“Jika kamu bersedia,” kata Mateo tenang, “aku ingin hubungan ini bukan sekadar satu malam. Aku ingin kita saling kenal lebih dalam. Pelan-pelan. Tapi serius. Aku tak tahu apakah kamu siap, tapi aku jujur soal niatku.”Aileen memejamkan mata sejenak, menyerap kata-kata itu. Di tengah kekacauan hidup yang baru mulai ia tata ulang, datang seseorang yang berbicara tentang keseriusan, padahal mereka baru saja bertemu di malam yang tidak biasa.Namun entah kenapa, hatinya tak menolak.“Baik, Mateo,” jawabnya lembut. “Kita bisa mulai dari… saling mengenal dulu.”Di seberang, suara napas lega terdengar.“Itu cukup bagiku, Aileen. Untuk sekarang.”Dan malam itu, bukan hanya pesan yang terkirim—tapi juga awal dari sesuatu yang tak terduga.***Malam itu langit kota tampak tenang, jauh dari gemerlap klub dan hingar-bingar pusat kota. Aileen dan Mateo duduk di balkon kamar hotel yang menghadap taman kota, ditemani secangkir teh hangat dan obrolan ringan yang perlahan mengarah ke dalam hati masing
Aileen berbaring di kamar lamanya, menatap langit-langit yang penuh kenangan. Suara detak jam dinding terasa seperti gema dari masa lalu. Di kamar sebelah, kedua orang tuanya sudah tertidur. Udara malam itu tenang… tapi hatinya gelisah.Perceraian yang resmi beberapa minggu lalu masih menyisakan rasa perih yang belum sepenuhnya sembuh. Ia merasa hampa. Seolah-olah semua warna hidupnya mendadak memudar.Tanpa banyak pikir, Aileen berdiri, membuka lemari kecil dan mengambil pakaian kasual yang sederhana tapi tetap modis. Ia mengenakan jaket tipis, mematut diri sekilas di cermin, lalu melangkah keluar rumah tanpa membangunkan siapa pun.Tujuannya hanya satu: melarikan diri dari pikirannya sendiri. Club disko di pusat kota bukan tempat yang biasa ia datangi, tapi malam ini, ia hanya ingin… merasa hidup.Lampu strobo berputar pelan ketika Aileen masuk. Musik menghentak, tubuh-tubuh menari, namun ia langsung menuju bar dan memesan segelas orange jus. Bukan karena takut mabuk, tapi karena ia
Malam di Paris masih sama. Langit kelabu dengan bintang-bintang enggan menampakkan diri. Aileen duduk bersandar di jendela kamar hotel, memandangi pantulan cahaya kota yang menari-nari di permukaan sungai Seine. Ia memeluk lutut, menyelimuti tubuhnya dengan selimut tipis. Dinginnya bukan karena suhu, tapi karena sesuatu yang sejak lama mengendap di dalam dada.Sudah dua tahun ia menikah. Tapi sunyi tak pernah benar-benar pergi. Arvino tetap baik, tetap sopan, tetap menjalankan perannya. Namun dari mata laki-laki itu, Aileen tahu: ia bukan tujuan.Aileen menatap bayangannya sendiri di kaca. “Kenapa aku merasa seperti tamu di hidupku sendiri?” gumamnya lirih. Ia menatap boneka kecil hadiah masa kecil dari ibunya yang selalu ia bawa ke mana pun. Aileen mengambil boneka itu, memeluknya erat, dan air mata jatuh diam-diam."Aku rindu jadi perempuan yang dicintai karena siapa diriku. Bukan karena status. Bukan karena rahasia yang harus ditutupi."Ia kemudian berdiri, menyalakan lampu kecil d
Malam merayap pelan ke sela waktu. Di kamarnya yang hening, Aileen duduk bersandar di sisi ranjang, menatap kosong ke dinding yang sepi. Ia memeluk lututnya, lalu merebah pelan, menyelimuti dirinya dengan selimut tipis yang hanya setengah menutup tubuh.Tubuhnya lelah. Tapi bukan kelelahan yang bisa diobati dengan tidur.Ada kerinduan yang mengendap terlalu lama, yang tak pernah sempat dipeluk siapa pun. Kerinduan yang tidak punya suara, hanya denyut. Ia mencoba memeluk dirinya sendiri, mengusap lengannya, dadanya, perutnya... seolah mencoba menenangkan badai dari dalam.Nafasnya bergetar. Pelan. Menyatu dengan desir kipas angin dan detak jantungnya sendiri. Di situ, pada malam yang sunyi, ia mencapai titik paling jujur dari dirinya—di mana tak ada yang bisa menyentuhnya, kecuali dirinya sendiri.Air matanya turun tanpa suara. Bukan karena malu. Tapi karena ia sadar: dalam keheningan seperti inilah ia belajar menerima dirinya sepenuhnya—dengan luka, dengan rindu, dengan seluruh rasa y
Sudah dua tahun Aileen menikah dengan Arvino. Dua tahun tanpa sentuhan, tanpa gairah, tanpa pelukan malam hangat seperti yang dulu pernah ia alami—bukan dengan suaminya, tapi dengan Elvano. Ironisnya, malam pertama dan satu-satunya yang selalu hadir dalam ingatannya… justru bukan dari pria yang kini tidur di kamar sebelah.Kerinduan itu bukan semata fisik. Tapi tentang merasa dicintai, dihargai, dirindukan.Malam itu, di kamarnya yang sunyi, Aileen duduk bersandar di dinding. Lampu hanya temaram. Jemarinya mengetik di mesin pencari, mencoba mencari jawaban yang bisa menyelamatkan pernikahan yang terasa seperti dua orang asing serumah.“Bagaimana cara menyembuhkan pasangan yang tidak punya gairah?”“Suami tidak tertarik secara fisik, apa yang harus istri lakukan?”“Hubungan pernikahan tanpa kedekatan intim, solusi?”Setiap artikel yang ia baca seperti menusuk lebih dalam. Sebagian menyarankan komunikasi, sebagian menyarankan terapi, sebagian… menyarankan melepaskan.Tapi Aileen tidak i
Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya, meski AC kamar tidak disetel terlalu rendah. Aileen duduk di tepi ranjang, memakai piyama satin lembut berwarna abu muda. Lampu kamar temaram. Arvino berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap ke Aileen, menatap lampu-lampu kota yang berkelip dari balik tirai.“Boleh aku bicara jujur malam ini?” suara Arvino terdengar pelan tapi mantap.Aileen mengangguk, meski ia tahu hatinya tidak siap. “Tentu,” jawabnya.Arvino berbalik, menatap Aileen. Wajahnya tenang, tapi matanya memendam banyak. “Aku minta maaf… karena selama ini aku berpura-pura semuanya baik-baik saja. Tapi kenyataannya, aku tak bisa lagi berpura-pura mencintaimu.”Aileen terpaku.“Sejak sebelum kita menikah resmi… bahkan dari malam pertama itu di Paris… aku berusaha meyakinkan diriku, mungkin rasa itu bisa tumbuh. Tapi ternyata tidak,” lanjutnya lirih. “Aku tidak ingin menyakitimu lebih jauh dengan diam. Tapi aku juga tidak mau menyentuhmu jika hatiku tidak di sana. Han