“Apa maksudmu?”
“Aku sudah mengirim mereka berdua ke Halberd.”
“Apa?” butuh beberapa detik untuk Lana mencerna kata-kata kakeknya.
‘Halberd? Wilayah paling barat di Illyrian, dan juga sangat jauh dari Estrela,’ memikirkannya saja sudah membuat Lana pusing.
Dia tidak percaya, kakeknya sanggup bertindak sejauh itu. Halberd terkenal dengan suhunya yang dingin dan cuacanya yang tidak menentu. Lana khawatir orang tuanya tidak bisa bertahan. Seketika Lana diselimuti oleh amarah, emosinya bergejolak begitu mendengar informasi itu.
“Kakek! Kau tidak bisa mengusir orang tuaku seperti ini!” Lana tidak bisa menahan teriakannya.
Dia ingin marah dan juga menangis di saat bersamaan.
“Hanya untuk pencegahan agar kau tidak terlalu sering keluar dari istana.”
“Bagaimana bisa kakek tega mengusir orang tua yang selama ini merawatku dari Estrela, di mana hati nuranimu?”
“Suatu saat nanti kau akan mengerti, kenapa aku melakukan semua ini, Lucia sayang.”
“Jangan panggil aku dengan nama itu. Aku bukan Lucia. Aku bukan cucumu, dan aku tidak ingin menjadi tuan putri Estrela!”
Raja Alastor mengepalkan tangannya di sisi tubuh, hari ini, hatinya sudah dihancurkan dua kali oleh orang yang paling dia sayangi. Pertama, Lana mengatakan kalau dirinya adalah orang asing. Lalu, Lana berkata dengan keras tidak ingin menjadi keluarganya.
Pria itu tetap berdiri tegap di sana, mempertahankan wibawanya. Meskipun hatinya hancur dan pikirannya kacau.
Setelah puas berteriak di depan kakeknya, Lana segera pergi dari sana. Dia berlari secepat yang dia bisa untuk meninggalkan istana. Membuat Victor dan beberapa pengawal kerajaan harus berusaha mengejarnya.
“Tuan putri, jangan lari!” panggil Victor dan Lana sama sekali tidak menggubrisnya.
Gadis itu terus berlari, menyusuri lorong panjang dan menuruni anak tangga yang panjang demi bisa mencapai pintu keluar utama. Beberapa kali Lana melempar perabotan istana untuk mengalihkan perhatian para pengawal itu.
Dan setelah berhasil keluar dari istana, dia masih harus berlari melewati halaman yang begitu luas. Hingga sebuah cahaya yang sangat terang muncul di depannya. Lana mengangkat tangan untuk melindungi pandangannya dari cahaya yang menyilaukan itu.
Beberapa detik setelahnya, Lana menurunkan tangan dan mendapati Kai baru saja keluar dari mobilnya. Pria itu menghentikan mobilnya tepat di depan Lana.
“Apa yang kau lakukan?” sebelah alisnya terangkat saat mendapati Lana yang dalam keadaan kacau, berlarian dengan para pengawal istana.
Mata Lana tiba-tiba berbinar, menganggap pertemuannya dengan Kai hari itu sebagai angin segar. Tanpa membuang banyak waktu, dia segera melangkah maju ke arah pria itu.
“Tolong aku,” Lana berbicara dengan suara bergetar dan mata yang menahan tangis.
Kai berdeham sembari membenarkan posisi dasinya sebelum mulai merespons.
“Ada apa?”
“Tolong katakan pada mereka untuk membiarkanku pergi.”
“Kenapa?”
“Kakek mengusir orang tuaku ke Halberd hari ini. Aku harus segera pergi atau aku tidak akan memiliki kesempatan lagi untuk bertemu dengan mereka.”
Kai menatap Lana, keragu-raguan dan juga rasa kasihan beradu menjadi satu di dalam benaknya. Seolah berperang untuk dimenangkan.
“Kumohon, kau seorang dewa perang, kan? Pasti tidak sulit bagimu untuk menangani mereka. Aku mohon, sekali ini saja.”
Lana menyatukan kedua tangannya, matanya menatap penuh permohonan. Dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi untuk membujuk pria itu. Yang dia inginkan sekarang adalah bisa segera pergi dari istana tanpa hambatan.
“Tuan muda, tolong jangan ikut campur,” Kai melihat ke arah belakang Lana saat mendengar suara Victor.
“Lalu apa rencanamu sekarang? Berniat membuatnya pingsan?”
Victor terdiam mendengar kalimat sarkas Kai.
Selama ini, dia adalah abdi nomor satu sekaligus orang kepercayaan Raja Alastor. Dia dikenal sebagai orang yang tenang dan terorganisir. Jadi mendengar Kai berbicara seperti itu, cukup untuk membuatnya terdiam.
“Kalau memang seperti itu, silakan saja. Tapi pastikan darahnya tidak mengenai mobilku,” lanjut Kai.
Pria itu menyeringai saat mendapati Victor tidak bisa memberikan tanggapan apa pun.
“Terima kasih. Aku akan membalas budimu lain kali,” setelah mengatakan itu, Lana pun melesat pergi dari hadapannya.
“Hey, kau akan pergi sendiri?” suara Kai menguap di udara.
Lana sama sekali tidak mendengarnya, karena gadis itu langsung buru-buru pergi setelah Kai berhasil menghentikan Victor dan para pengawal kerajaan.
“Aku akan memberikan penjelasan pada raja nanti,” ucap Kai saat matanya kembali berpapasan dengan Victor.
“Sebaiknya memang begitu, karena bagaimana pun juga, anda telah membiarkan tuan putri pergi begitu saja.”
Kai mengangguk sembari berdeham, “Hm, aku pasti akan bertanggung jawab.”
***
“Aku sudah menyuruh orang untuk membuntuti tuan putri,” Ucap Victor saat dirinya sudah kembali ke istana dan bertemu dengan Raja Alastor.
“Tidak perlu. Biarkan saja,” jawab Raja Alastor dengan nada menyedihkan.
“Tapi—”
“Untuk apa dikejar kalau dia memang ingin pergi. Biarkan saja dia pergi,” lanjutnya, lalu beranjak dari kursi menuju ke kamarnya.
Victor hanya bisa memandangi rajanya itu dengan tatapan mengasihani. Menurutnya, Raja Alastor sudah cukup lembut dan toleran, namun ternyata semua yang dia lakukan masih belum cukup mampu untuk membuat Lana merasa nyaman berada di sisinya.
“Kuharap suatu saat nanti, tuan putri akan bisa merasakan ketulusan dan pengorbananmu selama ini untuk bisa bersama-sama dengannya.”
***
Lana bersembunyi di balik pohon beringin besar saat deretan mobil mewah itu masuk dan menggeledah rumah orang tuanya. Mereka tidak salah karena berpikir Lana berada di sana. Toh kenyataannya memang benar dia berada di sana. Hanya saja dia cukup cerdik untuk tidak langsung menerobos masuk ke dalam sana.
Lana memilih menunggu di luar, sambil memastikan orang-orang suruhan kakeknya sudah pergi. Baru setelah itu, dirinya bisa leluasa masuk dan menempati rumah orang tuanya yang telah kosong.
“Ayah, ibu, aku merindukan kalian.”
Lana menatap foto keluarga yang tertinggal di ruang tamu. Itu adalah potret kedua orang tuanya saat berlibur di pantai setahun yang lalu.
“Kenapa kalian pergi dan meninggalkanku sendirian di sini?” Lana terduduk di atas lantai sembari memeluk bingkai foto orang tuanya.
Tanpa sadar, air mata mulai mengalir hingga melewati batas pipinya. Lana memejamkan matanya, hatinya sakit dan pikirannya kacau. Untuk saat ini yang bisa dia lakukan adalah menyalahkan kakeknya.
Dia sudah setuju untuk tinggal di istana, namun pria tua itu malah mengusir kedua orang tuanya jauh dari Estrela.
“Sekarang aku harus bagaimana,” Lana tidak berusaha lagi menahan emosinya.
Tangisnya pecah memikirkan nasibnya sendiri.
PRANG!
“Suara apa itu?”
“Kenapa ada pencuri di saat seperti ini?”
Lana berdiri penuh waspada, dia menyadari belum menyalakan satu lampu pun meski hari sudah gelap. Dia tidak ingin orang-orang kakeknya menyadari keberadaannya di sana.
Genggaman tangan Lana pada tangan Kai mengerat dan wajahnya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang sangat besar.“Sepertinya ada yang tidak beres,” lanjut Kai.“Kita akan mencari tahu setelah Lana lebih tenang,” jawab Louise.“Tidak perlu.”Lana menarik diri dari pelukan Kai, menghapus air matanya kasar, lalu berdiri tegak dengan dagu terangkat.“Kalau memang aku bukan siapa-siapa, tidak ada alasan lagi untuk tetap berada di sini,” tegasnya.“Lana.”“Tidak boleh.”“Kau tidak akan pergi ke mana pun. Tanpa seijinku,” suara Kai terdengar lebih tegas dan dominan, membuat Lana mau tak mau menoleh ke arah pria itu.“Untuk apa? Untuk dipermalukan?”“Aku tidak akan membiarkan itu terjadi,” tatapan Kai berubah teduh.“Aku lelah.”“Aku tahu. Kau hanya perlu beristirahat, dan besok—““Kebetulan kalian berkumpul di sini. Saya sengaja membawa tuan putri menemui kalian semua agar dia bisa memperkenalkan diri,” suara Victor menginterupsi mereka
Lana menatap kakeknya yang sedari tadi duduk diam di kursinya, pria tua itu tidak mengatakan apa pun. Namun sikap diamnya itu justru membuat Lana semakin berpikir kalau semua ini memang benar. Sang raja bahkan tidak sekali pun melihat ke arahnya saat Victor mengatakan semua kebenarannya tadi. “Kakek…” suara Lana lirih dan hampir tak terdengar. Sebutir air matanya berhasil lolos melewati rahangnya, namun Raja Alastor tetap tidak bergerak, melirik pun tidak. Lana merasakan sakit menusuk hatinya, rasanya seperti dia baru saja dicabik-cabik oleh pedang panjang di tengah peperangan. “Tidak mungkin… tidak mungkin!” Lana mundur dan berlari menjauh sambil sesekali mengusap air matanya yang tak mau berhenti mengalir. Hatinya hancur dan jiwanya rapuh, sekarang ini dia hanya ingin sendiri. “Lana,” suara Kai terdengar panik dan pria itu berusaha mengejar kekasihnya, mengabaikan lirikan tajam sang raja yang diarahkan padanya.
“Ya, Tuan Putri Mindy Moon dari kerajaan Kalistar.”“Kerajaan Kalistar?” tanya Lana lagi, sejujurnya dia merasa asing dengan nama kerajaan itu.“Memang bukan sebuah kerajaan besar seperti Estrela, namun Raja Alastor berteman cukup baik dengan pemimpin kami,” lanjut maid itu menjelaskan.“Oh begitu, ya. Mungkin aku hanya kurang familier saja karena tidak pernah bertemu dia sebelumnya.”“Saat ini Tuan Putri Mindy sedang mewakili kedua orang tuanya untuk memberikan penghormatan terakhir pada putra perdana menteri Estrela.”Lana tersenyum mengerti, “Pergilah.”Maid itu tersenyum lalu undur diri dari hadapan Lana dan Layla.“Dari penampilannya memang terlihat seperti bangsawan sekali, ternyata memang seorang tuan putri, sama sepertimu.”“Hm—ya,” Lana mengedikkan bahu acuh.Untuk point Layla yang memuji Mindy cantik itu memang benar. Gadis itu cantik dengan kulit putih gading dan garis hidung yang menonjol, belum lagi pinggang super kecilnya yang membua
Dengan sisa tenaga yang dia miliki, Lana bergerak ke arah River yang sudah sekarat. Pria itu bahkan harus bersusah payah untuk membuka matanya dan melihat Lana. “Aku senang kau baik-baik saja,” ucapnya parau sembari mencoba tersenyum. “Diamlah, jangan berbicara lagi.” Lana meletakkan kepala River di kakinya, matanya tidak bisa berhenti menangisi keadaan River saat ini. “Aku punya satu permintaan,” Kai mengernyit, ucapan River kali ini jelas ditunjukkan padanya. “Apa?” “Aku tidak ingin menjadi monster.” “Apa maksudmu?” tanya Lana bingung. “Kau tahu apa maksudku,” lagi-lagi River mengabaikan Lana dan tetap kekeuh menatap Kai. “Kau bisa mati,” lanjut Kai. “Aku tahu. Dan aku lebih baik mati sebagai manusia daripada harus hidup sebagai monster.” “Kau yakin?” “Ya. Hanya kau yang bisa melakukannya sekarang.” “Apa maksudnya? Sebenarnya ada apa ini?” Lana menatap Kai dan River bergantian. Percakapan mereka itu seperti hanya mereka saja yang tahu apa maksudnya. “Aku
“Memang benar keturunan Estrela. Kau bahkan sama sekali tidak takut terhadapku. Dan malah menawarkan darahmu?”“Cih.”“Kalau saja kau tidak membunuh salah satu orang terbaikku.”Lana mengerutkan kening sejenak, lalu menyipitkan mata setelah memahami sesuatu.“Henry?”“Tepat sekali.”“Itu karena dia bodoh. Dan kau tentu lebih bodoh lagi karena memercayainya.”“Kau meragukan penilaianku?” rahang Jarek mengeras, terlihat pria itu tidak suka mendengar kata-kata Lana.“Ya.”Bukannya marah, Jarek malah tertawa, lebih tepatnya menertawakan diri sendiri karena gagal membuat Lana takut.Keberanian gadis itu tidak perlu diragukan lagi. Mungkin selain karena dia adalah seorang pewaris Estrela, Lana juga adalah tunangan Kai?‘Tidak. Tidak. Lebih tepatnya, karena dia keturunan Halvard Frost!’ koreksinya dalam hati.Seperti yang dia tahu, tak ada satu pun dari Klan Frost yang takut pada apa pun. Mereka terkenal kuat dan pemberani. Jarek telah hidup lebih lama dan dia jelas tahu tentang karakteristi
“Jarek.” “Apa?” “Dia ada di sana tadi. Sepertinya juga dia yang sudah membebaskan Yael dari menara paviliun.” “Brengsek,” Kai berlari ke menara, dia perlu memastikan sendiri kalau Yael benar-benar tidak ada di sana. ‘Bagaimana ini, Jarek tahu aku sedang hamil dan sekarang dia membawa pergi Yael. Apa yang akan terjadi setelah ini,’ batinnya. Lana meremas gaun di sisi tubuhnya, tubuhnya bergetar karena Jarek sudah terang-terangan menunjukkan dirinya di Estrela. Dia bahkan mengancam Lana dan membebaskan seorang tahanan. “Tuan putri, kau baik-baik saja?” tubuh Lana nyaris ambruk kalau saja Layla tidak segera menopangnya dari belakang. “Aku ingin pulang dan beristirahat,” ucapnya pelan. Layla mengangguk tanpa banyak bertanya lagi. Dia tahu Lana sedang syok saat ini, wajahnya pucat dan pandangannya tidak fokus, terlebih lagi dirinya sedang hamil. “Pastikan tidak ada seorang pun masuk ke kamarku setelah ini.” Layla mengangguk. Dia segera membawanya kembali ke istana sebe