Hujan deras mengguyur kota malam itu, membungkus suasana dalam keheningan yang penuh misteri. Nara duduk di ruang tamu rumahnya, memandangi ponsel yang tergeletak di meja. Layarnya yang retak benar-benar menjadi simbol dari hatinya yang sekarang sedang hancur berkeping-keping. Dalam pikirannya, pertengkaran dengan Rama masih terulang seperti film yang buruk, diputar berulang-ulang tanpa berkesudahan. Sejak pertengkaran itu, Rama seolah menghilang, tak pernah lagi menunjukkan batang hidungnya.
Ketukan di pintu membuat Nara tersentak. Ia bangkit dengan ragu, bertanya-tanya siapa yang datang di tengah malam seperti ini. Hatinya diliputi tanda tanya, "Apakah Rama pulang?" Saat pintu terbuka, sosok pria yang berdiri di sana membuat darahnya membeku. Arka.
"Hai, Nara," suaranya berat, serak, dan dalam, menggema lembut di tengah gemuruh hujan yang membasahi malam. Tubuhnya basah kuyup, tetesan air hujan mengalir pelan di sepanjang rahangnya yang tajam. Tatapannya tepat menghunjam langsung ke dalam jiwa Nara. Seketika, udara di antara mereka terasa panas, seperti bara yang tak terlihat namun siap menyala.
Tanpa tahu siapa yang lebih dulu memulai, bibir mereka bertemu—rakus, berpagutan meliuk, saling menghisap penuh gairah yang menggebu, seperti badai yang meledakkan segala yang menghadang. Napas mereka berpacu, serak dan mendalam, menciptakan harmoni yang liar di tengah kekacauan dan hujan yang semakin lebat.
Namun tiba-tiba, Nara mendorong tubuh Arka. Dorongan itu membuatnya tersentak, terhuyung mundur beberapa langkah ke belakang, berujung tubuh Arka bersandar ke dinding. Napas Nara terengah, matanya penuh keraguan yang bercampur rasa bersalah.
"Stop! Jangan dulu, Arka. Please," ucapnya dengan suara bergetar. Ada kekuatan dalam permintaannya, namun juga ketakutan yang nyata di balik sorot matanya. Hujan terus mengguyur tanpa peduli siapa pun. Tanpa peduli dua insan yang sedang meredam renjana yang mulai meluap ke permukaan.
"Tapi ... tapi Nara," protes Arka setengah kecewa, merasakan bongkahan-bongkahan nafsu mulai memenuhi rongga dadanya. Sementara Nara berusaha sekuat mungkin memendam hasrat yang semakin meletup-letup di dadanya, membuat napasnya terasa berat menahan gejolak itu.
"Timing-nya nggak pas, Arka. Dan kenapa kau ke sini?" Nara berbisik, setengah panik. Ia melirik ke dalam rumah, memastikan Rama tidak ada di sekitar. Perlahan, Nara mengatur napasnya, dan bebannya pun memudar.
Arka hanya bisa menelan ludah sambil sesekali berusaha merengkuh Nara, tapi Nara menepisnya. Kini, Arka hanya bisa tersenyum getir yang perlahan dia paksakan menjadi senyuman yang paling menakjubkan bagi Nara. Senyuman yang dulu membuat Nara merasa aman, tetapi kini hanya membawa kecemasan.
"Aku dengar tentang pertengkaranmu dengan Rama. Aku ingin memastikan kamu baik-baik saja," ucap Arka, parau.
Nara memutar otaknya dengan cepat. Bagaimana Arka bisa tahu? Apakah Dita yang memberitahunya? Sayangnya, ia tidak punya waktu untuk bertanya.
"Aku baik-baik saja," jawabnya dingin. "Kamu tidak seharusnya datang ke sini."
"Nara," suara Arka melembut, membuat pertahanan Nara hampir runtuh. "Aku hanya ingin membantu. Aku tahu ini berat untukmu."
Nara menghela napas panjang. "Kamu tidak bisa membantu, Arka. Kehadiranmu di sini hanya akan membuat semuanya lebih buruk. Kumohon, pergilah segera!"
Arka menatapnya dengan mata yang penuh kesungguhan. "Aku tahu, aku membuat kesalahan dengan menemuimu ke sini. Tapi aku nggak bisa diam saja melihat kamu menderita, Na."
"Aku nggak menderita," potong Nara cepat. Ia tahu itu kebohongan, tetapi ia tidak ingin Arka berpikir bahwa ia wanita lemah. "Aku sudah memilih jalanku. Dan itu bukan kamu."
Arka terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Kalau itu memang yang kamu inginkan, aku akan pergi. Tapi kalau kamu butuh aku, kamu tahu di mana harus mencariku."
Tanpa menunggu jawaban, Arka berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Nara yang berdiri di depan pintu dengan perasaan campur aduk. Hujan masih deras, suara langkah Arka semakin menjauh, tenggelam dalam gemuruh air hujan yang menghantam tanah.
"Aaaaaargh!" Nara berteriak sekeras-kerasnya, berusaha melepaskan beban yang terasa menghimpitnya. Gemuruh halilintar yang seakan ingin meruntuhkan langit menyahut teriakan Nara.
Nara menutup pintu dan menyandarkan tubuhnya. Ia menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Namun, pikirannya tidak bisa berhenti memutar ulang momen Kehadiran Arka tadi, "Kamu memang lelaki pemberani, Arka. Aku semakin mengagumimu," gumam Nara, menggigit bibirnya dengan mata yang berbinar. Namun, suara guntur yang menggelegar seketika membuat Nara tersentak dan bergelut dengan pikiran dan hatinya yang sedang kacau.
Guntur yang menggelegar seketika membuat Nara tersentak dan kembali bergelut dengan pikiran dan hatinya yang sedang kacau.
Di tempat lain, Rama duduk di tepi tempat tidur, menatap ponselnya dengan ekspresi serius. Ia baru saja menerima pesan dari seseorang yang tak ia duga: Dita. Pesan itu hanya berisi satu kalimat, tetapi cukup untuk membuat hatinya berdebar hebat..
" Istrimu bersam seseorang malam ini."
Rama mengepalkan tangannya begitu keras hingga buku-bukunya memutih, gemetar menahan badai amarah yang berkecamuk dalam dadanya. Napasnya memburu, setiap tarikannya terasa seperti bara api yang menyulut panas lebih dalam. "Itu pasti Arka, seseorang yang akan ditemui Nara di kamar hotel," desisnya dengan suara rendah penuh kebencian. Nama itu keluar dari bibirnya seperti racun, menusuk-nusuk hatinya yang telah terkoyak. Matanya berkilat, penuh dengan murka yang tak terbendung. "BAJINGAN!" teriaknya, memecahkan kesunyian dengan gemuruh kemarahan. Tanpa ragu, Rama melemparkan ponsel di tangannya ke dinding, menghantamnya dengan keras hingga serpihan kecil berhamburan. Suara itu memantul di ruangan, menggema seperti perasaannya yang semakin berantakan.
Sementara itu, di tempat lain, Dita menatap layar ponselnya dengan senyum tipis. Ia tahu pesan itu pasti akan memicu sesuatu, dan ia menikmati setiap momennya. Dalam pikirannya, ini bukan hanya soal membantu Nara atau menghancurkan Rama. Ini adalah permainan, dan ia adalah dalangnya.
Di sisi lain, Nara mencoba tidur, tetapi pikirannya tidak bisa tenang. Ia memikirkan Arka, Rama, dan Dita, mencoba memahami bagaimana semuanya bisa menjadi serumit ini. Ia tahu harus membuat keputusan, tetapi setiap pilihan tampak seperti jalan buntu.
Ketika pagi tiba, Nara memutuskan untuk menghubungi Dita. Ia tahu sahabatnya itu mungkin memiliki jawaban, atau setidaknya solusi sementara untuk kekacauan yang sedang ia hadapi. Namun, jauh di dalam hatinya, Nara merasa bahwa kehadiran Arka malam itu bukanlah kebetulan. Ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, dan ia hanya bisa berharap bahwa ia cukup kuat untuk menghadapinya.
Belum sempat Nara menghubungi Dita, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal: "Jangan percaya siapa pun, bahkan sahabatmu."
Nara terdiam, menatap pesan itu dengan jantung berdebar. Siapa yang mengirim pesan itu? Lalu apa maksudnya? Ia merasa seolah-olah terperangkap dalam permainan yang lebih besar, tanpa tahu siapa yang dapat ia percayai.
Tepat ketika ia sedang merenungkan pesan tersebut, ponselnya berbunyi lagi. Kali ini, panggilan masuk dari Dita. Nara ragu sejenak sebelum mengangkatnya.
“Halo, Dita,” suaranya terdengar serak. “Nara, kamu baik-baik saja?” tanya Dita, suaranya terdengar seperti biasa—tenang dan penuh perhatian. “Aku nggak tahu, Dit. Ada terlalu banyak hal yang terjadi,” jawab Nara jujur. “Dan sekarang, aku bahkan nggak tahu siapa yang harus aku percaya.” Dita terdiam sejenak sebelum berkata, “Aku mengerti. Tapi kamu harus kuat, Na. Apa pun yang terjadi, ingatlah bahwa aku ada di pihakmu.”Kata-kata itu seharusnya menenangkan, tetapi malah membuat Nara semakin gelisah. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan Dita, sesuatu yang tidak ingin sahabatnya ungkapkan. Namun, Nara tidak tahu bagaimana cara menanyakannya. Ia takut Dita salah paham dan keadaan semakin runyam.
Setelah panggilan itu berakhir, Nara duduk termenung di sofa. Ia tahu harus menemukan jawaban, tetapi ia tidak tahu harus mulai dari mana. Pikirannya terus berputar-putar, mencoba merunut kejadian demi kejadian, menyusun potongan-potongan teka-teki yang semakin rumit, tetapi selalu berujung kebuntuan.
Di luar rumah, seorang pria berdiri di bawah hujan, mengamati rumah Nara dari kejauhan. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan, kilatan matanya tajam bak elang pemburu. Ia mengeluarkan ponsel dari saku, mengetik sesuatu dengan cepat, lalu menghilang ditelan kegelapan.
Gelap.Reno hanya bisa mendengar napasnya sendiri yang tercekat, lalu suara langkah kaki yang berhenti tepat di belakangnya. Hembusan udara hangat menyentuh tengkuknya, seolah seseorang berdiri sangat dekat namun tak menyentuh."Kau tidak bisa melihatku, Reno... tapi aku bisa melihat semuanya darimu. Detak jantungmu, keringatmu, bahkan rasa takut yang kau sembunyikan di balik keberanian palsu itu."Suara Dita sangat dekat. Tapi bukan dari satu arah. Suara Dita seperti datang dari dinding, dari lantai, dan dari udara itu sendiri."Kau kira dirimu pahlawan, ya? Pahlawan yang datang menyelamatkan seorang gadis manis dari ancaman monster jahat, hmm? Tapi kau lupa, Ren... Kau lupa jika monster dalam cerita ini mungkin bukan aku. Melainkan monster itu adalah kau."Reno menggertakkan gigi. Ia masih belum bisa melihat, tapi perlahan matanya mulai terbiasa dengan kegelapan. Sayup-sayup, ia mulai bisa melihat siluet ruangan. Dan di dinding, samar, muncul proyeksi visual:Foto-foto.Bukan semba
Tidak begitu jauh dari tempat Dimana Nara disembunyikan.Sesosok tubuh terkulai lemas.Kesadaran datang perlahan. Terlalu perlahan.Reno membuka mata dengan berat. Kelopak matanya seolah dibebani oleh ribuan jarum halus, sementara detak jantungnya terdengar lebih keras dari biasanya—menggaung di antara dinding-dinding yang tak ia kenali.Kepalanya nyeri. Lidahnya terasa pahit. Dan tubuhnya… mati rasa dari dada ke bawah.Ia mencoba bergerak, namun hanya gemeretak kecil yang terdengar dari rantai besi yang menahan kedua lengannya di belakang punggung.Ia menoleh, setengah panik. Ruangan itu sempit. Cahaya kuning pucat memancar dari lampu neon tunggal di atas langit-langit berjeruji. Dinding-dindingnya terbuat dari beton kasar. Tidak ada jendela. Tidak ada ventilasi.Hanya satu pintu baja—tertutup rapat.Panik mulai merayap ke kerongkongannya, tapi Reno menelannya paksa. Ia harus tenang. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum semuanya gelap.Kilatan bayangan.Suara langkah.Dita.
Di sebuah tempat terlindung di pinggiran kota.Ruangan itu tetap dalam keheningan. Hanya suara lembut detak jarum jam digital di dinding yang menemani Nara duduk diam di tepi ranjang. Semangkuk sup di atas meja belum tersentuh. Aroma hangatnya kini mulai berbaur dengan udara lembap dan tenang, seolah mengendap seperti beban di dada.Nara memeluk kedua lututnya, menyandarkan dagu di sana. Matanya kosong, menatap lurus ke arah jendela yang tertutup rapat oleh tirai putih tipis. Tak ada yang bisa ia lihat dari sana, hanya siluet cahaya samar dari lampu-lampu luar yang memantul lemah.Ia menarik napas pelan, dan tiba-tiba—tanpa peringatan apa pun—kenangan itu datang.Reno.Alex.Dua nama yang mewakili dua sisi yang sangat berbeda dalam hidupnya. Dua nama yang menolak untuk lenyap dari pikirannya, meski ia telah mencoba untuk membungkus masa lalu dengan lembaran baru bersama Rama.Namun ternyata, pernikahan bukan obat. Ia hanya kedok. Satu lagi ruang sunyi yang tak jauh berbeda dengan ruan
Lampu di ruang kerja Reno telah padam, hanya satu layar laptop yang menyala, menampilkan gambar buram yang baru saja diproses oleh sistem pengenal wajah. Video dari kamera tersembunyi yang dipasang di lorong apartemen Dita. Reno menyipitkan mata, mencocokkan fitur wajah, tinggi badan, dan pola gerak."Dia menyamar," gumamnya pelan. "Tapi tidak cukup baik."Satu jari mengetuk tombol spacebar, menghentikan video. Di layar, terpotong pada frame di mana seorang pria berseragam putih—pria yang masuk ke kamar Nara—berbalik dan menatap lurus ke arah kamera, seolah tahu dirinya sedang diawasi.“Siapa kau sebenarnya?” desis Reno.Ia bersandar ke kursinya, membuka folder data dari pengirim anonimnya. Nama-nama kode. Metadata. Sebagian sudah dicoret—tidak relevan. Tapi satu nama tetap bercokol di atas: Milan.Namun belum sempat ia mendalami lebih jauh, lampu ruang tamu berkedip.Sekali.Dua kali.Reno langsung tegak. Ia mematikan layar laptop, meraih senter kecil dan pisau lipat yang selalu ia s
Di dalam rumahnya yang terletak di pinggir kota, Reno duduk di depan meja kerja berlapis kayu tua. Coklat kehitam-hutaman. Lampu belajar menyinari peta digital dan berkas-berkas yang berserakan di depannya. Tak ada suara selain dentingan jam dinding dan dengungan kipas angin yang berputar lambat di atas kepala.Matanya nyaris tak berkedip menatap layar laptop.Sebuah rekaman video sedang diputar—hasil tangkapan kamera tersembunyi yang dikirim oleh sumber anonimnya dua jam lalu. Dalam video itu, Dita terlihat memasuki sebuah gedung tua, mengenakan jaket hitam panjang dan masker wajah. Gerak-geriknya hati-hati, tapi Reno menangkap sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kewaspadaan.Dita tampak percaya diri. Ia bukan sedang menyelinap. Ia sedang... memastikan.Reno memperbesar cuplikan saat Dita membuka sebuah pintu besi di lorong sempit. Di baliknya terlihat dinding putih bersih dengan kamera CCTV kecil di pojok. Bukan sembarang tempat. Ini bukan rumah singgah atau tempat persembunyian b
Nara menoleh dengan cepat, tubuhnya menegang.Seorang pria muda berdiri di ambang pintu. Ia mengenakan pakaian serba putih seperti seorang perawat, namun wajahnya terlalu tenang. Terlalu akrab untuk orang asing. Ia tersenyum kecil, dan berjalan pelan ke tengah ruangan, membawa nampan berisi semangkuk sup hangat dan segelas air putih.Ia meletakkannya di meja kecil di sudut ruangan, lalu berbalik menghadap Nara. Senyumnya tidak berubah."Aku sudah dengar banyak tentangmu, Nara," ucapnya pelan. Suaranya tenang, nyaris mendayu. "Dan aku tahu… kau pasti akan mengerti kenapa Dita melakukan semua ini."Lalu ia berbalik, melangkah keluar ruangan, dan menutup pintu perlahan di belakangnya.Nara membeku di tempat.Siapa pria itu?Dan... kenapa ia tahu nama Dita?Ia beranjak pelan, menghampiri meja tempat semangkuk sup dan air putih disajikan. Tangannya sempat terulur, namun ia urungkan. Bukan karena takut racun, tapi karena rasa asing yang begitu kuat menyeruak dari aroma sup itu. Harum, tapi