Tante Sisca meletakkan cangkir tehnya dengan pelan, lalu menatap mereka dengan ekspresi serius.“Larasati menemukan sesuatu yang seharusnya tetap terkubur. Sesuatu yang membuat Nathan kehilangan kendali.”Anya merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. “Apa itu, Tante?”Tante Sisca menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Nathan selama ini terlibat dalam ritual-ritual gelap. Dia bukan sekedar spiritualis biasa. Dia menggunakan ilmu itu untuk kekuatan dan kekayaan, bahkan melakukan tumbal manusia.”Rio mengepalkan tangannya. “Jadi, Larasati mengetahui ini?”Tante Sisca mengangguk. “Ya. Dia menemukan catatan-catatan rahasia Nathan. Dia membaca semuanya—tentang bagaimana Nathan mendapatkan kekuatannya, tentang orang-orang yang menjadi korban, dan yang paling mengejutkan…” Tante Sisca terdiam sejenak, lalu menatap mereka dengan tajam. “Larasati menemukan bukti bahwa Nathan sudah berencana untuk menumbalkannya.”Anya menahan napas, merasakan tubuhnya membeku. “Apa…?”Reza langsung berdi
Lift meluncur turun dengan cepat, tetapi jantung Anya berdetak lebih cepat lagi. Bayangan seseorang yang berdiri di lorong apartemennya masih tergambar jelas di pikirannya.Reza berdiri di sampingnya, wajahnya tegang. Begitu pintu lift terbuka di lantai dasar, ia segera meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat."Kita tidak bisa pakai mobilku," bisiknya. "Mungkin sudah diawasi."Anya menelan ludah. "Lalu kita pergi ke mana?"Reza melirik ke luar pintu kaca lobi, memastikan keadaan aman sebelum menarik Anya keluar ke jalan. Mereka berjalan cepat menuju sudut jalan di mana sebuah taksi online menunggu.Begitu masuk ke dalam mobil, Anya menarik napas dalam-dalam. "Reza, kalau ini benar-benar Nathan, kenapa dia masih mengejarku? Bukankah dia sudah lolos selama ini?"Reza menggertakkan rahangnya. "Karena kamu terlalu dekat dengan kebenaran. Mungkin ada sesuatu yang dia sembunyikan, sesuatu yang belum kita temukan."Taksi melaju melewati jalanan Jakarta yang lengang di tengah malam. Anya m
Reza membuka amplop dengan hati-hati. Anya menahan napas saat selembar kertas terlipat rapi keluar dari dalamnya. Tulisan tangan yang rapi namun penuh tekanan terlihat di atas kertas berwarna gading itu. "Jika kau ingin tahu kebenaran, temui aku di tempat Larasati menghilang." Anya menggigit bibir. “Tempat Larasati menghilang? Maksudnya di mana?” Reza berpikir sejenak, lalu matanya menyipit. “Jembatan tua dekat bukit. Itu tempat terakhir Larasati terlihat sebelum kecelakaan.” Jantung Anya berdebar semakin kencang. “Jadi kita ke sana sekarang?” Reza menatapnya dalam. “Ini bisa jadi jebakan, Anya.” Anya tahu itu. Tapi hatinya tidak bisa diam. Ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Larasati. “Kalau ini satu-satunya cara, aku akan datang,” ujar Anya tegas. Reza menghela napas, lalu menggenggam tangan Anya erat. “Kalau begitu, kita pergi bersama.” Hujan masih rintik saat mereka melangkah keluar, menuju malam yang penuh misteri. ** A
Perempuan itu menggigit bibirnya, jelas ada ketakutan yang belum sepenuhnya hilang dari dirinya. Namun, ia sudah mengambil keputusan."Aku akan bicara," katanya lirih.Anya dan Reza saling bertukar pandang. Ini adalah titik balik dari semua misteri yang selama ini menghantui mereka."Malam itu, Larasati menemui seseorang," perempuan itu mulai bercerita. "Ia terlihat gelisah, seolah tahu sesuatu yang bisa mengubah segalanya.""Nathan?" tebak Anya.Perempuan itu mengangguk. "Ya, Larasati menemui Nathan. Dia tahu rahasia yang selama ini disembunyikan oleh Nathan dan Tante Sisca. Sesuatu yang, jika terbongkar, akan menghancurkan mereka."Reza mengepalkan tangannya. "Apa rahasia itu?"Perempuan itu menggeleng pelan. "Aku tidak tahu pasti, tapi aku mendengar percakapan mereka. Larasati menuduh Nathan telah melakukan sesuatu yang keji di masa lalu. Sesuatu yang melibatkan… orang lain."Jantung Anya berdetak lebih cepat. "Siapa orang lain itu?"Perempuan itu menatap mereka dengan sorot mata p
Anya masih terdiam, memproses kata-kata maminya Rio. Ada sesuatu yang Larasati ketahui, sesuatu yang cukup besar hingga membuatnya terbunuh.Ponsel Anya tiba-tiba bergetar di dalam tasnya. Ia mengambilnya dan melihat sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:"Berhenti mencari tahu. Atau kamu akan bernasib sama."Darahnya berdesir. Anya menatap layar ponselnya dengan tegang."Kenapa?" tanya Reza pelan, melihat ekspresi Anya yang berubah.Anya menyerahkan ponselnya kepadanya. Reza membaca pesan itu, lalu rahangnya mengeras."Kita diawasi," gumamnya.Maminya Rio juga melihat pesan itu. Wajahnya semakin pucat. "Anya, lebih baik kamu mundur saja. Ini bukan urusan yang mudah."Tapi Anya menggeleng. Ada sesuatu yang lebih besar di balik kematian Larasati, dan kini seseorang mencoba menutupinya."Aku tidak bisa mundur sekarang," katanya tegas. "Larasati pantas mendapatkan keadilan."Reza menatapnya lekat-lekat. "Kalau begitu, kita harus lebih hati-hati. Kita tidak tahu siapa yang mengirim pe
Anya menatap layar ponselnya, jantungnya berdegup kencang. Pesan dari nomor tak dikenal itu terasa seperti peringatan serius."Berhenti mencari tahu atau kamu akan bernasib sama seperti Larasati."Reza melihat ekspresi Anya yang tegang dan langsung merebut ponselnya. Matanya menyipit saat membaca pesan itu. "Sial! Ini berarti kita sudah diawasi."Rio menghela napas berat. "Gue gak suka ini. Kalau mereka bisa menghabisi Larasati, berarti mereka gak segan-segan buat menyingkirkan siapa pun yang mengancam rahasia mereka."Anya menggigit bibirnya, pikirannya berputar cepat. "Tapi kita gak bisa mundur sekarang. Kita harus cari tahu siapa yang mengirim pesan ini dan sejauh mana keterlibatan Nathan."Reza mengangguk. "Kita harus berhati-hati. Gue bakal cek apakah kita bisa lacak nomor ini. Siapa tahu kita bisa tahu dari mana asal pesan ini dikirim."Rio menatap sekitar dengan gelisah. "Untuk sementara, kita harus lebih waspada. Jangan bergerak sendirian. Kalau mereka benar-benar berbahaya, k
Suara Larasati terdengar dari rekaman itu, suaranya bergetar, penuh ketakutan."Aku tahu semua tentang Nathan… tentang apa yang dia lakukan di balik semua ini. Aku nggak bisa diam aja. Aku harus kasih tahu seseorang. Kalau sesuatu terjadi padaku, tolong… cari kebenarannya.”Reza mengepalkan tangannya. "Sial, dia tahu sesuatu yang bisa membahayakan nyawanya."Rio meraih surat-surat yang ada di dalam kotak itu. "Ini dokumen keuangan… ada transfer besar ke rekening anonim. Dan lihat ini, ada catatan pengiriman seseorang ke luar negeri, tanpa identitas resmi."Anya menarik napas dalam. “Ini lebih besar dari yang kita kira.”Mereka bertiga saling bertukar pandang, sadar bahwa mereka baru saja menemukan bukti kuat tentang keterlibatan Nathan dalam sesuatu yang jauh lebih kelam dari dugaan mereka.Namun, sebelum mereka bisa mencerna semuanya, suara langkah kaki terdengar dari luar vila.Seseorang ada di sana.Dan mereka tidak datang dengan niat baik.**Suara langkah kaki mendekat semakin ce
Reza terus memacu mobilnya di jalanan yang semakin ramai. Klakson kendaraan lain bersahutan ketika ia menyalip dengan kecepatan tinggi. Anya menggenggam erat sabuk pengaman, jantungnya berdetak liar.“Mereka masih mengejar!” Rio berseru dari kursi belakang, matanya tak lepas dari kaca belakang. Dua motor itu tetap membuntuti mereka, bahkan semakin mendekat.Reza menekan pedal gas lebih dalam, mencoba mencari jalan keluar. Tapi tiba-tiba—jalan di depan mereka berakhir di sebuah gang buntu.“Sial!” Reza membanting setir ke kiri, namun ruang untuk berbelok terlalu sempit.Anya menoleh panik. “Kita harus keluar dari sini sekarang!”Motor pengejar berhenti beberapa meter dari mereka. Dua pria berpakaian hitam turun, salah satu dari mereka mengacungkan pistol ke arah mobil.Rio meraih pegangan pintu. “Kita harus lari ke dalam gang sebelum mereka menembak!”Reza dan Anya saling pandang sejenak, lalu mengangguk. Tanpa membuang waktu, mereka bertiga membuka pintu dan berlari ke gang kecil di s
Sore itu, langit mendung menggantung di atas kota. Suasana tegang melingkupi ruang kerja Pak Bagas saat mereka merencanakan pertemuan dengan El.“Lokasinya di gudang kosong dekat pelabuhan Sunda Kelapa,” kata Pak Bagas, meletakkan ponselnya di meja setelah percakapan dengan El berakhir.Reza mengernyit. “Tempat itu terlalu sepi. Kalau ini jebakan, Pak Bagas bisa dalam bahaya.”Anya menatap peta yang dibentangkan Rio. "Kalau kita posisikan tim di tiga titik pengawasan ini, kita bisa pantau area tanpa El menyadari," usulnya sambil menunjuk lokasi strategis.Rio mengangguk setuju. “Aku akan pimpin tim pengintai. Reza, kamu jagain Anya.”Reza melirik Anya dengan tatapan lembut namun penuh tekad. “Aku nggak akan jauh darimu.”Beberapa jam kemudian, saat senja mulai jatuh, mereka bergerak ke lokasi. Pak Bagas masuk lebih dulu ke dalam gudang tua yang nyaris runtuh, sementara Reza, Rio, dan Anya bersembunyi di jarak aman, memantau dari teropong kecil.El sudah menunggu di dalam, wajahnya puc
Di sudut parkiran, El duduk di dalam mobil hitam dengan kaca gelap. Wajahnya pucat dan tegang. Ia memandangi foto Anya yang tergeletak di kursi penumpang, lalu menatap ponselnya yang tak berhenti bergetar. Nama Nathan muncul di layar.Dengan ragu, El menjawab panggilan itu."Aku tahu kau bertemu mereka, El," suara Nathan terdengar dingin di seberang. "Jangan lupa siapa yang membesarkanmu, siapa yang membayarmu selama ini. Kau tahu apa yang harus kau lakukan."El terdiam beberapa detik, lalu menjawab pelan, "Aku tak akan membiarkan mereka menghancurkan kita. Tapi… aku tidak akan sakiti Anya."Panggilan terputus. El menghela napas panjang dan menutup matanya, jelas gelisah. Kenangan masa kecilnya bersama Larasati, kembarannya All, dan keterlibatannya dalam jaringan Nathan kembali terlintas di benaknya.Sementara itu, di apartemen Anya, Reza dengan sigap memeriksa setiap sudut ruangan, memastikan tak ada alat penyadap atau kamera tersembunyi. Anya memandangi pria itu dengan hati yang han
Keesokan paginya, matahari Bali menyinari lembut balkon kamar penginapan Anya dan Reza. Suasana masih hening, hanya suara ombak yang terdengar samar dari kejauhan. Anya duduk di kursi rotan, matanya menatap kosong laut biru, pikirannya terus memutar kata-kata Guru Adarma.Reza keluar dari kamar membawa dua cangkir kopi hangat. Ia menyerahkan satu ke Anya, lalu duduk di sampingnya. “Masih kepikiran soal El dan Rio?”Anya mengangguk pelan. “Aku merasa semuanya belum selesai, Za. Perasaan aku nggak tenang.”Reza menarik napas dalam. “Kita selesaikan satu per satu, pelan-pelan. Kita sudah jauh sampai sini, Anya. Kita harus tetap kuat.”Tiba-tiba ponsel Anya bergetar. Pesan singkat masuk dari nomor tak dikenal. “Kalau kau ingin tahu siapa sebenarnya El dan keterkaitannya dengan Nathan, temui aku di kafe dekat apartemenmu, sepulang dari Bali.”Anya menunjukkan pesan itu pada Reza. Ia mengernyit curiga. “Kita harus hati-hati. Jangan-jangan jebakan.”Anya menggigit bibir. “Tapi kalau benar ad
Anya dan Reza saling bertukar pandang, kegelisahan mulai meresap. "Jadi, ini sudah waktunya," kata Anya, suaranya tenang meskipun ketakutan merayapi hatinya."Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain maju," jawab Reza, sambil menatap El yang sejak tadi diam. "El, apa yang kamu tahu tentang Rio? Dia lebih terlibat dalam permainan ini daripada yang kita kira."El yang sedari tadi terdiam, kini melangkah mendekat, matanya penuh keseriusan. "Rio… dia selalu ada di sekitar Nathan. Tapi aku rasa dia lebih dari sekadar sekutu. Aku pernah mendengar Nathan berbicara tentang Rio sebagai seseorang yang bisa ‘menyelesaikan pekerjaan kotor’. Itu berarti, kita menghadapi lebih dari sekadar ancaman biasa."Anya mengangguk, mengerti. "Jadi, kita harus memutar otak. Aku tidak akan menyerahkan apapun pada mereka."Reza menggenggam tangan Anya dengan erat. "Kita akan bertindak lebih cepat. Jika kita terus menunda, mereka akan lebih dulu bergerak."Malam itu, setelah pertemuan yang panjang, mereka me
Guru Adarma melangkah masuk dengan tenang. Tatapannya dalam, seolah bisa membaca pikiran Anya, Reza, dan El hanya dengan melihat sorot mata mereka. Ia duduk di kursi rotan dekat jendela, mengeluarkan sebuah map kulit tua yang terlihat usang.“Apa yang saya pegang ini,” ucapnya sambil meletakkan map di atas meja, “adalah salinan dokumen yang selama ini dicari Nathan dan orang-orangnya. Larasati sempat menyerahkannya padaku sebelum kecelakaan itu.”Anya membungkuk, jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar saat membuka map tersebut. Di dalamnya ada salinan kontrak, rekening transfer ilegal, serta catatan rahasia tentang penyelundupan data yang melibatkan beberapa perusahaan besar.Reza memicingkan mata, membaca cepat isi dokumen. “Ini… bisa menghancurkan Nathan. Bukti ini cukup kuat untuk menyeret dia ke pengadilan.”Guru Adarma mengangguk pelan. “Benar. Tapi ada syaratnya, Anya.”Anya menegakkan badan, menatap Guru Adarma dengan tatapan penuh tanya.“Kau harus memastikan dokumen i
Sementara itu, di balik pepohonan, El berdiri diam. Dadanya berdegup kencang. Melihat Anya begitu tenang bersama Reza membuat hatinya berkonflik. Tugasnya jelas—mengambil kembali dokumen yang disimpan Anya dan memastikan Anya tidak akan membocorkan rahasia jaringan mereka. Tapi bayangan untuk menyakiti Anya membuatnya bimbang.“Fokus, El,” gumamnya sendiri, mencoba mengusir keraguan.Malam harinya, di penginapan sederhana yang mereka tempati, Anya memutuskan untuk melakukan meditasi lebih dalam. Ia menyalakan lilin dan duduk bersila, mencoba membaca energi siapa yang sebenarnya mengintai mereka.Dalam penglihatannya yang hening, bayangan sosok El muncul. Wajahnya samar, tapi tatapannya jelas. El tampak gelisah, seolah ingin bicara tapi tertahan sesuatu.Anya tersentak membuka mata. Jantungnya berdegup cepat. “El…” bisiknya. “Dia di sini.”Reza yang duduk tak jauh darinya langsung menghampiri. “El? Kau yakin?”Anya mengangguk. “Dia mengikuti kita. Aku harus bicara dengannya. Aku perlu
Keesokan paginya, Anya dan Reza tiba di sebuah desa kecil di lereng gunung, tempat di mana Guru Adarma tinggal. Udara sejuk dan pemandangan hamparan sawah menghiasi perjalanan mereka.Reza memarkirkan mobil di depan rumah kayu sederhana namun terawat. Seorang pria paruh baya berwajah teduh, berjanggut putih, dan mengenakan pakaian serba putih menyambut mereka di teras. Matanya tajam namun penuh ketenangan."Selamat datang, Anya… Reza," sapa Guru Adarma.Anya menunduk hormat. "Terima kasih sudah mau menerima kami, Guru."Guru Adarma mengangguk dan mempersilakan mereka masuk ke dalam. Di ruangan dalam, suasana hening dan damai. Aroma dupa lembut menyelimuti ruangan. Anya mengeluarkan map berisi dokumen yang didapatkannya, lalu meletakkannya di hadapan sang guru."Guru, saya perlu bimbingan Anda. Semua ini terlalu besar untuk saya pahami sendiri. Ini semua tentang ayah saya, tentang El, dan… tentang masa lalu yang terus menghantui saya," suara Anya lirih namun tegas.Guru Adarma membuka
Dengan penuh keberanian, Anya melangkah masuk. Ruangan dalam rumah remang-remang, hanya diterangi cahaya lampu minyak di sudut. Di tengah ruangan ada seorang pria tua duduk di kursi goyang, wajahnya sebagian tertutup bayangan, namun sorot matanya tajam mengamati Anya.“Aku yang kirim surat itu,” katanya perlahan. “Namaku Wiratma. Aku sahabat ayahmu dulu… dan aku tahu kenapa Larasati harus mati.”Anya menahan napas, jantungnya berdebar. “Tolong ceritakan semuanya…”Wiratma menunduk sejenak, lalu menatap Anya dengan mata sendu. “Ayahmu, Nathan… dia terlibat dalam jaringan pencucian uang dan perdagangan benda-benda antik ilegal sejak 30 tahun lalu. Larasati dulu mengetahui semuanya secara tak sengaja karena dia menemukan dokumen rahasia. Ia berusaha membongkar semuanya, tapi sayangnya… dia keburu dihabisi.”Anya tertegun. “Jadi… ayahku benar-benar…?”Wiratma mengangguk perlahan. “Sayangnya iya. Larasati terlalu dekat dengan kebenaran. Dan ada lebih banyak orang yang terlibat. Termasuk El
Dari balik pintu terdengar suara tenang, familiar.“Ini aku, Rio. Boleh masuk?”Reza menghela napas lega dan membuka pintu. Rio masuk dengan ekspresi serius. “Aku dengar kalian lagi dalam masalah. Aku bisa bantu?”Anya mendekat, ragu-ragu. “Dari mana kamu tahu?”Rio menunjukkan ponselnya. “Aku juga dapat pesan ancaman yang sama. Kayaknya mereka nggak cuma awasi kalian, tapi aku juga.”Reza mengernyit curiga. “Kamu yakin nggak ada keterlibatanmu, Rio?”Rio menatap Reza dengan sorot jujur. “Reza, aku suka Anya, iya. Tapi aku nggak sejahat itu. Aku nggak akan membahayakan dia.”Anya terdiam. Situasi ini makin rumit. Namun di tengah ketegangan itu, ia merasa satu hal pasti — ia tidak sendirian. Reza dan Rio, meskipun dalam posisi yang sulit, sama-sama ingin melindunginya.“Kalau begitu, ayo kita bertiga ke kantor polisi. Kita selesaikan ini sama-sama,” ujar Anya mantap.Reza dan Rio mengangguk. Mereka bertiga melangkah keluar apartemen, membawa bukti rekaman dan tekad kuat. Meski bayang-b