Share

Bagian 4

GAIRAH CINTA ROOSJE

Penulis : David Khanz

Bagian 4

------- o0o -------

“Maafkan saya, Nona. S-saya ....”

“Sudahlah. Lupakan saja. Sekarang, antarkan saja saya pulang. Saya takut Papah mencari-cari kalau lama saya tidak kembali,” ujar Roosje seraya mencoba melangkah, akan tetapi tiba-tiba saja kembali terjatuh limbung. Untung saja Hanan spontan menahannya.

“Maaf, Nona. Saya tidak bermaksud ....” Hanan melepaskan cekalannya pada pinggang Roosje. Posisi mereka begitu dekat dan rapat. Bahkan hampir saja ujung hidung laki-laki muda itu menyentuh pada bagian dada perempuan bermata hijau tersebut.

“Tolong pegang saja tangan saya. Bantu saya berjalan sampai ke sana,” kata Roosje dengan kulit pipi bersemu merah. Jawab Hanan, “Baik, Nona. Hati-hati ....”

Mang Dirman yang melihat kejadian itu ikut tercengang. Bias kurang suka akan kedekatan tuan mudanya dengan gadis peranakan penjajah itu, segera menjalari. Entahlah, apa yang sedang dipikirkan laki-laki tua tersebut.

Hanan membantu Roosje menapaki jalan. Terhuyung-huyung mendekati sado dan lekas menaikinya.

“Hati-hati, Nona,” ujar Hanan mengingatkan begitu kaki jenjang Roosje satu per satu naik ke atas sado. Menyingkap sedikit rok yang menutupi hingga sebatas betisnya yang putih dan mulus. Dokter muda itu cepat-cepat memalingkan muka dan berucap dalam hati, ‘Astaghfirullah ....’

Terpaksa, kini gantian Mang Dirman yang akan mengendalikan laju kuda. Sementara Hanan duduk di bagian belakang, menjaga-jaga agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan pada sosok Roosje. Kemudian ketiganya segera meninggalkan tempat tersebut dengan mulut terkunci rapat, tanpa ada pembicaraan susulan.

------- o0o -------

Gadis itu terlihat gelisah. Berulang kali melongok ke luar jendela disertai desah berat. Bangkit dari duduknya, berjalan hingga ambang pintu depan rumah, kemudian berdecak kesal begitu mendapati hal sama seperti semula.

“Hanan belum tiba juga, Neng?” tanya seorang wanita tua tiba-tiba sudah berdiri persis di belakang gadis tersebut.

“Eh, Bu ....” Dia menoleh spontan dan membalik badan. “Belum, Bu. Seharusnya sudah dari tadi datang,” lanjutnya berkata dengan wajah tersipu.

Bunga, demikian nama perempuan muda yang merupakan kekasih Hanan, tengah menanti kedatangan lelaki muda itu di rumah calon mertuanya. Sumiarsih.

“Mungkin ada kendala di perjalanan, Neng. Tapi ....” Wanita tua itu menyapu pandang ke arah pekarangan rumah, mencari-cari sosok yang dirindukan seraya mengelus dada. “Ah, sudahlah. Tidak usah berpikir macam-macam. Ibu yakin, Hanan baik-baik saja.”

“Semoga saja, ya, Bu,” timpal Bunga diiringi anggukannya. Mata gadis itu terlihat masih menyimpan perasaan cemas, walaupun berusaha untuk tetap tenang. “Apa Bunga ikut menyusul Mang Dirman saja ke stasiun, Bu?”

“Jangan, Neng,” cegah Sumiarsih, “lagipula untuk apa? Seandainya Hanan tidak jadi pulang hari ini, Dirman sudah kembali sejak tadi, ‘kan?”

“Tapi Bu ....”

“Sudahlah, Neng.” Sumiarsih berusaha menenangkan. Lanjut wanita tua itu berkata, “Mau ikut bantu Ibu menyiapkan makanan untuk Hanan?”

Bunga tersenyum semringah. “Tentu saja, Bu,” jawabnya antusias. Sumiarsih menggandeng tangan gadis tersebut, lalu berujar, “Mari, ikut Ibu ke belakang.”

Keduanya berjalan beriringan menuju ruang dapur. Di sana sudah ada beberapa sosok perempuan sedang asyik kemasuk berjibaku di dekat tungku perapian.

“Ada yang bisa saya bantu lakukan di sini, Ceu Odah?” Bunga bertanya pada salah seorang di antara mereka. Sejenak sosok yang dipanggil tadi melempar pandang pada Sumiarsih.

“Neng Bunga ingin mengetahui makanan kegemaran Hanan. Ceu Odah bisa bantu, ‘kan?” tanya Sumiarsih sambil menepuk-nepuk lengan calon menantunya. Senyum pun Odah menyeruak dengan mata membulat, lalu menjawab, “Oh, tentu saja bisa, Juragan. Sini ... Neng Bunga, Odah bantu kasih tahu.”

“Sekalian belajar masak juga, ya, Ceu?” pinta Bunga manja.

“Ah, Neng Bunga ini bisa saja,” balas Odah tersipu. “Justru Odah yang seharusnya banyak belajar dari Neng Bunga. Apalagi di kampung ini, Ibunya Eneng terkenal pandai masak, lho.”

“Hehe ...biasa saja, Ceu,” timpal Bunga kembali sambil melirik pada Sumiarsih.

“Nah, Neng Bunga ... Ibu tinggal dulu, ya. Nanti kalau Hanan datang, Ibu ada di kamar,” pamit wanita tua itu dengan senyuman ramah.

“Baik, Bu,” balas Bunga.

Sepeninggal Sumiarsih, Odah segera menghampiri gadis tersebut. “Neng, Odah dengar ... tahun ini Den Hanan mau melamar Eneng Bunga, ya? Benarkah itu?” Dua sosok perempuan lain yang berada di dapur ikut mendekat.

“Ah, kabar dari mana, Ceu?” Wajah Bunga mendadak merona.

Teman-teman Odah tertawa cekikikan. Lanjut perempuan itu setengah menggoda, “Wah, satu kampung sudah banyak yang tahu, Neng.” Yang lainnya ikut menimpali, “Duh, yang sebentar lagi mau jadi istri Juragan Muda. Tampan rupawan, dokter pula.”

“Aaahh ... Euceu-Euceu ini ... kok, malah sibuk bercanda?” Tiba-tiba Bunga merasa udara di ruangan dapur semakin memanas. “Bukankah tadi mau bantu mengajari saya masak? Hayooo!”

Odah bersama teman-temannya tertawa riuh. “Ya, tidak apa ‘kan, Neng?” tanya Odah usai tawanya berhenti. “Lagipula, nanti Eneng bakal jadi bagian dari keluarga Juragan perempuan juga. Majikan kami. Tidak ada salahnya ‘kan sedikit menghibur diri, supaya lebih akrab. Hihihi.”

“Iya, Neng Bunga. Saya malah ikut senang sekali, Eneng bisa berjodoh dengan Juragan muda. Serasi. Yang satu ganteng, satunya lagi cantik. Duh ....” Berhenti sejenak seraya membayangkan, “pasti nanti anaknya tidak akan jauh dari kedua orang tuanya.”

“Iyalah ... pasti mirip Neng Bunga dan Juragan muda. Masa mirip kamu, Ijah,” kata Odah disambut tawa semuanya.

Bunga semakin tersipu-sipu. Rona di wajah gadis tersebut kian kentara. Ucapnya malu-malu, “Doakan saja, Euceu. Semoga semuanya bisa berjalan lancar, tanpa hambatan apa pun.”

“Aamiin ....” jawab mereka serempak.

Sempat hening sejenak, sampai Odah kembali mengajukan tanya, “Kabarnya, masa pendidikan Tuan muda sudah selesai, ya, Neng?”

Jawab Bunga sambil meracik bumbu dapur yang ada di depannya, “Iya, Ceu, alhamdulillah. Aa Hanan memutuskan untuk menetap di sini, kampung kita. Membaktikan diri pada masyarakat.”

“Tidak pindah ke Jakarta?” selidik Odah sambil melirik dua kawannya. Bunga tersenyum, lalu menjawab, “Tidak, Ceu. Aa Hanan ingin tinggal di kampung saja, katanya. Sekaligus menjaga dan merawat Ibu Juragan perempuan dan mengurus perkebunan.”

Ijah menimpali, “Padahal lebih enak tinggal di kota, ya?” Dia menatap ke arah langit-langit dapur dan membayangkan sesuatu. “Kabarnya di kota fasilitas pendukungnya lebih lengkap. Belum pula sudah banyak tersedia angkutan umum. Tidak seperti di kampung kita, semuanya serba mengandalkan sado dan kuda.”

“Terus ... kalau Juragan muda tinggal di kota, Juragan perempuan dengan siapa? Masa ditinggal sendiri?” Odah mengerutkan kening.

“Ada kita-kita dan pekerja lain, ‘kan?” jawab Ijah singkat.

“Bedalah, Ijah. Dekat dengan kita, dibandingkan keluarga. Apalagi Juragan muda itu anak Juragan perempuan satu-satunya. Ibu mana, sih, yang mau jauh-jauh dari anaknya? Kamu ini ....” ujar Odah dengan bibir membulat. Teman mereka yang satunya menepuk lengan Ijah sambil berucap, “Dasar kamu, Ijah. Bicara, kok, tak pakai pikir-pikir dulu, sih?”

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status