Home / Young Adult / Gairah Liar Ibu Kos Cantik / 1. Gara-gara video dewasa

Share

Gairah Liar Ibu Kos Cantik
Gairah Liar Ibu Kos Cantik
Author: Harucchi

1. Gara-gara video dewasa

Author: Harucchi
last update Last Updated: 2025-09-19 10:12:22

“Mmhh!” Desahan manja itu lolos ketika tangan kekar pria menyelusup masuk ke balik kemeja sang wanita. Merangkak naik, sementara bibir mereka saling melumat tanpa jeda.

Suara decakkan bersahutan dengan deru napas yang terengah. Tubuh sang wanita menegang ketika sebelah tangan pria itu mulai menjelajah bagian bawah, bermain liar di area sensitifnya.

“Aahh!” lenguhan itu terdengar mengacaukan pikiran. Hingga …

Tok! Tok! Tok!

Karina mendecak, matanya dipejamkan kuat.

Jemarinya menekan layar ponsel, menjeda video panas yang tengah ditontonnya.

Pandangannya turun, beralih pada gaun malam tipis dan pendek yang menampilkan kemolekan tubuhnya. Gaun malam yang banyak orang bilang ‘baju dinas’ pemikat suami, namun tak memberi makna apa pun bagi suaminya sendiri.

Tok! Tok! Tok!

Karina mendesis geram, matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Siapa yang mengetuk pintu semalam ini?

Menghela napas berat, Karina bangkit dari sisi ranjang, berjalan perlahan menuju pintu depan, tanpa merasa perlu mengganti atau menutupi gaun malamnya. Paling juga sang adik ipar, Annaya—yang mampir sepulang kerja untuk mengantar makanan.

Karina berjalan sambil mengusap lengan. Malam itu dingin, namun tak lebih dingin dari ranjangnya. Walau setiap saat berpakaian minim, menonton film dewasa demi mengetahui cara terbaik memancing gairah suami, semua selalu berakhir sia-sia.

Tok! Tok! Tok!

“Sebentar ….” Karina membuka kunci. Desau angin yang berhembus masuk membuatnya sedikit bergidik ketika pintu berayun terbuka. Namun, ternyata tubuhnya masih bisa jauh meremang saat menemukan sosok yang hadir di hadapannya.

Karina membeku. Lidahnya kelu. Sekujur tubuhnya menegang. Ingin rasanya dia membanting pintu dan berlari masuk ke dalam. Seseorang yang berdiri di hadapannya kini …

“Kak … Karina?” pria itu membuka suara. Suara yang berat, lebih berat dari yang terakhir Karina ingat.

Pupil mata Karina bergetar.

Dimas.

Wajah itu masih belum banyak berubah walau sepuluh tahun telah berlalu. Yang berbeda hanya, garis rahang yang lebih tegas, rambut cambang yang kini sedikit tumbuh, dan fitur wajah lainnya yang jelas menunjukkan wajah pria yang lebih dewasa.

Bagaimana mungkin Karina lupa? Wajah ini … adalah wajah yang pernah membuat hatinya bergetar karena dua hal kontra: damba, juga dilema.

“Kamu …” Karina menelan saliva, berusaha mengusir segenap gundah, yang nyatanya gagal. Tangannya mengusap lengan dengan gerakan kaku. Gelisah menguasainya.

Kenapa Dimas harus muncul di kala Karina dalam situasi seperti ini?

“Ada perlu apa?” tanya Karina sedikit gemetar.

Dimas tak menjawab. Namun Karina tersadar. Tatapan Dimas padanya kini begitu lekat, menelusuri tubuhnya seakan menemukan sesuatu yang dia inginkan. Hingga deheman singkat Karina mengembalikan fokus pria itu kembali pada wajahnya.

Sejenak, Dimas tampak mengatur ekspresi wajahnya. “Saya baca tulisan di depan, ada kamar kos kosong di sini. Jika boleh, saya berniat untuk pindah malam ini.”

Karina mengerutkan kening. Ditatapnya sebuah koper kabin di sisi Dimas. Juga ransel besar yang digendongnya. Sepertinya benar kalau Dimas memang ke sini untuk menyewa kamar kos—bukan untuk menemuinya secara personal.

Memang, lantai dua tempat tinggalnya ini, disewakan sebagai kos-kosan. Ada tiga kamar dengan satu dapur, satu kamar mandi dan satu ruang cuci jemur yang digunakan bersama.

Lima hari lalu, salah satu penghuni kamar kos memang baru saja pindah keluar. Tidak disangka-sangka calon penghuni baru akan datang secepat ini.

Akan tetapi, dari sekian banyak manusia di bumi, kenapa harus Dimas? Mantan anak didik Karina dulu, saat Karina masih berprofesi sebagai guru privat bahasa Inggris ke rumah. Bocah SMA yang menjadi alasannya berhenti mengajar. Dan juga … laki-laki yang mengukir kenangan buruk hingga Karina tak ingin lagi melanjutkan pekerjaannya sebagai guru privat.

“Kak?” Seruan Dimas memecah lamunan Karina.

Karina mengerjap. “Tunggu sebentar. Saya ambil kunci.” jawabnya tenang. Walau jauh di dalam hati, ombak besar sedang menerjang.

Haruskah dia menerima Dimas tinggal di sini?

Setelah membawa kunci, Karina mengajak Dimas naik ke sebuah tangga yang berada di teras. Dimas menurut, berjalan tenang di belakang Karina. Sementara wanita itu sendiri, batinnya sibuk menenangkan diri.

Saat berdiri untuk membuka kunci pintu kamar kos, Karina merasakan kehadiran nyata Dimas di sisinya. Posturnya tinggi, tegap, lengan atasnya berisi. Betapa waktu telah banyak mengubahnya. Dimas sudah bukan lagi Dimas berseragam putih abu-abu yang Karina ejek kerempeng itu.

Gemerincing dari kunci di tangan Karina masih terus terdengar. Berkali-kali Karina keliru menentukan kunci yang tepat. Ditambah lagi, presensi Dimas yang tak henti mengacak-acak fokusnya.

Tanpa sengaja, sudut mata Karina menelisik tangan kekar Dimas yang samar terlihat. Lengan berurat yang berbalut jam tangan pria itu … entah bagaimana mengundang getaran di dada. Menarik potongan memori tentang kegiatan dewasa yang baru saja dia lihat di ponsel. Sesuatu yang semestinya dirasakan pasangan yang sudah menikah.

Namun, tidak dalam kehidupan pernikahan Karina.

Sesaat pikiran Karina melayang, membayangkan bila tangan itu menjamah dirinya. Kira-kira, seperti apa rasanya?

“Perlu dibantu?” suara berat Dimas menyeret Karina kembali pada dunia nyata.

Karina berdehem, mencoba mengusir setan gila yang berbisik di telinganya barusan.

Tepat detik itu, pintu berhasil terbuka. Karina melangkah masuk, membiarkan Dimas mengekor di belakangnya.

Sebuah hembusan napas dia hela, berharap suaranya kembali tertata. Karina lalu melakukan pengenalan dengan nada datar bagai robot yang sudah hapal di luar kepala.

“Kami sudah sediakan kasur single, satu lemari pakaian, satu meja kerja, satu bantal, satu kipas angin. Nggak ada AC. Kamar mandi, dapur, kulkas, jemuran dan ruang cuci jemur, dipakai bersama-sama. Kebersihan tanggung jawab bersama. Jika membawa alat elektronik tambahan, tolong infokan ke saya.” Karina memutar bahu, menatap Dimas dengan alis terangkat.

“Kalau mau merokok silakan di balkon, sudah disediakan asbak di sana. Untuk peraturan, yang paling utama selain dilarang membuat kebisingan ….” Karina terdiam, mengambil jeda sesaat.

“Adalah nggak boleh membawa masuk perempuan.” ucap Karina tegas.

Dimas menatap Karina lekat, lama, kemudian senyumnya terbit. Lengkungan tipis itu penuh makna, yang tak berani Karina terjemahkan artinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Liar Ibu Kos Cantik   13. Dimas cemburu

    [Semalam gimana? Aman?] Dimas menatap pesan WA-nya ke nomor Karina yang belum bersambut balasan. Ceklis dua, tidak juga kunjung berganti warna biru. Ini sudah pukul sepuluh. Rasanya sudah terlalu lama sejak dia kirim pesan itu di waktu dini hari tadi. Padahal, Dimas sungguh khawatir sampai sulit tidur. Jika dipikir-pikir, kos-kosan ini hebat sekali. Baru saja Dimas pindah, pemilik kosnya sudah menghantui pikiran Dimas dua malam berturut-turut. “Pakai sambel nggak?” Apa Karina kembali dihajar suaminya? Tetapi … semalam tak ada suara heboh apa pun. Atau jangan-jangan ponsel Karina disita si bajingan itu. Dan pesan Dimas bukannya dibaca Karina, melainkan suaminya? “Mas … pakai sambel nggak ini?” Ting! Ting! Ting! Dimas tersentak. Tersadar dari lamunannya dan beralih pada tukang bubur ayam keliling yang menatapnya dengan wajah dibuat-buat seperti akan menangis. “Eh maaf bang! Ng-nggak usah. Jangan pakai sambel.” Biasanya, Dimas melamun memikirkan logika program, bukannya perkar

  • Gairah Liar Ibu Kos Cantik   12. Obat nyamuk sialan

    “Mas Dimaaas?”Tok! Tok! Tok!“A-aku harus gimana?” bisik Karina yang kini berdiri panik.Dimas bergeming dengan pikiran berkecamuk. Terpikir olehnya untuk tak membuat suara apa pun agar Agus percaya kalau dia sudah tidur.“Saya mau minta obat nyamuk, Mas!” Tok! Tok! Tok!Dimas memegang kuat pergelangan tangan Karina, membuat perhatian wanita itu teralih padanya. Mata Dimas mendelik selagi satu jarinya rapat ke bibir, menyuruh Karina diam.“Guatal sekali ini! Obat nyamuk lotion saya sisa satu saset huabiis sama Gembul karena kulitnya lapang.” suara beraksen daerah itu kembali terdengar, memancing rasa jengkel.Tok! Tok! Tok!“Mas Dimas?”Hening memerangkap sejenak.“ … Sudah tidur toh, Mas?”Kelegaan mengisi penuh hati Dimas ketika dia mendengar kalimat Agus barusan. Harusnya setelah ini Agus pergi karena yakin Dimas tak akan menanggapi.“Ya sudah, saya masuk cari sendiri ya Mas?”Sialan!Kenop pintu bergerak. Jantung Dimas rasanya hampir meledak.Buru-buru didorongnya pundak Karina

  • Gairah Liar Ibu Kos Cantik   11. Terlalu 'mengundang'

    “Kar … kamu ….” Dimas memijit pelipisnya yang berdenyut. Bukannya dia tidak mau menerima Karina, hanya saja … Dimas memindai penampilan Karina. Jakunnya refleks naik turun menyambut aliran darahnya yang mendadak berdesir cepat.Satu hal yang pasti: penampilan Karina terlalu ‘mengundang’.Apa mungkin Karina memintanya melanjutkan kegiatan panas mereka tadi yang sempat terjeda? Memikirkan kemungkinan itu, wajah Dimas mendadak seperti terbakar. Jantungnya kini heboh menggedor dada. Dia sampai perlu berdehem demi menenangkan diri.Dimas yakin, tetangga-tetangganya belum lama masuk ke dalam kamar. Kemungkinan besar mereka belum tidur. Kalau ketahuan?“Nggak boleh?” Karina bergumam dengan bahu merosot lesu.“Kar, gini ….” Dimas menarik napas panjang, matanya dipejamkan sejenak.“Bukannya kamu sendiri yang melarang bawa masuk perempuan?” Dimas memiringkan kepala, tak habis pikir.“Barusan …” Karina menggigit bibir, tampak menahan senyum. “Aku cabut peraturannya.” kali ini dia menjawab lebi

  • Gairah Liar Ibu Kos Cantik   10. Aku boleh masuk?

    “Dim, bercanda doang kali. Yang dibercandain juga bukan lo. Kok lo yang emosi?” tukas Jimmy. Tak ada guratan rasa bersalah sama sekali, baik di wajahnya maupun nada suaranya.Dan reaksi itu bagai bensin yang disiram ke bara api di dada Dimas.“Bercanda lo ngerendahin orang, sialan!” jawab Dimas dengan nada geram. Tangannya mengepal. Dan dia tahu, Agus dan Genta sudah melirik gentar ke arah kepalan tangannya.Agus berkedip, sedikit kikuk, menyenggol Jimmy seolah memberi kode. Jimmy membuang pandangan ke arah lain, tampak kesal. Sementara Genta mengangkat kedua tangannya, mencoba mencairkan suasana.“Udah, udah. Jangan panas gini ya, guys. Kita kan mau ngobrol. Nah, ini ada undangan nih. Jangan lupa datang ya.” Genta membagikan undangan satu per satu. Namun, Dimas berdiri. Meninggalkan ruangan kembali ke kamar. Brak! Pintu ditutup.Dimas menempelkan punggung di daun pintu. Tangannya mengusap wajah, lalu naik mencengkeram rambut. Matanya terpejam selagi napasnya dihela dalam-dalam.Sek

  • Gairah Liar Ibu Kos Cantik   9. Komentar cabul

    Sambil memeluk segunung cucian kering di tangan, Dimas melangkah ke kamar setelah kembali dari balkon belakang. Dilihatnya Jimmy sedang berjongkok di ambang pintu kamarnya sendiri. Tangannya sibuk menggenggam ponsel yang berisik—ramai dengan bunyi notifikasi WA dan Line yang bersahut-sahutan.Dipikir-pikir, seharian ini Jimmy terus berada di kosan. Apa dia tidak bekerja?“Lo libur?” Dimas menegur dengan nada ringan. Tangannya membuka kenop pintu.“Oh, nggak. Ini kerja. Lagi mantau update-an.”“Kerja dimana lo?” Tanya Dimas sambil melangkah masuk ke kamar. Dibiarkannya pintu terbuka lebar, supaya suara Jimmy tetap bisa terdengar.“Menitdotcom. Jurnalis.” suara Jimmy terdengar samar. Tak lama, suara itu kembali menyapa telinga.“Eh, Dim. Ke sini bentar.”Dimas yang hampir melipat cucian lantas beranjak ke luar, bersandar di daun pintu kamarnya yang terbuka. Kedua alisnya naik saat pandangannya bertemu Jimmy.“Nanti malam ngumpul di depan ya, di situ depan TV.” Jimmy menggerakkan daguny

  • Gairah Liar Ibu Kos Cantik   8. Di ujung tanduk

    Dimas hilang kendali. Sebelah tangannya mencengkeram sisi wajah Karina, sementara satu tangannya yang lain menahan pinggul Karina, menariknya merapat. Bibirnya menjelajah bibir Karina bagai kelaparan. Napas keduanya saling beradu, tersengal, tak beraturan, persis jantungnya yang memburu cepat.Udara pengap membuat tubuh mereka berkeringat. Namun bagi Dimas, pemandangan Karina yang menatapnya sayu dengan kulit menyemut peluh justru mendorong keluar seluruh jiwa buasnya.Erangan Dimas lolos ketika tangan Karina menjelajah masuk ke dalam kaosnya, meraba otot-otot perutnya yang keras. Makin merontalah bagian bawahnya. Dimas bergerak makin liar, wajahnya turun, menyusuri garis leher Karina, menikmati ceruknya.Entah seberapa tipis akal sehat Dimas yang tersisa. Karena detik selanjutnya, Dimas melepas kasar pengait bra Karina. Membiarkan benda itu meluncur ke lantai. Meninggalkan pemandangan Karina dengan bagian atas tubuhnya yang tak lagi berpenghalang.Di ujung batas akalnya, muncul sebua

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status