เข้าสู่ระบบ“Suara mobil Reno. Reno pulang.”Karina bergeming sejenak, hendak memastikan kembali suara yang menyambangi telinganya. Deru mesin mobil yang semula samar, kini jelas terdengar. Biasanya pria itu teriak-teriak kalau sudah berada di depan. Tetapi malam ini, ada Annaya dan Mama di rumah, dia pasti tidak berani bertindak kasar.“Aku kembali ke bawah.” Karina menatap Dimas, pria itu mengerutkan kening, wajahnya menyiratkan kekecewaan yang dipendam.Dimas menghela napas kasar. “Oke. Kamu tadi bilang mau cerita. Nanti chat aku aja.” “Iya.” Karina mengangguk, lalu melepas genggamannya dari tangan Dimas. Tangan Dimas singgah sebentar di lengannya, seperti belum rela berpisah. “Hati-hati.” bisiknya.Karina tak menjawab, hanya mengulas senyum tipis.Setelah keluar dari kamar Dimas, Karina melangkah cepat menuruni anak tangga. Sedapat mungkin hentakannya diatur agar tak menciptakan suara.Hingga, anak tangga terakhir dia lewati dan Karina mendongak. Mulutnya refleks mengeluarkan suara jeritan
Annaya datang mendekat sambil membawa ponsel yang memperdengarkan nada sambung. Benda itu dia letakkan di meja ruang tamu, memperlihatkan layar yang menampilkan panggilan ke kontak bernama ‘Mas Reno’. ‘Tuut … tuut ….’ Suara nada sambung itu menjadi satu-satunya yang terdengar di tengah senyap, menciptakan ketegangan yang mencekik Karina.“Halo?” suara berat pria terdengar dari speaker ponsel Annaya.“Reno, Ini Mama.”“Kenapa, Ma?”“Mama mau kasih tau kamu, Mama akan tanda tangan surat pelunasan hutangnya Karina—”“Tunggu dulu, Ma!”Pundak Karina menegang. Tentu Reno tak akan diam saja.“Dengar dulu, kesepakatannya kan kalau Karina melahirkan anakku. Anak itu masih di dalam kandungan, belum tentu dia lahir.”Gejolak amarah mendorong getaran di tangan Karina perlahan mengepal. Gemuruh panas di dadanya bagai mendesak untuk diluapkan. “Apa maksud kamu belum tentu dia lahir? Sembarangan kamu, Reno.” alis Mama bertaut curam, nada suaranya meninggi.“Yaa memang benar kan, Ma? Nanti sajal
“Kar ….” suara Dimas yang serak itu terdengar lirih di tengah sunyi, menggetarkan satu sisi dalam diri Karina. Sisi dirinya yang terasa begitu haus, yang menginginkan kehadiran Dimas secara ‘lebih’.Karina merasakan sekujur tubuhnya menegang. Degup di dalam dadanya berdentum keras. Aroma maskulin yang menguar sangat tipis dari kulit Dimas di depannya bagai sihir yang menggerakkan tangannya di luar kendali—jemarinya kini mendarat lembut di sisi wajah Dimas, lalu naik ke rambutnya, menggelitik jemarinya untuk menjelajah ke belakang leher.Saat sentuhannya berakhir, detik itu, dia dapat merasakan deru napas Dimas berubah. Karina meneguk saliva, menata napasnya yang tanpa terasa, tak lagi beraturan. Seluruh fitur wajah Dimas yang terasa begitu dekat kini … mengundang gejolak rindu yang sejak lama meronta dan terus dia pendam. Namun sekarang telah menemukan penawarnya. Tatapan Dimas padanya tak lagi selembut sebelumnya. Kali ini tajam, dalam, menyiratkan dorongan yang Karina tahu maknany
“Ibu Karina, pasangan Pak Reno Wijaya?” suara perawat yang memanggil dari ambang pintu ruang poli terdengar nyaring menggema. Dimas menegakkan punggung, bangkit dan membungkuk perlahan. Walau tanpa menoleh pun, dia yakin, Rachel di belakang pasti tengah menatap penuh curiga ke arahnya.Satu tangan Dimas bergeser, pindah merangkul pundak Karina dari belakang. Mulutnya berdehem kecil, berupaya mengatur suaranya agar tak terdengar gugup. “Sayang, kita dipanggil. Ayo, kubantu berdiri.” gumam Dimas dengan nada datar, menyelami sandiwaranya sebagai seorang pria lain yang juga bernama ‘Reno Wijaya’.Dengan langkah pelan namun tegas, Dimas memapah Karina ke arah ruang poli. Tubuhnya sedikit dimiringkan untuk menutupi wajah Karina dari pandangan Rachel. Sementara kepala Karina dia benamkan ke bahu, seolah Karin hanyalah istri yang tengah menahan lelah di pelukan suaminya. Hingga, langkah mereka memasuki ruang poli dan pintu ditutup oleh perawat.“Selamat siang, Bu Karina.” dokter menyapa ram
“Dim ….” Karina meringis kecil. Tangannya menjangkau area perut. Sebuah pemandangan yang membuat dada Dimas terasa ngilu bagai terhunus duri. Dia tahu, ada sesuatu yang mengancam nyawa calon bayinya. “Aku takut ….” Karina tampak menahan napas, sebelah tangannya mencengkeram kaos di pundak Dimas.Dimas menggeleng. Berusaha mengenyahkan beragam skenario buruk yang bermunculan di kepala. Kepanikan menyergap. Jantungnya berdetak cepat. “Sakit banget?” ucapnya terbata. Karina mengerjap sesaat. “Nggak … nggak terlalu intens. Tapi aku takut ….” Karina memindahkan pandangannya ke arah Dimas. “Takut kalau ini tanda bahaya.”Detik itu, waktu seolah berhenti. Hanya denging panjang dan suara detak jantung Dimas sendiri yang mengisi pendengaran. “Kita ke rumah sakit sekarang.” Dimas bangkit. Dadanya bergemuruh, batinnya dipenuhi rasa takut.Takut kehilangan darah dagingnya, yang bahkan belum dia sapa sama sekali.“Kamu bisa turun tangga?”Belum sempat Karina menjawab, Dimas lekas memotong. “Ngga
Tok! Tok! Tok!Tangan Karina tergesa-gesa meremas kertas ucapan dari Dimas dan menyimpannya ke dalam kepalan tangan.“Kak Karinaa! Dipanggil Mama diminta ke dapur sebentar kak!”Karina mengusap kasar pipinya yang masih basah. Dia berdehem singkat, berupaya agar suara dan ekspresinya kembali tertata.“Iyaa, Kakak keluar sebentar lagi.” Dalam gerakan cepat, Karina merapikan semua hadiah pemberian Dimas, lalu membuang kertas ucapan dari Dimas yang sudah membentuk bola kecil ke dalam keranjang sampah.Saat langkahnya berayun menuju dapur, pikirannya dipenuhi satu tekad: dia harus cepat-cepat keluar dari kehidupan rumah tangga ini.Hutangnya harus segera dinyatakan lunas. Mama harus segera menandatangani status lunas.“Ma,” Karina berdiri di ambang pintu dapur. Sang Mama mertua sedang mencuci tangan di wastafel.“Kamu jemurin cucian ya. Sudah Mama siapkan di ember, tinggal jemur. Jangan santai-santai.” Mama mengeluarkan titahnya tanpa menatap Karina. Mengernyitkan dahi, Karina memalingkan







