Zissy menatap gadis dihadapannya tanpa berkedip. Ia sama sekali tak menduga akan bertemu dengan salah satu siswanya di apartemen calon suaminya. Ia sangat terkejut, apalagi saat ia melihat gadis itu memakai kemeja pria yang bisa ditebak dengan mudah siapa pemiliknya. Zissy merasakan sakit di dadanya. Ia merasa Marco telah mengkhianatinya. Marco telah mempermainkan perasaannya. Bukankah dia sudah berjanji untuk menikahinya. Cassandra tidak kalah terkejutnya. Ia tak mengira jika dosennya itu bakal berkunjung ke apartemen pamannya. Walau ia tahu itu bukan yang pertama kalinya, tapi ia tidak menduga bahwa ia akan muncul kali ini.“Kenapa kamu ada di sini? Dan … baju itu, kenapa kamu pakai bajunya?” teriak Zissy penuh amarah. “Apa yang sudah kalian berdua lakukan?” Mendengar keributan itu, Marco pun keluar dari kamarnya. Lelaki itu masih menggunakan kimononya dengan satu tangan memegang handuk untuk mengeringkan rambutnya. “Zissy? Kenapa kamu kemari?” tanya Marco yang juga terkejut. La
“Mona Salimar!” ucap Marco. Tangannya mengetuk sebuah foto yang tertera pada yearbook di hadapannya. Sederetan wajah dalam pasfoto berwarna hitam putih itu menjadi pusat perhatiannya saat ini. “Jadi … sekarang kamu mencurigai kakak kamu bukan ayah kandung Cassandra?” tanya Rexy. “Aku rasa yang diucapkannya saat itu hanya kalimat yang didasari oleh emosi sesaatnya.”“Aku masih tidak yakin,” ungkap Marco. “Biasanya sesuatu yang terucap dengan emosi, adalah sebuah kebenaran.”Rexy berdiri dari kursinya dan melangkah menuju jendela besar di belakang meja kerja Marco. “Sekarang coba kamu pikir. Bagaimana mungkin Irfan akan membesarkan Cassandra seandainya ia bukan putri kandungnya? Kenapa ia tidak mengirim gadis itu ke panti asuhan saja?”“Tapi faktanya, Irfan membesarkannya sendiri tanpa Marini, istrinya,” lanjut Rexy. “Terlepas dari kesibukannya, dia tetap memperhatikan gadis itu hingga ia beranjak dewasa.”Marco tetap mengetuk-ngetukkan penanya ke satu wajah di dalam buku itu. Ia terli
Membayangkan atap rumah pemukiman yang terlihat dari balkon kamar apartemennya, membuat Cassandra kesal. Bibirnya masih manyun saat Marco menyerahkan kunci rumah barunya itu. “Kita akan isi tempat itu dengan semua barang yang kamu butuhkan. Besok, kamu bisa memakai kartuku untuk berbelanja semua kebutuhanmu.” Cassandra diam saja. Ia menyilangkan kedua tangannya, bersedekap di dada. Ia merasa tak nyaman karena harus tinggal sendiri dan ini adalah pengalaman pertamanya. “Kenapa?” tanya Marco. Lelaki itu melihat perubahan air muka keponakannya. “Aku takut tinggal sendirian,” sahutnya pelan. “Walau aku terbiasa sendirian, tapi … setidaknya aku di rumahku sendiri.”“Sandra, bukankah aku sudah berjanji untuk datang kapanpun kamu memanggilku? Bahkan jarak antara apartemen kamu dan tempat tinggalku tidak terlalu jauh.” Cassandra menghela napas. Ia merasa tak bersemangat. Memang lokasi apartemennya hanya beda lantai dengan milik Marco. Dan karena alasan itulah Cassandra menyetujui untuk m
“Jadi … kali ini aku menang taruhan, kan?” Marco memamerkan senyum tipisnya. “Ah … curang! Om curangnya kebangetan!” seru gadis itu. “Ngapain juga pake pesen cola segede gaban! Mana ruangannya sedingin kutub pula.” “Eit … nggak bisa gitu. Namanya taruhan, segala cara boleh dipake, kok,” kelit Marco. “Kamu juga bisa pake cara apapun supaya aku keluar duluan dari tempat itu.” Marco tertawa terkekeh. Ditutupnya kembali pintu apartemennya setelah Cassandra masuk. “Jadi gimana? Kamu mau peluk Om semalaman?” godanya. Cassandra mencebikkan bibirnya. Gadis itu melangkah mendekati sofa yang menghadap ke jendela kaca besar apartemen itu. Dihempaskannya pantatnya ke atas dudukannya yang empuk. “Nggak ah, karena banyak kecurangan yang ditemukan. Maka taruhan tidak sah,” sahutnya dengan kesal. Marco tersenyum. Ia melangkah mendekati gadis itu dan duduk di sisinya. “Makasih ya.” Ucapan Marco berhasil membuat gadis itu berpaling dari jendela itu. “Terima kasih? Untuk apa?” tanyanya kebingu
“Siapa dia?” tanya Rexy. Lelaki itu duduk di kursi yang baru saja ditinggalkan oleh seorang lelaki yang baru saja ditemui oleh Marco. Marco menepiskan tangannya, seolah itu adalah suatu hal tak penting yang tak perlu dibicarakan mereka. Suara denting terdengar di gawainya. Cepat lelaki itu memeriksa pesan yang baru saja masuk. Dilihatnya sebuah notifikasi pembelanjaan dari salah satu kartunya. Ia tersenyum dan menutupnya kembali. “Kenapa? Kamu kelihatan aneh hari ini. Menemui seorang laki-laki misterius, tersenyum pada benda mati itu,” papar Rexy. “Seperti ada gangguan di otakmu.”“Apa salahnya jika aku bahagia?” sahut Marco dengan senyum mengejek. “Kamu nggak seharusnya bahagia jika tahu apa yang akan terjadi,” ucap Rexy. Lelaki itu menumpangkan satu kakinya ke atas kakinya yang lain. “Aku berhasil memindahkan keponakanku dari apartemenku. Aku membeli sebuah tempat tinggal yang nyaman untuknya.” Marco meraih cangkir kopinya dan menyesap minuman panas itu perlahan.“Tapi kamu tid
“Benar! Itu adalah keponakanku,” potong Marco yang langsung naik ke atas stage dimana acara berlangsung. Semua kamera sontak terarah kepadanya. Lelaki itu tersenyum, seolah tak ada sesuatu yang terjadi dan tanpa ragu ia duduk di sebuah kursi lain di samping Zissy. “Sangat mustahil bagi calon istriku jika tidak mengenal satu-satunya keponakanku, bukan?” ucap Marco dengan senyuman lebar. Raut wajah Zissy berubah tegang saat Marco menatapnya dengan senyuman menyeringai. Sebaliknya dengan host acara saat itu. Wanita itu tampak menyembunyikan rasa terkejutnya dalam senyumannya yang mengembang. “Wah … wah,” ucapnya dengan kedua tangan bertepuk. “Ini benar-benar spesial live streaming bagi semua penonton acara kita. Sebuah berita spesial yang secara langsung disampaikan oleh Marco Asmara sendiri.”“Tepuk tangan untuk Bapak Marco Asmara yang rela meluangkan waktunya untuk hadir di tempat ini,” lanjut sang host acara sembari mengangkat sepasang tangannya dan bertepuk tangan dengan gaya ang
Marco tersenyum melihat caption yang tertulis di bagian bawah foto itu. “Satu tempat kosong di sisiku.” Setelah semua foto-foto itu, Marco melihat sebuah pesan yang lumayan panjang di layarnya. Lelaki itu tertegun saat membaca baris demi baris kalimat yang tertera di layar ponselnya. “Apa Om benar mencintainya?”“Apa Om benar akan menikahinya?”“Apa hanya sekecil itu arti kehadiranku buat Om?” “Kenapa hatiku sesakit ini?” “Haruskah meresmikan hubungan kalian di depan publik?” “Baiklah, selamat bagi kalian berdua.” Marco mencoba melakukan panggilan telepon. Namun tak juga terdengar nada sambung. Pikirannya menjadi semakin kacau. Setelah semua yang dialaminya, ia takut terjadi sesuatu pada keponakannya itu.Lelaki itu mulai menyadari, tindakan yang dianggapnya terbaik, justru membuat luka di hati Cassandra. Gegas ia melajukan mobilnya, menembus keramaian lalu lintas. Tujuan yang ada di pikirannya hanya satu, Riverside Garden Apartemen, dengan sebuah harapan bahwa gadis itu berad
Marco mendekatkan wajahnya, merasakan hembusan napas hangat mengenai pipinya. Dirasakannya aroma manisnya vanila menguar dari leher gadisnya. Cassandra menatap manik gelap yang terlihat semakin dekat padanya. Dan kehangatan bibir lelaki itu pun terasa begitu nyata saat menyatu di bibirnya. Marco menyentuh kulit gadisnya yang lembut. Lelaki itu membiarkan hasratnya menuntun raganya, ia menikmati setiap debar perasaannya.Tentu saja ia tak dapat memungkiri bahwa ia juga merasakan hal yang dirasakan oleh Cassandra. Perasaan penuh ketika berjumpa, dan perasaan hampa ketika berjauhan. Perasaan yang baru kali ini dirasakannya. Bahkan ia merasa takut jika suatu saat gadis nanti itu akan kembali hilang dari pandangannya, karena ia tahu betapa tersiksanya dirinya saat tak mengetahui dengan pasti keberadaannya. Jiwanya seakan telah dikuasai oleh gadis itu.Tiba-tiba gadis itu menahan tangan Marco yang merambat di belahan pahanya. Tentu saja hal itu membuat Marco terkejut. Tidak biasanya Cass