Beranda / Romansa / Gairah Istri Kelima Juragan / Suami Pergi Meninggalkan Banyak Hutang

Share

Suami Pergi Meninggalkan Banyak Hutang

Penulis: LastCurse
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-27 12:02:36

***

Pintu digedor dengan amat keras. Malini yang tengah menidurkan Suma terkejut. Jantungnya berdebar sangat keras. Dengan gemetar ia keluar dari kamar biliknya dan berjalan dengan lutut yang gemetar.

"Malini!"

Wanita berkulit kuning langsat dengan rambut ikal legam menelan ludah. Tangannya juga ikut gemetar ketika membuka kunci pintu.

"Mana suamimu?"

"A-anu Bang. I-itu ...."

"Mana dia?" hardik pria dengan tinggi dua kali lipat darinya.

"Be-belum pulang, Bang Jampang," jawab Malini takut.

"Arggh. Bohong! Sudah dua kali aku ke sini. Kau selalu mengatakan bahwa suamimu belum pulang."

"Be-benar, Bang. Saya ndak bohong. Sungguh!"

"Apa kau tahu, jika dia kalah berjudi? Dan Berhutang puluhan juta. Bayar atau kalau tidak ...." sahut Jampang dengan tatapan mata yang seolah menelanjangi wanita bertubuh sintal itu.

"I-iya Bang. Pasti akan saya bayar. Tapi tolong beri waktu lagi. Saya sedang mengupayakan semuanya.

Jampang duduk berjongkok. Mengikuti Malini yang tengah duduk bersimpuh. Pria besar tinggi dengan kumis tebal itu tergoda melihat Malini yang cantik.

Kanaya, anak perempuan Malini, yang baru saja pulang sekolah melihat ibunya bersimpuh sambil menangis, tak tinggal diam. Ada amarah bergejolak dan rasa ingin melindungi.

Ia melempari tubuh besar Jampang dengan batu kerikil yang ada di luar rumah beberapa kali. Membuat pria itu meringis, menoleh dan menatap Kanaya bengis.

"Heiii kauuu ... Anak kecil!" Akan ku bu ...." ucapnya mencengkram kemeja sekolah Kanaya dengan geram.

"Tolooong .... Tolonggg!" Malini segera berteriak.

"Toloong Pak ... Toloong. Ada pencuri!" teriaknya pergi ke depan rumah.

Jampang menurunkan Kanaya yang sudah dicengkeramnya dengan sangat mudah. Beberapa orang sudah terlihat berkumpul di depan rumah dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Aku beri kau waktu satu bulan Malini. Semua hutang suamimu sebanyak empat puluh juta beserta bunganya. Apa kau paham? Jika tidak membayarnya bulan depan. Hutang itu akan menjadi lima puluh juta."

Malini mengangguk lalu memeluk Kanaya. Sementara Suma menangis dan keluar dari kamar. Ketiganya berpelukan. Tak mempedulikan tatapan mata orang-orang kampung sepeninggal Jampang. Ada yang merasa kasihan. Ada juga bisik-bisik gunjing, seolah hidup mereka lebih baik dan lebih suci dari pada kehidupan Malini.

"Bu ... Kenapa? Apa orang itu mencari Bapak?"

Malini mengangguk. Mengusap rambut Kanaya dengan perasaan tak menentu. Terbersit bagaimana nanti kehidupan ia dan anak-anaknya nanti. Jika tanpa Prabawa. Suaminya.

"Makan dulu, Nak!" ajak Malini. Membantu Kanaya membawakan tasnya.

"Tak usah, Bu. Kanaya bisa. Ibu sudah lelah bekerja di rumah dan mengurus Suma. Maaf Kanaya belum bisa bantu ibu."

Kanaya membalikkan tubuhnya. Menahan sepasang manik matanya yang mulai menghangat.

Kehabisan kata, mereka memisahkan diri. Kanaya pergi ke kamar bilik. Menggantung pakaian sekolahnya dan menyiapkan buku untuk esok hari. Sementara Malini masuk ke dapur membentangkan tikar dan menyiapkan makan.

Bulir-bulir embun menetes di wajah bersih Kanaya. Ia mengambil sebuah bingkai poto kayu. Di dalamnya ada gambar dirinya, Prabawa, Malini dan Suma yang masih bayi. Betapa bahagianya saat itu. Namun, gadis kecil belasan tahun paham bahwa semua tak baik-baik saja. Sekarang.

Teringat beberapa hari lalu di depan sekolah ia memergoki bapaknya yang sedang bercumbu mesra dengan seorang wanita dengan bedak dan gincu tebal di dalam sebuah mobil jeep besar berwarna gelap.

Kanaya sakit hatinya. Ia memukuli dadanya berulang kali agar sesak itu bisa menghilang sekejap mata. Namun, tak bisa. Sekuat tenaga ia berusaha menata hati dan jiwanya. Berharap bahwa pria yang dilihatnya adalah pria lain. Bukan bapaknya.

"Kanaya ... Ayo makan!" teriak Malini dari ruang sebelah.

Kanaya terburu mengelap air mata dengan kaos lusuhnya. Menarik nafas. Mengembuskannya beberapa kali.

"Iya Bu, sebentar. Kanaya menyiapkan buku sekolah dulu."

Malini yang sedang meletakkan nasi dalam piring hadiah deterjen tahu betul bahwa anak perempuannya sedang menangis. Hatinya kembali nelangsa. Tapi ia tahu harus kuat setelah ini. Tak boleh berlarut-larut bersedih. Anak-anak masih membutuhkannya dan karena hidup masih akan terus berjalan.

"Ya ... hidup tak mau tahu kalau sedang bersedih. Tak mau tahu kalau sedang kesusahan. Ada baiknya mencari pekerjaan agar bisa mencicil hutang dan menghidupi anak-anak." Malini bermonolog dalam hatinya.

Wanita dengan alis tebal dan hidung bangir itu masih termenung bahkan ketika Kanaya sudah menyuap makanannya ke dalam mulut.

"Sudah baca doa belum, sayang?" tanya Kanaya kepada Suma yang juga ikut makan. Anak-anaknya adalah anak yang baik dan penurut. Malini sangat beruntung memiliki keduanya.

"Bu ... Kenapa melamun?"

"Eh, ndak apa-apa. Ayo-ayo makan yang banyak!"

"Iya, Bu. Masakan hari ini enak sekali," puji Kanaya. Malini tersenyum merasa hangatndi sudut hatinya.

"Ndak apa-apa ... jika pria jahat itu tak kembali. Yang terpenting bagiku saat ini adalah Kanaya bisa melanjutkan sekolahnya ...."

"Ibu melamun lagi?" tanya Kanaya seraya menuang air putih dari kendi ke dalam cangkir plastik yang sudah penuh dengan guratan.

"Ibu ndak melamun. Hanya memikirkan mau dibuatkan masakan apa, kamu besok?"

"Ayam, Bu ... Ayam!" teriak Suma senang. Matanya yang kecil berbinar.

Malini tersenyum senang. Jarang sekali Suma menginginkan makanan dan menyebutkannya dengan lugas.

"Ayam? Bukankah Suma ndak suka ayam?"

"Tapi pengen makan ayam, Bu."

"Baiklah. Nanti ibu belikan."

"Tapi kalau belum ada uang jangan dipaksakan ya, Bu! Kanaya sama Suma cukup makan tempe dan tahu saja. Atau sesekali sama endog. Sayur bening juga enak ya, Suma?" tanya Kanaya seraya mengusap rambut Suma dengan begitu lembut.

"Sayur bening ...." lirih bibir Malini berucap.

"Ya ... sayur bening, Bu. Ada banyak di kebun samping. Kita tinggal memetik saja. Masa ibu lupa."

Malini seolah mendapatkan sebuah jalan pencerahan. Ia lupa kalau kebun kecilnya menghasilkan berbagai macam sayuran hijau. Yang mungkin jika dijual bisa mendapatkan beberapa lembar uang.

"Benar ada banyak, Kanaya?"

"Banyak Bu. Bahkan jika ibu menjualnya. Masih akan ada banyak sisa untuk kita. Di sekolah tadi juga Pak Guru mengajarkan bagaimana caranya menanam sayuran merambat. Nah, nanti Kanaya akan coba."

Malini menyegerakan makannya. Seolah mendapatkan semangat baru. Kanaya mencuci piring di depan sumur katrol. Suma sedang bermain dengan mobilan truk kayunya. Sementara Malini sibuk di kebun samping melihat bayam, kangkung, daun katuk yang tubuh subur.

Wanita itu menimba air seraya tersenyum-senyum kecil. "Kalau ibu nanti malam berjualan di pasar bagaimana? Kanaya sama Suma berani ndak berdua saja di rumah?"

"Berani, Bu. Kan ada Allah. Memangnya ibu mau ke mana?"

"Mau ke pasar. Sepertinya sayur-sayuran di kebun samping bisa dijual."

"Tapi ... apa sebaiknya ibu izin dulu sama Wak Moko."

Malini menghela nafas. Niatannya untuk berjualan turun drastis seketika. Teringat wajah Moko, kakak suaminya yang terkenal pelit dan kikir. Pun demikian dengan Walimah. Isterinya.

"Dicoba aja, Bu. Bilang sama Wak Moko. Biar jualannya juga ndak was-was. Ya, memang bapak yang menanamnya. Tapi ini kan rumahnya Mbah Putri. Kanaya ndak mau kalau ibu malah dimarahin Mbah Putri dan Wak Moko."

Malini membenarkan pendapat Kanaya. Gadis belasan tahun itu terlihat bijak dan dewasa. Ia juga sangat terbuka mengemukakan pendapatnya.

"Iya, Nak. Nanti ibu bicara sama Wak Moko," jawab Malini bimbang.

Masuk ke dalam rumah setelah dapur dan piring kembali bersih. Malini mengajak Suma untuk main di atas tikar sementara Kanaya terlihat mengerjakan tugas sekolahnya.

Mengambil selendang lusuhnya yang tak pernah diganti dengan yang baru. Malini mengenakan kebaya batik sederhana untuk menuju sebuah rumah yang bisa di bilang cukup besar bila dibanding dengan rumah yang dihuni. Jaraknya hanya sepuluh meter saja dari gubuk kecilnya.

Dari kejauhan terdengar suara Walimah yang sedang bersenda gurau dengan beberapa perempuan lain. Mereka sedang membicarakan akan mengadakan acara apa lagi malam minggu ini. Layar tancap lagi atau wayang.

Ya ... Walimah gemar sekali menghamburkan uang. Ingin dianggap kaya dan berada oleh orang lain. Tapi tak mau membantu saudari ipar dan kemenakannya.

"Eh, kau Malini. Tumben sekali ...." sapa Walimah sambik membenahi kerudung hijaunya. Membuat gemerincing di tangannya terdengar indah.

"Iya, Mbak. Mau bertemu Mas Moko. Apa ada?"

"Sedang keluar. Melihat tanah. Ada apa?" selidik Walimah. Memicingkan matanya.

"Saya maau minta izin, Mbak."

"Minta izin untuk kawin lagi?" seloroh Walimah yang di sambut gelak tawa oleh teman-temannya. Membuat Malini malu dan menundukkan wajahnya. Tangannya mengepal keras tapi wajah Kanaya dan Suma terbayang di benaknya.

"Minta izin buat mengambil sayuran di kebun samping, Mbak!" potong Malini.

"Sayuran di kebun samping?"

"Iya, Mbak."

"Aku pikir apa? Ambilah! Aku mengizinkan dan akan kusampaikan kepada Mas Muko. Pergilah. Menganggu saja!"

"Baik, Mbak. Terima kasih banyak, ya."

"Hummm ...." sahut Walimah malas. Memberi kode dengan tangan agar Malini menjauh.

Lalu terdengar lagi suara tawa nyaring perempuan-perempuan berselendang mahal itu. Melanjutkan pembicaraan mereka mengenai acara malam minggu nanti dan juga beberapa tamu yang akan diundang mereka.

Termasuk nama Chandrakanta yang ikut disebut-sebut. Namun, Malini tak ingin tahu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Istri Kelima Juragan   Bertahun-tahun Setelahnya

    Bertahun-tahun setelahnya***Peluh mengucur deras. Pria berbadan tegap yang mengenakan kemeja rapi dengan parfum aroma maskulin mendadak masam wajahnya ketika petugas bandara menjelaskan kepadanya bahwa ia terlambat beberapa jam untuk tiba di bandara setelah pesawatnya transit."Jangan khawatir, Pak. Beberapa jam selanjutnya akan ada penerbangan ke kota bapak. Silakan meminta bantuan pada beberapa orang petugas yang ada di sana," ucap wanita muda itu tersenyum ramah Si pria yang mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna merah muda itu tersenyum. Tak mengapa pikirnya terlambat beberapa jam asal ia bisa pulang ke rumahnya hari itu juga.Beberapa orang petugas mengenakan seragam yang sama dengan wanita sebelumnya nampak memberikan penjelasan yang lebih terperinci. Pemuda itu mengucap hamdalah di dalam hati.Tepat ketika jam menunjukkan pukul 11.00 siang pria muda berkemeja itu bersiap ketika announcement mengenai keberangkatan ke sebuah kota mengudara.Sementara di bandara dari kota lainny

  • Gairah Istri Kelima Juragan   Anak-anak Yang Membanggakan

    ***Subuh itu adalah subuh yang paling sibuk saat suara kokok ayam belum membangunkan seisi penjuru rumah. Beberapa orang wanita dewasa tengah bersiap di dapur. Walaupun mereka terlihat lelah, tetapi wajah bahagia terpancar jelas. Di antara satu sama lain memberikan semangat penghiburan yang sesekali diiringi guyonan. "Ada berapa banyak tumpeng yang kita buat hari ini?" tanya Malini. Wanita itu mengikat selendang di pinggangnya yang ramping. "Mungkin hampir 100, Nyonya.""Wah, luar biasa. Kalau begini kita bisa membuka catering. Betul, 'kan, Nek Bayan?" tanya Malini pada Nek Bayan yang sibuk dengan kering tempe kesukaan beberapa anak-anak Malini dan Chandrakanta.Beberapa wadah besar sudah tertata di atas amben kayu. Sunyoto dan beberapa sopir Chandrakanta yang lain dengan sigap memasukkan tumpeng-tumpeng untuk dibagikan kepada warga."Apakah bisa selesai tepat waktu, Nyonya?" tanya Gendis dan yang lain. "Tentu saja. Anak-anak setelah selesai salat Subuh mungkin akan bersiap. Saya

  • Gairah Istri Kelima Juragan   Cintanya Anak-anak Muda

    ***Di sebuah sekolah menengah atas terbaik di kota itu, Leon sibuk dengan buku-buku tebal di tangannya. Sepertinya ia sedang menunggu Kanaya keluar dari kelasnya. Sesekali Leon melambaikan tangan saat beberapa orang temannya memanggil."Belum dijemput, ya?" tanya salah seorang murid perempuan berkepang dua.Leon mengangguk santai. Lalu, gadis berkepang dua itu berdiri di sebelah Leon. "Kamu belum pulang?" "Belum, lagi nunggu jemputan.""Oh," jawab Leon singkat. Ia tak tertarik dengan gadis cantik yang konon katanya adalah gadis populer di sekolahnya. Mungkin karena tidak berminat atau mungkin hati Leon sudah ditempati oleh seseorang yang lainnya, hanya Leon dan Tuhan saja yang tahu.Leon tersenyum senang saat gemerincing gelang kaki mulai menyapa gendang telinganya. Ia tak sabar menanti sosok itu, lalu menoleh dengan wajah yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata."Sudah selesai?" tanya Leon. Gadis berkulit sawo matang dengan rambut legam berkilau itu mengangguk. "Temanmu?" tan

  • Gairah Istri Kelima Juragan   Ibu dan Istri Yang Baik

    ***Malini terpekur di kamarnya, sementara Chandrakanta sepertinya masih menyiapkan paviliun kecil untuk Rohani dan Nek Bayan tinggal. Tepat pukul 01.00 malam, suara pintu kamar berderit. Malini pura-pura tidur. Membawa tubuhnya menghadap dinding, bahkan bernapas pun ia lakukan secara perlahan."Mas sudah menikahimu belasan tahun lebih, Sayang. Mas tahu kalau kau belum tidur. Jika ingin marah dan mengatakan sesuatu, katakan saja. Jangan menyimpannya di dalam hati. Mas rela jika kau ingin menampar atau memukul Mas," ucap Chandrakanta dengan lemah lembut.Bulir-bulir bening mulai menetes di kulit sawo matang Malini. Ia menghela napas. Sebenarnya tak ada yang ingin ia bicarakan bersama suaminya. Namun, kehadiran Nek Bayan dan Rohani yang tiba-tiba saja entah mengapa membuat hati Malini sedikit merasa kecewa."Saya ingin istirahat, Mas. Nanti saja saya bicara jika memang saya ingin bicara," ucap Malini pelan. Kini balik giliran juragan Candrakanta yang menghela napas. Ia paham betul mungk

  • Gairah Istri Kelima Juragan   Maafkan Saya, Nyonya

    ***Nek bayan berusaha sekuat tenaga agar air matanya tak keluar. Bagaimana tidak, Camelia berusaha menyembunyikan Mentari karena pamor dan rumor mengenai Chandrankanta. Ia tak ingin putrinya merasa tersiksa karena menikahi pria yang memiliki istri yang banyak.Namun, sosok Camelia yang berada di tengah hutan perbatasan tentu saja membuat Nek Bayan bertanya-tanya. Ada apa gerangan mengapa Camelia berusaha untuk terlihat."Ada apa, Mas? Apakah Mas baik-baik saja? Jika Mas memang tak enak badan, biarkan Sunyoto yang membawa jeepnya," ucap Malini merasa khawatir akan keadaan suaminya."Ah, tidak. Hanya saja Mas terkejut," sahut Chandarakanta berusaha kembali melajukan mobilnya perlahan."Nek, apakah Nenek lihat tadi? Sepertinya Ibu tadi yang sedang melintas," ucap Rohani. Buru-buru Nek Bayan membungkam mulut Rohani. Tentu saja pernyataan itu malah membuat Chandrakanta terkejut. "Apa apa yang kau katakan tadi? Ibu? Maksudmu wanita yang melintas tadi itu ibumu?""Ah, sudahlah, Juragan. T

  • Gairah Istri Kelima Juragan   Anak Dari Cinta Pertamanya

    ***"Nek Bayan, kau mau ke mana?""Pulang. Aku mencemaskan Rohani.""Kenapa?""Aah, pokoknya aku mau pulang."Wanita tua yang dipanggil Nek Bayan itu berjalan cepat. Ia tak menghiraukan cuaca yang dingin. Ia tinggal di hutan di sekitar gunung yang memang selalu mendapatkan hawa sejuk. Bahkan, cuaca yang benar-benar dingin terkadang membuat tulang terasa ngilu dan gigi bergemeletuk. "Aku yakin sekali kalau Rohani keluar dari gubuk. Entah mengapa aku benar-benar tak tenang. Apakah ia menemui ayahnya? Tidak, tidak. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika Juragan Chandrakanta dan Malini mengetahui bahwa Rohani adalah anak juragan. Ah, bodohnya aku. Mengapa aku tak membawanya pergi saja. Gadis muda dengan penglihatan- penglihatan itu pasti akan berusaha untuk menyelamatkan ayah dan ibu sambungnya. Padahal ...," ucap Nek Bayan tak menyelesaikan kalimatnya."Ah, aku harus meminjam salah satu kuda dari beberapa orang pengelana yang lewat," kata Nek Bayan lagi.Nek Bayan bercakap-cakap menaw

  • Gairah Istri Kelima Juragan   Kebusukan Yang Terbongkar

    ***Philips datang dengan setelan jas warna hitam. Keadaannya benar-benar sangat mengkhawatirkan. Pitaloka seolah melihat sosok hantu Philips dengan wajah pucat dan senyum menyeringai."Tidak, tidak! Philips sudah mati! Aku sudah membunuhnya," ucap Pitaloka tak sengaja.Astungkara tersenyum menyeringai."Lihatlah, betapa ajaibnya hati wanita ini. Dia benar-benar mengakui bahwa Philips sudah dibuat mati. Kau dengar itu, Philips? Aku tak habis pikir mengapa dulu kau kerap membantu wanita yang tak memiliki hati ini. Ah, sudahlah. Dari pada berlama-lama, lebih baik aku telepon polisi saja," ucap Astungkara geram.Philips menunggu di pojok ruangan sambil memandangi Pitaloka dengan tatapan mata tajam. Jika diizinkan oleh Astungkara, tentu Philips akan lebih menyukai untuk membunuh Pitaloka detik itu juga."Tidak, tidak. Jangan, jangan tangkap aku. Jangan, jangan serahkan aku. Aku mohon ... semua ini aku lakukan karena aku benar-benar ingin memilikimu." Pitaloka benar-benar ketakutan. "Memi

  • Gairah Istri Kelima Juragan   Pitaloka dan Astungkara

    ***"Aah .... Ahhh ... Aaah ...."Astungkara mengintip Pitaloka dari sebuah celah. Senyum seringai mewarnai wajahnya yang tegas. Bukannya marah, Astungkara malah tersenyum melihat istri keduanya itu dan apa yang dilakukannya di dalam kamar.Bukannya marah, Astungkara malah mengusap jambang tebalnya dan teringat akan sebuah hal."Hmmm ... Bagus, Pitaloka," gumamnya pelan."Uhhhhhhmmm ... Ahhh ... Ahhh."Erangan itu membawa sebuah senyum di wajah Astungkara. Ia memang sudah lama tak bercinta dengan Pitaloka. Akan tetapi, Astungkara seolah sedang menyiapkan sesuatu bagi istri keduanya. Astungkara berjalan pelan meninggalkan kamarnya. Ia ingin memberikan sebuah jeda bagi Pitaloka menuntaskan apa yang tengah dilakukan di kamar pribadinya dan Astungkara.Gayatri, ibu Astungkara sedang berada di ruang tamu megah dengan ornamen keemasan saat putranya turun. Kudapannya dilempar ke sembarang arah membuat Astungkara menghela napas."Istrimu ke mana, tidur lagi?" "Lagi ada kerjaan di kamar, Bu.

  • Gairah Istri Kelima Juragan   Gadis Misterius

    ***Juragan menembakkan senapannya ke arah langit, cahaya itu berpendar sangat indah. Malini dan putrinya terkejut. Gadis kecil itu menangis dalam pelukan ibunya padahal ia baru saja akan memejamkan mata."Oh, ada apa itu?" tanya Malini menggendong putrinya yang menangis.Keduanya menuruni anak tangga kayu. Pintu ruang tamu terbuka, angin malam yang dingin dan serpihan hujan nampak masuk."Mas membuat keributan di tengah malam. Tidak tahukah kalau keponakanmu baru saja akan tertidur.""Maaf sayang tapi ada sesuatu di sana," tunjuk Juragan."Sesuatu? Maksudmu apa Mas? Serigala, beruang, atau Yeti? Dia tidak akan mengganggu selama kau menutup pintunya. Sudahlah, Mas!""Tapi aku pikir itu manusia." "Ayolah, Mas ! Manusia mana yang rela mengendap-ngendap ke villa tengah hutan, tengah malam seperti ini!""Tapi, aku benar-benar melihat jubahnya yang berwarna merah.""Sudahlah, Mas? Kita sedang berlibur. Jadi jangan bertingkah yang aneh-aneh. Lusa kita pulang ke kota dan Mas bisa kembali be

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status