"Apakah kau tuli? Aku menyuruhmu untuk memberitahu Nora!" cetus Temy, membuat Bagus segera melakukan perintah pria itu. Temy tersenyum puas, sudah sangat lama ia merindukan Nora, wanita pujaan hatinya. Kini perasaannya begitu berbunga-bunga, pasalnya Nora sudah batal menikah dengan Revan. Ia sudah tidak memiliki saingan yang handal untuk merebut hati Nora. Pria berusia 35 tahun itu, sangat antusias untuk mengejar cinta Nora, ia adalah seorang duda beranak satu, Miliarder yang tampan dan tidak pernah luput dari skandal dengan wanita-wanita malamPernikahannya kandas karena mantan istrinya memiliki kelainan penyuka sesama jenis. Kehadiran Nora mampu menyembuhkan luka di hatinya. Saat itu mereka bertemu disebuah kapal pesiar yang besar, Nora memiliki tujuan untuk pergi kw makam orang tuanya yang berada di negara Singapura. Dalam perjalanan, tidak disengaja Nora bertemu Temy Kim, pria blaster Indonesia dan Korea. Ia pernah menyatakan cinta kepada Nora, sayang seribu sayang, cintanya t
Setelah kejadian malam itu, Nora semakin merasa giat untuk membuktikan pada Bagus, jika cintanya tulus dan tidak ada unsur kebohongan dalam hatinya. Rasanya begitu sulit mendapatkan kepercayaan Bagus. Namun, di dalam hati kecilnya Nora sangat yakin jika Bagus adalah pria yang ditakdirkan hanya untuknya. Begitu pun Bagus, sebagai seorang pria ia harus bisa menepati janjinya. Seketika perhatian-perhatian Nora selama menjalani pernikahan bersamanya, tentu membuat Bagus dilema, wanita itu seakan memiliki sihir, karena mampu membuat degup jantungnya berdebar kencang. "Kenapa memandangiku seperti itu atau kau memang terpesona denganku?!" goda Nora. Bagus tersenyum kecil, Nora memang terlihat cantik malam ini. Dua manusia itu tengah berkencan di sekitar pantai, suara gulungan ombak yang menyapa pasir. Keindahan suasana malam yang diterangi bulan dan bintang dan hembusan angin kencang, setelah beberapa menit yang lalu keduanya merasa puas melihat pesona matahari yang terlihat tenggelam di
Suara bising mampu membuat Nora terbangun, perlahan kedua matanya terbuka, lalu mengamati gerak-gerik orang-orang yang lalu lalang melewati mobilnya. "Di mana Bagus? Kenapa banyak sekali orang di depan rumahku?!" tanyanya ragu. Nora bergerak cepat untuk turun dari mobilnya, kedua netranya melihat jelas mobil Lesia yang terparkir di pekarangan rumahnya. "Wanita itu lagi!" gerutunya, dan menutup pintu mobil dengan kencang. Dengan penuh emosi Nora masuk ke dalam rumahnya. Terlihat Lesia tengah berbicara dengan Bagus. "Untuk apa kau datang ke tempatku? Apa apaan ini?!" bentak Nora. "Surprise, akhirnya kamu datang Nora! Aku mau kasih tahu kamu, semua aset kedua orang tuamu detik ini juga sudah menjadi milikku!""Wanita kep*rat! Jangan kau ambil semua harta kedua orang tuaku! Apa tujuanmu sebenarnya? Aku sudah mengikhlaskan Revan untukmu, dan sekarang kau mencoba mengambil semua peninggalan harta Almarhum ayahku!""Ssstt! Dengar ya Nora, sepuluh tahun yang lalu, aku masih sah menjadi i
Malam yang semakin larut, semakin membuat hati Nora pilu. Sora terus menangis terisak karena tidak tega melihat kesedihan dan kehancuran pada Nora. "Berhenti menangis Sora, aku baik-baik saja!" pinta Nora, walaupun ia sendiri mencoba untuk menahan diri agar tidak menangis. "Nona, maafkan saya, saya tidak bisa membela Nona, saya tidak bisa menolong Nona!" balas Sora, sambil menyeka air matanya. "Harusnya aku yang minta maaf, gajimu dan Jaki belum bisa ku bayar, aku benar-benar tidak memiliki uang, aku berjanji jika aku sudah mendapatkan uang, aku akan membayar gaji kalian berdua.""Tidak perlu, aku hanya ingin melihat Nona bahagia, aku bisa mencari uang untuk kebutuhanku sendiri, jadi Nona tidak perlu memikirkan aku dengan Jaki!"Nora menghela napasnya dengan berat. Ia merasa malu, karena saat ini ia bukanlah seorang Bos, apalagi saat ini ia hanya memiliki uang tidak cukup sampai satu juta. Semua kartu debit Nora terblokir, Lesia sudah bergerak cepat akan hal itu. Nora melepaskan s
Nora yang tidak terbiasa menaiki Bus, harus menahan rasa mual dan isi perutnya bergejolak untuk meminta keluar, hal itu benar-benar membuatnya menyerah, ia tidak bisa menaiki Bus antar kota, sementara Desa Bagus hanya membutuhkan waktu 45 menit lagi untuk sampai. Bagus mengalah, ia dan Nora memilih turun dari Bus dan segera mencari tempat untuk berteduh. Hawa dingin menyelimuti, membuat tubuh Nora menggigil. "Sedingin ini Desa mu Gus?!" tanya Nora. "Karena memang dekat gunung, cuacanya selalu pedut dan akan seperti ini, begitu dingin!""Duduklah disini, kau harus bertanggung jawab atas semua rencanamu ini!""Tanggung jawab bagaimana?!" tanya Bagus heran. "Sudah kemari, diam, dan duduk disebelahku!" paksa Nora. Bagus menuruti perintah Nora, mereka berteduh di tempat warung yang tidak terpakai, bangunannya pun terbuat dari anyaman bambu. Setidaknya tempat itu bisa menjadi tempat yang aman untuk mereka. "Lalu, kita hanya diam saja disini?!" tanya Bagus. "Lihat, hari masih gelap, ka
Matahari sudah tinggi, Nora dan Bagus sampai di rumah Bagus yang ternyata begitu jauh jika hanya berjalan kaki. Sepanjang jalan mereka tidak menemukan kendaraan, sehingga Bagus berjalan kaki bersama dengan Nora. Rasa penat dan letih membubuhi benak Nora. Belum pernah selama hidupnya berjalan sejauh ini. Tidak seperti dulu, ia sering bergonta-ganti mobil sport miliknya. 'Seperti ini rasanya tidak memiliki apa-apa lagi! Aku tidak boleh mengeluh, jika baru seperti ini saja mengeluh, ingin ku taruh di mana wajahku ini?' bisiknya. "Assalamualaikum, Bu, aku pulang!" teriak Bagus, karena pintu belum terbuka sedari tadi ia mengetuk daun pintunya. Nora terdiam, ingin rasanya cepat-cepat ia masuk ke dalam dan beristirahat sejenak. Pintu pun terbuka, terlihat raut wajah wanita paruh baya yang merasa terheran-heran melihat Bagus bersama sosok wanita asing. "Assalamualaikum Bu," seru Bagus, kemudian menyalami sang ibu. "Wa'alaikumsalam, loh kok pulang nggak bilang-bilang, ini siapa toh?!" tu
Belum satu hari penuh Nora tinggal di desa, desas-desus mulai berkembang dari beberapa pihak. Banyak warga yang mempertanyakan siapa wanita yang dibawa oleh Bagus. Berbeda dengan Bagus, pria itu memilih bersikap biasa saja menanggapi desas-desus dirinya. Saat ini Bagus memilih pergi ke rumah temannya yang memiliki usaha tukang kayu. Bagus sendiri sudah sangat lama tidak melanjutkan pekerjaannya di tempat itu. Kedatangannya disambut baik oleh Furqon, pria yang usianya jauh lebih tua darinya dan begitu gembira melihat Bagus yang berkunjung mendatanginya."Apa kabar Fur?!" sapa Bagus. "Alhamdulilah aku baik, aku tidak tahu jika kau sudah pulang? Apakah kau aka segera menikahi Atun?!" goda Furqon, dengan memainkan kedua alisnya. Bagus tersenyum dan menggeleng. "Bukan, aku tidak menikahi Atun!" jawabnya. "Loh, bukannya kalian saling mencintai?!""Panjang ceritanya, oh ya apakah aku masih bisa diterima disini?!" tanya Bagus, penuh harap. "Kau pegawai yang selalu aku terima disini Gus,
Nora berusaha melakukan semuanya sendiri, ia paham jika saat ini ia harus berusaha berbakti kepada sang suami. Kehidupan yang ia jalani tidak membuatnya putus asa, berita tentang dirinya tersebar luas di media. Alangkah kesalnya Nora, Lesia berbuat sesuka hatinya dan terus mempermainkan masalah ini. Sedari tadi, Nora menu kedatangan Bagus, ia sudah berinisiatif untuk memasakkan air hangat untuk suaminya itu, karena suhu udara semakin dingin. Suasana pedesaan yang damai ini mengingatkannya akan masa kecilnya bersama anak laki-laki yang lebih tua darinya. Nora ingat saat dirinya bersama anak laki-laki yang memakai pakaian sedikit kumuh dan compang-camping. Anak laki-laki itu tidak sendiri ia bersama adik kecil laki-laki yang ikut bermain memanjat pohon. Sementara, saat itu i tengah asik berfoto bersama sang Ayah yang memotretnya. Dan hanya itu bagian kenangan yang teringat di benaknya, sehingga ia rindu sosok ayahnya. Nora tersenyum melihat Bagus datang, pria itu terlihat lelah dan le