Hanya karena belum menikah lagi, mantan suamiku selalu mengusik. Bahkan dia merayuku untuk menjadi istri keduanya. "Tidak ada yang mau dengan wanita bekas seperti kamu," katanya setelah aku menolaknya. Tiba-tiba hadir penyelamat seperti kiriman. Niatku hanya bersandiwara untuk mengusir mantan penasaran. Namun, kenapa lama-lama 'kiriman' ini membuatku nyaman?
Lihat lebih banyak"Tidak ada laki-laki yang mau menikah dengan wanita bekas seperti kamu. Tahu diri kenapa?" ucapnya setelah mendengar penolakanku.
Aditya, lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tersenyum miring. Matanya menyipit seakan mengukuhkan aku benar-benar wanita tidak berarti yang harus menerima belas kasihan darinya. 'Cuh! Siapa yang mau masuk lubang kesengsaraan untuk kedua kali?' bisikku dalam hati sambil menata makanan di estalase. Masih ada waktu dua jam warung ini buka. Setelah semua siap jual, aku kembali melanjutkan menggarap pesanan nasi kuning."Harusnya kamu ini bersyukur karena aku masih berbaik hati denganmu, Dek Laras. Masih mau menerima kamu menjadi istriku lagi," ucap lelaki itu lagi, kemudian menyeruput kopi pahit.
Aku melirik sebentar, enggan menanggapi perkataannya, membiarkan dia bicara sendiri. Walaupun sebenarnya kekesalanku mulai terpatik. Seharusnya keadaan ini tidak menderaku setelah aku berhasil membebaskan hidupku darinya. Namun, akhir-akhir ini dia datang kembali. Entah kenapa Aditya terkesan menerorku. Ada saja alasannya, seperti sekarang katanya kangen kopi buatanku. "Aach...!" serunya kemudian menyeruput kopi kembali. "Ini nilai plus kamu. Bikinan kopimu mantap. Tidak ada duanya," serunya sambil mengacungkan jempol. Tangannya terulur pada gorengan yang tertata rapi di bawah tudung saji. Ada pisang goreng, tempe mendoan, ote-ote, dan lumpia. Ini memang titipan ibu sebelah, tapi rasa dan kebersihannya terjamin."Mau terima permintaanku tadi, ya? Aku yakin tadi kamu hanya asal jawab. Kamu kan cinta mati sama aku. Yang kamu katakan tadi karena kamu cemburu, to?"
Aku urung melangkah ke belakang untuk meletakkan wadah kotor. Baskom bekas isi ayam goreng aku letakkan kembali. Kalau tidak aku tegaskan, bisa-bisa bicaranya semakin melantur.
"Mas. Sudah aku katakan tadi kalau aku tidak mau menjadi istrimu lagi."
"Halah. Kamu ini tidak usah malu-malu kucing. Bilang saja masih mengharapkan aku, kan?" ucapnya sambil tertawa.
Aku melemparkan pandangan sengit ke arahnya. Siapa yang mau kembali dengan laki-laki seperti dia? Berhasil bercerai dengannya saja sudah bersyukur.
"Buktinya sampai sekarang kamu belum menikah lagi. Eh, kok menikah, punya calon suami saja tidak."
"Mas. Untuk bahagia tidak harus punya pasangan. Apalagi dengan buru-buru."
"Kenapa? Apa alasannya?"
"Ya karena tidak mau saja. Untuk apa kembali kepada sesuatu yang sudah ditinggalkan. Sekarang itu fokusku hanya satu. Menata masa depan dengan bisnis ini."
"Huh! Sok gaya bisnis. Wong cuma warung kecil gini aja. Memang berapa yang kamu dapat? Tidak lebih dari uang bulananku, kan?" sahutnya dengan bibir mencibir.
Kedua tanganku mengepal erat seakan meremat bibir yang melontarkan kata-kata pedas itu. Untung saja kami terhalang dengan estalase, kalau tidak ....
"Jadi perempuan itu yang penting bisa dandan, masak, dan melayani suami. Itu aja. Kenapa kamu membuat hidupmu susah dengan kekurangan seperti ini?"
Lagi-lagi aku menghela napas. Mantanku ini tidak pernah belajar, tepatnya tidak mau berubah. Sikap dan ucapannya yang merendahkan orang lain ini lah yang tidak aku sukai.
"Aku dapat banyak uang atau sedikit itu bukan urusanmu, Mas. Kita ini sudah cerai. Sudah menjadi orang asing, tidak ada hubungan. Tidak ada hak kamu untuk mengurus atau mengatur hidupku."
Dia malah tertawa sinis. Satu sudut bibir tertarik ke atas dengan satu tangan di pinggang, tangan satunya meraih cangkir kopi tadi dan meminumnya sampai tandas.
"Dek Laras. Tak bilangi, ya. Hidup itu butuh uang. La wong sekarang apa-apa pakai uang, kok. La kenapa kamu ini tidak mau jadi istriku yang jelas-jelas dapet bulanan. Malah milih sengsara bekerja seperti babu."
"Mas! Kamu kok__"
"Lah, bener, kan? Setiap hari kamu bangun sebelum subuh. Ke pasar, bersih-bersih, masak, terus melayani orang makan, cuci piring. Apa bedanya dengan pekerjaannya babu. Benar, kan? Beda dong sama Dek Nayna yang punya depot dengan karyawan lima belas orang," ucapnya menyebut nama istrinya yang sekarang.
"Ya iyalah. Dia kan tinggal duduk di kasir saja," sahutku mulai bisa mengontrol emosi. Berusaha aku tidak memasukkan perkataannya dalam hati. Meladeni lelaki seperti dia itu tidak ada manfaatnya, justru menghambat pekerjaan menyelesaikan pesanan nasi kuning yang belum sepenuhnya selesai.
Memang pesanannya tidak banyak, tapi delapan puluh kotak membutuhkan energi lebih karena dikerjakan sendiri. Ayam goreng, serundeng, kering tempe, mie goreng, dan dilengkapi sambal dan irisan mentimun. Itu saja sebagian besar sudah aku siapkan dari tadi malam."Dek Laras tidak perlu capek-capek jualan lagi. Pokoknya kalau bersedia menjadi istriku, kehidupanmu menjadi terjamin." Aku menutup pendengaran dan fokus dengan yang aku kerjakan. Masih ada waktu setengah jam, nasi-nasi ini akan diambil. Pesanan dari Bu Camat untuk pertemuan Kades, katanya gitu.
"Dek Laras, kamu dengar yang aku katakan tadi, kan?!" Suara Aditya lebih keras dari sebelumnya. Sepertinya dia menyadari kalau aku mengabaikannya. Aku mengikat tas kresek yang terakhir. Menata di meja dekat pintu dengan teratur, kemudian mengambil ponsel untuk mengabari kalau pesanan bisa diambil. "Dek Laras! Kamu kok menyepelekan aku, ya?!" seru Aditya sambil berdiri. Lagi-lagi aku yang berada di balik estalase menatapnya sambil menghela napas dalam. Lelaki ini tidak pernah berubah. Selalu ingin menang sendiri dan minta didahulukan tanpa mengerti keadaan. "Mas. Maaf, ya. Aku masih menyelesaikan orderan. Kalau dari tadi aku meladeni omongan Mas Aditya, ya tidak selesai pekerjaanku." "Tapi yang aku omongi ini demi masa depan. Lebih penting dari pada nasi kuning tai kucing ini!"****
"Apa seperti ini gaya hidup orang kota?" gumamku. Pandangan mata ini mengikuti langkah pasangan yang berlalu di depanku. Wanita yang tadi mencium Mahendra itu bergelayut manja pada lelaki yang berpenampilan bak model. Mereka seperti pasangan artis. Si wanita dengan sepatu tinggi berwarna merah dan baju sexy yang menunjukkan body seperti peragawati. "Terus apa maksudnya dia mencium pacar orang? Apa mungkin itu hanya say hello seperti di film-film itu, ya?" Rasanya lega. Ternyata wanita itu bukan siapa-siapa. Mungkin aku harus memperlebar sudut pandang supaya tidak selalu mencurigai kekasihku itu. Kembali aku menelisik penumpang yang keluar dari pintu kedatangan. Senyum mengembang seketika ketika pria yang menjulang itu nampak setelah rombongan ibu-ibu berlalu. "Mas Hendra!" Aku melambaikan tangan tinggi-tinggi. Dia yang mengedarkan pandangan langsung tersenyum lebar saat pandangan kami bersitatap. Tergesa, langkah nya pun lebar-lebar dengan kedua tangan terentang. "Dek Laras
"Aku pernah baca. Kisahnya gini: ada pemuda alim dia tidak pernah melakukan dosa kecil apalagi dosa besar seperti membunuh atau memperkosa," ucapanku berhenti. Aku jeda dengan minum air putih. "Maaf, haus." "Terus?" Senyumku mengembang melihat kekasihku ini memperhatian omonganku. "One day, dia ingin sekali saja mencoba satu dosa. Yang kecil aja, lah. Tidak menyakiti orang lain. Tahu apa yang dia coba?" "Apa?" "Minum minuman beralkohol sampai mabok. Tahu apa yang selanjutnya terjadi?" Mata Mahendra mengerjap sambil menggelengkan kepala. Dalam hati sebenarnya gemas. Rambut yang acak-acakan menjadikan dia terlihat welcome untuk dipeluk. Tak sadar, aku mengulum bibir sendiri. "Apa, Dek? Ayo lanjut." "Eh, iya. Dia hilang akal. Tidak menguasai pikirannya. Saat itu dia kembali pulang dengan susah payah. Karena kesadarannya belum pulih, dia salah masuk rumah. Yang dimasukin rumah wanita cantik. Pemuda ini tidak menguasai diri dan memaksa wanita ini untuk melayani dia." "Wah,
"Isabelle datang bersama pacarnya, Dek. Kebetulan ada dia tidak bisa gabung dengan kami karena harus ke Lombok. Jadi kamu jangan mikir aneh-aneh." "Siapa yang berpikir aneh-aneh, Mas. Aku tidak masalah kamu makan malam sama siapa, atau menghabiskan malam sampai jam berapa," sahutku sambil membuang pandangan ke arah lain. Melalui sudut mata, aku menangkap dia tersenyum. Kekasihku ini kemudian menjelaskan kalau mereka di Bali tinggal selama musim dingin. Ketika di negaranya tidak bisa beraktifitas karena salju, mereka ke sini untuk berbisnis sekaligus liburan. Ya bersama kekasih atau keluarga. "Mereka sewa villa di sini. Menikmati kehidupan bahkan berbaur dengan penduduk." "Oh, jadi mereka seperti tinggal sementara di sini, ya?" "Betul banget. Sudah, ya. Aku kembali kepada mereka. Biar cepat pulang. Aku ngantuk dan pengen cepat tidur," ucapnya kemudian berhenti sambil mengerlingkan mata. "aku pengen cepat bermimpi ketemu kamu. Kalau dalam mimpi kamu kan bisa dipeluk dan diapa-ap
Aku menajamkan mata berkali-kali ke layar lap top, tetapi yang aku lihat benar-benar tidak salah. Nominal di mutasi rekening bank menunjukkan ada dana masuk bukan seratus juta seperti dijanjikan Mahendra. Namun, ini tiga ratus juga. Tidak ada catatan atau pesan apapun, tiba-tiba merubah kesepakatan. Selalu begitu, mengirim uang lebih yang tidak kira-kira. Segera aku mengambil ponsel. Kemarin dia pamit ke Bali ada urusan bisnis, katanya. Lebih baik aku tidak telpon. Siapa tahu dia masih sibuk. Aku foto layar lap top, kemudian aku kirim pesan. [Mas Hendra, ini salah transfer, ya? Kok tiga ratus? Bukankan kemarin kita sepakat seratus juta?] send. Centrang pada pesan masih belum berubah warna. Tanda belum dibaca. Atau mungkin dia sudah ketiduran? Mata ini bergulir ke arah jam dinding. Jam dinding dari kayu antik oleh-oleh dari pengrajin kemarin. Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh. Sudah malam tapi masih sore bagi kekasihku itu untuk berlabuh di ranjang. 'Sibuk mungkin,' uca
"Kita sudah ditungguin," ucapnya sambil tertawa kecil."Hu, siapa suruh gangguin orang." Aku turun dari ranjang. Menjajal menapakkan kaki ke lantai, ternyata sudah tidak ada rasa sakit."Aku memang yang gangguin, tapi Dek Laras yang menyebabkan itu.""Kok aku?" Mataku melotot tidak terima. Enak aja disalahkan."Ya seperti lagunya Ahmad Dani, ingin bercinta karena ada kamu. Katanya itu menggambarkan sosok yang dirundung cinta dan gairah yang kuat. Cocok tuh ma aku sekarang.""Hmm.... Pinter, ya. Sekarang cari referensi biar dimaklumi," sahutku sambil mengangguk-anguk dan menggoyangkan telunjuk ke arahnya. Walaupun dalam hati meng-iya-kan. Aku pun demikian.Dia tertawa, bangkit dari duduk mengikuti aku yang keluar dari ruangan penuh godaan ini. Bagaimana tidak, ranjang ukuran king size yang empuk seakan berbisik menawarkan kenyamanan. Apalagi lampu ruangan yang hanya menyorot pada dekorasi dinding membangkitkan suasana romantis."Dek, tolong balas pesan yang tadi. Bilang kalau kita terl
"Sudah enakan, kan?" Mahendra menatap sambil tersenyum. Ingin rasanya memaki dia. Gerakannya tadi tanpa aba-aba dan menjadikan aku shock setengah mati. Rasanya kaki ku ini seperti terlepas dari sendi. Sakit sekali, tapi karena hitungan kilat, jadi tidak terasa nyata. Gregetan, aku memukul lengannya. "Mas Hendra kenapa gitu! Bikin aku kaget! Harusnya ngomong.""Kalau ngomong, justru sakit nya terasa, Dek. Yang penting sekarang sudah baikan, kan?"Aku meraba kaki ku yang masih gemetar. Menggerak-gerakkan sendi mencari rasa sakit yang tadi terasa. Aneh. Kok tidak ada sakit?"Sembuh, kan?""Eh, iya. Kok bisa?" Aku menepuk-nepuk kaki, dan terasa seperti biasa. Hanya agak anget sedikit. Aku coba menuruni ranjang, ingin menjajal kalau dipakai jalan. "Jalan gerak dulu, Dek. Sini aku cek dulu. Siapa tahu ada yang cedera," ucapnya membuatku urung. Kembali aku merebahkan diri. Kalau ada masalah dengan kakiku, bisa mengganggu kerjaku nanti. Dia beranjak ke almari kecil di ujung kamar. Mengel
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen