"Kakak nggak boleh egois gitu lah sama aku. Masa iya cuma gara-gara Kakak belum mau menikah sekarang-sekarang sama Mbak Friska, aku jadi gagal menikah? Aku sama Kak Robert sudah sepakat, kami melakukan ta'aruf selama sebulan lalu menikah." Suaraku meninggi, menunjukkan rasa kesalku yang mulai memuncak. Aku merasa Kak Juna bersikap terlalu egois dan tidak adil.
"Bagaimana bisa kamu semudah itu ta'arufan dengan Robert, bukankah belum lama kamu nembak Kakak, ya, Dek? Apakah kamu secepat itu melupakan rasa cintamu kepada Kakak? Kamu kejam sih, Dek." Matanya berkaca-kaca, suaranya bergetar, menunjukkan rasa sakit hatinya.Dia ini aneh sekali, aku begini 'kan gara-gara dia, dia yang meminta."Kan Kakak sendiri yang minta aku buat hapus rasa cintaku pada Kakak. Melupakan momen saat aku nembak Kakak. Terus... salahku dimana kalau aku ta'arufan dengan Kak Robert?" Aku mencoba menjelaskan dengan tenang, mencoba untuk membuatnya mengerti posisiku."Y"Anggap saja kita akan bermain kuis, Mas," jawab Om Ipil, senyumnya terlalu lebar, nyaris seperti seringai. "Dan kebetulan kuis ini bertujuan untuk bagi-bagi rezeki saja, karena memperingati hari ulang tahun saya.""Benar, Mas, apa kata teman saya. Kami memang sering bagi-bagi rezeki ke orang lain, dan sekarang Mas lah yang sedang beruntung karena berhasil terpilih," tambah Om Upil, nadanya terlalu bersemangat, seperti seorang sales yang berusaha menjual produknya. Dia menepuk-nepuk pundak Juna, terlalu keras, seolah ingin memastikan dia tidak kabur.Juna terdiam sejenak, mencoba mencerna penjelasan kedua pria aneh itu. Otaknya berputar, mencari logika dalam situasi yang absurd ini. Jika memang benar alasannya karena ingin bagi-bagi rezeki, kenapa harus dengan cara seperti ini? Tapi, di sisi lain, dia sangat membutuhkan uang. Menolak rezeki sama dengan menolak pertolongan Allah."Baiklah, aku bersedia," jawab Juna, setelah bergelut dengan pikirannya. Dia mengambil keputusan dengan ber
"Love, aku ...." "Selamat pagi, anak-anak." Suara bariton seorang dosen pria tiba-tiba memecah keheningan kelas. Sosoknya yang tegap dan berwibawa baru saja memasuki ruangan, membawa setumpuk buku di tangannya. "Ayo, duduk di kursi masing-masing, kita akan mulai kelas pagi ini." Ucapan Silvi tertelan begitu saja. Dia merasakan jantungnya berdegup semakin kencang, bercampur antara rasa gugup dan kecewa. Kehadiran dosen itu menggagalkan niatnya untuk berbicara dengan Love saat ini. Mau tidak mau, Silvi pun mengurungkan niatnya. Dengan langkah gontai, dia segera menuju kursinya dan duduk. Matanya masih sesekali melirik ke arah Love, yang tampak menghindari tatapannya. 'Nanti saja deh, pas istirahat,' batin Silvi, mencoba menenangkan diri. Dia berharap, saat istirahat nanti, Love bersedia mendengarkannya. Dia sudah menyiapkan kata-kata yang akan diucapkannya, berharap Love bisa mengerti dan memaafkannya. * * Di tempat berbeda. Setelah membeli dua ponsel pintar terbaru, satu
"Eh, Dek. Kamu sudah bangun?" gumam Juna seraya mengucek matanya, menyadari kehadiran Silvi di dekatnya. Namun, dahinya langsung berkerut dalam, memperhatikan istrinya yang tampak aneh, menutupi wajah dengan kedua tangan. "Tapi kenapa kamu menutupi wajahmu begitu?" tanyanya dengan nada bingung dan sedikit khawatir. "Eng-enggak! Enggak apa-apa, Kak!" sahut Silvi dengan nada panik yang kentara. Tanpa menunggu jawaban, dia berbalik dan buru-buru melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Juna yang termangu dengan ekspresi kebingungan yang semakin menjadi. "Aku mandi duluan, Kak!" serunya dari ambang pintu, sebelum benar-benar menghilang di balik dinding. Juna terdiam, menatap nanar ke arah pintu yang baru saja tertutup. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. "Kenapa dia? Aneh banget." * * Usai sarapan, mereka berdua berangkat menuju kampus. Mobil melaju membelah jalanan Jakarta yang mulai ramai, namun suasana di dalam mobil terasa
Ting! Ponsel Robert tiba-tiba berdengung, memecah keheningan. Sebuah notifikasi chat masuk dari Daddynya. Ternyata, dia juga telah melewatkan dua panggilan masuk tanpa disadari. [Kamu ada di mana, Rob? Ini sudah lewat dari jam lemburmu lho. Cepat pulang!] "Eemm... Om, Tante, aku sepertinya harus pulang. Daddyku orangnya agak rewel kalau aku pulang telat," kata Robert, berniat pamit. Semenjak dia gagal menikah untuk kedua kalinya, Daddy Joe menjadi protektif dan selalu mencemaskannya secara berlebihan jika dia telat pulang. "Eh, tunggu, berapa nomor rekeningmu, Rob?" Daddy Irfan memegang tangan Robert, saat dia baru saja berdiri, menawarkan sesuatu yang tak terduga. "Nomor rekening buat apa, Om?" tanyanya, tampak bingung. "Buat ganti biaya bensin ke rumah sakit," jawab Daddy Irfan dengan nada tulus, merasa tak enak karena sudah merepotkan Robert di tengah malam. Robert menggeleng cepat, menolak tawaran itu dengan sopan. "Nggak usah, Om. Aku ikhlas kok nolongnya," ujarnya
"Overdosis obat tidur bisa sangat berbahaya, tergantung pada dosis dan jenis obat yang dikonsumsi. Untungnya, pasien cepat dibawa ke rumah sakit. Dan untuk saat ini, pasien masih dalam pengaruh obat, jadi dia akan merasa sangat lemas dan mengantuk. Namun, secara umum, kondisinya sudah stabil dan kami optimis dia akan segera pulih," jawab dokter tersebut, berusaha meyakinkan mereka dengan senyum tipis yang profesional, namun matanya memancarkan kelelahan. Daddy Irfan dan Mommy Indri menghela napas lega. Beban berat di dada mereka sedikit terangkat, namun bayangan ketakutan masih menari-nari di benak. Mereka tidak ingin kehilangan Friska. Entah bagaimana jadinya jika putri semata wayang mereka itu benar-benar pergi. Dunia mereka pasti akan runtuh. "Terima kasih banyak, Dok," kata Daddy Irfan dengan suara serak, mencoba mengukir senyum di bibirnya yang terasa kaku. "Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya permisi, dan untuk sementara waktu ... putri Bapak dirawat inap dulu di sini, ya? Kami
Di tengah perjalanan, mobil Daddy Irfan mendadak mati. Deru mesin yang tadinya meraung kencang tiba-tiba berhenti. Daddy Irfan menggerutu kesal, "Lagi genting begini bisa-bisanya bensinku habis," umpatnya sambil membanting setir. Dia segera turun dari mobil, membuka bagasi depan dengan kasar, dan benar saja, jarum indikator bensin menunjuk angka nol. "Ada apa, Dad? Kenapa mobilnya?" tanya Mommy Indri, nada suaranya dipenuhi kecemasan saat kaca mobilnya diturunkan. Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca menatap suaminya. "Bensinnya habis, Mom. Kita naik taksi saja, ya?" jawab Daddy Irfan dengan nada frustrasi. "Ya sudah, cepat cari taksi, Dad," desak Mommy Indri, suaranya bergetar. Waktu terasa begitu berharga saat ini. Daddy Irfan langsung menoleh ke kanan dan ke kiri, matanya liar mencari-cari taksi yang lewat. Jalanan tampak sepi. Saat taksi tak kunjung terlihat, matanya tiba-tiba menangkap sebuah mobil mewah berwarna hitam mengkilat yang hendak melintas. Melihat itu, deng