Hujan belum reda saat Anya menyalakan lilin di sudut apartemennya. Listrik tiba-tiba padam sejak lima belas menit lalu. Petir menyambar, menggetarkan kaca jendela. Dan entah mengapa, malam ini terasa lebih sunyi, seolah ada sesuatu yang menahan waktu.Anya duduk di dekat jendela, sambil menggenggam satu kartu tarot—The Moon. Kartu yang selalu muncul belakangan ini. Simbol ilusi, kebohongan, dan kebenaran yang tersembunyi.Tiba-tiba, ponselnya menyala. Pesan suara dari Dinda."Anya… aku butuh bicara. Aku baru saja cek rekaman asli dari flashdisk kamu. Ada bagian yang seperti dimanipulasi. Seseorang mencoba menghapus satu detail penting. Tapi aku berhasil ambil kembali datanya. Ada nama lain yang terlibat. Bukan hanya Nathan."Jantung Anya berdebar cepat."Kita harus ketemu. Tapi jangan di tempat biasa. Aku takut kita sedang dipantau. Kirim aku lokasi yang aman. Dan satu lagi… hati-hati dengan Reza. Aku belum yakin, tapi—”Pesan berhenti. Terputus. Tidak selesai.Anya menatap ponselnya
Pagi itu, Anya kembali membuka satu kotak tua yang sebelumnya belum sempat dibuka. Di dalamnya terdapat beberapa lembar jurnal, secarik peta kecil bergambar simbol aneh, dan sebuah liontin perak berbentuk bulan sabit.Ia memutar liontin itu, dan ternyata bisa dibuka. Di dalamnya ada potongan foto kecil—wajah seorang bayi laki-laki. Di belakangnya tertulis inisial: E.N."El dan… Nathan?" gumamnya pelan.Rio yang datang tanpa pemberitahuan langsung duduk di seberangnya. “Apa kamu tahu... kalau Nathan pernah ikut komunitas spiritual underground? Tempat orang-orang bicara soal reinkarnasi, manipulasi energi, bahkan eksperimen jiwa?”Anya mengangkat alis. “Kamu yakin ini bukan teori konspirasi?”“Aku baru saja pulang dari tempat itu. Dan kamu harus lihat ini,” kata Rio sambil membuka ponselnya. Ia menunjukkan video pendek yang direkam diam-diam. Terlihat Nathan sedang memimpin semacam ritual, mengenakan pakaian hitam dengan simbol bulan dan mata.Di belakang Nathan, tampak El berdiri… mata
Anya berdiri di depan kaca di apartemennya malam itu, menatap bayangan dirinya yang samar, seolah mencoba membaca sesuatu yang tak bisa dijelaskan hanya lewat logika. Pikirannya sibuk dengan apa yang baru ia temukan di restoran. All—kembaran El—datang menyamar. Tapi apa niatnya?Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Nomor tak dikenal.“Anya,” suara berat terdengar di seberang. “Kamu belum tahu segalanya tentang All.”Anya terdiam. “Siapa ini?”“Aku seseorang yang pernah ada di lingkaran mereka. El dan All. Mereka tidak hanya kembar biasa. Mereka bagian dari eksperimen lama, dan hanya satu yang stabil. Tapi... yang satunya memiliki kemampuan spiritual lebih tinggi.”Jantung Anya berdegup cepat. “Kamu bicara soal All?”“Ya. All tidak hanya menyamar. Dia mengambil identitas El. Secara perlahan. El menghilang, dan All mulai menyusup ke hidup semua orang yang pernah dekat dengan El, termasuk kamu, Rina, bahkan Nathan.”“Kenapa?”“Karena El tahu sesuatu tentang kematian Larasati yang seharusnya ti
Pagi itu mendung menggantung, seolah langit tahu bahwa akan ada rahasia yang terbongkar. Anya dan Rina berkendara menuju vila tua yang ada di foto, tempat yang disebut-sebut sebagai pusat aktivitas Nathan dan mungkin juga All.Jalan menuju vila itu dipenuhi pohon besar dan semak-semak tinggi. Udara dingin menusuk kulit. Saat mereka tiba, bangunan tua dengan cat terkelupas dan jendela-jendela tinggi itu berdiri angkuh, seperti menyimpan kisah kelam yang tak ingin diungkap."Ini tempatnya..." gumam Rina pelan, matanya menyapu setiap sudut bangunan.Mereka mendorong pintu kayu yang sudah rapuh. Bunyi deritnya menggema ke seluruh ruangan. Debu beterbangan, aroma kayu lembap menyeruak. Di dinding terdapat lukisan-lukisan abstrak, sebagian rusak dan jatuh. Tapi di tengah ruangan, ada sesuatu yang membuat Anya terdiam: sebuah papan altar spiritual, lengkap dengan lilin yang sudah meleleh dan simbol-simbol aneh di sekitarnya."Ada yang masih pakai tempat ini," bisik Anya.Rina berjalan ke sis
Anya menatap Alaric dengan napas memburu. Kata-kata terakhirnya masih berputar di kepala: “Tubuhmu.” Jantungnya berdegup keras, seperti ingin memberontak keluar dari dada.“Apa maksudmu... tubuhku?” bisiknya nyaris tak terdengar.Alaric menunduk, suaranya dalam dan pelan, “Kamu bukan hanya keturunan, Anya. Kamu adalah wadah sempurna yang telah Nathan persiapkan sejak awal. Lahir dari garis darah yang dipilih... dan terikat oleh waktu.”“Tidak...” Anya menggeleng. “Aku bukan bagian dari ini. Aku hanya pembaca tarot. Aku hanya ingin tahu kebenaran.”“Justru karena itu,” Alaric melangkah mendekat, “intuisi dan jiwamu telah membuka portal yang tertutup. Setiap bacaanmu, setiap langkahmu, telah menggiringmu ke titik ini.”Rina menarik tangan Anya. “Kita harus pergi. Sekarang.”Namun Alaric menghentikan mereka dengan suara tegas, “Jika kamu pergi sekarang, kamu akan membiarkan Nathan menyatu denganmu. Tapi kalau kamu tetap di sini, aku bisa bantu... melepaskanmu dari garis nasib yang dia tu
Pagi setelah peristiwa itu, suasana di apartemen Anya tak lagi sama. Udara terasa lebih ringan, tapi juga penuh dengan sisa-sisa kelelahan jiwa. Anya duduk di depan jendela, menatap langit yang mendung, secangkir teh hangat di tangan.Rina masuk pelan, membawa sepiring roti. “Kau belum makan sejak semalam.”Anya menoleh dan tersenyum lemah. “Terima kasih. Aku hanya masih… memikirkan semuanya.”Rina duduk di sampingnya. “Kita semua kaget, Anya. Tapi kau luar biasa. Kau melindungi banyak orang.”Anya menarik napas dalam-dalam. “Tapi aku juga kehilangan banyak. Aku kehilangan sosok ayah yang seharusnya… meskipun dia bukan ayah dalam arti sebenarnya.”Rina menunduk. “Kau masih punya kami.”Anya mengangguk pelan. “Aku tahu. Dan aku bersyukur.”Lalu pintu diketuk. Anya berdiri, membuka perlahan. Di sana berdiri Reza. Matanya lelah, tapi dalam tatapannya ada harapan yang jujur.“Boleh aku masuk?”Anya menatapnya sebentar, lalu mengangguk. Reza masuk, lalu duduk di sofa. Suasana canggung sesa
Anya berdiri di tengah ruang meditasi tua yang dulu pernah digunakan Larasati di pusat pelatihan spiritual Nathan. Udara di dalam ruangan itu dingin, meski siang matahari menyengat di luar. Lantainya dari kayu gelap yang sudah sedikit lapuk. Tak ada siapa-siapa. Hanya Anya, senter kecil, dan rasa berdebar di dadanya.Ia ingat ucapan Adrian: "Larasati pernah bilang ada sesuatu yang dikubur di bawah papan lantai ruang itu."Dengan hati-hati, Anya menelusuri papan demi papan. Tangannya menyapu permukaan kayu yang berdebu. Lalu... klik. Suara aneh dari salah satu papan. Ia dorong dengan pelan. Papan itu terangkat, memperlihatkan rongga kecil... dan sebuah kotak besi tua di dalamnya.Jantung Anya berdegup kencang. Ia mengangkat kotak itu—berat. Ada kunci kombinasi. Tapi stiker kecil yang menempel di sisi kotak membuat matanya terbelalak."KODE: 170384"Tanggal lahirku…? pikir Anya, bingung. Ia memutar kombinasi itu—dan klik—kotak terbuka.Isinya: foto-foto lama, surat tangan, dan flashdisk
Anya melangkah perlahan mendekati lemari besi yang menganga. Jantungnya berdetak cepat, seolah memberi isyarat bahwa apa pun yang ada di dalam sana… bisa mengubah segalanya.Adrian menyorotkan senter ke dalam. Rak-rak logam berlapis debu menampung tumpukan map tua, berkas, dan kotak kecil berlabel simbol aneh—tanda okultisme yang pernah Anya lihat di salah satu kartu tarot kuno.Di tengah, ada satu kotak kayu berwarna merah darah.Anya menarik napas dalam-dalam dan membuka kotak itu.Isinya:Sebuah liontin berlambang mata ketigaSurat tangan dengan tinta hitam, terbaca:“Untuk Anya, jika kamu membaca ini, maka kamu sudah berada di tengah lingkaran. Jangan percaya siapapun, bahkan dirimu sendiri.”Satu kartu tarot yang tak pernah Anya miliki sebelumnya. Tidak termasuk dalam 78 kartu mayor maupun minor. Bergambar dua anak perempuan yang saling berhadapan dengan cahaya menyinari dari atas.“Ini... bukan kartu biasa,” bisik Anya. “Seperti… dibuat khusus.”Adrian membaca pelan tulisan di b
Anya tertawa pelan sambil menunjukkan pesan itu pada Reza.“Kayaknya sahabatku sudah nggak sabar ikut heboh.”Hari itu mereka kembali ke Jakarta dengan hati penuh rencana. Setibanya di apartemen, mereka langsung menemui orang tua Anya dan Reza. Kedua keluarga menyambut dengan suka cita dan mendukung rencana mereka sepenuhnya.Minggu-minggu berikutnya diisi dengan berbagai kesibukan. Reza menemani Anya memilih undangan, fitting kebaya akad, dan mencari tempat resepsi yang sesuai. Rio, meskipun menahan rasa di hati, ikut membantu menjadi koordinator tamu.Suatu sore di kafe langganan dekat apartemen, Rina, Anya, dan Rio berkumpul untuk membicarakan konsep dekorasi. Rina bersemangat menunjukkan moodboard yang sudah ia siapkan, sementara Rio diam-diam memperhatikan Anya dengan tatapan lembut.“Anya, kamu benar-benar bahagia sekarang, ya?” tanya Rio, suaranya tenang.Anya mengangguk penuh keyakinan.“Iya, Rio. Aku yakin Reza orang yang tepat untuk aku.”Rio mengulum senyum. Ia menunduk sej
Pagi itu, udara Bali begitu sejuk, seolah menyambut lembaran baru dalam hidup Anya dan Reza. Deburan ombak terdengar lembut dari kejauhan, menenangkan hati yang selama ini penuh ketegangan.Anya menatap ke arah balkon vila tempat mereka menginap. Reza sedang berbicara santai dengan Rio, keduanya tampak jauh lebih tenang dan damai setelah semua yang terjadi.Tak ada lagi bayang-bayang masa lalu. Tak ada lagi kejaran musuh ataupun ancaman kekuatan gelap.Anya tersenyum sendiri. Siapa sangka, perjalanan panjang penuh luka dan air mata ini akhirnya berujung pada ketenangan dan cinta sejati?Saat Reza menyadari tatapan Anya, ia segera menghampirinya dan menggenggam tangannya.“Kamu kelihatan tenang pagi ini.”Anya mengangguk pelan.“Setelah semua yang terjadi… aku rasa ini saatnya kita mulai merangkai masa depan yang baru.”Reza tersenyum, lalu menarik Anya perlahan menuju meja sarapan di taman kecil vila mereka. Meja itu sudah dihiasi bunga kamboja putih dan minuman segar khas Bali.“Pagi
Suasana pura kembali menegang. Langit di atas kepala mereka tampak mulai gelap, padahal matahari belum sepenuhnya terbenam. Awan hitam berkumpul, menciptakan tekanan udara yang menyesakkan.Anya dan Reza berlari kembali ke lingkaran pelindung, tempat Guru Adarma berdiri tegap meskipun napasnya sudah mulai berat. Lelaki tua itu menoleh ke arah mereka, tatapannya tajam namun penuh ketenangan.“Bram dan anak buahnya akan melancarkan serangan kedua,” kata Guru Adarma, suaranya dalam dan mantap. “Kali ini mereka tidak hanya mengincar liontinmu, Anya. Mereka ingin membuka gerbang dimensi yang akan membangkitkan kekuatan kegelapan yang selama ini tersegel.”Anya mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya. Tangannya masih erat dalam genggaman Reza."Apa yang harus kami lakukan, Guru?"Guru Adarma tersenyum samar.“Percayakan segalanya pada keyakinan dan cinta kalian. Itu kunci terakhir yang bisa menetralisasi kekuatan mereka.”Sementara itu, dari sisi lain pura, Bram, Rangga, dan Rio telah
Langit malam di Bali mulai gelap pekat. Aroma dupa dari Pura Guru Adarma semakin menyebar, membungkus suasana dengan keheningan dan kesakralan. Anya duduk bersila di dalam lingkaran pelindung bersama Reza dan Rio. Di hadapan mereka, Guru Adarma menutup mata, tangan beliau membentuk mudra kuno, mulutnya terus melantunkan mantra dengan suara stabil.Cahaya lilin di sekeliling mereka tampak bergetar. Liontin di leher Anya bersinar samar, rona keemasan menyelimuti tubuhnya perlahan. Energi perlindungan mulai terbentuk sempurna.Namun, di luar pagar pura, Bram, Rangga, dan Andre sudah memulai gerakannya. Andre mengeluarkan kain hitam bertuliskan aksara kuno yang telah dirapal mantra hitam."Begitu ini ditempelkan di gerbang, pagar pelindung pura mereka akan melemah," gumam Andre dengan suara serak.Rangga mengangguk. "Cepat, sebelum energi perlindungan mereka sempurna."Dengan cekatan, Andre menempelkan kain itu di pintu gerbang pura. Angin malam mendadak berhembus kencang, langit yang se
Pagi itu, udara di Jakarta terasa lebih sejuk dari biasanya. Anya terbangun dengan perasaan sedikit lebih tenang setelah pesan suara dari Guru Adarma semalam. Ia segera menelepon Reza dan Rio, mengajak mereka bertemu di kafe langganan dekat apartemen.Saat mereka bertiga duduk bersama, Anya mengeluarkan ponselnya dan memutar ulang pesan suara itu. Suara Guru Adarma kembali menggema, membuat mereka semua saling pandang penuh arti.Rio mengernyit.“Kalau Guru Adarma sampai menghubungi, berarti ini bukan ancaman biasa. Beliau orang yang sensitif secara spiritual, kita harus anggap serius.”Reza mengangguk, wajahnya tenang namun penuh perhatian.“Anya, aku rasa kita perlu ke Bali lagi. Kita harus bertemu Guru Adarma. Mungkin beliau punya petunjuk yang bisa membantu kita menghadapi ancaman ini.”Anya menatap Reza, ada keraguan di matanya, tapi juga harapan.“Baik. Kita berangkat akhir pekan ini.”Sementara itu, Dimas tetap di Jakarta untuk menjaga pengamanan digital dan fisik mereka. Ia me
Pagi harinya, udara Jakarta yang biasanya bising terasa semakin mencekam bagi Anya dan Reza. Meski berita besar sudah tersebar luas, mereka sadar — bahaya justru mulai mendekat.Di ruang tamu apartemen, Anya, Reza, Arman, Maya, dan Pak Surya duduk melingkar, mendiskusikan langkah selanjutnya. Ponsel Anya terus berbunyi — pesan dukungan, permintaan wawancara, dan… pesan ancaman anonim.Pak Surya menekankan, “Mulai hari ini, kita harus tingkatkan keamanan. Jangan bepergian sendirian. Kalau perlu, kita pakai jasa pengamanan pribadi untuk sementara waktu.”Reza menggenggam tangan Anya erat. “Aku gak akan lepas kamu. Kita lewati semua ini sama-sama.”Maya menimpali dengan tegas, “Aku sudah hubungi temanku yang di LSM. Mereka bisa bantu awasi dan beri perlindungan kalau situasi makin panas.”Sementara itu, di tempat lain, Bram dan Andre bertemu di sebuah vila tersembunyi milik salah satu kolega mereka. Wajah Andre gelap penuh amarah.“Kalau data ini terus tersebar, kita selesai. Kita butuh
Setelah malam yang penuh ketegangan, pagi itu rumah Arman terasa lebih tenang. Anya duduk di meja makan, menatap secangkir teh hangat yang mengepul perlahan. Reza dan Arman duduk di ruang tamu, membicarakan langkah selanjutnya, sementara Maya sesekali melirik ke arah pintu jendela, masih dibayangi kecemasan.Reza bangkit dari kursi dan menghampiri Anya. Tangannya lembut menyentuh bahu perempuan yang dicintainya itu.“Kita sudah sangat dekat, Anya. Data dari Maya bisa jadi kunci utama untuk membuka semuanya,” ucapnya dengan nada yakin.Anya mengangguk pelan. “Aku tahu… Tapi aku masih penasaran satu hal, Reza. Kenapa Bram dan Andre begitu berani? Seolah-olah mereka tak takut dengan siapa pun.”Arman yang mendengar itu ikut bergabung. Ia menatap serius, lalu berkata,“Karena mereka punya orang dalam di lembaga hukum. Polisi, jaksa, bahkan beberapa petinggi bisnis yang melindungi mereka. Kalau kita mau menang, kita harus cari cara agar data ini sampai ke tangan yang bersih.”Maya tiba-ti
Anya menunjukkan pesan itu ke Reza.Mereka saling bertukar pandang — firasat mereka mengatakan, malam ini akan menjadi malam yang panjang dan penuh jawaban.***Matahari mulai condong ke barat saat Reza dan Anya kembali ke apartemen untuk bersiap. Suasana hening sepanjang perjalanan; keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing tentang pesan misterius yang baru saja mereka terima.Pukul 18.45, mereka sudah tiba di Kafe Seroja — kafe kecil bergaya vintage dengan interior kayu dan lampu temaram. Kafe itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pengunjung yang asyik dengan kopi dan laptop mereka.Reza memilih meja di sudut ruangan yang menghadap pintu masuk. Anya duduk di seberangnya, matanya sesekali melirik ke sekitar. Tepat pukul 19.00, pintu kafe berderit terbuka.Masuklah seorang pria paruh baya, berjaket hitam dan celana kain gelap. Rambutnya sudah memutih di pelipis, namun sorot matanya tajam dan penuh perhitungan. Ia melangkah mantap ke arah meja mereka dan duduk tanpa diundang.“
"Ini bukan orang biasa," gumam Reza. "Namanya Harun. Dulu dia pengacara gelap yang pernah terkait dengan kasus korupsi besar-besaran, tapi lolos karena kurang bukti."Rangga mengangguk. "Benar. Aku juga temukan bahwa Andre dan Harun bekerja sama untuk menguasai salah satu perusahaan properti warisan milik keluarga Nathan. Mereka ingin mengalihkan aset besar ke rekening luar negeri menggunakan dokumen palsu."Anya mengernyit. "Tapi bukankah aset-aset itu masih dalam proses hukum setelah Nathan tertangkap?""Justru itu. Mereka memanfaatkan kekosongan dan celah hukum. Kalau mereka berhasil, bisa jadi semua properti itu lenyap tanpa jejak," jelas Rangga.Reza mengepalkan tangan, rahangnya mengeras."Kita nggak bisa diam saja. Aku punya beberapa kolega di kejaksaan yang bisa bantu percepat proses blokir aset. Tapi kita butuh bukti konkret keterlibatan Andre dan Harun."Rangga tersenyum tipis dan menarik satu amplop cokelat dari tasnya."Aku sudah siapkan ini. Ada rekaman percakapan dan sal