Sementara itu, jauh dari kantor Rama, Dita sedang duduk nyaman di ruang tamu apartemennya yang mewah. Sebuah anggur merah dalam gelas kristal berayun pelan di tangannya, sementara senyum kemenangan tak pernah lepas dari wajahnya.Ia baru saja mematikan panggilan dengan Soraya, dan ekspresi puas itu kini semakin mendalam."KaubBodoh Spraya, sangat bodoh!" gumamnya pelan, menatap bayangan dirinya di dinding kaca.Soraya panik, dan Rama… tentu saja, pikirannya akan langsung mengarah ke Soraya. Hubungan gelap mereka bukan rahasia lagi baginya. Dan Rama—pria yang selalu merasa dirinya bijak—akan melihat semua tanda mengarah pada satu nama: Soraya.Skenario yang nyaris sempurna.Dita mengangkat ponsel dan membuka rekaman suara panggilan terakhirnya dengan Soraya. Ia tersenyum, lalu menekan ikon kirim dan mengarsipkannya ke beberapa akun cadangan."Kalau keadaan memburuk," ucapnya sambil menyesap anggur, "aku sudah punya cukup bukti untuk menenggelamkan Soraya sepenuhnya."Dita berdiri dan b
Kantor Rama tampak lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara dentingan jam dinding yang terdengar samar di antara langkah-langkah cepat para staf yang sesekali melintas di koridor luar. Namun di dalam ruang kerjanya yang luas dan tertutup rapat, situasinya jauh dari tenang.Rama berdiri membelakangi meja kerjanya, ponsel menempel di telinga. Suaranya tajam, penuh tekanan.“Cek semua rekaman CCTV hotel itu. Periksa plat nomor kendaraan yang keluar dari basement antara pukul sebelas sampai dua siang. Jangan sampai ada yang lolos. Saya tidak peduli caranya bagaimana.”Ia menghentikan langkah, menahan napas, mendengarkan laporan dari ujung sana.Lalu nada bicaranya meninggi. “Kalau perlu, sebar orang ke semua titik yang pernah dia datangi. Saya ingin tahu Nara ada di mana, sekarang juga. Cepat!”Tombol merah di layar disentuh paksa. Panggilan terputus. Segera ia menelpon nomor lain.“Kalian belum menemukan sinyal GPS-nya? Bodoh sekali kalian!” suara Rama terdengar semakin tegang. “Ponselnya
Langit mulai menghitam. Gerimis tipis turun sejak senja, membasahi kaca jendela kamar Reno yang masih menyala terang. Ponsel di tangannya tampak hangat karena terlalu sering ditekan berulang-ulang pada nomor kontak yang sama, dengan harapan berbeda, tapi hasilnya tetap nihil.Nomor Nara tak bisa dihubungi.Sejak pagi tadi, ia sudah mencoba menelepon lebih dari dua puluh kali. Semula ia mengira ponsel Nara mungkin kehabisan baterai. Namun ketika menjelang sore nomor itu masih tidak aktif, dan pesan-pesan WhatsApp tak kunjung centang dua, kegelisahan mulai menggerogoti pikirannya.Ia berdiri di depan jendela, memandang lampu-lampu kendaraan yang merambat pelan di jalanan kota yang padat. Lalu, tanpa pikir panjang, ia meraih jaket kulitnya dan kunci motor di atas meja.Tidak bisa hanya duduk diam.Ia harus memastikan sendiri.**Sepuluh menit kemudian, mesin motornya menderu melewati jalan-jalan basah. Helm menutupi sebagian wajahnya, namun tidak cukup untuk menyembunyikan ekspresi tegan
Tubuh Nara membeku seketika saat sosok yang berdiri di hadapannya tersenyum tenang. Rambutnya ditata rapi, wajahnya seperti biasa tampak tak bercela, seolah tak pernah disentuh kekacauan dunia. Dita.Waktu seolah berhenti. Sejenak Nara hanya mampu menatap tanpa kata. Kepalanya penuh pertanyaan, namun mulutnya tak kunjung mampu mengeluarkan satu pun.Dita melangkah maju dengan sikap tenang namun tidak mengancam. Ia mengangkat kedua tangannya perlahan, seperti seseorang yang sedang menenangkan binatang yang ketakutan.“Nara…” katanya dengan suara lembut, penuh kehati-hatian. “Kau pasti bingung. Tapi percayalah, aku tidak pernah berniat menyakitimu. Apa yang kulakukan ini… semata-mata demi keselamatanmu.”Nara mundur satu langkah, mata masih membelalak. “Kau… menculikku.”Dita menggeleng, tanpa tergesa. “Tidak. Aku menyelamatkanmu.”"Tanpa persetujuanku?" Nada suara Nara mulai meninggi.Dita menghela napas pelan. “Aku tahu kau marah. Aku mengerti. Tapi dengarkan aku dulu. Hanya beberapa
Di ruang kerjanya yang sunyi, hanya terdengar bunyi detik jam dinding yang seolah memantul dari kaca-kaca jendela besar. Matahari telah condong ke barat, menyinari permukaan meja kayu mahoni dengan lembut. Namun bagi Rama, waktu terasa membatu.Ia menatap layar ponsel di tangannya—satu-satunya benda yang kini seolah menghubungkannya dengan Nara. Sudah berkali-kali ia mencoba menelepon, namun jawaban yang diterima tetap sama: tidak aktif.Dahi Rama berkerut. Tangannya mengepal, lalu kembali mengetik. Kali ini, bukan untuk menghubungi Nara. Ia membuka saluran komunikasi khusus yang hanya digunakan untuk kepentingan pengawasan diam-diam.Sambungan langsung tersambung setelah nada tunggu ketiga."Ya, Tuan Rama," suara dari seberang terdengar tenang, seperti biasa."Di mana dia?" tanya Rama singkat, namun tekanan dalam suaranya tak dapat disembunyikan."Tuan maksud, Nyonya Nara?""Ya. Ponselnya mati sejak pagi. Kau bilang dia tetap di hotel. Aku ingin kepastian."Hening sejenak di ujung sa
Apartemen mewah di kawasan elit itu sunyi. Hanya suara detik jam dan sesekali bunyi deru mobil dari kejauhan yang terdengar. Di dalam ruang kerja yang dikelilingi rak buku dan layar-layar monitor kecil, Dita duduk bersandar di kursi kulit berwarna coklat tua, tubuhnya sedikit miring, satu kaki disilangkan. Di tangannya, sebuah ponsel menyala—panggilan tersambung dengan seseorang yang suaranya terdengar berat, penuh kehati-hatian."Jadi... kau sudah berada di lokasi?" tanya Dita pelan.Suara laki-laki di seberang terdengar seperti bisikan, tapi penuh tekanan. “Sudah. Timku menunggu di sekitar hotel. Kami tidak bersenjata. Seperti yang Anda minta—tanpa paksaan. Tanpa jejak.”“Bagus.” Dita menarik napas dalam. Ia menatap foto Nara di layar monitor—hasil tangkapan kamera pengawas yang sudah ditanam sebelumnya di sekitar hotel. “Ingat, dia tidak boleh merasa seperti korban. Dia harus merasa bahwa semua ini adalah pilihannya sendiri.”“Dan jika dia menolak?” tanya suara itu lagi.Dita terd