Share

Bagian 5

GAIRAH CINTA ROOSJE

Penulis : David Khanz

Bagian 5

------- o0o -------

“Padahal lebih enak tinggal di kota, ya?” Dia menatap ke arah langit-langit dapur dan membayangkan sesuatu. “Kabarnya di kota fasilitas pendukungnya lebih lengkap. Belum pula sudah banyak tersedia angkutan umum. Tidak seperti di kampung kita, semuanya serba mengandalkan sado dan kuda.”

“Terus ... kalau Juragan muda tinggal di kota, Juragan perempuan dengan siapa? Masa ditinggal sendiri?” Odah mengerutkan kening.

“Ada kita-kita dan pekerja lain, ‘kan?” jawab Ijah singkat.

“Bedalah, Ijah. Dekat dengan kita, dibandingkan keluarga. Apalagi Juragan muda itu anak Juragan perempuan satu-satunya. Ibu mana, sih, yang mau jauh-jauh dari anaknya? Kamu ini ....” ujar Odah dengan bibir membulat. Teman mereka yang satunya menepuk lengan Ijah sambil berucap, “Dasar kamu, Ijah. Bicara, kok, tak pakai pikir-pikir dulu, sih?”

“Daripada kamu dari tadi diam terus, Enok,” balas Ijah tidak mau kalah diiringi tertawa cekikikan. “Sesekali ngobrol. Jangan terlalu fokus dengan pekerjaan. Hihihi.”

Perempuan ketiga yang dipanggil Enok turut tertawa.

“Eh, sssttt ....” Odah memberi isyarat pada kedua temannya begitu melihat raut Bunga yang murung. Serempak mereka berdua menghentikan tawa dan saling lempar pandang. “Neng Bunga, mengapa murung? Ada apa?”

“Ah, tidak,” jawab Bunga lekas tersadar telah menjadi bahan perhatian. “Tidak ada apa-apa.”

“Benar tidak ada apa-apa?” selidik Odah yang memang paling sering banyak berbicara dibanding dua temannya tersebut, Ijah dan Enok. Jawab Bunga akhirnya, “Entahlah, Ceu. Dari tadi ... saya memikirkan Aa Hanan terus. Sudah menjelang sore begini, masih juga belum tiba di rumah. Kemana, ya?”

Odah melirik pada Ijah dan Enok.

“Mungkin ada hambatan di perjalanan, Neng,” pikir Ijah ikut menduga-duga.

“Bisa juga ... Juragan muda tiba-tiba menemukan warga yang sakit, lalu berusaha membantu mengobatinya. Juragan muda ‘kan dokter. Iya tidak, Ijah? Enok?”

Kedua perempuan yang dimaksud mengangguk-angguk. Timpal Ijah, “Bisa juga begitu, sih. Tapi ....”

“Tapi apalagi, sih, Ijah?” Kali ini Enok yang bertanya.

“Kalau yang sakitnya itu ... perempuan muda dan cantik, bagaimana?”

“Maksud kamu Juragan muda jatuh cin--“

“Sssttt!” Odah menyilangkan jari di depan bibirnya dan mendesis kuat, hingga tak sadar sedikit menyemburkan percikan ludah ke wajah orang terdekat. Ijah.

“Iiihh!”

“Kalian kalau bicara itu tolong lihat-lihat situasi!” sentak Odah kembali seraya memainkan kedua bola mata. Bergerak-gerak ke samping. Tepatnya menunjuk pada keberadaan sosok Bunga. “Pada paham tidak, sih?”

“O, iya. Maaf ... lupa,” ucap Enok tiba-tiba merasa tidak enak hati. Dia menunduk. Tidak berani menatap wajah kekasih Hanan tersebut. Sementara Ijah sendiri malah sibuk mengelap wajah dengan ujung kain baju, lalu mengernyit setelah membaui aroma khas pada pakaiannya. Kemudian cepat-cepat beringsut menjauh dari tempat Odah berada.

“Kamu itu ... ada apa, sih, Ijah? Di situ ‘kan masih leluasa, mengapa sekarang malah pindah ke sini?” tanya Enok heran begitu Ijah duduk ‘mendeplok’ di dekatnya.

“Saya malas duduk dekat Ceu Odah,” jawab Ijah berbisik. Alis Enok menaik sedikit. Tanyanya kembali, “Memangnya mengapa?”

Ijah melirik sejenak ke arah Odah. Khawatir perempuan itu tengah memperhatikan mereka. Nyatanya justru Odah sedang memperhatikan Bunga. Bisik Ijah kemudian setelah merasa aman, “Hujan lokal, Nok.”

“Hujan lokal? Maksud kamu?” Ijah memang terkenal agak lama saat berpikir. Dia butuh waktu lama untuk mencerna kalimat-kalimat yang sulit diartikan otaknya.

“Mulut Ceu Odah menyembur terus. Masa begitu saja kamu tak paham, sih, Nok? Dasar!”

Tiba-tiba Enok tertawa sendiri sambil membekap mulut.

“Telat lucunya, Nok.”

“Iya, tapi saya ingin tertawanya sekarang, Ijah. Hihihi.”

“Dasar!”

Sementara Odah sendiri tidak mau mempedulikan kedua temannya yang tengah sibuk cekikikan. Bagi perempuan itu, murungnya Bunga justru lebih menarik perhatian. Tanya Odah kemudian, “Neng Bunga tidak apa-apa, ‘kan? Maafkan atas kata-kata kami tadi, Neng. Kami hanya bersenda gurau.”

Bunga menggeleng seraya tersenyum. “Ah, tidak apa-apa, kok, Ceu. Tenang saja.”

“Semoga saja tidak terjadi apa-apa pada Juragan muda, ya, Neng?”

“Aamiin, Ceu. Terima kasih atas doanya.”

“Iya, Neng. Lagipula, kalaupun Juragan muda datang sekarang, makanannya belum bisa disajikan.”

“Lho, memangnya mengapa, Ceu?”

Odah tersenyum-senyum dikulum. “Soalnya ... Neng Bunga masaknya sambil merenung. Hihihi.”

“Ah, Ceu Odah bisa saja. Saya pikir benar begitu. Hehehe,” sahut Bunga tiba-tiba merasa lengannya dingin. “Kalau begitu, kita percepat segera saja, Ceu. Biar nanti Aa Hanan datang, semua sudah siap tersaji.”

“Iya, Neng.”

Karena penasaran, Bunga segera mengusap-usap kulit lengannya. Agak lembab. Lalu mendekatkan telapak bekas usapan tadi ke hidung, dan ....

‘Hhmmm, kok ... bau, sih?’ gumam Bunga heran sambil melirik ke samping. Tempat Odah berada.

------- o0o -------

“Berhenti di depan gerbang rumah sana itu,” titah Roosje pada Dirman begitu laju sado membelok, menyusuri jalan kecil menanjak berkelok-kelok. Tampak berdiri megah sebuah bangunan berarsitektur khas gaya Eropa barat dengan dinding bercorak susunan bebatuan templek dengan dominasi warna hitam. Memiliki pekarangan luas menghijau penuh ditumbuhi aneka ragam bebungaan.

“Kita berhenti di sini, Mang,” ujar Hanan pada Dirman begitu arah yang ditunjuk Roosje telah ditibakan. Jawab laki-laki tua itu seraya menarik tali kendali kuda, “Mamang sudah tahu dan dengar tadi, Den.” Dia mengekeh sendiri di depan bangku kusir.

“Hhmmm,” deham Roosje mendengar celoteh kedua lelaki tersebut. Tampak angkuh dengan sorot mata yang kurang bersahabat.

Tiba-tiba daun pintu gerbang terbelah dua, kemudian sekonyong-konyong muncul dua laki-laki berseragam khusus lengkap bersenjata dari dalam. “Nona Roos!” panggil salah satunya begitu melihat Roosje di atas sado. “Tuan Besar Guus baru saja akan pergi mencari-cari Nona.”

“Niet, Gert. Tak perlu lakukan itu. Saya sudah kembali pulang. Waar, Papa?” tanya Roosje usai turun dari sado.

Laki-laki yang dipanggil Gert memberi perintah pada temannya, “Koen, kasih tahu Tuan Besar Guus, Nona Roos sudah pulang.”

“Siap, laksanakan!” balas Koen langsung berlari kecil ke dalam gerbang. Sementara Gert saksama memperhatikan sosok Hanan yang berdiri di samping sado. Tanya laki-laki berkulit kemerahan dengan kumis tebal melintang hampir menutupi separuh bibirnya itu kemudian, “ ... dan kamu orang, siapa en bagaimana bisa menemukan Nona Roos, hhmmm?”

Hanan berusaha menjawab tenang. “S-saya ... eh, kami ... hhmmm, tadi di jalan ....”

“Kebetulan dia menemukan saya di sebuah jalan, Gert. Saya terjatuh dari kuda, tidak bisa berjalan sama sekali, dan sakit pada pegelangan kaki. Dia juga, sekaligus mengantar saya pulang sampai tiba di sini. Jadi, kamu jangan coba-coba berpikir macam-macam.”

“Tentu saja tidak, Nona,” balas Gert masih lekat menatap tajam sosok Hanan. “Hanya sedikit ingin tahu dia siapa.”

Hanan tersenyum. Membungkuk sebentar seraya menyilangkan tangan di dada, lalu berkata, “O, iya ... nama saya Hanan.“

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status