Beranda / Romansa / Gairah Liar Istriku / Bab 2. Bayang-Bayang Sahabat

Share

Bab 2. Bayang-Bayang Sahabat

last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-16 06:35:25

Ternyata yang muncul bukan Rama. Di depan pintu telah  berdiri Dita, sahabatnya yang beberapa hari ini baru pulang dari luar negeri. Sahabat sedari masa SMA dulu. Nara memandang sosok itu dengan perasaan campur aduk. Ia merasa lega karena ternyata yang mengetuk pintu bukanlah Rama, Meski perasaan yang gak keruan bercampur dengan kegelisahan masih menguasai hatinya. Dita tersenyum tipis, membawa aura tenang yang anehnya menenangkan sekaligus mengintimidasi. Ia tampak seperti seseorang yang tahu lebih banyak daripada yang seharusnya.

"Dita? Malam-malam begini, ada apa?" tanya Nara, mencoba menyembunyikan kegugupannya di balik nada terkejut.

"Maaf jika aku membuatmu terkejut, Nara. Aku tahu ini mendadak," jawab Dita lembut, matanya tajam menatap Nara, "Tapi aku harus membicarakan semua ini ke kamu. Ada hal penting yang perlu kamu tahu."

Nara terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan, memberi isyarat agar Dita masuk ke kamarnya. Ia melirik ponsel yang masih tergeletak di lantai dengan layar pecah, berusaha memastikan sahabatnya untuk tidak memperhatikan buah dari kemarahan Rama tadi. Kehadiran Dita membawa suasana baru di dalam kamar yang sebelumnya penuh dengan ketegangan, meskipun pikiran sedang kacau dan perasaan tidak nyaman di hati Nara masih belum sepenuhnya reda.

"Saat kamu bertengkar dengan Rama tadi, aku sudah di ruang tamu bersama pembantumu. Jadi, aku mendengar semuanya, Oops gak semua sih" ujar Dita mengambil posisi duduk di tepi tempat tidur, matanya menjelajahi ruangan dengan tenang, "Aku nggak sengaja lewat dan dengar suara kalian. Ada apa, Na? Apa yang sebenarnya tengah terjadi?"

Pertanyaan itu membuat Nara terpaku. Pandangannya teralihkan lagi pada ponsel di lantai, seperti berharap benda itu bisa memberinya jawaban. Setelah menarik napas panjang, ia berkata dengan suara bergetar, "Aku ketahuan, Dit. Rama tahu soal Arka."

Ekspresi Dita tetap tenang, hampir tanpa perubahan. Ia hanya mengangkat alis tipisnya sedikit, seolah berita itu bukanlah sesuatu yang mengejutan, "Ketahuan? Hm, aku nggak bilang aku senang mendengarnya, tapi ... aku sudah menduga. Cepat atau lambat, pasti terbongkar juga."

"Kamu malah terlihat santai," ujar Nara, menatap Dita dengan bingung sekaligus sedikit kesal,  "Aku hampir kehilangan segalanya, Dit. Pernikahan ini, semuanya ..."

Dita tersenyum kecil, tetapi ada ketegasan di balik senyumnya, "Nara, dengarkan aku. Kamu tahu kan, aku pernah berada di posisi yang lebih buruk dari posisimu saat ini? Dan aku belajar satu hal; selama kita belum benar-benar jatuh, pasti selalu ada cara untuk kita bisa bangkit kembali"

"Apa maksudmu?" Nara bertanya dengan agak ragu. Ia tahu Dita selalu memiliki jawaban yang tak terduga, tetapi di saat seperti ini, ia tidak yakin apakah jawaban Dita akan cukup membantu.

Dita mencondongkan tubuhnya ke depan, wajahnya kini lebih dekat dengan wajah Nara. Ia berbicara dengan nada rendah seolah membisikkan sebuah rahasia besar. "Selama Rama belum punya bukti konkret atas perselingkuhanmu, kamu masih bisa membalikkan keadaan. Kamu hanya perlu memainkan peranmu dengan cerdik."

Nara mengerutkan kening, "Memainkan peran … maksudmu bagaimana?"

"Begini. Pertama, buat Rama merasa bersalah," kata Dita tanpa ragu,"Jika dia merasa kamu adalah korban dari rasa curiganya, dia akan lebih mudah memaafkanmu. Pria cenderung ingin melindungi, bahkan ketika mereka marah. Kamu harus manfaatkan kemarahannya itu."

Nara masih bingung, tetapi ia membiarkan Dita melanjutkan.

"Kedua, kamu harus punya ‘kartu As’—sesuatu yang bisa mengimbangi kesalahanmu atau bahkan mengalihkan perhatian Rama."

"Kartu As? Kamu menyuruhku mencari kesalahan Rama?" Nara bertanya dengan nada skeptis.

Dita tersenyum lebih lebar, kali ini hampir terlihat licik, "Kalau nggak ada, ciptakan. Percayalah, setiap orang punya sisi gelap. Kamu hanya perlu menemukannya."

Kata-kata itu membuat Nara terdiam. Ia tahu Dita bukan orang yang sembarangan memberikan nasihat, tetapi rencana itu terdengar berisiko dan bertentangan dengan apa yang ia yakini. "Tapi aku nggak tahu kalau Rama punya rahasia. Dia terlalu sibuk untuk itu."

"Itulah kelemahan pria sibuk," jawab Dita cepat, seolah-olah sudah menyiapkan jawaban itu sebelumnya. "Mereka mudah dibohongi. Kita hanya perlu trik kecil untuk menemukan celahnya. Percayalah, Na, aku tahu apa yang aku bicarakan."

"Tapi ..." Nara masih ragu. Ada bagian dari dirinya yang ingin menolak ide itu, tetapi ada juga bagian yang merasa tidak punya pilihan lain.

"Tidak ada tapi, Na," potong Dita dengan nada tegas. "Kalau kamu ingin menyelamatkan hidupmu, kamu harus bertindak sekarang. Dunia ini bukan untuk orang yang ragu-ragu."

Perkataan itu membuat Nara terdiam lebih lama. Ia merenung, mencoba menimbang-nimbang apakah saran Dita adalah jalan keluar atau justru jalan menuju kehancuran yang lebih besar.

Melihat keraguan di wajah Nara, Dita berdiri, mengambil tasnya, dan berjalan menuju pintu. "Kita bicarakan detail rencana ini besok. Malam ini, tenangkan dirimu dulu. Jangan biarkan emosi menguasai pikiranmu."

"Terima kasih, Dit. Aku nggak tahu apa jadinya tanpa kamu," ujar Nara akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan.

Dita hanya tersenyum samar, sebuah senyuman yang sulit ditebak artinya. "Santai saja. Kita baru akan memulainya."

Setelah Dita pergi, Nara terduduk di tempat tidur. Kata-kata sahabatnya terus terngiang-ngiang di pikirannya, membentuk pusaran kebingungan dan ketakutan yang tak berujung.

Di luar sana, di lorong yang sepi, Dita berjalan dengan senyum misterius di wajahnya. Dalam pikirannya, permainan baru saja dimulai, dan Nara adalah bidak yang sempurna dalam rencana yang lebih besar. Ia merogoh ponsel di dalam tasnya, mengirimkan pesan singkat kepada seseorang dengan nama yang disembunyikan di kontak.

“Langkah pertama selesai. Dia akan mengikuti skenario kita.”

Pesan terkirim. Dita menatap layar ponselnya sejenak sebelum memasukkannya kembali ke dalam tas. Ia melangkah dengan percaya diri, seolah-olah dunia ini adalah panggungnya, dan setiap orang di sekitarnya hanyalah para Viguran.

Tiba-tiba, langkahnya terhenti di ujung lorong. Ponselnya kembali bergetar, sebuah notifikasi baru muncul. Kali ini, pesan yang masuk membuat senyumnya memudar. Matanya menyipit, tak habis pikir. Ia pun membaca deretan kata-kata yang singkat tapi penuh ancaman:

"Hi Cantik, Kamu pikir aku nggak tahu apa yang kamu rencanakan hmm? Hati-hati, Dita. Aku lebih dekat daripada urat lehermu"

Dita mendongak, menoleh ke belakang, curiga jika ada yang sedang mengikutinya, sepasang bola matamya memindai  seantero Lorong yang minim penerangan itu. Hatinya berdesir, perasaan takut seperti mulai memenuhi rongga dadanya. Udara terasa menjadi lebih berat, dan untuk pertama kalinya, aura percaya dirinya sedikit terguncang hebat, “siapa orang ini, seakan akan dia sudah tahu seluruh rencanaku. Tidak mungkin yang mengirimkan pesan barusan itu Arka, lantas siapa …”

Permainan baru saja dimulai, tapi siapa sebenarnya yang mengendalikan papan catur ini?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gairah Liar Istriku   Bab 134. Siapa

    Tubuh Reno menegang, reflek seketika. Ia memutar kepala perlahan, sorot matanya yang lelah langsung mengeras.Sosok itu—hanya beberapa meter jauhnya—berdiri diam. Siluet yang terserap pekat oleh kabut panas, sesekali tertelan oleh kilatan jingga dari sisa api yang masih merayap. Sebagian wajahnya tersorot, dan itu cukup.Wajah yang dikenalnya.Terlalu dikenal.Air asin bercampur jelaga menetes dari rambut sosok itu, menodai jaket kulit yang kini compang-camping, seolah baru saja diseret keluar dari perut reruntuhan. Namun yang membuat napas Reno tersangkut adalah tatapan mata itu—sepasang iris yang kosong, tak lagi membawa gejolak kebencian maupun harapan, hanya kehampaan yang dingin, sepi, seperti laut dalam di tengah malam.“…Kau…” Reno mencoba berbicara, tapi tenggorokannya tercekat, serak karena asap. “Mustahil… kau seharusnya…”“—mati?” Sosok itu memotong, suaranya pelan, senyumnya tipis, lebih menyerupai ejekan lembut daripada sapaan. “Sayangnya, dunia tak semurah itu, Reno.”Ia

  • Gairah Liar Istriku   Bab 133. Neraka Dalam Gudang

    “Nara!” teriak Reno, suaranya bukan lagi teriakan pertempuran, melainkan jeritan putus asa seorang pelindung.Tak ada jawaban—hanya gemuruh api yang memakan kayu, desis nyala yang seolah mengejek, dan napas Reno sendiri yang terasa tajam dan menyesakkan di tenggorokan.Ia menerjang ke dalam kepulan asap, bau hangus memedihkan mata dan bensin menusuk hidungnya. Panas itu terasa menghanguskan harapan, bukan sekadar membakar kulit. Setiap langkahnya adalah pertaruhan, sepatu berdecit di lantai yang retak, yang sudah mulai menyerah pada amukan api.Di dekat tumpukan peti, ia melihat Nara. Kursi rodanya terguling, lambang ketidakberdayaan yang menyayat, tubuhnya setengah jatuh. Selimut yang menutupi adalah satu-satunya pelindung yang kini tinggal abu di sisi tubuhnya. Reno tanpa berpikir meraih tubuh itu, mengangkatnya dalam pelukan protektif, merasakan bobot ringan dan rapuh yang harus ia selamatkan.“Tahan, Nar—tahanlah sebentar,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri, mencari kekuatan

  • Gairah Liar Istriku   Bab 132. Api

    Suara ombak menghantam batu karang di kejauhan, kini terdengar lebih dekat, seperti detak jam yang memperingatkan waktu yang hampir habis. Angin laut yang dingin membawa aroma asin, bercampur anyir karat dan samar bau darah. Dita baru saja mengunci rapat pintu besi gudang tua itu, dan bunyi klik yang mematikan itu terasa seperti pukulan ke dada Reno. Di luar, hujan rintik telah berubah menjadi gerimis yang menusuk, memantulkan cahaya kuning pucat dari lampu mobil yang menyala redup, menciptakan ilusi suram.Reno terhuyung dan berlutut di tanah lumpur. Bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi karena beban kegagalan yang menindihnya. Napasnya tersengal, seperti paru-parunya penuh air dingin. Jari-jarinya yang gemetar memegang pistol, benda dingin yang kini terasa tidak berguna.Di belakangnya, Rayan merintih, suaranya tercekat oleh rasa sakit yang dalam. Ia bersandar di pohon pinus yang basah, darahnya menetes, menciptakan noda gelap yang dengan cepat diserap oleh tanah liat. Udara di

  • Gairah Liar Istriku   Bab 131. Gema yang Menghina

    Tok… tok… tok.Suara ketukan itu datang begitu pelan, tapi energinya cukup untuk membekukan darah di pembuluh nadi Reno. Dunia terasa terdistorsi. Angin malam seolah menahan napasnya, dan derik jangkrik menghilang total. Yang tersisa hanyalah denting halus dari kuku Dita yang menyentuh permukaan logam mobil, sebuah ritme yang dingin yang mengumumkan kedatangan kematian.Reno memejamkan mata, hanya sepersekian detik, memaksa paru-parunya untuk mengingat cara bernapas yang benar. Di sebelahnya, Rayan menatap dengan mata kosong, kulit wajahnya pucat pasi. Ia tak hanya takut; ia merasa bodoh. Mereka berdua baru saja menyadari bahwa bersembunyi di bagasi mobil hanyalah pindah dari satu kandang ke perut binatang buas yang sudah kenyang—dan binatang itu tahu persis di mana mereka berada.Langkah kaki Dita terdengar semakin dekat. Setiap injakan tumitnya yang rapi beradu dengan tanah lembap, menciptakan gema yang menghina di keheningan malam. Ia tidak terburu-buru, dan justru ketenangan yang

  • Gairah Liar Istriku   Bab 130. Udara Malam Seketika Mambeku

    Mobil melaju membelah malam, menembus jalan pesisir yang sepi dan lembap. Hujan baru saja usai, menyisakan embun tebal di kaca jendela dan aroma asin laut yang terasa menusuk. Di dalam bagasi yang gelap, Reno dan Rayan nyaris tak berani bernapas, menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Suara mesin mobil, derit roda yang melewati genangan air, dan detak jantung mereka sendiri berpadu menjadi satu kesunyian yang mencekam.Reno berusaha keras menatap melalui celah sempit di penutup bagasi. Ia hanya bisa melihat pantulan samar cahaya lampu jalan yang sesekali menyinari kursi belakang—siluet tempat Dita dan Nara duduk. Setiap detik terasa seperti jam. Pikirannya berlari kencang, menyadari bahwa salah perhitungan sekecil apa pun bisa menjadi akhir hidupnya.Dari earset kecil yang terpasang di telinganya, suara Phantom terdengar lirih, hampir seperti bisikan dari dimensi lain.“Kau masih hidup, Reno?”Reno menjawab dengan suara tercekat, “Masih. Kami di bagasi. Mobil ber

  • Gairah Liar Istriku   Bab 129. Nafas Dalam Gelap

    Langit di atas pelabuhan tampak muram dan lelah, sisa warna oranye senja telah tenggelam sepenuhnya di antara garis ombak dan siluet kapal-kapal besar yang berderet pasrah. Angin laut membawa campuran aroma asin dan bau oli yang kental, menciptakan atmosfer berat yang menekan. Di ujung dermaga, sebuah kapal pribadi dengan lambung hitam berkilat diam-diam menurunkan tangga logamnya. Di sana, Dita berdiri tegak, terbungkus mantel panjang gelap yang menyembunyikan hampir seluruh dirinya. Dengan tangan yang terlihat mantap, ia mendorong kursi roda yang diduduki Nara, kepala perempuan itu terkulai lemah di bahunya, seolah seluruh energinya telah habis.Wajah Dita nyaris tanpa ekspresi, sebuah topeng sempurna, tapi matanya tak pernah diam, tajam dan waspada seperti elang yang tengah menilai setiap jengkal situasi. Ia merasakan keganjilan malam itu. Angin terasa terlalu hening, jumlah pekerja pelabuhan terlalu minim, dan udara di sekitarnya seolah menahan napas. Namun, Dita berusaha keras me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status