadahkannya tangannya ke arah Ryan. “Tolong berikan kunci pintunya, pak!”
Ryan justru meraih jemari Karin dan meletakkan tepat di saku kemeja yang dikenakannya. “Aku tidak melarangmu, untuk mengambilnya secara langsung. Hanya saja ada syaratnya, kalau kamu mau aku yang menyerahkannya langsung ke tanganmu.”
Karin harus menahan kemarahannya yang siap untuk meledak. Ia mengerti, apa syarat yang dimaksud Ryan. Cukup dengan melihat tatapan matanya, yang terarah ke bibirnya.
Sebelum Karin sempat memberikan jawaban, didengarnya Ryan kembali berkata, “Sepertinya kamu sedang kebingungan, untuk memberikan jawaban. Baiklah, aku yang akan membantumu untuk memutuskannya.”
Tiba-tiba saja Karin merasa tengkuknya ditarik dengan pelan, sehingga wajahnya berada dekat dengan wajah Ryan. Bibirnya yang terbuka, untuk memprotes apa yang dilakukan oleh Ryan, ternyata merupakan suatu kesalahan.
Dengan cepat Ryan mencium bibir Karin, dengan dalam dan mesra. Tangannya yang besar berpindah ke punggung Karin menekannya, agar lebih menempel ke dada bidangnya.
‘Aku tidak boleh membiarkan pak Ryan beranggapan, kalau diriku ini sama seperti sekretarisnya, yang sebelumnya. Aku harus bisa melepaskan diri dari pelukannya,’ gumam Karin dalam hatinya.
Ia lalu menggigit bibir Ryan, hingga bos nya itu melepaskan ciumannya di bibir Karin. Ia kemudian mengulurkannya tangannya ke dalam saku kemeja Ryan dan dicobanya untuk mengambil kunci yang ada di situ.
Bukannya berhasil mendapatkan kunci pintu tersebut, jemarinya malah berada dalam genggaman Ryan. “Mau kabur? Kamu harus bertanggung jawab, karena sudah membuat bibir saya terluka,” bisik Ryan di telinga Karin.
Karin mencoba untuk menarik lepas tangannya dari genggam jemari Ryan, tetapi bosnya itu justru semakin mengeratkan pegangannnya.
“Lepaskan, pak! Saya hanya ingin bapak membuka pintu ruangan ini saja dan tidak yang lainnya!” ucap Karin, dengan kalut.
Ryan pun melepaskan pegangannya di tangan Karin dan mempersilakan kepadanya untuk membuka pintu tersebut.
Karin menatap Ryan dengan frustrasi. Harus dengan bahasa apa lagi ia mengatakan kepada Ryan, kalau ia memerlukan kunci untuk membuka pintu tersebut.
Ryan menjulurkan tangannya ke arah pintu dan dibukanya pintu itu dengan mudahnya. “Sebagai sekretaris saya, kamu harus memiliki inisiatif dan mampu memecahkan masalah dalam menjalankan pekerjaanmu.”
Rona bingung terpancar di wajah Karin, karena melihat pintu yang terbuka dengan mudahnya. “Bagaimana bapak bisa membukanya?”
“Kamu tidak perlu tahu, cepat keluar kamu dari ruangan saya, sebelum saya berubah pikiran!” ucap Ryan.
Karin pun berjalan dengan cepat keluar dari ruangan bosnya itu. Ia duduk di depan meja, yang tadi dilewatinya. Dinyalakannya komputer yang ada di atas meja tersebut, lalu dibacanya catatan pekerjaan yang harus ia lakukan.
Terlalu larut dalam pekerjaannya Karin sampai tidak menyadari, kalau sudah sampai waktunya jam makan siang. Sampai suara berat Ryan menegur dirinya.
“Apa kamu mau menebus kesalahanmu tadi pagi, dengan bekerja sampai lupa waktu. Saya tetap tidak akan melupakan kesalahanmu tadi pagi. Kamu menggantinya, dengan lembur nanti malam,” ucap Ryan.
Karin mendongak dari layar komputernya dan menjadi terkejut melihat wajah Ryan yang begitu dekat. “Bapak mengagetkan saya! Saya sama sekali tidak menyadari kalau sekarang sudah jam makan siang.”
Karin pun menyimpan data yang sedang dikerjakannya, lalu ia mematikan komputer dan berdiri dari duduknya.
Sementara Ryan sendiri juga sudah menegakkan badannya, lalu berlalu dari meja Karin dan berjalan masuk ke dalam lift yang memang khusus untuk pimpinan dari perusahaan.
Karin hanya memandang kepergian Ryan, ia sendiri menuju lift khusus untuk karyawan dan kembali dirinya harus bertemu dengan wanita yang tidak menyukainya.
Berada satu lift dengan wanita itu membuat aura panas begitu terasa. Dalam hatinya Karin ingin bertanya, mengapa wanita itu membencinya.
Akhirnya pintu lift pun terbuka juga. Karin pun dengan cepat berjalan ke luar, agar bisa menjauh dari Helda. Dengan terburu-buru Karin pun ke luar dari dalam gedung tersebut.
‘Ke mana aku harus pergi makan siang? Aku belum mengenal tempat ini. Mungkin sebaiknya nanti sepulang kerja aku mencari apartemen yang dekat dengan perusahaan, biar aku tidak terlambat lagi,’ gumam Karin.
Asyik melamun, Karin tidak memperhatikan jalannya. Hingga suara klakson yang nyaring, menyentak Karin dari lamunannya. Ia pun menoleh ke arah suara mobil tersebut dan hendak menegur sopir yang telah mengagetkannya.
Begitu kaca mobil diturunkan dan terlihat siapa yang duduk di jok belakang mobil tersebut, Karin pun menahan rasa marahnya.
Ryan meminta kepada sopirnya untuk berhenti tepat di samping Karin dan berkata, “Kamu ini benar-benar ceroboh sekali! Kalau berjalan itu jangan melamun. apa kamu mau celaka? Atau jangan-jangan kamu memang sengaja melakukannya, biar bisa ikut ke dalam mobil saya!”
Karin dengan cepat menggelengkan kepalanya. “Tidak, pak! Saya tadi memang salah, karena tidak memperhatikan jalan.”
Ryan tersenyum mengejek ke arah Karin. Sementara wanita cantik dengan pakaian seksi yang duduk di samping Ryan. Mengelus pundaknya pelan, seakan menenangkan Ryan.
Pandangan yang diberikannya kepada Karin berbeda, ia melihat mencemooh dan tiba-tiba saja matanya melotot melihat kemeja yang dikenakan oleh Karin.
Ia menjulurkan kepalanya dari kaca mobil dan berkata dengan nyaring, “Kenapa kamu memakai kemeja Ryan? Ada hubungan apa kamu dengan kekasihku?”
Ryan menarik tangan kekasihnya, yang sudah memegang kenop pintu dan hendak membukanya. Namun, Ryan dengan cepat menahannya. “Saya tidak suka kamu membuat keributan seperti itu!” bentak Ryan kepada kekasihnya.
Dirinya kemudian memerintahkan kepada sopir pribadinya untuk segera menjalankan mobil. Ryan menahan kemarahannya kepada kekasihnya. “Untuk apa kamu berteriak seperti tadi, sama sekali tidak anggun dan merendahkan dirimu di mataku!” tegur Ryan.
Mata kekasih Ryan melotot, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Kamu memarahiku? Apakah ada yang kamu sembunyikan dengan wanita tadi? Sebenarnya siapa dirinya?”
Ryan melipat tangannya di depan dada dan melirik kekasihnya sekilas. “Dia sekretarisku dan aku tidak perlu menjelaskan apapun lagi kepadamu. Aku tidak mengharapkan pertunjukkan rasa cemburu darimu!”
“Kau memang mengesalkan, Ryan! Selalu saja bersikap egois, hanya memikirkan dirimu sendiri. Apakah kamu sudah tidur dengan sekretarismu tadi? Karena ia memakai kemejamu, karena aku yang membelikan kemeja itu sebagai hadiah untukmu!”
“Aku sudah memperingatkan kepadamu, kalau aku tidak suka mempunyai kekasih yang cerewet dan pencemburu tanpa alasan yang jelas. Kurasa, ini saatnya hubungan kita berakhir sampai di sini. Silakan, cari pria lainnya, yang bisa kau atur dan curigai sesukamu!” Tegas Ryan, sambil menatap dingin kekasihnya, yang ia anggap terlalu ingin tahu, dengan apa yang dilakukannya. Kekasih Ryan menatap tidak percaya kepada Ryan, yang bersikap egois. “Apa maksudmu berkata, seperti itu? Apa kau memutuskan diriku? Dasar brengsek, kau Ryan! Seenaknya saja kamu memutuskan diriku dan ini semua pasti karena wanita tadi, bukan?” Bentak kekasih Ryan, sambil mengguncang tubuhnya, dengan kencang. “Pak, tolong berhenti!” Perintah Ryan kepada sopirnya. Dan langsung saja dituruti oleh sopirnya itu. Begitu mobil sudah berhenti. Ryan melirik kepada wanita, yang baru saja ia putuskan. “Sopirku akan mengantarkanmu sampai ke tempat tujuan. Dan satu hal lagi, kau tidak peru takut aku
'Astaga! Setelah dengan seenaknya ia mengatakan hal itu, langsung pergi begitu saja!' batin Karin emosi. Karina menatap tidak percaya punggung Ryan, yang berjalan keluar dari restoran, setelah ia memberikan ultimatum kepada Karin. Tersadar dari lamunannya Karin pun berdiri dan beranjak keluar dari restoran. Ia tidak membayar tsagihan makan siangnya, karena Ryan yang sudah membayar tagihan tersebut. Hampir saja Karin menabrak punggung Ryan, ketika ia baru saja keluar dari pintu restoran. “Kenapa Bapak berdiri di situ? Siapa yang Bapak tunggu?” Ryan membalikkan badan dan melihat ke arah Karin dengan dingin. “Jangan besar kepala, saya tidak mungkin menunggu kamu!” Karin mengangguk. “Iya, benar apa yang Bapak katakan. Permisi, Pak saya duluan ke kantor.” Karin pun berjalan kembali menuju ke arah perusahaan tempatnya bekerja. Akan tetapi baru beberapa langkah ia berjalan Ryan menegur dirinya. “Apa yang kamu lakuka
'Astaga! Pintu mobil itu terbuka dan pria yang ada dalam mobil itu berjalan kemari!' batin Karin, ia melihat ke sekelilingnya berharap ada yang lewat. Rasa gugup Karin semakin menjadi terlebih lagi ketika dari dalam mobil dengan kaca gelap itu. Turun seorang pria yang mengenakan pakaian serba hitam menghampiri Karin. “Malam, Mis! Silakan masuk ke dalam mobil!” perintah orang itu singkat. Tangan Karin meraba tas yang ia sandang di bahunya. Ia pun berhasil menemukan apa yang ia cari semprotan merica. Akan tetapi, sebelum ia sempat menggunakannya pria dengan pakaian hitam itu berkata lagi, “Tuan Ryan menunggu Anda di dalam mobil!” Seakan mengerti namanya disebut kaca mobil diturunkan, sehingga terlihatlah Ryan di baliknya. “Cepat masuk! Jangan sok menolak. Kamu tidak pernah tahu apa yang akan kamu temui, kalau nekat tetap berada di halte ini. Bisa saja ada pemabuk yang akan memperkosamu. Daripada diperkosa oleh pema
"Siapa kau yang sudah berani berkata, seperti itu? Kau hanyalah wanita murahan yang membuatku merasa muak dengan sentuhanmu!" Ryan mencekau dagu wanita yang sudah berani mengatainya. Ryan memandang dua orang petugas keamanan itu dengan santai dan tidak ada rasa takut sama sekali. “Mau apa kalian? Apa kalian akan mengusirku dari sini? Kalau kalian sampai berani menyentuh tubuhku akan kubuat kalian menderita di jalanan dan tidak akan ada seorang pun yang menerima kalian bekerja!” Dirinya diam sebentar menunggu reaksi dari kedua orang petugas keamanan tersebut. “Bagus! Kalian memahami apa yang kukatakan. Pemilik kelab malam ini saudara sepupuku, katakan kepadanya kalau Ryan merasa kecewa dengan pelayanan yang ada!” Usai mengatakan hal itu Ryan berjalan keluar dari ruang VIP tersebut. Petugas keamanan yang tadi terlihat garang, membiarkan saja Ryan melewati mereka. Keduanya memang teringat dengan wajah Ryan, yang memang benar saudara dari
Ryan tersenyum senang melihat Karin yang tidur dalam pelukannya. ‘Hmm, Apa yang akan dilakukan oleh wanita ini, kalau ia mengetahui dirinya tidur dalam pelukanku?’ gumam Ryan. Lama kelamaan Ryan kembali mengantuk dan ia pun tidur dengan lengannya setia memeluk erat perut Karin. Beberapa saat kemudian Karin membuka kedua matanya perlahan. Ia merasa heran, karena seingatnya dirinya tidur di sofa dan kenapa sekarang ia kembali berada di atas tempat tidurnya. Ketika ia hendak bangun dari tempat tidur. Dirasakannya berat pada perut dan juga didengarnya suara napas berat seorang laki-laki tepat di samping telinganya. Dengan cepat ia membalikkan badan dan ketika itulah netranya bertemu dengan netra hitam milik Ryan. “Pak, Ryan! Kenapa Bapak bisa tidur bersama dengan saya? Apa yang sudah Bapak lakukan?” berondong Karin dengan pertanyaan. Ryan yang memang sudah bangun dari tadi dan memperhatikan apa yang dilaku
Karin sontak saja menjadi terkejut, dengan pertanyaan Ryan, “Bapak memata-matai saya? Kenapa Bapak menerima saya sebagai sekretaris, kalau Bapak meragukan siapa saya?” tanya Karin balik. Ryan menarik Karin merapat dengannya. “Kau tentu pernah mendengar istilah yang mengatakan. Lebih baik mengawasi musuh kita dari dekat, hingga kita tahu langkah yang akan diambilnya.” Karin menyentak tangan Ryan di pundaknya. “Kalau begitu Bapak menganggap saya sebagai musuh?” “Kamu mengalihkan pertanyaanku, dengan mengajukan pertanyaan! Kamu memang cerdas Karin, sayangnya aku tidak akan terkecoh. Jawab saja pertanyaanku!” Dengan menahan umpatan kasar, yang belum pernah terlontar dari bibirnya Karin pun berkata, “Keluarga saya bukan urusan Bapak! Mengapa potret mereka tidak ada dinding apartemen saya? Karena saya mengingat mereka di dalam hati dan di kepala saya. Bukan melalui secarik gambar dalam pigura!” Mendengar jawaban Karin,
Sontak saja Karin menjadi terkejut, sekaligus takut. Dirinya, seperti kelinci yang tererangkap dan tidak tahu jalan keluar, untuk bisa menyelamatkan dirinya. Karin beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah pintu. “Tolong buka pintunya sekarang juga, Pak! Saya akan melaporkan Bapak, kalau sampai berani menyentuh saya!” Ryan memasang senyum miring, sambil melempar-tangkap kunci yang ada di tangannya. “Apakah aku melarangmu, untuk keluar dari ruanganku? tidak, ‘kan? Silakan saja keluar aku tidak akan menghalangimu!” Tangan Karin terkepal rapat di kedua sisi tubuhnya. Ia benar-benar takut akan mengalami apa yang menjadi trauma masa kecilnya. Dan hal yang membuat dirinya enggan memiliki hubungan istimewa dengan laki-laki. Bahkan di usianya yang sudah menginjak 22 tahun. Ia belum pernah menjalin hubungan percintaan dengan lelaki manapun juga. “Bapak memang tidak melarang saya secara langsung, untuk keluar dari ruangan
Karin menatap Ryan dengan bingung, ia tidak mengerti maksud dari bosnya, yang dengan tiba-tiba saja mengajaknya untuk melakukan tes DNA. Disentaknya tangan Ryan, yang memegang lengannya. “Apa maksud Bapak, kita akan melakukan tes DNA? Apa perlunya kita melakukan hal itu? Apa Bapak percaya, dengan apa yang dikatakan oleh ibu Bapak barusan?” tanya Karin. Ryan menatap tajam Karin. “Kita harus melakukannya, karena aku tidak mau ada keraguan. Pada saat kita bercinta, tidak ada kesalahan, kalau aku meniduri saudariku sendiri.” Mata Karin melotot ia tidak percaya, kalau Ryan terpengaruh dengan apa yang tadi dikatakan oleh ibunya. “Bagaimana Bapak bisa menjadi begitu bodoh, seperti itu! Tidak mungkin kita bersaudara! Dan saya juga tidak mau mempunyai saudara seperti Bapak!” tegas Karin. “Hah! Kau pikir aku mau mempunyai saudari sepertimu? Tentu saja aku tidak mau, karena sudah pasti kalau kau menjadi adikku. Aku tidak aka