“Aku sudah memperingatkan kepadamu, kalau aku tidak suka mempunyai kekasih yang cerewet dan pencemburu tanpa alasan yang jelas. Kurasa, ini saatnya hubungan kita berakhir sampai di sini. Silakan, cari pria lainnya, yang bisa kau atur dan curigai sesukamu!” Tegas Ryan, sambil menatap dingin kekasihnya, yang ia anggap terlalu ingin tahu, dengan apa yang dilakukannya.
Kekasih Ryan menatap tidak percaya kepada Ryan, yang bersikap egois. “Apa maksudmu berkata, seperti itu? Apa kau memutuskan diriku? Dasar brengsek, kau Ryan! Seenaknya saja kamu memutuskan diriku dan ini semua pasti karena wanita tadi, bukan?” Bentak kekasih Ryan, sambil mengguncang tubuhnya, dengan kencang.
“Pak, tolong berhenti!” Perintah Ryan kepada sopirnya. Dan langsung saja dituruti oleh sopirnya itu.
Begitu mobil sudah berhenti. Ryan melirik kepada wanita, yang baru saja ia putuskan. “Sopirku akan mengantarkanmu sampai ke tempat tujuan. Dan satu hal lagi, kau tidak peru takut aku akan mengambil kembali semua hadiah yang pernah kuberikan kepadamu!”
Dibukanya pintu mobil dan ia pun keluar dari mobil itu mengabaikan teriakan dari mantan kekasihnya, yang ia putuskan secara mendadak.
Ia berjalan kaki kembali ke tempat di mana tadi dilihatnya Karin berjalan seorang diri. Jarak yang telah ditempuh mobilnya tadi, belumlah terlalu jauh, sehingga hanya dengan berjalan kaki saja ia dapat sampai ke tempat tujuannya.
Netranya menangkap bayangan Karin, yang masuk ke dalam sebuah restoran, yang tak jauh dari kantornya berada.
‘Sudah kuduga, ia pasti akan pergi untuk makan siang. Apakah ia sudah janjian dengan seseorang, untuk makan siang di sana? Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Aku tidak akan membiarkan Karin dekat dengan pria selain diriku!’ batin Ryan.
Masuk ke dalam restoran yang sama, dengan yang baru saja dimasuki oleh Karin. Ryan berhenti di pinggir restoran mencoba untuk mencari keberadaan Karin. Dan ketika ia sudah berhasil menemukan keberadaan gadis itu langsung saja Ryan menghampiri meja Karin dan bergabung duduk di meja Karin.
Karin yang tengah menyantap makan siangnya menjadi terkejut ketika melihat kehadiran Ryan. Ia pun urung melanjutkan makannya, karena tidak mau dianggap tidak sopan dengan bosnya.
“Pak, Ryan! Kenapa Bapak ada di sini? Bukannya tadi Bapak berada di dalam mobil?” tanya Karin penasaran.
Ryan menatap tajam Karin, dengan sorot mata, yang membuat gugup. Saya hanya mau memberi selamat kepadamu, karena sudah memberi alasan kepada kekasihku menjadi marah dan memancingku, untuk memutuskan dirinya.”
Sontak saja Karin menjadi terkejut mulutnya terbuka dan menatap tidak percaya ke arah Ryan. “Hah! Kenapa Bapak membawa-bawa saya, sebagai penyebab putusnya hubungan Bapak dengan kekasih Bapak.”
Tatapan Ryan jatuh pada bibir merah Karin, yang membuka dan menutup. Bibir itu begitu menggoda, untuk ia cicipi lagi. Tangan Ryan terulur ke bibir Karin dan mengusap lelehan saos, yang tercecer di bibir Karin.
Bagaikan tersihir dengan apa yang dilakukan oleh Ryan pada bibirnya, secara otomatis bibir Karin terbuka dan dijilatnya jari Ryan, yang ada bekas lelehan saos.
Keduanya pun saling tatap, seakan ada kekuatan sihir yang menghipnotis mereka. Karinlah yang terlebih dahulu sadar ia pun menundukkan wajahnya, karena tidak sanggup melihat tatapan mata Ryan.
Melihat Karin yang menundukkan wajah membuat Ryan tertawa pelan. Ia berkata dengan nada suara pelan, agar hannya Karin saja yang mendengar apa yang dikatakannya.
“Kamu itu takut atau malu, denganku Karin? Atau kamu terpengaruh dengan kejadian, barusan tadi? Katakan kepadaku, apakah kau masih perawan, Karin?” Ryan memberikan tatapan tajam dan menyelidik ke arah Karin.
Karin mengangkat kepalanya, dengan wajah yang bersemu merah. “Bukannya bermaksud tidak sopan. Hanya saja saya tidak akan menjawab pertanyaan Bapak!”
Ryan meraih jemari Karin ke dalam genggamannya dan kembai getaran, seperti adanya arus listrik itu ia rasakan. “Apakah kau menantangku, untuk memcari tahu sendiri kebenarannya? Dengan senang hati aku menerimanya, karena aku bukanlah seorang penakut, yang akan berlari menjauh ketika diberikan tantangan.”
Ryan mengedipkan sebelah matanya, untuk menggoda Karin. Ia benar-benar suka melihat raut wajah Karin, yang terlihat tidak suka, karena godaannya.
Percakapan keduanya terputus, saat datang seorang pelayan dengan menu di tangannya, lalu di sodorkan kepada Ryan. Ryan pun menerimanya, selama beberapa saat yang singkat ia membaca menu tersebut, dengan teliti.
Pelayan itu kemuudian berlalu dari hadapan mereka, setelah mencatat pesanan Ryan.
“Katakan kepadaku, Karin! Apakah kamu sengaja keluar dari kantor, dengan masih memakai kemejaku itu, untuk membuat pengumuman kepada orang-orang, terutama sekali, yang berada di perusahaan dan mengenal diriku, tentunya mereka menyadari, kalau meneja yang kau kenakan itu milikku. Hal itu kamu lakukan, dengan tujuan agar mereka semua mengira kau sudah tidur denganku!”
“Hah! Apa maksud Bapak berkata seperti itu?”
Ryan menyunggingkan senyum sinis, “Aku tidak perlu menjelaskan apapun juga kamu akan mendengar nantinya, kalau ada gosip yang beredar di situlah ucapanku terbukti.”
Pundak Karin merosot ia bekerja untuk mencari uang, demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan bukan untuk menjadi bahan gosip. Terlebih lagi dengan CEO tempat ia bekerja.
Sudah cukup pengalaman, yang menjadi contoh dalam hidupnya. Dan ia bertekad menjadikan contoh nyata itu, sebagai pengingat baginya, untuk tidak melakukan hal yang sama.
“Saya tidak pernah berpikir akan menjadi bahan gosip, Pak! Seharusnya Bapak juga jangan mengikuti saya makan di restoran ini. Hal ini hanya akan menambah bahan gosip mereka saja,” sahut Karin lemah.
Ryan memutar-mutar gelas berisi air putih, yang ada di tangannya. “Kamu besar kepala sekali, ya! Kamu aku masuk ke restoran ini, karena ada dirimu? Siapa kamu? Hanya sekretaris, yang masih dalam tahap magang saja. Aku jadi tidak yakin, kalau kamu akan menjadi sekretaris tetapku!”
Deg! Jantung Karin menjadi terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Ryan. “Apa maksud Bapak berkata seperti tadi? Bapak masih saja meragukan kemampuan saya? Dengan Bapak berkata seperti itu, semakin membuat saya menjadi bersemangat, untuk membuktikan, kalau saya akan berhasil menjadi sekretaris Bapak.”
Baru saja Ryan akan membuka mulut menjawab perkataan Karin. Datang pelayan mengantarkan pesanannya. Setelah pelayan itu pergi Ryan menyantap makan siangnya dengan nikmat.
Tak ada percakapan, yang tercipta selama mereka berdua makan. Sepertinya, Ryan bukanlah tipe orang yang makan, sambil berbicara. Beberapa menit kemudian keduanya pun selesai menyantap makan siang mereka.
Ryan meletakkan sendoknya di piring dan menatap ke arah Karin dengan lembut dan merayu. “Aku punya penawaran untukmu!”
Karin menatap Ryan curiga, dalam hatinya bertanya-tanya apa tawaran pria itu, semoga saja bukan sesuatu, yang tidak akan bisa ia terima,
“Apakah tawaran itu berhubungan dengan pekerjaan, pak?”
Ryan mengangguk. “Tentu saja! Karena kamu sudah membuat diriku memutuskan kekasihku, maka kamu harus hadir bersama denganku sebagai pasangan dalam pesta, yang akan diadakan perusahaan pada akhir bulan nanti. Aku tidak menerima kata penolakan darimu!”
“Maaf, Tuan Ryan! Seperti yang Anda baca begitulah hasil pemeriksaan dari kesuburan Tuan! Ternyata benturan yang tuan alami berpengaruh terhadap kesuburan Tuan,” ucap dokter tersebut. Lebih lanjut lagi dokter itu mengatakan, kalau Ryan sangat kecil kemungkinannya bagi Patrick untuk bisa membuat pasangannya menjadi hamil. Karin yang duduk di samping Ryan menjadi terdiam. Ia urung membaca hasil tes miliknya. Pada saat tangannya hendak meraih tangan Ryan, pria itu menepisnya dengan pelan serayang mnyunggingkan senyum yang tampak sedih. “Kau langsung saja ke kantor aku ingin sendirian dahulu! Nanti kita bertemu di apartemen, setelah aku merasa lebih tenang.” Tidak menunggu jawaban dari Karin, Ryan berjalan keluar dari ruangan dokter tersebut. Karin meminta maaf, kepada dokter yang memeriksa mereka atas sikap kasar Patrick yang pergi begitu saja. Setelahnya ia keluar dari ruangan dokter tersebut dengan perasaan tidak
“Ibu, kau mengejutkan kami! Apakah kau tidak ingin menyapa kami dengan hangat?” Tanya Ryan. Ibu Ryan memberikan senyuman hangat untuk Ryan, tetapi ia menatap curiga kepada Karin. Melihat sorot mata Ibunya yang tampak tidak suka melihat Karin, Ryan meminta kepada Ibunya, agar mereka berbicara di dalam saja, sambil duduk santai. Dengan anggun Ibu Ryan memutar badan, lalu berjalan masuk ke rumah diikuti oleh Ryan dan Karin. Mereka semua pun duduk dengan nyaman di sofa ruang tamu rumah tersebut. Seorang pelayan datang menghampiri, dengan membawa sebuah baki yang berisikan minuman juga kue, kemudian pelayan itu pergi meninggalkan ruangan tersebut. “Katakan Ryan ada perlu apa kamu mengatakan datang mengunjungi Ibu?” Tanya Ibu Ryan. Ryan meraih jemari Karin yang tersemat cincin pertungan darinya. “Aku akan menikah dengan Karin!” Mata Ibu Ryan melotot ia merasa tidak yakin dengan apa yang didengarnya. “Katakan
“Mengapa kau menyandingkan dua potret ini berdampingan? Apakah kau ingin mengatakan kepadaku, kalau usia anakmu jauh lebih lama berada dalam kandungan tunanganmu, dibandingkan anakku?” Tanya Karin lirih. Hatinya merasa sakit melihat kedua potret tersebut. Tidakkah Ryan sadar dengan apa yang dilakukannya? Mengapa ia begitu tega. Ryan meraih jemari Karin bermaksud untuk menenangkan wanitanya tersebut. Namun, Karin menepis dengan kasar tangan Ryan. “Bukankah kita akan terbuka dan bersama memecahkan masalah! Baiklah, aku akan mengatakan kepadamu mengapa aku meletakkan potret itu secara bersamaan.” Ryan sedikit kecewa, karena Karin menolak dirinya. Walaupun demikian ia merasa ada harapan, karena Karin tampak mendengarkan apa yang dikatakannya. “Aku melakukannya, karena aku ingin kau mengetahui, bahwa pernah hadir dua buah hati yang sama-sama kucintai, meskipun mereka berasal dari Ibu yang berbeda.” Ditatap
“Kalau begitu, katakan kepadaku, apakah semua yang barusan kau katakan benar?” Tanya Karin dengan dada yang terasa sakit. Ryan tersenyum mengejek ke arah Karin dengan dingin ia berkata, “Terserah apa yang kau pikirkan saja, karena aku jujur pun tidak kau percaya!” Ia berjalan meninggalkan Karin, tetapi Karin dengan cepat menarik tangannya. Ia meminta kepada Ryan untuk tidak pergi dahulu, sebelum masalah mereka tuntas. Dijawab Ryan dengan perkataan, kalau dirinya memerlukan udara segar, biar bisa berfikir dengan jernih. Karin mengatakan, kalau ia akan ikut menemani Ryan. Dan, kalau Ryan menginginkannya untuk diam ia akan melakukannya. Jawaban yang diberikan Ryan hanya anggukan kepala saja. Ia terus berjalan, tetapi berhenti sebentar untuk mengambil jaketnya dan Karin dari gantungan baju. Ketika Karin berada dekat dengannya ia memasangkan jaket tersebut ke badan Karin, setelahnya ia meneruskan langkahnya
“Kau mengejutkanku! Aku hanya ingin menuntaskan apa yang menurutku menjadi ganjalan dalam hubungan kita!” sahut Karin lemah. Kepalanya menunduk ke bawah, karena merasa bersalah sudah mengkhianati kepercayaan dari Ryan, yang baru saja mereka bangun. Terdengar suara helaan napas Ryan berat, Karin pun memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan ia menyesal sudah datang ke sini tanpa memberitahu Ryan. Ia bisa melihat dengan jelas kekecewaan di mata Ryan. Setelah selama beberapa saat tidak ada yang membuka suara Ryan memecah keheningan itu. “Kau sadar bukan, kalau yang kau lakukan itu membuat apa yang coba kita perbaiki menjadi rusak!” Dengan ragu-ragu Karin menyentuh tangan Ryan. Ia meminta maaf, sudah membuat pria itu merasa sedih dengan datang kembali ke pemakaman orang-orang yang pernah ia cintai dalam hidupnya. Dengan kasar Ryan melepas tangan Karin dari tangannya. Ia lalu berjalan memasuki areal pemakaman terse
“Untuk apa, kau mencari tahu tentang seseorang yang sudah lama terkubur?” Tanya Luke. Ia pun duduk di atas tempat tidurnya. Karin mengatakan, kalau ia hanya ingin mengunjunginya saja. Ia ingin meletakkan bunga di nisan tersebut, karena Ryan pernah mengatakan di sana juga anaknya dikuburkan. Terdengar suara tarikan napas di ujung sambungan telepon, juga selimut yang disibak. Setelah diam selama beberapa saat Luke, kemudian mengatakan di mana letak makam tersebut. Ucapan terima kasih langsung saja terlontar dari bibir Karin. Sekarang ia hanya mencari waktu yang tepat saja, untuk pergi ke sana tanpa sepengetahuan Ryan. Ia tidak tahu, apakah Ryan akan marah atau mengijinkan dirinya ke sana. Hanya saja, ia tidak mau mengambil resiko. Ia akan melakukannya secara diam-diam.**** Tiga hari kemudian, Ryan sudah diperbolehkan kembali ke rumah. Dan Ryan bersikeras untuk kembali ke kota asal mereka saja. Ia merasa sudah cukup