"Kau mau apa?" suara Candrakanta mengurungkan niatan Malini untuk mengetuk pintu petakan nomor enam belas itu. "Ada Mas Prabawa di dalam sana," ucapnya sambil menahan derai air mata yang akan tumpah ruah."Lalu?" tanya Chandrakanta. Matanya sedikit membeliak. Mungkin menyayangkan perbuatan itu. Jika benar memang hampir terjadi."Saya ingin menanyakan kepadanya. Apakah ia akan memilih atau wanita itu?""Malini bodoh! Jelas saja ia akan memilih wanita yang lebih cantik dan menggairahkan itu. Suamimu itu sudah berubah menjadi setan. Kau masih membelanya!" Berang Chandrakanta mengangkat Malini pada pundaknya membiarkan mata indah itu menyaksikan adegan demi adegan dengan mata cantiknya tanpa ada yang ditutup-tutupi.Malini hampir saja terpekik. Namun, ia menggigit bibirnya sambil menahan gemuruh di dalam dada. Dalam penglihatannya ia menyaksikan Prabawa tengah tidur terlentang tanpa busana.Di atasnya ada seorang wanita dengan kulit kuning langsat, rambut tergerai, begitu cantik dan gem
Tak pernah terbayangkan oleh Chandrakanta sebelumnya, bahwa wanita yang dipanggil ibu oleh Moko, Prabawa, Walimah dan Malini itu amat sangat menyukai harta benda. Terutama barang-barang mewah, mahal dan berharga. Harusnya seorang ibu itu adalah menjadi Madrasah, pengayom, tempat belajar dan berlindung anak-anaknya dari jalan berkelok dan kesesatan. Chandrakanta hanya menyunggingkan senyum kecil ketika tau watak Suhita terkuat satu persatu di hadapannya."Kini aku menyaksikan di hadapanku sendiri bagaimana perangai anda sebenarnya, Bu!" ucapnya. mencoba untuk santun."Seperti yang anda tahu apapun itu yang kalian minta, sebesar apapun, semewah apapun, semahal apapun, aku tidak akan pernah merasa keberatan," ucapnya lalu mulai mengeluarkan selembar catatan yang terlihat sudah dipersiapkannya sedemikian rupa."Silakan anda catat, apa-apa saja yang anda inginkan. Aku akan menyelesaikannya dua atau tiga hari lagi. Jangan lupa surat perceraian Prabawa dan Malini, ku tunggu juga. Jangan ad
***"Beginilah kalau membuat janji dengan seseorang yang licik, tamak, yang tidak ingin mau kalah. Mengapa Jampang mengutusmu, wahai pria berkostum hitam?" tanyaChandrakanta.Jari jemarinya menjentik di atas kepala. Urat-urat ungu kebiruan yang menyembul dengan paksa seolah mereda dan kulit wajah si pria kembali seperti semula."Ampun juragan!" ucapnya lalu menundukkan kepalanya di atas lantai keramik dingin."Haruskah aku kirim Rapalan Mantra Pencabut Nyawa untuk junjunganmu itu?"Chandrakanta bertanya dalam."Hanya ingin memastikan juragan menepati janji atau tidak? Ampun juragan!" ucap pria itu masih belum bisa mengangkat wajahnya."Oh begitu kah? Kau boleh berkeliling kampung. Menanyakan kepada orang-orang, bagaimana diriku? Betapa diriku menepati janji. Apalagi jika merupakan hal-hal sebagai bentuk pertanggungjawaban dari seorang pria untuk wanitanya. Aku bukan Prabawa aku Chandrakanta. Ingat itu!"Yuvati menyerahkan telepon genggam Chandrakanta. Pria dengan wajah yang berang it
Walimah, Suhita, Prabawa tertunduk lemas karena sesuatu seolah terkirim dalam hitungan detik saja setelah Jampang memberitahukan keadaan Malini yang tersiksa dan sekarat karena ulah ketiga orang itu.Tentu saja Chandrakanta tidak akan pernah rela jika calon istri kelimanya, wanita yang amat ia sayangi dan ia gandrungi, terluka atau lecet sedikitpun.Berulang kali ia mewanti-wanti agar tidak boleh seorangpun menyakitinya. Tapi seolah ingin bermain-main dengan murka. Baik Prabawa, Suhita dan Walimah seolah tak mengindahkan larangan itu.Salah siapa jika ketiganya saat ini tergantung di dinding seperti laba-laba yang menempel erat dengan jari jemari yang terbalik, leher yang setengah tercekik dan bola mata yang hampir membelalak keluar. Wajah ketiganya pun sudah berubah menjadi keunguan. Bibir pucatnya hanya lamat-lamat meminta maaf memanggil-manggil nama Chandrakanta dan Malini.Jampang bergidik ngeri, seolah menyaksikan drama ulang adegan ketika dirinya sekarat beberapa jam lalu. "Beg
***Perawat bertubuh mungil itu mengganti baju seragamnya. Mengenakan celana bahan dan kaos berwarna terang. Tak lupa mengenakan jaket berbahan dasar jeans yang tebal, mengenakan helm lalu berpamitan kepada beberapa orang teman sejawatnya yang juga berada di parkiran belakang rumah sakit Istimewa itu.Tak lama setelah menstarter motor tua yang didapat dari peninggalan ayahnya, ia menyusuri jalan dengan sebuah perasaan yang gamang."Beruntung ... sekali wanita itu!" ucapnya lirih. Entah siapa yang dibicarakannya.Tiga puluh menit kemudian. Perempuan berambut panjang lurus itu, tiba di sebuah rumah sederhana yang disewanya bersama seorang kakak perempuannya.Mematikan motor, membuka helm lalu membawa motor tua itu pada sebuah ruangan yang lusuh. Selusuh wajahnya. Kemenakan perempuannya mengulurkan tangan, meminta oleh-oleh. Namun, wanita muda itu seolah lupa."Maaf sayang, bibi lupa membeli oleh-oleh buat kamu. Biarkan bibi istirahat, ya. Tasya main saja dulu sama teman-teman. Nanti sor
***Rapal mantra kematian yang dilafazkan oleh Chandrakanta masih terasa menusuk-nusuk. Seperti duri-duri tajam yang melekat erat dari kulit menembus hingga tulang. Membuat ketiganya hampir saja kehilangan nyawa.Masih amat terasa, walau sedikit demi sedikit mulai berkurang. Dan tentu saja ada sebuah tanda yang membekas seolah menjadi pengingat, bahwa segala sesuatu yang dilontarkan oleh juragan misterius itu harus diindahkan."Apa kalian baik-baik saja?" tanya Suhita masih dalam posisi tertelungkup dengan wajah menempel erat pada lantai yang dingin."Ibu ... ibu ... ibu ... tolong aku ibu ...." ucap pria bungsu keluarga Suhita yang amat sangat disayangnya."Oh ... anak kesayangan ibu. Apakah kau baik-baik saja, Nak? "Tentu aku tidak baik-baik saja, Bu. Aku rasanya ingin mati!" teriak Prabawo tak kalah tersiksanya dari Suhita dan Prabawa.Walimah pun mendapati sekujur tubuhnya masih terasa panas seolah terpanggang dalam kobaran api yang sangat hebat."Ah, beginilah kalau kita bermain
***Kalimat-kalimat yang dilontarkan Chandrakanta di rumah sakit tadi membuat Moko memikirkan banyak hal. Termenung-menung ia dibuatnya. Bayangan wajah Malini pun tak henti menari-nari. Ada banyak penyesalan dan juga rasa bersalah."Apakah aku dulu kurang memperjuangkannya sehingga Malini menderita hingga detik ini? Mengapa aku menyerahkannya kepada Prabawa. Memang ia adikku. Tapi seharusnya tak kuserahkan Malini karena akulah yang amat sangat tahu Prabawa itu pria yang seperti apa."Saat itu mungkin sudah hampir malam. Moko tak langsung pulang ke rumah. Ia memutar-mutarkan mobil putihnya di beberapa tempat yang menorehkan sebuah kenangan tersendiri baginya dan Malini."Malini terlalu baik. Terlalu malang dan rasanya tidak pantas untuk diperlakukan seperti itu. Namun, entah mengapa setiap Prabawa dan ibu memperlakukannya dengan tidak baik, aku hanya bisa membuang muka. Bodohnya diri ini!" geram Moko dihisapnya cerutu dalam-dalam lalu dihempaskan.Telepon genggamnya berdering. Terdenga
***Memang belum terlalu banyak memori yang Chandrakanta torehkan bersama Malini. Ia sebenarnya enggan untuk meninggalkan calon istri ke limanya itu. Namun, ketika istri pertamanya memberitahu bahwa Soraya sudah pulih dan menanyakan di mana keberadaan dirinya, ia harus segera pulang ke kediaman istri keempatnya."Pulanglah, Mas, nanti Malini biar saya dan Rania yang menjaganya."Chandrakanta tak menjawab. Diam untuk beberapa detik berpikir. Apakah ia harus tinggal bersama Malini atau datang berkunjung ke kediaman Soraya."Sudah lama Mas tak menjenguk Soraya. Kasihan dia," terang Yuvati lagi."Baiklah aku akan ke sana setelah kau tiba di sini. Tapi berjanjilah untuk menjaga Malini dengan baik!""Jangan khawatir Mas, saya akan menjaga dia dengan baik seperti saya menjaga Mas. Tiga puluh menit lagi akan sampai di sana. Saya harus mampir sejenak memeriksa perkebunan," ucap Yuvati seraya menutup sambungan telepon.Warna wajah Malini yang sudah mulai berubah. Tak pucat dan tak sayu lagi. Me