Marco mengerjapkan matanya. Ia benar-benar tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Gadis itu sedang berbaring di ranjangnya. Wajahnya pucat tanpa polesan make up sedikitpun.
“Jadi … kamu beneran di rumah?” tanyanya tak percaya.“Dih! Memangnya aku mau kemana pagi-pagi gini?” sahut gadis itu tak mau kalah. “Ah … Sandra tahu deh. Om Marco pingin Sandra temani, ya, di sana.”Marco menghela napas lega. Mungkin konsentrasinya benar-benar sudah kacau. Mungkin perasaannya sudah menguasai akal sehatnya sehingga ia bisa salah mengenali orang.“Kamu … baik-baik saja, kan, di sana?” tanya Marco dengan perasaan canggung. Ia merasa bersalah karena telah berpikiran buruk pada keponakannya itu.“Tidak.”“Apa perutmu masih sakit?” tanya Marco. Ia melihat wajah pucat keponakannya dengan cemas.“Bukan, perutku sudah membaik. Tapi aku masih merasa tidak baik-baik saja, Om,” sahutnya.“Marco menghampiri keduanya. Wajahnya memerah karena marah. “Cassandra! Apa yang kamu lakukan!”Semua mata kini menatap mereka. Sebuah adegan yang benar-benar memalukan dan mencoreng nama baik perusahaan. Marco meraih tangan keponakannya dan menggenggamnya dengan kuat. Genggaman itu terasa sangat menyakitkan bagi Cassandra. Gadis itu berusaha melepaskan genggaman tangan pamannya. “Maaf atas ketidaknyamanan ini, silahkan menikmati fasilitas sebelum acara utama dimulai,” ucap Marco sembari membungkukkan badannya pada semua tamu yang menatap mereka.Marco menarik tangan Cassandra dan membawanya menjauh dari keramaian. Tak dihiraukannya Zissy yang masih kebingungan tak tahu harus berbuat apa pada gaun putihnya yang kini bernoda merah. “Apa-apaan ini?” tanya Marco setelah merasa cukup aman untuk berbicara berdua. “Kenapa tiba-tiba kamu menjadi liar, Cassandra?”Cassandra meletakkan kedua tangannya bersedekap di depan dada. Ia sama sekali tidak merasa bersalah atas kejadian itu. “Om Mar
Marco mulai menggila. Ia menarik turun, melepas kain renda berwarna hitam yang menutup bagian intim wanitanya. Namun baru saja ia bersiap untuk menikmati wanitanya, suara deringan terdengar di ponselnya. Sejenak Marco melirik benda pipih itu. Terlihat nama kakaknya mengambang di layarnya. Marco mengerutkan keningnya. Tidak biasanya Irfan menghubunginya di tengah malam seperti ini. Tanpa menunggu lama, ia menerima panggilan itu. “Marco! Apa kamu bersama Cassandra? Apa kamu menyewakan sebuah kamar dan membiarkan dia menginap di sana? Kenapa dia tidak ada di rumah?” Irfan melontarkan banyak pertanyaan sekaligus. Pertanyaan-pertanyaan yang membuat Marco mendadak panik.“Jadi … dia tidak pulang?” tanya Marco. Ia segera menutup resleting celananya dan merapikan kemejanya. “Kakak jangan khawatir. Aku akan mencarinya sampai ketemu sekarang.”Zissy hanya bisa menatap punggung Marco yang lenyap di balik pintu. Tangannya menge
“Rex, harder!” perintah Reana pada suaminya. Lelaki itu mempercepat gerakan maju mundurnya mengikuti suara napas istrinya yang semakin cepat. Ia memacu, mengejar kenikmatan yang ingin direguknya bersama-sama.Reana meremas bed cover berdesain LV itu kuat-kuat. Punggungnya melengkung dengan estetik. Kepala mendongak dengan mata terpejam penuh kepuasan. “Ini gila! Ini benar-benar gila!” teriak Marco. Lagi-lagi lelaki itu mendobrak pintu kamar Rexy.Melihat aktifitas suami istri yang sedang di kacaunya, spontan Marco berbalik dengan cepat. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal saking canggungnya.Reana menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. “Sial! Rex, kita harus benar-benar memecat Markonah sekarang!” geram Reana yang merasa terusik oleh kedatangan Marco. Rexy memakai kembali pakaiannya dengan cepat. Ia yakin, Marco sedang membutuhkan pendapatnya sebagai teman. Sesuatu yang b
“Kira-kira apa ya, kode masuknya?” Cassandra mencoba menekan nomer sesuai tanggal lahir Marco. Ia mendecak kesal saat mengetahui bahwa angka itu juga tidak disesuai. Kesempatan terakhir. “Hmm … mungkin nggak, sih, Om Marco pake tanggal lahirku?” tebaknya. “Udahlah, aku coba saja. Siapa tahu benar.”Sedikit keraguan, tapi Cassandra tetap memasukkan enam digit angka kelahirannya. Dan gadis itu bersorak kegirangan ketika warna hijau berkedip pada lampu indikatornya.Hati Cassandra berbunga-bunga. Tentu saja karena ia merasa pamannya tidak benar-benar ingin melupakannya. Lelaki itu memakai tanggal kelahirannya menjadi kode masuk apartemennya adalah sebuah bukti kalau ia selalu mengingatnya. Satu hal yang sekarang diyakininya, bahwa cinta yang dirasakannya saat ini tidak bertepuk sebelah tangan, seperti yang ada di pikirannya semula.Cassandra menatap sekeliling ruangan apartemen itu. Lumayan rapi jika diukur sebagai tempat tinggal
Marco mengangkat tubuh mungil gadisnya ke atas meja dapur. Dikebaskannya semua yang ada di atas meja dengan satu lengannya yang bebas. Lelaki itu memeluk tubuhnya dengan erat, sementara Cassandra melingkarkan sepasang kakinya ke pinggang pamannya. Marco seperti kesetanan. Hasratnya tak mampu lagi diredamnya. Kepalanya terasa sakit, tak mampu lagi menahan keinginannya untuk merasakan untuk yang kedua kalinya sorga dunianya. Batangnya mengeras dengan sempurna, membuat celana yang dipakainya terasa begitu sesak. Cassandra meraih gesper sabuknya. Ditariknya cepat sabuk yang melingkar di pinggangnya untuk membebaskan sesuatu yang tersembunyi di balik celana itu. Marco menghela napas. Ia berusaha kembali menguasai dirinya. Tapi Cassandra seakan tak ingin memberinya kesempatan untuk itu. Cassandra melingkarkan sabuk itu di lehernya dan menariknya hingga kembali mendekat dengannya. Dengan rakus ia mengecup Marco sementara kedua tangannya mul
“Maksud Kakak?” Marco menatap Irfan dengan rasa terkejut. Ia masih tak bisa mempercayai ucapan kakaknya. Belasan tahun lamanya, lelaki di hadapannya itu menyimpan sebuah rahasia besar yang tak pernah diketahuinya. Irfan mengibaskan tangannya. “Ah … sudahlah. Lupakan ucapanku barusan,” sahutnya, mengelak dari pertanyaan Marco. “Marco, bantu aku mencari dia. Cassandra harus segera kita temukan!” “Tapi Kak, kemana kita harus mencarinya?” Irfan mengarahkan jari telunjuknya ke kepalanya. “Pikirkan itu, seandainya kamu adalah dia … kemana kamu akan pergi?” Irfan menatap arloji di pergelangan tangannya. “Aku harus segera ke bandara. Aku tidak ingin ketinggalan pesawatku.” Dengan cuek, lelaki setengah baya itu pergi dari ruang kerja Marco. Ia tak peduli dengan berbagai pertanyaan yang masih memenuhi pikiran adik kandungnya itu. Marco mengantarkan kepergian kakaknya dengan tatapan matanya. Ia masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Mana mungkin Cassandra bukan putri Kak Irfan?”
Diremasnya kertas yang ada di dalam genggamannya dengan perasaan marah. “Berani sekali bocah itu mengajak Cassandra kabur dari rumah!” geramnya. Tanpa berpikir lebih lama, Marco setengah berlari keluar dari rumah itu. Kini ia tahu, kemana dia harus mencari keponakannya itu. ***“Kamu yakin?” tanya Fritz sekali lagi. “Iya. Dan sebaiknya kita pergi sekarang, sebelum pikiranku berubah.” Cassandra memasang kembali benda bulat itu dikepalanya. Dikencangkannya tas ransel di punggungnya.Fritz tersenyum penuh kemenangan. Bagaimana tidak, gadis yang disukainya menerima ajakannya untuk kawin lari! Ajakan yang sebenarnya berawal dari keisengannya saja. Lelaki itu menutup kaca helm teropongnya setelah melihat lembaran kertas di tangannya. Sebuah lembaran bertuliskan sebuah alamat yang diberikan oleh Cassandra beberapa saat lalu. Fritz memacu kuda besinya di atas jalanan beraspal. Baginya jarak ratusan kilometer bukan suatu masalah asal gadis yang disukainya membalas perasaannya. Sesekali l
Cassandra menatap perempuan yang muncul dari dalam rumah. Perempuan berusia paruh baya itu memicingkan matanya seolah tak dapat melihat dengan jelas siapa tamu yang datang. “Tante Mona?” tebak Cassandra langsung saat perempuan itu telah berdiri di hadapannya. Ia menatap foto di tangannya dan perempuan yang disapanya itu bergantian. “Iya. Aku Mona. Tapi … siapa kalian?” sahut Mona sembari menatap Cassandra dan Fritz secara bergantian. Cassandra menunjukkan foto yang dipegangnya. Sebuah foto yang memperlihatkan dua orang remaja wanita yang terlihat sangat akrab. Mona dan Marini, ibu kandung Cassandra.Mona meraih foto itu. Dipasangnya kacamata yang menggantung di lehernya, lalu diamatinya foto lamanya tersebut. “Benar ini aku dan ….” Mona menatap Cassandra dengan kening berkerut. “Apa kamu putrinya?” Cassandra menganggukkan kepalanya. Ditatapnya perempuan setengah baya itu dengan penuh harap. Sepasang matanya yang berkaca-kaca memperlihatkan keharuan di hatinya. Seperti melihat sos