Share

6. Tempat Paling Aman

Penulis: Renata Respati
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-17 21:42:52

Lana mengambil benda apa pun dan bersiap memukul sosok yang tiba-tiba muncul tanpa di undang.

“Hyaaa!”

Lana berteriak sembari mengayukan sebuah sapu ke arah seseorang yang berjalan masuk tanpa suara. Dua detik setelahnya, dia terdiam, tertegun. Lana tidak menyangka pria itu akan muncul di sana. Pria yang tidak dia harapkan datang.

“Kai? Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Lana tanpa bisa menyembunyikan keterkejutannya.

“Kau hampir saja membunuhku,” bukannya menjawab, pria itu malah berkata dingin pada Lana.

“Salah sendiri kau masuk dengan mengendap-endap seperti itu. Siapa pun pasti mengira kau adalah pencuri atau perampok!”

“Apakah ada perampok yang memiliki wajah seperti ini?” Kai menunjuk diri sendiri dengan telunjuknya.

“Entahlah,” Lana mengendikkan bahunya.

“Kenapa kau ke sini?” lanjutnya, memutuskan tidak ingin berdebat.

Jadi dia kembali ke tempatnya semula, membuka salah satu kain putih yang menutupi sofa dan duduk di sana.

“Victor dan orang-orangnya tidak menemukanmu di sini. Tapi aku sangat yakin kau berada di sini.”

Kai meletakkan tasnya di lantai dan duduk di samping Lana.

“Aku bersembunyi sebelumnya. Dan yah, tempat paling berbahaya adalah tempat yang paling aman.”

“Kau cukup cerdik juga,” Kai mengangguk, mengakui kecerdikan Lana dalam menyembunyikan diri.

Dirinya bahkan tidak menyalakan lampu untuk menghindari kecurigaan.

“Siapa suruh kakekku jahat begitu, tentu saja aku tidak boleh kalah darinya,” kata Lana acuh.

“Kau pasti sangat sedih.”

“Kedua mataku yang besar ini adalah jawabanya,” Lana menoleh sejenak ke arah Kai sebelum berpaling lagi.

Di kegelapan ini, Kai masih bisa melihat wajah cantik Lana yang seolah memancarkan sinar ke arahnya. Kai tidak berbohong, Lana memang cantik. Dan melihat bagaimana kedua matanya menjadi bengkak sempurna, Kai jadi bertanya-tanya, seberapa lama gadis itu menangis.

“Aku tidak bisa menyalahkanmu karena memilih kabur dan menyembunyikan diri di sini. Tapi sikap Raja Alastor tidak salah juga. Bagaimana pun dia adalah kakek kandungmu, yang sudah mencarimu selama belasan tahun. Apa kau tidak bisa sedikit saja memahami perasaannya?”

“Apa kau datang ke sini karenanya? Apa kakek yang menyuruhmu untuk mengatakan semua itu? Ah, memanggilnya kakek saja rasanya aku malas.”

Kai menggeleng, menyangkal tuduhan Lana. Seolah dia mengatakan kalau kedatangannya kali ini murni atas inisiatifnya sendiri.

“Lalu? Kenapa kau yakin aku ada di sini? Kau bahkan datang dengan mengendap-endap,” Lana memincingkan mata penuh curiga.

“Kalau aku langsung menyergap, kau pasti akan langsung kabur.”

“Benar juga, kau pandai mengatur strategi rupanya,” Lana mengangguk, memuji keahlian pria itu.

“Aku adalah seorang dewa perang. Untuk menemukan tempat persembunyian seseorang, bukan hal sulit bagiku.”

“Hah, sekarang kau bahkan menyombongkan diri.”

Lana memutar bola matanya jengah.

Krucuk.

“Kau lapar?” Tanya Kai, alisnya mengernyit mendengar suara yang begitu nyaring dari arah perut Lana.

Gadis itu reflek memegang perutnya dan membuang muka menghindari Kai, dia malu karena pria itu harus mendengar gemuruh cacing-cacing di perutnya.

“Tidak terlalu.”

“Jangan terlalu menjaga gengsi, tuan putri. Ini—makanlah,” Kai memberikan sepotong roti isi pada Lana.

Tatapannya lembut, dan dalam keremangan malam itu, Lana bisa melihat kalau pria itu tersenyum padanya.

Seorang Kai Lautner tersenyum padanya!

Lana menerima roti itu dengan ragu-ragu. Kemudian tanpa sadar mengernyit saat tangannya tak sengaja bersentuhan dengan tangan Kai.

“Ada apa?”

‘Kenapa tangannya dingin sekali?’ Lana berpikir untuk menanyakannya atau tidak.

Lalu setelah beberapa saat, gadis itu menggeleng dan memilih tidak membahasnya sekarang.

“Kau yakin tidak memasukkan racun atau semacamnya?”

Kai mendengus kesal mendengar tuduhan Lana yang bertubi-tubi, dia lalu mengarahkan roti itu ke mulutnya dan dalam sekali ‘hap’, pria itu berhasil menggigit dan mengunyah roti isi itu.

“Lihat, kan? Aku baik-baik saja. Jadi lebih baik kau makan sekarang, karena kalau kau pingsan, raja akan segera menemukanmu di rumah sakit.”

“Aku perlu waspada, siapa yang tahu kau diam-diam merencanakan pembunuhan terhadapku. Lagipula tidak ada orang yang tahu aku di sini, jadi kalau pada akhirnya aku mati di tanganmu malam ini, siapa yang akan mencurigaimu?”

“Berhenti bicara dan makanlah. Aku tidak ingin lagi mendengar cacing di perutmu merengek seperti tadi.”

Lana mengangguk dan menurut, perlahan dia memakan roti isi pemberian Kai. Kali ini tidak ada kecurigaan apa pun lagi. Dia lapar dan butuh makan, lalu Kai datang menawarkan makanan untuknya. Siapa yang akan menolak?

“Terima kasih, ternyata kau tidak seburuk yang kukira.”

“Seburuk apa aku di matamu?” tanya Kai penasaran.

“Sangat buruk. Kau menuduhku macam-macam di hari pertama kita bertemu. Aku bahkan sudah bersumpah tidak ingin melihatmu lagi,” jawabnya jujur.

“Hanya berjaga-jaga, siapa yang tahu kau Lucia yang asli atau tidak. Tapi meski pun begitu, aku tetap berhutang permintaan maaf padamu. Maaf, karena sudah membuatmu tidak nyaman.”

Lana menahan senyum saat mendengar ucapan pria itu, membuat Kai menatapnya dengan bingung.

“Kenapa?”

“Kai yang sekarang, seperti orang yang berbeda dengan Kai yang pertama kali kutemui. Ucapan dan cara bicaramu itu seratus persen berbeda. Jadi kalau kau bilang memiliki kepribadian ganda, aku pasti akan langsung percaya.”

Kali ini Lana tidak bisa menahannya lagi, dia tertawa puas setelah berhasil mengejek pria itu. Merasa impas karena berhasil membalas dendam atas kata-kata buruk yang dikatakan Kai tempo hari.

“Hm, terserah kau saja.”

Kai mendengus kesal, dia menyandarkan punggungnya ke sofa dan melipat kedua tangan di dada, sambil sesekali melirik ke arah Lana yang tengah asyik menikmati roti isinya.

“Makan yang benar,” tangan Kai terulur begitu saja untuk menyeka sisa makanan yang berada di sudut mulut Lana.

Membuat gadis itu diam seketika dan menghentikan kegiatan mengunyahnya.

“Ah, terima kasih,” katanya canggung.

Kai sendiri, setelah merasa ada yang salah dengan tindakannya, segera menarik tangannya kembali dan berdeham sembari membuang muka. Dalam hati bersyukur karena sejak awal Lana tidak menyalakan lampunya, karena sekarang wajahnya pasti sudah merah padam.

“Kalau begitu, aku mau mengambil minum dulu,” Lana berdiri, dan sebelum benar-benar melangkah ke dapur, salah satu kakinya tersandung kaki yang lain dan menyebabkan Lana terjatuh tepat di atas tubuh Kai.

Pria itu menegang seketika. Mendapatkan ‘serangan mendadak’ dari Lana seperti ini, dirinya tidak siap.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Cinta Sang Dewa Perang   95. Turun Tahta

    Genggaman tangan Lana pada tangan Kai mengerat dan wajahnya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang sangat besar.“Sepertinya ada yang tidak beres,” lanjut Kai.“Kita akan mencari tahu setelah Lana lebih tenang,” jawab Louise.“Tidak perlu.”Lana menarik diri dari pelukan Kai, menghapus air matanya kasar, lalu berdiri tegak dengan dagu terangkat.“Kalau memang aku bukan siapa-siapa, tidak ada alasan lagi untuk tetap berada di sini,” tegasnya.“Lana.”“Tidak boleh.”“Kau tidak akan pergi ke mana pun. Tanpa seijinku,” suara Kai terdengar lebih tegas dan dominan, membuat Lana mau tak mau menoleh ke arah pria itu.“Untuk apa? Untuk dipermalukan?”“Aku tidak akan membiarkan itu terjadi,” tatapan Kai berubah teduh.“Aku lelah.”“Aku tahu. Kau hanya perlu beristirahat, dan besok—““Kebetulan kalian berkumpul di sini. Saya sengaja membawa tuan putri menemui kalian semua agar dia bisa memperkenalkan diri,” suara Victor menginterupsi mereka

  • Gairah Cinta Sang Dewa Perang   94. Siapa Aku Ini?

    Lana menatap kakeknya yang sedari tadi duduk diam di kursinya, pria tua itu tidak mengatakan apa pun. Namun sikap diamnya itu justru membuat Lana semakin berpikir kalau semua ini memang benar. Sang raja bahkan tidak sekali pun melihat ke arahnya saat Victor mengatakan semua kebenarannya tadi. “Kakek…” suara Lana lirih dan hampir tak terdengar. Sebutir air matanya berhasil lolos melewati rahangnya, namun Raja Alastor tetap tidak bergerak, melirik pun tidak. Lana merasakan sakit menusuk hatinya, rasanya seperti dia baru saja dicabik-cabik oleh pedang panjang di tengah peperangan. “Tidak mungkin… tidak mungkin!” Lana mundur dan berlari menjauh sambil sesekali mengusap air matanya yang tak mau berhenti mengalir. Hatinya hancur dan jiwanya rapuh, sekarang ini dia hanya ingin sendiri. “Lana,” suara Kai terdengar panik dan pria itu berusaha mengejar kekasihnya, mengabaikan lirikan tajam sang raja yang diarahkan padanya.

  • Gairah Cinta Sang Dewa Perang   93. Tuan Putri Yang Asli

    “Ya, Tuan Putri Mindy Moon dari kerajaan Kalistar.”“Kerajaan Kalistar?” tanya Lana lagi, sejujurnya dia merasa asing dengan nama kerajaan itu.“Memang bukan sebuah kerajaan besar seperti Estrela, namun Raja Alastor berteman cukup baik dengan pemimpin kami,” lanjut maid itu menjelaskan.“Oh begitu, ya. Mungkin aku hanya kurang familier saja karena tidak pernah bertemu dia sebelumnya.”“Saat ini Tuan Putri Mindy sedang mewakili kedua orang tuanya untuk memberikan penghormatan terakhir pada putra perdana menteri Estrela.”Lana tersenyum mengerti, “Pergilah.”Maid itu tersenyum lalu undur diri dari hadapan Lana dan Layla.“Dari penampilannya memang terlihat seperti bangsawan sekali, ternyata memang seorang tuan putri, sama sepertimu.”“Hm—ya,” Lana mengedikkan bahu acuh.Untuk point Layla yang memuji Mindy cantik itu memang benar. Gadis itu cantik dengan kulit putih gading dan garis hidung yang menonjol, belum lagi pinggang super kecilnya yang membua

  • Gairah Cinta Sang Dewa Perang   92. Selamat Tinggal, River

    Dengan sisa tenaga yang dia miliki, Lana bergerak ke arah River yang sudah sekarat. Pria itu bahkan harus bersusah payah untuk membuka matanya dan melihat Lana. “Aku senang kau baik-baik saja,” ucapnya parau sembari mencoba tersenyum. “Diamlah, jangan berbicara lagi.” Lana meletakkan kepala River di kakinya, matanya tidak bisa berhenti menangisi keadaan River saat ini. “Aku punya satu permintaan,” Kai mengernyit, ucapan River kali ini jelas ditunjukkan padanya. “Apa?” “Aku tidak ingin menjadi monster.” “Apa maksudmu?” tanya Lana bingung. “Kau tahu apa maksudku,” lagi-lagi River mengabaikan Lana dan tetap kekeuh menatap Kai. “Kau bisa mati,” lanjut Kai. “Aku tahu. Dan aku lebih baik mati sebagai manusia daripada harus hidup sebagai monster.” “Kau yakin?” “Ya. Hanya kau yang bisa melakukannya sekarang.” “Apa maksudnya? Sebenarnya ada apa ini?” Lana menatap Kai dan River bergantian. Percakapan mereka itu seperti hanya mereka saja yang tahu apa maksudnya. “Aku

  • Gairah Cinta Sang Dewa Perang   91. Pengorbanan

    “Memang benar keturunan Estrela. Kau bahkan sama sekali tidak takut terhadapku. Dan malah menawarkan darahmu?”“Cih.”“Kalau saja kau tidak membunuh salah satu orang terbaikku.”Lana mengerutkan kening sejenak, lalu menyipitkan mata setelah memahami sesuatu.“Henry?”“Tepat sekali.”“Itu karena dia bodoh. Dan kau tentu lebih bodoh lagi karena memercayainya.”“Kau meragukan penilaianku?” rahang Jarek mengeras, terlihat pria itu tidak suka mendengar kata-kata Lana.“Ya.”Bukannya marah, Jarek malah tertawa, lebih tepatnya menertawakan diri sendiri karena gagal membuat Lana takut.Keberanian gadis itu tidak perlu diragukan lagi. Mungkin selain karena dia adalah seorang pewaris Estrela, Lana juga adalah tunangan Kai?‘Tidak. Tidak. Lebih tepatnya, karena dia keturunan Halvard Frost!’ koreksinya dalam hati.Seperti yang dia tahu, tak ada satu pun dari Klan Frost yang takut pada apa pun. Mereka terkenal kuat dan pemberani. Jarek telah hidup lebih lama dan dia jelas tahu tentang karakteristi

  • Gairah Cinta Sang Dewa Perang   90. Ancaman Serius

    “Jarek.” “Apa?” “Dia ada di sana tadi. Sepertinya juga dia yang sudah membebaskan Yael dari menara paviliun.” “Brengsek,” Kai berlari ke menara, dia perlu memastikan sendiri kalau Yael benar-benar tidak ada di sana. ‘Bagaimana ini, Jarek tahu aku sedang hamil dan sekarang dia membawa pergi Yael. Apa yang akan terjadi setelah ini,’ batinnya. Lana meremas gaun di sisi tubuhnya, tubuhnya bergetar karena Jarek sudah terang-terangan menunjukkan dirinya di Estrela. Dia bahkan mengancam Lana dan membebaskan seorang tahanan. “Tuan putri, kau baik-baik saja?” tubuh Lana nyaris ambruk kalau saja Layla tidak segera menopangnya dari belakang. “Aku ingin pulang dan beristirahat,” ucapnya pelan. Layla mengangguk tanpa banyak bertanya lagi. Dia tahu Lana sedang syok saat ini, wajahnya pucat dan pandangannya tidak fokus, terlebih lagi dirinya sedang hamil. “Pastikan tidak ada seorang pun masuk ke kamarku setelah ini.” Layla mengangguk. Dia segera membawanya kembali ke istana sebe

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status