Share

Suami Pergi Meninggalkan Banyak Hutang

***

Pintu digedor dengan amat keras. Malini yang tengah menidurkan Suma terkejut. Jantungnya berdebar sangat keras. Dengan gemetar ia keluar dari kamar biliknya dan berjalan dengan lutut yang gemetar.

"Malini!"

Wanita berkulit kuning langsat dengan rambut ikal legam menelan ludah. Tangannya juga ikut gemetar ketika membuka kunci pintu.

"Mana suamimu?"

"A-anu Bang. I-itu ...."

"Mana dia?" hardik pria dengan tinggi dua kali lipat darinya.

"Be-belum pulang, Bang Jampang," jawab Malini takut.

"Arggh. Bohong! Sudah dua kali aku ke sini. Kau selalu mengatakan bahwa suamimu belum pulang."

"Be-benar, Bang. Saya ndak bohong. Sungguh!"

"Apa kau tahu, jika dia kalah berjudi? Dan Berhutang puluhan juta. Bayar atau kalau tidak ...." sahut Jampang dengan tatapan mata yang seolah menelanjangi wanita bertubuh sintal itu.

"I-iya Bang. Pasti akan saya bayar. Tapi tolong beri waktu lagi. Saya sedang mengupayakan semuanya.

Jampang duduk berjongkok. Mengikuti Malini yang tengah duduk bersimpuh. Pria besar tinggi dengan kumis tebal itu tergoda melihat Malini yang cantik.

Kanaya, anak perempuan Malini, yang baru saja pulang sekolah melihat ibunya bersimpuh sambil menangis, tak tinggal diam. Ada amarah bergejolak dan rasa ingin melindungi.

Ia melempari tubuh besar Jampang dengan batu kerikil yang ada di luar rumah beberapa kali. Membuat pria itu meringis, menoleh dan menatap Kanaya bengis.

"Heiii kauuu ... Anak kecil!" Akan ku bu ...." ucapnya mencengkram kemeja sekolah Kanaya dengan geram.

"Tolooong .... Tolonggg!" Malini segera berteriak.

"Toloong Pak ... Toloong. Ada pencuri!" teriaknya pergi ke depan rumah.

Jampang menurunkan Kanaya yang sudah dicengkeramnya dengan sangat mudah. Beberapa orang sudah terlihat berkumpul di depan rumah dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Aku beri kau waktu satu bulan Malini. Semua hutang suamimu sebanyak empat puluh juta beserta bunganya. Apa kau paham? Jika tidak membayarnya bulan depan. Hutang itu akan menjadi lima puluh juta."

Malini mengangguk lalu memeluk Kanaya. Sementara Suma menangis dan keluar dari kamar. Ketiganya berpelukan. Tak mempedulikan tatapan mata orang-orang kampung sepeninggal Jampang. Ada yang merasa kasihan. Ada juga bisik-bisik gunjing, seolah hidup mereka lebih baik dan lebih suci dari pada kehidupan Malini.

"Bu ... Kenapa? Apa orang itu mencari Bapak?"

Malini mengangguk. Mengusap rambut Kanaya dengan perasaan tak menentu. Terbersit bagaimana nanti kehidupan ia dan anak-anaknya nanti. Jika tanpa Prabawa. Suaminya.

"Makan dulu, Nak!" ajak Malini. Membantu Kanaya membawakan tasnya.

"Tak usah, Bu. Kanaya bisa. Ibu sudah lelah bekerja di rumah dan mengurus Suma. Maaf Kanaya belum bisa bantu ibu."

Kanaya membalikkan tubuhnya. Menahan sepasang manik matanya yang mulai menghangat.

Kehabisan kata, mereka memisahkan diri. Kanaya pergi ke kamar bilik. Menggantung pakaian sekolahnya dan menyiapkan buku untuk esok hari. Sementara Malini masuk ke dapur membentangkan tikar dan menyiapkan makan.

Bulir-bulir embun menetes di wajah bersih Kanaya. Ia mengambil sebuah bingkai poto kayu. Di dalamnya ada gambar dirinya, Prabawa, Malini dan Suma yang masih bayi. Betapa bahagianya saat itu. Namun, gadis kecil belasan tahun paham bahwa semua tak baik-baik saja. Sekarang.

Teringat beberapa hari lalu di depan sekolah ia memergoki bapaknya yang sedang bercumbu mesra dengan seorang wanita dengan bedak dan gincu tebal di dalam sebuah mobil jeep besar berwarna gelap.

Kanaya sakit hatinya. Ia memukuli dadanya berulang kali agar sesak itu bisa menghilang sekejap mata. Namun, tak bisa. Sekuat tenaga ia berusaha menata hati dan jiwanya. Berharap bahwa pria yang dilihatnya adalah pria lain. Bukan bapaknya.

"Kanaya ... Ayo makan!" teriak Malini dari ruang sebelah.

Kanaya terburu mengelap air mata dengan kaos lusuhnya. Menarik nafas. Mengembuskannya beberapa kali.

"Iya Bu, sebentar. Kanaya menyiapkan buku sekolah dulu."

Malini yang sedang meletakkan nasi dalam piring hadiah deterjen tahu betul bahwa anak perempuannya sedang menangis. Hatinya kembali nelangsa. Tapi ia tahu harus kuat setelah ini. Tak boleh berlarut-larut bersedih. Anak-anak masih membutuhkannya dan karena hidup masih akan terus berjalan.

"Ya ... hidup tak mau tahu kalau sedang bersedih. Tak mau tahu kalau sedang kesusahan. Ada baiknya mencari pekerjaan agar bisa mencicil hutang dan menghidupi anak-anak." Malini bermonolog dalam hatinya.

Wanita dengan alis tebal dan hidung bangir itu masih termenung bahkan ketika Kanaya sudah menyuap makanannya ke dalam mulut.

"Sudah baca doa belum, sayang?" tanya Kanaya kepada Suma yang juga ikut makan. Anak-anaknya adalah anak yang baik dan penurut. Malini sangat beruntung memiliki keduanya.

"Bu ... Kenapa melamun?"

"Eh, ndak apa-apa. Ayo-ayo makan yang banyak!"

"Iya, Bu. Masakan hari ini enak sekali," puji Kanaya. Malini tersenyum merasa hangatndi sudut hatinya.

"Ndak apa-apa ... jika pria jahat itu tak kembali. Yang terpenting bagiku saat ini adalah Kanaya bisa melanjutkan sekolahnya ...."

"Ibu melamun lagi?" tanya Kanaya seraya menuang air putih dari kendi ke dalam cangkir plastik yang sudah penuh dengan guratan.

"Ibu ndak melamun. Hanya memikirkan mau dibuatkan masakan apa, kamu besok?"

"Ayam, Bu ... Ayam!" teriak Suma senang. Matanya yang kecil berbinar.

Malini tersenyum senang. Jarang sekali Suma menginginkan makanan dan menyebutkannya dengan lugas.

"Ayam? Bukankah Suma ndak suka ayam?"

"Tapi pengen makan ayam, Bu."

"Baiklah. Nanti ibu belikan."

"Tapi kalau belum ada uang jangan dipaksakan ya, Bu! Kanaya sama Suma cukup makan tempe dan tahu saja. Atau sesekali sama endog. Sayur bening juga enak ya, Suma?" tanya Kanaya seraya mengusap rambut Suma dengan begitu lembut.

"Sayur bening ...." lirih bibir Malini berucap.

"Ya ... sayur bening, Bu. Ada banyak di kebun samping. Kita tinggal memetik saja. Masa ibu lupa."

Malini seolah mendapatkan sebuah jalan pencerahan. Ia lupa kalau kebun kecilnya menghasilkan berbagai macam sayuran hijau. Yang mungkin jika dijual bisa mendapatkan beberapa lembar uang.

"Benar ada banyak, Kanaya?"

"Banyak Bu. Bahkan jika ibu menjualnya. Masih akan ada banyak sisa untuk kita. Di sekolah tadi juga Pak Guru mengajarkan bagaimana caranya menanam sayuran merambat. Nah, nanti Kanaya akan coba."

Malini menyegerakan makannya. Seolah mendapatkan semangat baru. Kanaya mencuci piring di depan sumur katrol. Suma sedang bermain dengan mobilan truk kayunya. Sementara Malini sibuk di kebun samping melihat bayam, kangkung, daun katuk yang tubuh subur.

Wanita itu menimba air seraya tersenyum-senyum kecil. "Kalau ibu nanti malam berjualan di pasar bagaimana? Kanaya sama Suma berani ndak berdua saja di rumah?"

"Berani, Bu. Kan ada Allah. Memangnya ibu mau ke mana?"

"Mau ke pasar. Sepertinya sayur-sayuran di kebun samping bisa dijual."

"Tapi ... apa sebaiknya ibu izin dulu sama Wak Moko."

Malini menghela nafas. Niatannya untuk berjualan turun drastis seketika. Teringat wajah Moko, kakak suaminya yang terkenal pelit dan kikir. Pun demikian dengan Walimah. Isterinya.

"Dicoba aja, Bu. Bilang sama Wak Moko. Biar jualannya juga ndak was-was. Ya, memang bapak yang menanamnya. Tapi ini kan rumahnya Mbah Putri. Kanaya ndak mau kalau ibu malah dimarahin Mbah Putri dan Wak Moko."

Malini membenarkan pendapat Kanaya. Gadis belasan tahun itu terlihat bijak dan dewasa. Ia juga sangat terbuka mengemukakan pendapatnya.

"Iya, Nak. Nanti ibu bicara sama Wak Moko," jawab Malini bimbang.

Masuk ke dalam rumah setelah dapur dan piring kembali bersih. Malini mengajak Suma untuk main di atas tikar sementara Kanaya terlihat mengerjakan tugas sekolahnya.

Mengambil selendang lusuhnya yang tak pernah diganti dengan yang baru. Malini mengenakan kebaya batik sederhana untuk menuju sebuah rumah yang bisa di bilang cukup besar bila dibanding dengan rumah yang dihuni. Jaraknya hanya sepuluh meter saja dari gubuk kecilnya.

Dari kejauhan terdengar suara Walimah yang sedang bersenda gurau dengan beberapa perempuan lain. Mereka sedang membicarakan akan mengadakan acara apa lagi malam minggu ini. Layar tancap lagi atau wayang.

Ya ... Walimah gemar sekali menghamburkan uang. Ingin dianggap kaya dan berada oleh orang lain. Tapi tak mau membantu saudari ipar dan kemenakannya.

"Eh, kau Malini. Tumben sekali ...." sapa Walimah sambik membenahi kerudung hijaunya. Membuat gemerincing di tangannya terdengar indah.

"Iya, Mbak. Mau bertemu Mas Moko. Apa ada?"

"Sedang keluar. Melihat tanah. Ada apa?" selidik Walimah. Memicingkan matanya.

"Saya maau minta izin, Mbak."

"Minta izin untuk kawin lagi?" seloroh Walimah yang di sambut gelak tawa oleh teman-temannya. Membuat Malini malu dan menundukkan wajahnya. Tangannya mengepal keras tapi wajah Kanaya dan Suma terbayang di benaknya.

"Minta izin buat mengambil sayuran di kebun samping, Mbak!" potong Malini.

"Sayuran di kebun samping?"

"Iya, Mbak."

"Aku pikir apa? Ambilah! Aku mengizinkan dan akan kusampaikan kepada Mas Muko. Pergilah. Menganggu saja!"

"Baik, Mbak. Terima kasih banyak, ya."

"Hummm ...." sahut Walimah malas. Memberi kode dengan tangan agar Malini menjauh.

Lalu terdengar lagi suara tawa nyaring perempuan-perempuan berselendang mahal itu. Melanjutkan pembicaraan mereka mengenai acara malam minggu nanti dan juga beberapa tamu yang akan diundang mereka.

Termasuk nama Chandrakanta yang ikut disebut-sebut. Namun, Malini tak ingin tahu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status