Lana mengambil benda apa pun dan bersiap memukul sosok yang tiba-tiba muncul tanpa di undang.
“Hyaaa!” Lana berteriak sembari mengayukan sebuah sapu ke arah seseorang yang berjalan masuk tanpa suara. Dua detik setelahnya, dia terdiam, tertegun. Lana tidak menyangka pria itu akan muncul di sana. Pria yang tidak dia harapkan datang. “Kai? Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Lana tanpa bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Kau hampir saja membunuhku,” bukannya menjawab, pria itu malah berkata dingin pada Lana. “Salah sendiri kau masuk dengan mengendap-endap seperti itu. Siapa pun pasti mengira kau adalah pencuri atau perampok!” “Apakah ada perampok yang memiliki wajah seperti ini?” Kai menunjuk diri sendiri dengan telunjuknya. “Entahlah,” Lana mengendikkan bahunya. “Kenapa kau ke sini?” lanjutnya, memutuskan tidak ingin berdebat. Jadi dia kembali ke tempatnya semula, membuka salah satu kain putih yang menutupi sofa dan duduk di sana. “Victor dan orang-orangnya tidak menemukanmu di sini. Tapi aku sangat yakin kau berada di sini.” Kai meletakkan tasnya di lantai dan duduk di samping Lana. “Aku bersembunyi sebelumnya. Dan yah, tempat paling berbahaya adalah tempat yang paling aman.” “Kau cukup cerdik juga,” Kai mengangguk, mengakui kecerdikan Lana dalam menyembunyikan diri. Dirinya bahkan tidak menyalakan lampu untuk menghindari kecurigaan. “Siapa suruh kakekku jahat begitu, tentu saja aku tidak boleh kalah darinya,” kata Lana acuh. “Kau pasti sangat sedih.” “Kedua mataku yang besar ini adalah jawabanya,” Lana menoleh sejenak ke arah Kai sebelum berpaling lagi. Di kegelapan ini, Kai masih bisa melihat wajah cantik Lana yang seolah memancarkan sinar ke arahnya. Kai tidak berbohong, Lana memang cantik. Dan melihat bagaimana kedua matanya menjadi bengkak sempurna, Kai jadi bertanya-tanya, seberapa lama gadis itu menangis. “Aku tidak bisa menyalahkanmu karena memilih kabur dan menyembunyikan diri di sini. Tapi sikap Raja Alastor tidak salah juga. Bagaimana pun dia adalah kakek kandungmu, yang sudah mencarimu selama belasan tahun. Apa kau tidak bisa sedikit saja memahami perasaannya?” “Apa kau datang ke sini karenanya? Apa kakek yang menyuruhmu untuk mengatakan semua itu? Ah, memanggilnya kakek saja rasanya aku malas.” Kai menggeleng, menyangkal tuduhan Lana. Seolah dia mengatakan kalau kedatangannya kali ini murni atas inisiatifnya sendiri. “Lalu? Kenapa kau yakin aku ada di sini? Kau bahkan datang dengan mengendap-endap,” Lana memincingkan mata penuh curiga. “Kalau aku langsung menyergap, kau pasti akan langsung kabur.” “Benar juga, kau pandai mengatur strategi rupanya,” Lana mengangguk, memuji keahlian pria itu. “Aku adalah seorang dewa perang. Untuk menemukan tempat persembunyian seseorang, bukan hal sulit bagiku.” “Hah, sekarang kau bahkan menyombongkan diri.” Lana memutar bola matanya jengah. Krucuk. “Kau lapar?” Tanya Kai, alisnya mengernyit mendengar suara yang begitu nyaring dari arah perut Lana. Gadis itu reflek memegang perutnya dan membuang muka menghindari Kai, dia malu karena pria itu harus mendengar gemuruh cacing-cacing di perutnya. “Tidak terlalu.” “Jangan terlalu menjaga gengsi, tuan putri. Ini—makanlah,” Kai memberikan sepotong roti isi pada Lana. Tatapannya lembut, dan dalam keremangan malam itu, Lana bisa melihat kalau pria itu tersenyum padanya. Seorang Kai Lautner tersenyum padanya! Lana menerima roti itu dengan ragu-ragu. Kemudian tanpa sadar mengernyit saat tangannya tak sengaja bersentuhan dengan tangan Kai. “Ada apa?” ‘Kenapa tangannya dingin sekali?’ Lana berpikir untuk menanyakannya atau tidak. Lalu setelah beberapa saat, gadis itu menggeleng dan memilih tidak membahasnya sekarang. “Kau yakin tidak memasukkan racun atau semacamnya?” Kai mendengus kesal mendengar tuduhan Lana yang bertubi-tubi, dia lalu mengarahkan roti itu ke mulutnya dan dalam sekali ‘hap’, pria itu berhasil menggigit dan mengunyah roti isi itu. “Lihat, kan? Aku baik-baik saja. Jadi lebih baik kau makan sekarang, karena kalau kau pingsan, raja akan segera menemukanmu di rumah sakit.” “Aku perlu waspada, siapa yang tahu kau diam-diam merencanakan pembunuhan terhadapku. Lagipula tidak ada orang yang tahu aku di sini, jadi kalau pada akhirnya aku mati di tanganmu malam ini, siapa yang akan mencurigaimu?” “Berhenti bicara dan makanlah. Aku tidak ingin lagi mendengar cacing di perutmu merengek seperti tadi.” Lana mengangguk dan menurut, perlahan dia memakan roti isi pemberian Kai. Kali ini tidak ada kecurigaan apa pun lagi. Dia lapar dan butuh makan, lalu Kai datang menawarkan makanan untuknya. Siapa yang akan menolak? “Terima kasih, ternyata kau tidak seburuk yang kukira.” “Seburuk apa aku di matamu?” tanya Kai penasaran. “Sangat buruk. Kau menuduhku macam-macam di hari pertama kita bertemu. Aku bahkan sudah bersumpah tidak ingin melihatmu lagi,” jawabnya jujur. “Hanya berjaga-jaga, siapa yang tahu kau Lucia yang asli atau tidak. Tapi meski pun begitu, aku tetap berhutang permintaan maaf padamu. Maaf, karena sudah membuatmu tidak nyaman.” Lana menahan senyum saat mendengar ucapan pria itu, membuat Kai menatapnya dengan bingung. “Kenapa?” “Kai yang sekarang, seperti orang yang berbeda dengan Kai yang pertama kali kutemui. Ucapan dan cara bicaramu itu seratus persen berbeda. Jadi kalau kau bilang memiliki kepribadian ganda, aku pasti akan langsung percaya.” Kali ini Lana tidak bisa menahannya lagi, dia tertawa puas setelah berhasil mengejek pria itu. Merasa impas karena berhasil membalas dendam atas kata-kata buruk yang dikatakan Kai tempo hari. “Hm, terserah kau saja.” Kai mendengus kesal, dia menyandarkan punggungnya ke sofa dan melipat kedua tangan di dada, sambil sesekali melirik ke arah Lana yang tengah asyik menikmati roti isinya. “Makan yang benar,” tangan Kai terulur begitu saja untuk menyeka sisa makanan yang berada di sudut mulut Lana. Membuat gadis itu diam seketika dan menghentikan kegiatan mengunyahnya. “Ah, terima kasih,” katanya canggung. Kai sendiri, setelah merasa ada yang salah dengan tindakannya, segera menarik tangannya kembali dan berdeham sembari membuang muka. Dalam hati bersyukur karena sejak awal Lana tidak menyalakan lampunya, karena sekarang wajahnya pasti sudah merah padam. “Kalau begitu, aku mau mengambil minum dulu,” Lana berdiri, dan sebelum benar-benar melangkah ke dapur, salah satu kakinya tersandung kaki yang lain dan menyebabkan Lana terjatuh tepat di atas tubuh Kai. Pria itu menegang seketika. Mendapatkan ‘serangan mendadak’ dari Lana seperti ini, dirinya tidak siap.Kai mengendarai speed boat, dan melaju dengan kecepatan tinggi, lalu berhenti di tengah laut. Dia pergi dari istana di hari pertunangan Lana dan Louise. Pria itu benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatan saat Raja Alastor mengusirnya malam tadi. Dirinya langsung meninggalkan istana saat itu juga, dan di sinilah dia berada sekarang. Di atas speed boat, di tengah lautan luas, melarikan diri seperti pengecut.Kai memikirkan kembali tentang kedekatannya dengan Lana selama ini. Tentang bagaimana dirinya dan Lana menjadi semakin dekat setiap harinya. Bagaimana dirinya bisa menceritakan tentang mimpi dan cita-citanya pada Lana tanpa merasa takut. Dan juga, bagaimana cara Lana mengungkapkan perasaannya dan membuang kalung pemberiannya.Lana melakukannya dengan jujur, dia bahkan berani mengakui perasaannya di depan Kai saat itu. Berbeda sekali dengan Kai yang selalu bersembunyi dan menyimpan perasaannya sendiri. Dengan alasan cita-citanya selalu lebih penting dari ap
“Aku sungguh tidak salah menilaimu. Kau begitu berani mengutarakan ide dan keinginanmu di depanku. Anak muda, sudah saatnya kau bertindak agresif dan ambisius.”“Terima kasih, yang mulia.”“Tapi itu karena kau tidak pernah hidup menderita!” seru sang raja kemudian, membuat Kai terkejut dengan respons yang tiba-tiba itu.“Kau tidak pernah hidup tanpa nama besar dan kekuasaan. Jadi kau membenci kehidupan yang membuat orang lain iri. Apakah hidup selama bertahun-tahun ini masih kurang bagimu? Kenapa kau sulit sekali merasa puas dengan apa yang sudah kau miliki, dan memilih melakukan hal bodoh yang kau sendiri tidak yakin itu akan berhasil atau tidak,”“Jadi apa gunanya cita-cita dan ambisi, kalau kau tidak memiliki kedudukan dan dukungan kekuasaan di belakangmu? Kau hanya akan menyesalinya suatu hari nanti.”Raja Alastor berkata panjang lebar untuk meyakinan Kai.“Tanpa mencobany
Louise langsung beranjak dari sofa begitu mendengar keputusan sang raja. Pria itu saling melempar pandangan dengan Lana, lalu mengusap wajahnya kasar, merasa frustasi.“Kau persiapkan dirimu dengan baik, dan berlatihlah lebih keras lagi agar kelak kau benar-benar layak untuk menjadi raja di Estrela.”Setelah mengatakan itu, Raja Alastor segera pergi dari ruang tengah. Meninggalkan Lana dan Louise berdua dengan pikiran mereka masing-masing.Louise melihat Lana dengan tatapan, ‘Kita harus bagaimana sekarang?’Sementara Lana hanya bisa mengedikkan bahu, tidak tahu harus berkata apalagi sekarang. Dari awal dirinya sudah setuju bahkan sebelum kakeknya itu menyebut nama Louise. Jadi sekarang dia hanya bisa menerima semuanya tanpa protes lagi.***Lana tahu dia sudah bersikap agak kasar terhadap Kai, tapi itu juga karena dia merasa begitu defensif.“Entah bagaimana, menurutku kita tidak akan pernah bertemu lagi.
“Kenapa menatapku seperti itu? Bukan aku yang memarahimu.” Yelena bersungut jengkel mendengar respons Kai yang sama sekali tidak ramah.“Bukan urusanmu,”Kai berniat pergi, namun pertanyaan Yelena berhasil menghentikan langkahnya.“Apa kau masih akan mencintainya setelah dia mengatakan akan menjauhimu? Menurut analisaku, dia sudah benar-benar muak padamu.”“Sudah selesai bicara?”Yelena mengendikkan bahunya acuh.“Aku tidak berhak memintanya untuk memahami situasinya, situasiku. Kuakui aku memang bodoh dan sembrono sebelumnya, namun aku akan berusaha memperbaikinya. Aku tidak ingin dia berpikir cintanya bertepuk sebelah tangan.”“Setelah semua yang kau lakukan, kau sungguh berharap dia masih akan mencintaimu? Kalau aku jadi dia, aku tidak akan pernah mau melihat wajahmu lagi seumur hidup.”“Sayangnya kau bukan dia,” Kai menyeringai.&ldqu
“Kau tahu maksudku, Louise. Itu sebabnya kau menyembunyikannya dariku,” Lana menatap Louise tajam.Matanya seperti mengandung peluru yang siap ditembakkan tepat ke arah Louise, membuat pria itu tidak bisa lagi berpaling apalagi menghindar.“Pantas saja kau sangat yakin kalau tidak terjadi apa pun di antara kita semalam. Ternyata karena dia pelakunya,” Lana tertawa getir.“Lana, aku juga baru—”“Jangan membelanya lagi. Akui saja kalau adikmu itu memang brengsek,” kali ini, sorot mata Lana melembut, namun hal itu justru menakuti Louise.Matanya menerawang jauh ke depan, namun Louise tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh gadis itu di kepalanya.“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Louise penasaran.“Kalau dia memang tidak menginginkanku, untuk apa lagi aku mengejarnya,” kata-kata Lana menjadi tajam, membuat Louise seketika melotot, tidak menyangka L
“Argh!” teriak Lana sebelum akhirnya jatuh tak sadarkan diri.“Tuan putri? Bangun, tuan putri. Lana!”“Tolong, pengawal!” seruan Layla menimbulkan kegaduhan pagi itu.Para pengawal dan juga Victor muncul di sana, dan mendapati Lana yang tengah tergeletak tak sadarkan diri di depan kamarnya.“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Victor pada Layla.Gadis itu menggeleng sebelum melepaskan tubuh Lana untuk diangkat dan digendong menuju ranjang.“Saya tidak tahu, tuan putri sudah seperti ini saat saya datang,” jawab Layla akhirnya.Layla tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya saat melihat wajah pucat Lana yang tengah terbaring lemah di atas tempat tidur. Dengan cekatan dirinya mengambil baskom dari tangan seorang maid lain dan membawanya ke nakas di sisi Lana, lalu perlahan mengompres kening Lana yang terasa panas.“Mungkin dia kelelahan,” lanjut Victor sebelum pergi untuk memberitahu sang raja tentang keadaan Lana.***“Apa yang terjadi? Dia kenapa?” tanya Raja Alastor pada Elsie Maverik