Beranda / Romansa / Gairah Liar Istriku / Bab 4. Gairah Dari Masa Lalu

Share

Bab 4. Gairah Dari Masa Lalu

last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-18 09:10:07

Hujan telah reda, meninggalkan aroma tanah basah dan lembap yang memenuhi udara pagi. Kontras dengan suasana di rumah Nara yang tetap muram. Ia duduk di meja makan, secangkir kopi yang sudah dingin di hadapannya. Pandangannya kosong, pikirannya sibuk memutar ulang kejadian semalam. Mulai dari kehadiran Arka, pesan misterius, saran-saran dari Dita, dan kemarahan Rama yang hampir tak terkendali. Semuanya seperti pusaran badai pasir yang menggulungnya semakin jauh tanpa arah.

“Kamu nggak tidur semalam?” suara Rama memecah keheningan. Ia berdiri di ambang pintu dapur, mengenakan kemeja kerja yang rapi. Matanya tajam mengamati Nara, seperti mencoba membaca pikiran istrinya.

Nara tersentak kaget karena tidak menyadari jika Rama sudah pulang. Entah kapan. Ia sekuat tenaga menyembunyikan keheranannya.

Nara menggeleng pelan. “Nggak bisa tidur.”

Rama mendekat, duduk di seberang meja. “Aku juga.”

Nara mengangkat alis, sedikit terkejut mendengar pengakuan itu. Biasanya, Rama adalah tipe pria yang bisa menyembunyikan perasaannya dengan sempurna. Tetapi pagi ini, ada sesuatu yang berbeda. “Mencurigakan,” gumamnya dalam hati.

“Kita perlu bicara, Nara,” kata Rama akhirnya, suaranya terdengar lebih parau dan berat dari sebelumnya.

“Tentang apa?” Nara mencoba terdengar tenang dengan detak jantung yang berdetak kencang.

“Tentang Arka.” Tatapan Rama memindai wajah Nara, membaca perubahan gesturnya.

Nama itu meluncur dari bibir Rama seperti pisau yang langsung menghujam deras ke jantung Nara. Ia menatap suaminya dengan mata melebar, mencoba mencari petunjuk apakah Rama benar-benar tahu sesuatu atau hanya menebak-nebak saja.

“Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya hampir berbisik.

Rama menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Nara tanpa berkedip. “Aku tahu dia ada di sini semalam. Dan aku tahu ini bukan pertama kalinya, iya kan?”

Nara merasa dunia sekitarnya berhenti berputar. Waktu seperti berhenti seketika. “Kamu salah paham,” katanya cepat. “Arka hanya .…”

“Hanya apa?” potong Rama tajam. “Hanya mampir? Hanya kebetulan? Begitu, hah? Dengar, Nara, aku bukan orang bodoh.”

Nara terdiam. Ia tahu jika ia membantah, itu hanya akan memperburuk keadaan saja. Bahkan bisa lebih buruk. Tetapi bagaimana ia bisa menjelaskan semuanya tanpa membuat Rama semakin curiga? Sedangkan alasan yang membenarkan bahwa ia tidak benar-benar bersalah belum ia dapatkan. “Aku nggak tahu harus bilang apa,” suaranya hampir putus. “Aku hanya … aku hanya butuh waktu, Rama. Mengertilah. Ini sungguh jauh dari apa yang kamu tuduhkan. Please …” Nara mulai terisak. Tepatnya, Nara hanya mendramatisir supaya asumsi Rama berubah.

Rama menghela napas panjang, lalu berdiri. “Aku juga butuh waktu. Tapi satu hal yang pasti, Nara, aku nggak akan diam begitu saja kalau kamu terus mempermainkan aku seperti ini.”

Tanpa menunggu jawaban, Rama bangkit dari meja makan dan pergi, meninggalkan Nara yang masih terpaku di tempatnya.

Seulas senyum aneh perlahan terbit di wajah Nara saat ia menatap punggung Rama yang semakin menjauh. Tapi entah mengapa, Nara masih memperlihatkan kesedihan dan ketakutan yang seolah-olah bercampur menjadi satu, seperti menanggung beban yang semakin sulit ia tanggung, dan … dia pun menangis.

Rama yang mendengar tangisan Nara sempat berhenti sejenak. Ia menoleh ke belakang seperti ingin menghampiri Nara. Tapi Rama hanya menghela napas berat, lalu melanjutkan langkahnya.

Di sisi lain kota, Dita duduk di dalam sebuah kafe mewah, menyesap latte-nya dengan santai. Ia memandangi layar ponselnya, membaca ulang pesan-pesan yang ia kirim dan terima semalam. Semuanya berjalan sesuai rencana, pikirnya. Rama sudah terpancing, dan Nara semakin terpojok. Kini, tinggal menunggu langkah berikutnya.

“Kamu kelihatan puas,” suara seorang pria membuat Dita mendongak. Arka berdiri di depannya, mengenakan jaket kulit hitam yang sedikit lembap karena sisa basah semalam. Ia menarik kursi dan duduk di seberang meja tanpa menunggu undangan basa-basi dari Dita.

“Kenapa nggak? Semua berjalan sesuai rencana, kan?” jawab Dita sambil tersenyum tipis.

Arka mengangkat alis. “Aku nggak yakin Nara akan setuju kalau tahu kamu memanfaatkannya seperti ini.”

Dita tertawa kecil. “Setuju atau nggak, itu nggak begitu penting. Yang terpenting, dia tetap mengikuti permainan ini.”

“Dan kalau dia berhenti?” tanya Arka, nadanya menantang.

Dita menatap Arka dengan tajam. “Dia nggak akan berhenti. Dia terlalu dalam untuk mundur sekarang.”

Arka terdiam, tetapi ekspresinya menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya setuju. “Aku harap kamu tahu apa yang kamu lakukan, Dita. Karena kalau ini gagal, kita semua akan hancur.”

Dita tersenyum lagi, tetapi kali ini ada sesuatu yang dingin dalam senyumnya. “Percayalah, Arka. Aku selalu tahu apa yang aku lakukan.”

Di rumah Nara, Nara duduk di kamarnya, mencoba mengumpulkan pikirannya. Ia tahu ia harus mengambil langkah sebelum semuanya semakin kacau. Tetapi apa yang harus ia lakukan? Menghadapi Rama? Berbicara dengan Dita? Atau ….

Pikirannya terhenti saat ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak ia kenal.

"Aku tahu rahasiamu. Kalau kamu ingin semuanya tetap aman, temui aku di tempat biasa."

Nara membaca pesan itu berulang kali, mencoba memahami siapa pengirimnya. “Tempat biasa? Apa maksudnya? Dan apa yang dia tahu?” gumamnya, penuh tanda tanya.

Hatinya berdebar kencang saat ia menyadari bahwa ini bukanlah sebuah ancaman kosong belaka. Seseorang benar-benar tahu sesuatu, dan seseorang itu ingin bertemu dengannya. Tetapi siapa? Dan apa yang diinginkannya?

Dengan tangan gemetar, Nara mengetik balasan.

"Siapa ini?"

Jawabannya datang hampir seketika.

"Kamu tahu siapa aku. Jangan terlambat."

Nara merasa seluruh tubuhnya gemetar. Ia tahu ia tidak bisa mengabaikan pesan ini. Tetapi apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus memberi tahu Dita? Atau Rama?

Sebelum ia sempat memutuskan, sebuah kenangan lama muncul di benaknya. Tempat biasa. Itu adalah kode yang hanya ia dan satu orang lain yang tahu. “Mungkinkah dia?” pikir Nara keras. Tapi, hanya pertanyaan tanpa jawaban yang ia dapatkan.

Nara menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu ia harus pergi, meskipun ia juga tahu ini bisa jadi hanya sebuah jebakan. Sayangnya, ia tidak punya pilihan lain. Jika seseorang benar-benar tahu rahasianya, ia harus memastikan apa yang dia ketahui dan apa yang dia inginkan.

Malam itu, Nara meninggalkan rumah dengan hati yang berat. Ia tidak tahu siapa yang menunggunya di tempat biasa. Nara hanya bisa menebak-nebak.

Di tempat lain, Dita menerima pesan di ponselnya. Sebuah foto, menunjukkan Nara sedang masuk ke sebuah gedung tua yang tampak sepi.

“Bagus,” gumam Dita sambil tersenyum. Ia tahu permainan ini baru saja naik ke level berikutnya.

Namun, senyum itu memudar saat ia menerima pesan lain, kali ini dari nomor yang tidak ia kenal.

"Kamu pikir kamu mengendalikan semuanya, tapi kamu salah. Aku akan memastikan semuanya berakhir sesuai keinginanku. Bukan keinginanmu."

Dita menatap layar ponselnya dengan ekspresi tegang. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa permainan ini mungkin tidak sepenuhnya berada di tangannya.

Di dalam gedung tua itu, Nara melangkah dengan hati-hati. Lampu remang-remang dan aroma lembap membuat suasana semakin mencekam. Ia menahan napas saat mendengar langkah kaki mendekat.

"Kamu datang," suara itu membuatnya membeku. Ia menoleh, dan melihat sosok tengah berdiri menjulang di balik bayangan gelap, yang hanya terlihat kaki jenjang dengan celana bahan panjang, tanpa bisa ia lihat rupa dari laki-laki itu.

"Apa yang kamu inginkan?" tanyanya, suaranya bergetar.

Sosok itu melangkah mendekat, sehingga wajahnya terlihat lebih jelas di bawah cahaya lampu. Nara merasa darahnya berhenti mengalir saat ia menyadari siapa orang itu.

"Kita perlu bicara, Nara. Tentang dosa-dosamu."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Liar Istriku   Bab 87. Dita's Plan

    Sementara itu…Di sebuah ruangan tersembunyi yang lebih mirip dengan sebuah ruang komando ketimbang kamar biasa, Dita berdiri di depan dinding penuh layar. Setiap layar menampilkan sudut berbeda: ruang isolasi Nara, ruang penahanan Reno, bahkan lorong gelap yang menghubungkan tempat itu dengan pintu besi di ujung bangunan. Semua bergerak tanpa suara, hanya sesekali terdengar dengung suara mesin.Dita menyandarkan tubuh pada meja konsol, kedua tangannya bertumpu pada permukaan logam dingin. Pandangannya lekat dan selalu terpaku pada layar yang menampilkan wajah Reno dengan tubuh yang terkulai, matanya separuh terbuka namun masih menahan sisa kesadarannya."Tenang saja, kau akan paham juga nantinya, Reno," gumamnya. Suaranya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.Ia menekan sebuah tombol, layar lain menampilkan Nara yang duduk terpekur. Sorot mata Dita melembut seketika. Ada sesuatu di balik tatapan itu: rindu yang teredam, amarah yang menunggu waktu, dan cinta yang terla

  • Gairah Liar Istriku   Bab 86. Rencana Dita Terungkap

    Di sebuah ruangan bawah tanah yang dipenuhi layar monitor, Dita duduk sendirian. Pendar cahaya biru dari monitor-monitor itu menimpa wajahnya yang tenang, dingin, seperti topeng marmer.Di hadapannya, puluhan kamera memperlihatkan berbagai sudut:Nara di ruangan isolasi, terduduk, seperti tubuh tanpa jiwa.Reno, terikat, menunduk di kursi besi.Soraya… bersama salah satu anak buahnya, yang kini ia amati tanpa berkedip.Dita memutar perlahan gelas anggur di tangannya.“Semua berjalan sesuai rencana,” gumamnya pelan, seperti sedang menenangkan diri sendiri.Ia bangkit, berjalan mendekati dinding monitor.“Sekarang, waktunya mereka tahu siapa yang benar-benar mengendalikan semuanya.”Suara langkah sepatu hak tingginya bergaung di lantai semen. Ia menekan tombol interkom di meja besinya, dan berbicara dengan nada suara yang tidak bisa ditawar:“Rekam ini. Untuk Rama, Reno, Soraya… dan terutama untukmu, Nara.”Sebuah kamera otomatis berputar, mengarah ke wajahnya. Dita berdiri di tengah ru

  • Gairah Liar Istriku   Bab 85. "PIilih Aku Atau Tugasmu"

    Udara apartemen Soraya terasa berat, mengandung wangi anggur dan parfum samar yang bercampur dengan sesuatu yang jauh lebih liar.Pisau di tangan pria itu sudah turun. Tapi bukan berarti ancaman lenyap. Justru bahaya kini berdiri di antara keduanya, tipis seperti batas antara nafsu dan kematian.Soraya menempelkan tubuhnya. Panas kulitnya bertemu dingin kulit sarung tangan.“Lepas,” bisiknya.Pria itu tidak bergerak. Soraya mengambil inisiatif. Satu per satu, ia menarik sarung tangan itu, membiarkan jari-jari kasar laki-laki itu menyentuh kulitnya.“Kalau kau memang datang untuk mengakhiri hidupku,” ucap Soraya lirih sambil menelusuri rahang pria itu dengan jemari, “biarkan aku yang memutuskan bagaimana aku mengakhiri malam ini.”Ada jeda sunyi. Dan kemudian bibir mereka bertemu—bukan lembut, tapi rakus. Soraya sengaja mencium seperti orang yang tenggelam mencari udara. Tidak ada rasa cinta, hanya hasrat yang mendesak waktu.Soraya mendorong tubuh pria itu ke dinding, lalu melepas gau

  • Gairah Liar Istriku   Bab 84. Percintaan Maut

    Ketukan itu berhenti.Sunyi kembali turun di apartemen. Tapi bagi Soraya, kesunyian itu justru lebih berisik daripada suara tembakan.Ia berdiri diam beberapa detik, menahan napas. Otot lehernya menegang. Lalu, perlahan, ia bergerak mundur, mengambil sebuah gunting panjang dari meja rias. Jari-jarinya berkeringat, menggenggam gunting itu erat.erat.Siapa?Pikiran itu berputar.Rama? Tidak mungkin. Rama tidak mengetuk seperti itu.Polisi? Mustahil, mereka akan datang dengan cara yang lebih kasar.Dita.Soraya tahu jawabannya bahkan sebelum bayangan itu muncul.Dita tidak akan datang sendiri. Selalu ada “tangan panjang” yang ia gunakan untuk membersihkan jejak.Ia mendekat ke pintu, tidak membuka, hanya mendengar.Ada suara napas pelan dari balik sana. Berat, jantan.Hmm Anak buahnya…Ketika kenop pintu berputar pelan dari luar, Soraya bergerak mundur cepat. Pintu itu terbuka. Bayangan seorang pria tinggi muncul di ambang. Wajahnya sebagian tertutup masker hitam. Jaket kulit gelap, sar

  • Gairah Liar Istriku   Bab 83. POV: Soraya Di Bawah Tekanan

    Malam sudah sangat larut. Kota di luar jendela apartemen tampak seperti lautan lampu yang tak berarti. Di lantai tinggi ini, Soraya seharusnya merasa aman. Tapi udara terasa berat, seolah dinding-dinding apartemen menyusut, terasa seperti menghimpit tubuhnya.Ia berdiri di depan cermin kamar, menatap wajahnya sendiri yang tampak asing. Make-up mahal yang ia poles dengan sempurna sejak sore tadi kini luntur di sudut mata. Lipstik memudar, menyisakan garis bibir pucat. Jemari yang biasanya mantap saat memegang pena atau gelas anggur, kini bergetar halus.Di meja rias, segelas wine sudah hampir habis. Tapi alkohol tidak begitu banyak membantu.Sejak telepon Rama beberapa jam lalu, pikirannya tidak berhenti berputar. Pertanyaan-pertanyaan itu kembali terngiang:"Apa kau tahu di mana Nara? Kenapa semua CCTV hilang rekamannya? Kau jangan main-main denganku, Sora."Nada suara Rama kali ini berbeda. Tidak lagi hanya sekadar curiga. Tapi mendesak, menekan, dan jelas mengancam.Soraya menelan l

  • Gairah Liar Istriku   Bab 82. POV: Rama Di Ruang Tekanan

    Gelap. Pekat.Reno menahan napas. Hanya beberapa menit lalu, suara napas berat itu datang dari sudut ruangannya.Kini, tidak ada siapa pun di sana. Tidak ada suara langkah. Tidak ada pergerakan. Tidak ada asap.Namun sesuatu berubah. Udara menjadi lebih berat. Setiap tarikan napasnya seperti menghirup kabut yang lengket, mengisi paru-paru dan otaknya.Reno sadar: ini bukan sekadar ruang pengurungan. Ini ruang permainan pikiran.Pelan-pelan, cahaya samar muncul di hadapannya—bukan dari lampu, melainkan dari proyeksi di dinding.Sebuah gambar.Tidak, bukan gambar. Tapi Sebuah rekaman video.Nara.Bukan seperti yang ia lihat tadi.Di video ini, Nara duduk di lantai, matanya sembab. Lalu terdengar suaranya, serak:"Aku... lelah... Aku mau menyerah..."Reno mengepalkan tangan terikatnya, rahangnya mengeras.“Aku tidak percaya ini,” gumamnya. “Ini rekayasa.”Tapi video itu tidak berhenti."Reno... kenapa waktu itu kau membiarkan aku menikah dengan Rama?"Napas Reno tercekat. Kata-kata itu m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status