Cecilia setengah mendorong pintu kaca ruangannya dengan kasar, membuat benda itu terbanting keras. Kedua kaki jenjangnya melangkah lebar-lebar, membuatnya tiba di meja kerja dengan cepat. Tangannya kemudian bergerak cepat untuk merapikan barang-barang ke dalam tas.
Emosi yang kacau ditambah kehadiran tiga pengacau itu membuatnya memutuskan untuk pulang lebih cepat. Namun, tiba-tiba saja seseorang muncul. Seketika menyalakan kembali bara api di dalam hatinya.
“Kenapa kau terlihat buru-buru?” tanya Bertha Stone dengan nada santai penuh rasa penasaran. Dia masuk ke ruang kerja Cecilia dengan langkah santai.
Cecilia tak menjawab, memilih mengatur napas. Namun, kedua matanya sudah menatap nyalang pada Bertha. Ekspresi yang seketika membuat sahabatnya itu sadar.
“Kau sepertinya marah padaku,” tebak Bertha. Tangan kirinya mendorong pintu hingga tertutup, lalu kakinya melangkah ringan dengan kedua tangan bersedekap dada.
“Keluar!” bentak Cecilia saat melihat wanita itu akan duduk di kursi kebesarannya. Lancang sekali.
“Bukankah kita seharusnya bicara? Aku tidak tahan berlama-lama dimusuhi olehmu.” Bertha mengabaikan bentakan kemarahan Cecilia. “Kita sahabat, kan? Jadi, seharusnya kita bicara. Kau sampaikan masalahmu, maka akan aku dengarkan.”
Sikap Bertha santai sekali, tetapi tidak lagi menunjukkan sosoknya sebagai sahabat Cecilia selama ini. Kali ini, Bertha menunjukkan sisinya yang lain. Sisi gelap yang baru diketahui Cecilia baru-baru ini. Licik dan liar.
“Berhenti memanggilku sahabat, Bertha Stone,” peringat Cecilia dengan desisan tajam, menunjukkan amarah yang seolah ingin meledak.
Mulut Bertha tertutup rapat, menunggu wanita itu kembali bicara.
Pada akhirnya, Cecilia siap kembali meledak lagi. “Sahabat tidak akan berselingkuh dengan tunangan sahabatnya sendiri. Tidak kusangka, kau sehina itu, Bertha!” hardiknya tajam.
“Apa maksudmu?” Bertha memasang wajah tidak mengerti.
Tawa sinis Cecilia terdengar. “Berhentilah bermain peran denganku, Bertha.” Rahangnya mengeras dengan mata memandang tajam. “Aku melihat video seks-mu dengan Evan di laptopmu.” Tangannya menggenggam tali tas yang sudah tersampir di bahu.
Bertha melebarkan senyuman manis. Ekspresi yang seketika membuat amarah Cecilia meledak. “Aku sudah tahu bahwa kau sudah tahu. Memang apa salahnya, hm?” jawabnya santai, tanpa beban.
Beberapa saat lalu, Evan sudah memberitahu Bertha bahwa perselingkuhan mereka terbongkar, akibat Cecilia tidak sengaja menonton video rekaman di laptop Bertha. Jadi, Bertha tidak perlu lagi membuang tenaga untuk berakting.
“Kau bahkan tidak menyangkal?” tanya Cecilia dengan cepat. Meski kenyataan sudah terbentang luas di depan mata, hati kecilnya masih berusaha menolak.
Kali ini, Bertha tertawa singkat. “Kau, kan, sudah tahu,” balasnya kalem. Dia lalu duduk di kursi kerja Cecilia, memainkan kakinya.
“How dare you, Bitch!” Cecilia tidak bisa merangkai kata saking emosi. Giginya bergemeretak, matanya terasa pedas, pipinya panas.
Bertha akhirnya bangkit berdiri, tetapi diam di tempat. Matanya menatap mencemooh pada Cecilia. “Tidak perlu marah-marah. Hemat tenagamu dengan baik. Kita, kan, sebentar lagi akan menjadi penanggung jawab utama,” katanya tenang. “We are partners.”
“Aku tidak sudi menjadi partnermu! Kau ....” Kalimat Cecilia terputus begitu saja. Wanita cantik itu mengembuskan napas kencang dan menarik satu tarikan napas panjang.
“Come on, aku hanya tidur dengan tunanganmu. Apa salahnya dengan itu?” tanya Bertha, sepertinya sengaja membakar amarah Cecilia.
“Otakmu yang salah!” bentak Cecilia berang.
Bertha meraba singkat pelipisnya. “Ah, tidak ada yang salah,” ujarnya dengan santai, tanpa merasakan dosa sedikit pun, “Yang salah sepertinya dirimu, Cecilia. Evan sering bercerita padaku bahwa kau tidak bisa diajak seks. Jadi, ya aku memberinya bantuan.”
Cecilia muak sekali dengan gaya bicara wanita itu. Namun, rasanya meledakkan amarah secara membabi buta adalah hal sia-sia, karena rupanya Bertha setidakberperasaan itu.
“Hanya seks, Cecilia. Di era sekarang, itu bukan hal tabu lagi. Aku dan Evan hanya saling memberi dan menerima,” kata Bertha lagi. “Tapi, sepertinya Evan mulai goyah dan belakangan ini sering bermain bersamaku.” Dia tertawa bahagia. Tawa yang bak nyanyian kematian.
Cecilia mengepalkan tangan kirinya.
“Sayang sekali, di hatinya masih ada namamu, tunangannya yang tidak berguna,” cerca Bertha diakhiri tatapan yang berkilat.
“Kau tahu? Aku selama ini benar-benar ditipu olehmu! Kau bahkan ternyata kau sangat berengsek, Bertha!” geram Cecilia.
“Terima kasih atas pujianmu. Kau sangat tahu aku. Kau memang sahabat terbaikku, Cecilia.” Bertha berkata manis, dan membuat Cecilia makin kebakaran.
Melihat wanita itu masih diam mematung dengan muka merah padam, Bertha lalu mulai melangkah ke arah Cecilia. “Aku senang memiliki sahabat sepertimu, Cecilia.” Suaranya turun dalam bisikan saat melanjutkan, “Kau banyak berbagi padaku, termasuk soal tunanganmu itu.” Senyuman manisnya kembali melebar untuk yang kesekian kali.
Napas Cecilia memburu dengan tidak beraturan. Rasanya dia ingin melayangkan tangan kanannya ke pipi wanita itu. “Ternyata selama ini aku bersahabat dengan seekor ular,” desisnya tajam.
“Oh, kau baru sadar?” balas Bertha pura-pura kaget. “Ah, sayang sekali. Kupikir kau cerdas, ternyata kau bodoh. Itu kenapa kau baru tahu setelah melihat kecerobohanku. Setelah ribuan percobaan dan waktu bertahun-tahun yang kuhabiskan untuk menjatuhkanmu.”
“That’s really low, Bertha!” Mulut Cecilia rasanya pahit saat mengatakan kalimat itu.
“I know, thanks, Cecilia,” balas Bertha cepat.
Keduanya lalu bertatapan lekat dengan kobaran amarah yang berkilat-kilat di mata. Hingga kemudian, Bertha yang bergerak duluan.
“Sejak SMA, aku banyak melihat pencapaianmu. Kau selalu unggul, mendapat perhatian, mendapat banyak cinta.” Wanita itu melangkah mundur sambil bersedekap dada. Matanya tertancap tajam pada wajah Cecilia yang merah padam. “Dulu, aku sangat kagum padamu, mengidolakanmu. Sampai seiring waktu berjalan dan aku berhasil berdiri di sampingmu, aku sadar sesuatu.”
Wanita itu menjeda sebentar, menikmati ekspresi marah Cecilia yang sepertinya sudah tidak terkendali.
“Aku sadar, bahwa aku selalu berada di belakangmu. Kau selalu berada di depanku. Aku selalu kalah darimu. Aku selalu tersisihkan jika bersandingan denganmu!” Nada Bertha berubah keras dan cepat. Napasnya pun mulai memburu. “Itu menyakitkan, Cecilia.” Dia tertawa sinis.
“Jadi, suatu hari aku mengubah cita-citaku, dari menjadi sosok seperti dirimu menjadi sosok yang menghancurkanmu!” sambungnya diakhiri tawa kencang.
“And now, Evan jatuh ke pelukanku.” Bertha mendesis bangga. Nadanya berubah pongah, dengan mata menatap rendah Cecilia.
“Kau sungguh menjijikan, Bertha!” bentak Cecilia, akhirnya meledakkan amarah. “Kau seks dengan tunanganku! Di mana otakmu? Kau menusukku, Bertha, dengan peselingkuhanmu yang menjijikan itu!”
“Kau! Kau yang di mana otakmu!” Bertha balas membentak. “Kau naif dan bodoh. Itu celahmu yang bisa kulihat dan akhirnya kumanfaatkan untuk menghancurkanmu! Aku berhasil, kan? Aku berhasil mengalahkanmu kali ini!”
“Dengan cara memberikan tubuhmu secara cuma-cuma?” Teriakan Cecilia lebih keras menggema. Napasnya kian memburu. “Kau memilih cara hina itu untuk menghancurkanku?”
“Itu memang caraku menghancurkanmu! Kalau aku tidak jahat, aku tidak perlu punya niat busuk itu!” balas Bertha muak. “Tapi, aku tidak cukup kesabaran untuk terus melihatmu berada di atas awan. Sekarang kau jatuh, Cecilia. Kau hancur. Dan, aku bahagia.”
Kata demi kata yang sampai dengan tajam ke telinganya itu seketika membuat api kebencian untuk Bertha kian berkobar kuat di dalam hati Cecilia. Sakit hati, marah, dan kecewa membuat air matanya nyaris tumpah.
“Ada yang salah dengan dirimu, Bertha.” Cecilia masih menatap nyalang wanita yang tampak santai itu.
“Kau yang salah, Cecilia!” balas Bertha tajam, membalikkan ucapan. “Kau hanya manusia biasa, tidak bisa menjadi sosok sempurna. Terbukti, ternyata tunanganmu lebih memilihku. Kau memiliki celah di mana kecantikanku mengalahkanmu!”
Satu tamparan dari Cecilia siap mendarat di pipi Bertha, tetapi Bertha dengan cepat menahan pergelangan tangannya di udara. Cengkeramannya kuat. Namun, Cecilia segera menarik tangannya secara kasar.
“Berhentilah berpikir bahwa kau cukup baik dan hebat, Cecilia. Sebab, mulai dari sekarang, aku tidak akan berhenti untuk menarik Evan agar jatuh ke pelukanku sepenuhnya,” kata Bertha dengan penuh tekad. Kobaran kebencian makin membara di matanya. “Aku akan merebut apa pun darimu, sebanyak mungkin. Ingat itu baik-baik, Cecilia!”
Kemudian, wanita berpakaian seksi itu melenggang pergi dengan langkah cepat. Meninggalkan Cecilia yang akhirnya kembali dikuasai amarah.
“Fuck!” umpat Cecilia frustrasi.
Dia menarik dan mengembuskan napas tiga kali, sebelum mulai berjalan cepat meninggalkan ruangan. Tempat kerjanya yang biasa dingin dan penuh ketenangan, untuk kali ini mendadak panas dan pengap. Seperti penjara bawah tanah yang dilempari bom racun.
Sepanjang jalan menuju lobi, Cecilia sama sekali tidak bisa memadamkan api amarah di dadanya. Sedikit pun. Dia mengabaikan orang-orang yang berpapasan dengannya, atau beberapa yang melempar sapaan. Telinganya seperti mendadak tidak berfungsi karena akalnya sudah tenggelam dalam lautan emosi.
“Cecilia!” panggil suara familier. Kali ini membuat Cecilia melirik.
Seorang pria di depan sana tampak melambaikan tangan dengan pandangan fokus ke arahnya. Menandakan bahwa Evan sedang memanggilnya. Namun, Cecilia hanya melirik singkat dan menemukan bahwa Evan tengah duduk di sofa dengan seseorang di sebelahnya.
Charles Langston.
Cecilia makin mempercepat langkah dan kembali melempar pandangan ke depan begitu menemukan keberadaan dua pria itu. Selanjutnya, dia berpura-pura tuli. Membuat Evan akhirnya menyerah memanggil.
“Ah, dia malah kabur,” kata Evan kecewa. Dia lalu merapikan duduk, kembali fokus pada pamannya.
Charles hanya tersenyum samar. “Kau tampak kecewa.”
“Tentu.” Evan mengangguk cepat. “Tadinya aku ingin memperkenalkan ulang dirinya padamu, dengan staus lain,” lanjutnya.
“Status apa itu?” tanya Charles sambil meraih cangkir kopi miliknya yang masih penuh. Ekor matanya bisa melihat bahwa Evan melebarkan sebuah senyuman.
Evan lalu mencondongkan tubuh, merapatkan diri pada pamannya. Dia pun berbisik dengan hati-hati, “Dia tunanganku, Paman.”
Charles mendadak berhenti bergerak, membuat cangkir kopi terangkat hingga ke dekat bibirnya. Wajah datarnya bertahan selama beberapa detik, sebelum sebuah senyuman misterius terbit.
“Cecilia tunanganmu?” ulang Charles memastikan.
Evan mengangguk, dengan senyuman di wajahnya. “Ya, Paman. Dia adalah tunanganku. Dia bekerja di sini atas permintaanku.”
Charles terdiam, mendengar apa yang dikatakan oleh anak dari kakaknya itu. Tampak seringai muncul di wajhanya, membentuk sesuatu hal yang menarik. Pandangannya lurus ke depan, menatap bayang-bayang Cecilia tang tadi lewat di hadapannya.
Sangat menarik batin Charles.
“Apa maksud ucapanmu, Charles?” tanya Cecilia dengan nada bingung dan tatapan menuntut jawaban. Wanita cantik itu kini terus menatap Charles yang tampak berbeda dari biasanya.Charles tak langsung menjawab apa yang Cecilia tanyakan. Pria tampan itu membisu dengan kedua mata mengamati baik-baik setiap perubahan di wajah Cecilia.“Jika laki-laki yang kau maksud adalah aku, apa yang akan kau lakukan?” tanya Charles dengan nada tenang.Cecilia menatap kesal Charles. “Kau itu calon suamiku. Jadi, kalau bicara jangan mengada-ada. Tidak perlu berandai-andai kau adalah laki-laki yang aku benci itu. Karena aku tidak mau memikirkan hal konyol dan tidak masuk akal.”Lidah Charles tak langsung mengukir kata di kala Cecilia secara terang-terangan mengatakan tak percaya. Ya, memang tak masuk akal sehat, tetapi dia sendiri tak pernah mengira akan berada di posisi sekarang ini. Posisi di mana membuatnya terjebak dan dilema.“Aku mengenal kakakmu, Cecilia,” ucap Charles tiba-tiba, yang sontak membuat
Pagi menyapa. Aktivitas sarapan bersama keluarga Cecilia begitu hangat. Charles yang terbilang biasa sarapan atau makan malam sendirian, dia mulai terbiasa dengan suasana-suasana sederhana. Ya, Cecilia bukan berasal dari keluarga kaya, itu yang membuat suasana kekeluargaan sangat melekat.Charles melihat kesederhanaan dan kehangatan di keluarga Cecilia, membuat hatinya seakan melepas rindu. Kehangatan sudah lama tak dia rasakan. Dulu, di kala kedua orang tuanya masih ada, dia pernah merasakan—walau kedua orang tuanya itu jelas terkenal sangat sibuk. “Cecilia, kapan kira-kira kau akan kembali ke London?” tanya Daisy penasaran.Cecilia yang mendapatkan pertanyaan dari ibunya, langsung menoleh menatap Charles. “Mungkin Charles akan menjawabnya, Mom.”Daisy mengalihkan pandangannya, menatap Charles, menunggu jawaban yang dia tanyakan tadi.“Beberapa hari lagi aku akan membawa Cecilia kembali ke London,” jawab Charles tenang.Daisy tersenyum. “Aku nanti akan membawakan roti buatanku. Tolo
Malam biasanya sunyi, tetapi kali ini cukup ramai karena ada Charles dan Cecilia. Dua insan itu masih berada di rumah keluarga Cecilia yang ada di Marple. Mereka masih belum kembali ke London karena Cecilia masih ingin melepas rindu pada kedua orang tuanya.Makanan lezat telah terhidang di atas meja. Cecilia malam itu membantu Daisy membuatkan makanan. Tidak terlalu berat, jadi Cecilia tak akan mungkin kelelahan. Lagi pula, memasak bersama ibunya adalah hal yang dia rindukan.“Makanan sudah siap semua. Ayo kita makan,” ajak Daisy hangat sambil duduk di samping sang suami.Corey mengangguk dan mempersilakan semua orang untuk makan.Makan malam berlangsung. Semua orang menikmati makanan yang terhidang, hanya Charles yang sejak tadi tampak seakan memaksa untuk makan. Malam itu, dia terlihat berbeda, seolah ada yang dia pikirkan.“Charles? Kau suka dengan makanan buatanku dan Cecilia, kan?” tanya Daisy sambil menatap Charles hangat.Charles langsung membuyarkan lamunannya di kala mendengar
Beberapa tahun sebelumnya ...“Charles, tunggu aku!”Seorang perempuan cantik berambut pirang dan bermata abu-abu berlari mengejar Charles. Namun sayangnya langkah Charles tak pernah berhenti. Lelaki tampan itu seakan mengabaikan perempuan yang mengejarnya.“Charles! Ck! Kau kenapa pergi meninggalkanku?” Perempuan itu berhasil menyusul Charles. Dia langsung bergelayut manja di lengan lelaki tersebut.Charles mengembuskan napas kasar dan menatap dingin perempuan yang memeluk lengannya itu. “Violet, aku sudah bilang padamu, berhenti menggangguku! Apa kau tuli?”Violet tampak kesal. “Kau tidak bisa menghentikan hubungan kita tiba-tiba. Aku mencintaimu, Charles! Aku tidak akan pernah melepaskanmu sampai kapan pun!”Charles muak mendengar ucapan gila perempuan yang terobsesi padanya itu. “Hubungan apa yang kau maksud? Kau dan aku tidak pernah memiliki hubungan khusus. Semua hanya atas didasari senang-senang semata. Jadi, berhenti mengejarku!”Violet menggeleng, menunjukkan sisi keras kepal
The Moreau Bakehouse adalah toko roti milik Daisy yang cukup dikenal di Marple. Meski hanya kota kecil, banyak pengunjung singgah di toko roti ibu Cecilia itu.Seperti saat ini, toko roti itu sudah diserbu oleh pembeli tepat di kala baru saja dibuka. Ada dua karyawan yang membantu ibu Cecilia di toko roti itu. Pun tentu Cecilia yang katanya hanya duduk, turut membantu melayani pembeli.Toko roti ini ada sudah sejak Cecilia berusia lima tahun. Bisa dikatakan toko roti ini membantu keuangan keluarga Cecilia. Ayah Cecilia hanya karyawan biasa di salah satu perusahaan swasta dan memiliki gaji yang sekadar dikatakan cukup.Berkat ketekunan Daisy, hidup Cecilia cukup baik. Walau tidak bergelimang harta, sejak kecil dia tak pernah merasakan kekurangan. Terbukti Cecilia bisa selesai kuliah dan tinggal di London—yang terkenal sebagai kota mahal.“Apa kau Cecilia, anak Daisy?” tanya salah satu wanita yang merupakan seorang pembeli.Cecilia tersenyum pada pembeli yang mengenalinya. “Ya, aku Ceci
Ruang makan sederhana tampak tertata dengan rapi. Cecilia bersama Charles dan ibunya duduk di kursi meja makan sembari menikmati makanan yang terhidang di atas meja. Keheningan terselimuti, dan ada sedikit kecanggungan akibat kejadian di mana Daisy memergoki Cecilia dan Charles bermesraan.Orang tua Cecilia memang sudah memberikan restu, hanya saja Cecilia masih sedikit malu jika bermesraan dengan Charles di hadapan kedua orang tuanya. Mungkin lebih tepatnya, Cecilia belum terbiasa.“Cecilia, banyaklah makan sayur. Kau sedang hamil,” kata Daisy mengingatkan Cecilia.Cecilia menganggukkan kepalanya, berusaha untuk tenang. “Mom, kenapa Daddy tidak ikut sarapan dengan kita?” tanyanya pelan.“Daddy-mu ada rapat mendadak. Bosnya menghubunginya tadi malam. Jadi, dia tidak bisa ikut sarapan dengan kita. Tapi, tadi dia bilang akan mengusahakan pulang lebih awal,” jawab Daisy memberi tahu.“Ah, begitu.” Cecilia mengangguk paham.Daisy mengalihkan pandangannya, menatap Charles. “Charles, makanl