Hentikan pikiran sintingmu, Cecilia! umpatnya. Urat-urat lehernya menegang begitu matanya menemukan kemunculan Charles tiga langkah di depannya. Pria tampan itu menemukannya. Bagaimana bisa? Apa dia dibuntuti?
Charles muncul dengan tangan bersedekap di dada. Cecilia memelotot penuh pada pria itu. Matanya bergerak mengikuti setiap gerakan yang dilakukan Charles ketika kembali melangkah mendekat padanya. Kemudian, Cecilia lagi-lagi membeku sepenuhnya begitu tubuh tinggi tegap pria itu berhenti di depannya, seperti siap mengungkungnya. Sementara dia hanya bisa merapat ke dinding dengan mencicit ketakutan.
Tangan Charles terulur dan mengusap ringan blazer tailored fit Cecilia. “Kau tampak cantik dengan busana formalmu ini, tapi aku lebih suka melihat tampilanmu yang kemarin. Liar dan seksi. Apalagi saat menari di atasku,” kata Charles terang-terangan.
Hari ini, Cecilia tampil cantik dengan blazer tailored fit warna blush rose dengan sedikit belahan V di dada. Memperlihatkan sepotong blouse satin silk berwarna champagne ivory dengan pita kecil di bagian dada. Kemudian, untuk bawahan, dia memakai rok pencil pants hight-waist berwarna senada dengan blazer. Tampilan yang memberi kesan kepercayaan diri dan daya tarik profesional.
“Diam!” bentak Cecilia yang langsung lepas kendali. Napasnya kembali memburu. Namun, dia tidak bisa berbuat banyak karena sudah terpojok di dalam kungkungan pria itu.
Charles berbahaya untuknya. Pria itu mengincarnya!
“Kau berani membentakku, hm?” tanya Charles santai. Dia menopangkan tangan kiri di dekat kepala Cecilia, membuat wanita itu memelotot ngeri sambil menahan napas. Kemudian, dia merundukkan tubuh hingga kening mereka nyaris bersentuhan. “Tapi, saku akui kau adalah wanita yang berani, Cecilia. Seperti saat kemarin kau menyerangku duluan.”
Wajah Cecilia memanas dengan cepat. Kedua tangannya membulat kuat sampai kuku-kukunya nyaris menancap di telapak tangan. “Kenapa kau membuntutiku, hah? Di mana sopan santunmu?” serangnya dengan emosi meledak-ledak.
Charles justru melebarkan senyum miring. “Ah, aku hanya merindukanmu,” katanya main-main, dengan suara serak yang rendah. Embusan napasnya menerpa wajah wanita itu.
“Jangan macam-macam!” Cecilia berteriak lagi.
“Ssst!” Charles menyimpan telunjuk di bibirnya sendiri. “Turunkan suaramu, atau kita akan ketahuan.”
Ancaman itu sukses membuat Cecilia menelan kembali kata-kata makian yang siap dilontarkan untuk Charles.
Charles beralih menelusuri garis rahang Cecilia, merasakan kulit wanita itu yang lembut. “Kau membahas sopan santun. Bukankah kau yang tidak punya sopan santun karena malam kemarin sudah menyerangku dengan tidak sabaran?” singgungnya.
Sialnya, Cecilia langsung ingat dengan jelas apa yang dia lakukan kemarin malam pada pria ini. Membuat dadanya siap meledak karena amarah bercampur rasa malu. Namun, pria itu sepertinya belum mau berhenti dari mengorek kejadian malam kemarin.
Ya. Cecilia menduga otaknya sudah tertinggal di rumah saat pergi ke kelab malam. Bisa-bisanya dia langsung menggoda pria asing hanya karena pria itu memiliki paras tampan—yang sekarang direvisi menjadi ‘pria berwajah menyebalkan’.
Cecilia menepis kasar tangan nakal pria itu. “Apa yang kau katakan, hah?” Dia berusaha menyangkal. Namun, nada gugupnya menjelaskan bahwa dia sedang melakukan kebohongan.
“Oh. Kau pura-pura lupa?” cibir Charles geli. Dia lalu mencondongkan tubuh ke depan dan berbisik serak, “Apa kita harus mengulang momen panas kemarin, di sini, agar membuatmu mengingat kembali keseruan kita semalam?”
Cecilia menahan umpatan. Kedua tangannya gatal sekali ingin melayangkan tamparan ke wajah menyebalkan Charles. Bibirnya merapat dalam satu garis yang gemetar.
“Bagaimana?” tanya Charles, dengan sengaja mendesak. “Aku ingin bermain denganmu sekali lagi. Bermain dengan panas.” Dia berbisik tepat di telinga kanan Cecilia. Diakhiri senyuman miring yang penuh kelicikan.
Bayangan demi bayangan kejadian itu berdesakkan memasuki kepala Cecilia. Membuatnya berakhir memejamkan mata dan mengatur napas yang memburu. Hidungnya bisa mencium kuat aroma maskulin yang familier ini, yang membuatnya kian mengingat jelas malam panas mereka.
“Kau ... terlihat takut.” Charles menatap geli pada wanita di depannya yang tidak berkutik sama sekali. “Ada apa? Kau membutuhkan bantuanku untuk merelakskan tubuhmu, hm?” tanyanya lagi.
Cecilia mengangkat kepala dan menyorotkan matanya yang sudah memerah pada Charles. “Kalau kuminta untuk merahasiakan malam itu, bagaimana?” tanyanya dengan keberanian yang tersisa.
Charles tidak langsung menjawab. Keningnya mengerut dalam, tanda sedang berpikir. “Bagaimana, ya?” katanya, seperti menimbang-nimbang. “Apa kau bisa memberi imbalan?”
Sialan! umpat Cecilia di dalam hati. Tatapan tajamnya seakan-akan meneriaki pria itu dengan segudang umpatan kasar. Sikap diamnya lalu membuat senyuman misterius Charles terbit.
Pria yang sudah kembali berdiri tegak tanpa menarik jarak itu kembali merunduk. Membuat wajah mereka begitu dekat, seperti siap berciuman. Tampak tubuh Cecilia gemetar pelan saat telunjuk panjang Charles menyentuh dagunya dan mengangkatnya. Membuatnya mendongak dan menatap gugup pada sepasang mata tajam itu.
“Rasanya aku tidak ingin melepaskan barang seberharga kamu,” kata Charles dalam nada rendah mirip bisikan. Tegas, penuh keseriusan.
Cecilia gemetar sebadan-badan. Mati-matian menahan napas. Terlebih begitu Charles mendekatkan bibir mereka. Tidak. Dia tidak siap kalau pria itu tiba-tiba menciumnya. Di sini, di ruang terbuka. Namun, tubuhnya sudah tidak bisa dikontrol, hanya diam kaku seperti patung. Dia tidak bisa melarikan diri.
Sayangnya—atau untungnya, tidak ada ciuman. Begitu Cecilia memejamkan mata dan menunggu selama beberapa detik, tidak ada benda yang menempel di bibirnya.
“Kenapa tatapanmu terlihat kecewa?” tanya Charles pura-pura penasaran. “Apa kau merindukan bibir dan lidahku, hm?”
“Kau bajingan!” Cecilia akhirnya meloloskan sebuah umpatan.
Charles hanya tertawa singkat. “Kau cukup menyenangkan,” katanya setelah menjauhkan wajahnya dari wanita itu. Tangan kirinya pun turun dan tersimpan kembali di sisi tubuh, membebaskan kungkungan dari Cecilia. Termasuk membebaskan dirinya sendiri dari sensasi panas yang mulai merayapi.
“I have to go. Sampai jumpa lagi, Nona Moreau.” Charles berbicara dengan nada lebih ringan sekarang. Dia menarik diri, mundur, lalu berbalik dan mengambil langkah pertama untuk pergi.
Pria tampan itu meninggalkan Cecilia yang akhirnya meluruh dengan lemas. Cecilia benar-benar dibuat kacau oleh sosok Charles Langston.
Pagi menyapa. Cecilia tengah fokus menatap ke layar MacBook, menyelesaikan satu demi satu pekerjaan, saat seseorang tiba-tiba masuk ke ruangannya. Cukup dari aroma yang familier, wanita itu memutuskan tidak mendongak untuk memeriksa siapa yang datang.“Sayang, kemarin kau ke mana? Kenapa kau tiba-tiba memutuskan sambungan teleponku?” Evan muncul dan langsung melayangkan dua kalimat tanya dengan nada sedikit kencang. Dia lalu berhenti di depan meja kerja Cecilia, berdiri sembari memandang penuh pada wanita yang tengah duduk itu.Hari ini Cecilia tampak cantik dengan setelan hitam-hitamnya yang menguarkan kesan misterius tetapi kharismatik. Dia memakai celana kain sepaha, dipadukan dengan dalaman berupa kaus putih polos pendek, dan jas hitam kebesaran yang menutupi tubuh proporsionalnya. Kemudian, dia juga memakai jam tangan berdesain simpel warna hitam, melingkar lembut di tangan kecilnya yang putih. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai indah, menelusuri lekuk pundaknya yang kecil tetap
Entah apa yang membuat dirinya benar-benar sudah tidak waras. Cecilia perlahan tenggelam dalam lautan hasrat yang mulai menggelegak, mulai pasrah dengan sentuhan-sentuhan panas dari tangan nakal Charles yang tidak bisa diam.Kedua telinganya bahkan terus mendengar bagaimana suara berat pria tampan itu tidak henti membisikkan kata-kata atau hanya embusan napas berat—yang sialnya justru memantik hasrat. Membuat tubuhnya kian memanas dengan gelenyar aneh yang mendesak. Seolah-olah mencari sesuatu untuk melampiaskan.Cecilia nyaris pasrah seutuhnya begitu tiba-tiba saja merasakan tangan Charles meraba ke bokongnya. Gerakan menggoda itu dalam sekejap membekukan tubuhnya.“Damn, bokongmu sangat indah,” bisik Charles dengan suara rendahnya. Dia lalu lanjut membenamkan bibir di sekitar leher Cecilia, memberi sentuhan-sentuhan panas yang kurang memuaskan. Sial sekali. Dia ingin menggigit leher itu dengan panas, meninggalkan banyak jejak yang pasti indah untuk dilihat. Sayangnya, dia tidak bisa
Cecilia memandangi lima paper bag yang satu jam lalu diantarkan ke apartemennya oleh beberapa pekerja butik, bersama sebuah gaun yang dikemas khusus. Salah satu dari mereka juga mengantarkan pesan dari orang yang mengirim semua barang ini, bahwa Cecilia harus memakai semua benda tanpa kurang satu pun. Kalau ada yang tertinggal, akan ada konsekuensinya.Oh, jelas itu ulah Charles. Charles yang mengirim semua ini padanya, untuk dikenakannya dalam agenda makan malamnya dengan Cecilia. Ya, ini memang sudah gila. Cecilia terpaksa menerima ajakan makan malam bersama Charles, karena jika tidak, dia khawatir malapetaka akan datang.Cecilia tidak mau ambil risiko. Rahasia besarnya ada di tangan Charles. Sialan memang. Dia membenci ini semua. Namun, apa yang harus dia lakukan? Kejadian malam itu membuatnya seakan-akan telah memiliki ikatan dengan paman dari mantan tunangannya. Ikatan yang tak pernah sama sekali terbayangkan.Sekarang, Cecilia mendadak pening. Dia memijit pelipis sembari mengatu
Evan sedang duduk di kursi kerjanya dan fokus memandangi layar MacBook, memeriksa segala laporan pekerjaan. Namun, tiba-tiba saja keheningan ruangannya dipecah oleh teriakan seorang wanita.“Sayang!” Bertha berteriak sembari berjalan cepat untuk menghampiri Evan. Tampilan wanita itu tampak kacau, tidak secantik dan serapi biasanya.Evan membulatkan mata, seketika berdiri, dan buru-buru menutup rapat pintu bahkan menguncinya. “Ssst! Pelankan suaramu, Sayang. Bagaimana kalau ada orang lain yang mendengar?” tegurnya dengan nada panik. Dia segera kembali melangkah untuk menghampiri wanita itu.Namun, Bertha tengah emosi. Dia tidak mau mendengar kalimat apa pun dari Evan, kecuali bujukan manis. Di tangannya sudah ada tas cokelat tua yang dibelikan Evan, yang sudah rusak karena digunting habis-habisan oleh Cecilia.“Lihat, tunanganmu menghancurkan tasku!” adu Bertha sembari setengah melempar tas itu ke meja kerja Evan.Kedua mata Evan membulat melihat tas mahal yang baru kemarin dia pesan l
“Kalian tahu, tas ini limited edition dan diimpor langsung dari Prancis. Kekasihku benar-benar orang yang sangat mengerti dan menyayangiku. Well, aku ini memang wanita sangat beruntung, kan?”Cecilia mempertahankan wajah datarnya begitu lewat di depan kerumunan beberapa karyawan wanita, dengan Bertha sebagai pusatnya. Wanita ular itu baru saja berbicara dengan nada lebih kencang. Seolah-olah memang sengaja agar didengarnya.Untuk meladeni itu, Cecilia berhenti melangkah dan pura-pura menikmati kopi di gelasnya yang masih mengepulkan uap. Matanya memandang penuh pada Bertha. Wanita itu justru tampak kesenangan.“Pesona wanita cantik memang mampu menaklukkan hati pria mana pun,” imbuh Bertha diakhiri senyuman lebar yang terkesan sinis.Cecilia menyeruput kopinya dengan gerakan menikmati. Benar-benar mendapat tontonan seru di pagi hari. Walau sebenarnya percakapan itu sangat memuakan di telinganya.“Asal kalian tahu. Kekasihku itu rela membuang kekasih lamanya untuk mengejarku habis-hab
Cecilia nyaris tidak bisa mendengar semua ucapan panik Lena yang kini terus berada di sampingnya sembari memegangi tangannya dengan erat. Seolah-olah wanita paruh baya itu begitu takut akan kehilangan.“Mommy, aku sudah tidak apa-apa,” kata Cecilia menenangkan. Lagi pula, kondisinya memang sudah lebih baik sekarang, setelah mendapat penanganan cepat dari para pelayan yang diperintahkan oleh Lena. Lena bahkan memaksanya untuk diperiksa dokter keluarga.Sekarang, Cecilia sudah duduk di ranjang di salah satu kamar tamu yang biasa dia tempati jika berkunjung ke mansion keluarga Langston. Pakaiannya sudah berganti dengan baju baru yang hangat. Evan, Bertha, Lena, dan beberapa pelayan masih ada di sekelilingnya.“Tapi, Mommy khawatir, Sayang. Kau yakin mau pulang? Tidak menginap di sini saja?” Lena menatap penuh harap dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Tangannya meraba lembut Cecilia yang duduk di ranjang itu.Cecilia menggenggam tengan Lena yang menyentuh pipinya. Kedua matanya menata