Share

Bab 4

"Tidak," batinnya. "Aku tidak mau jadi monster yang bahkan memangsa keluargaku sendiri."

Marco melepaskan gagang knop pintu. Dia mengabaikan panggilan dari Cassandra dan berbalik menuju kamar mandi. Dipenuhinya bak mandi dengan air dingin dan tanpa berpikir panjang, ia pun berendam di dalamnya.

***

Pagi itu Cassandra telah siap untuk berangkat kuliah. Ia membuka pintu kamarnya. Sesaat ia mematung ketika kembali teringat pada kejadian semalam.

Ia teringat tentang bagaimana Marco memeluknya dan betapa panas suhu badan pamannya itu. Gadis itu menghela napas sambil menggelengkan kepalanya.

"Dia bukan Om Marco yang dulu. Sudahlah, dia tidak punya waktu melayani bocah seperti aku," batinnya. Dengan sedikit kesal, Cassandra menghentakkan sepatunya dan berlari turun dari lantai satu rumah tinggalnya.

"Pagi Non Sandra," sapa Bik Sum. "Sarapan dulu, Non. Bibik khusus bikin omelet sama daging teriyaki kesukaan Non."

Tanpa sebuah jawaban, Sandra menarik kursi dan duduk di depan meja makan. Tempat itu selalu sunyi seperti setiap harinya. Tidak ada seorangpun yang akan menemaninya sarapan seperti biasanya.

"Pagi Den Marco."

Sapaan Bik Sum sontak membuat Cassandra merasa seperti tersengat listrik. Ia terkejut mendengar nama itu disebutkan oleh sang asisten rumah tangga. Cepat-cepat gadis itu menoleh, mencari sosok yang disapa oleh Bik Sum.

"Pagi Bik," sapa Marco. Lelaki itu menarik kursi dan ikut duduk di depan meja makan, tepat di hadapan Cassandra.

Seperti dua orang yang tak saling mengenal, keduanya membisu. Hanya sesekali mereka saling melirik sambil menebak-nebak apa yang dipikirkannya.

"Cepat habiskan sarapanmu kalau tidak mau terlambat," ucap Marco mengawali percakapan di antara mereka.

Cassandra mengangkat wajahnya. Ia yang semula menunduk, menatap sendok dan garpunya dengan berbagai pertanyaan dalam benaknya, akhirnya memberanikan diri untuk menatap langsung wajah Marco.

"Memangnya kenapa?" tanya Cassandra.

"Aku buru-buru mau ke kantor papa kamu. Kalau kamu lama, sebaiknya kamu berangkat naik angkot," sahut Marco dingin.

Cassandra nyaris tersedak mendengar kalimat itu. Ia bahkan tidak bisa mengingat kapan terakhir kali ayahnya mengantarnya ke sekolah. Selama ini hanya Pak Rizal, supir keluarganya yang selalu mengantarkan kemanapun dia inginkan.

"Kalau buru-buru, Om pake mobil papa aja."

"Non, anu …. Pak Rizal lagi pulang kampung. Istrinya sakit parah," terang Bik Sum. "Jadi …."

"Ya udah, kita berangkat sekarang," sahut Sandra. Diletakkannya sendok dan garpunya ke atas meja.

"Tapi Non, Non Sandra belum makan sarapannya."

"Udah nggak selera Bik." Cassandra meraih ranselnya dan segera berlalu dari ruang makan keluarganya.

Marco mengangkat satu tangannya, memberikan perintah agar Bik Sum yang berniat mengejar Sandra, berhenti memaksa Cassandra menyelesaikan sarapannya. Ia tahu dengan pasti bahwa gadis itu sedang mengungkapkan kemarahannya padanya.

"Sudah, biarkan saja. Dia sudah dewasa, nanti kalau lapar juga dia akan makan, Bik," ucapnya menenangkan hati Bik Sum.

"Bibik cuma kasihan sama Non Sandra. Selama ini dia selalu kesepian. Bibik berharap semoga dengan kehadiran Den Marco, dia nggak kesepian lagi seperti dulu."

Marco tersenyum kecut. Seandainya saja Bik Sum tahu bahwa justru dia ingin sekali menghindari keponakannya itu. Seandainya saja Bik Sum tahu perasaannya terhadap Cassandra, tentu dia tidak akan mengharapkan kehadirannya lagi.

Sepanjang perjalan ke sekolah, Cassandra hanya diam. Ia hanya menatap jalanan tanpa mempedulikan Marco yang berada di sisinya. Sesekali ia menghela napas dengan berat.

"Kamu beneran nggak mau bicara sama Om?" tanya Marco membuka percakapan di antara mereka.

Cassandra diam, ia sama sekali tak ingin menjawab. Justru tangannya menekan tombol audio musik di mobilnya. Lalu kembali menatap ke luar jendela.

Marco mengecilkan volume suara musik yang keluar dari audio mobil itu. "Sandra, kalau kamu diam, Om nggak akan tahu apa masalahmu," tegur Marco.

Sandra menoleh, dengan bibir mengerucut, gadis itu kembali meraih tombol untuk mengeraskan musiknya. Tapi tangan Marco jauh lebih gesit. Lelaki itu berhasil menangkap dan menahan tangan Sandra.

Sandra segera menarik tangannya.

Marco merasa bahwa hal ini akan menjadi bom waktu baginya jika kesalahpahaman ini tidak segera diselesaikan. Ia melirik ke jam di dashboard mobil, masih ada waktu. Marco segera menepikan kendaraannya.

"Om seharusnya minta maaf! Kemarin Om pergi tanpa pamit, aku sudah maafkan tanpa Om minta. Lalu Om pulang marah-marah nggak jelas. Itupun sudah kumaafkan. Tapi kenapa Om begitu jahat," ucap Sandra, sepasang matanya mulai berkaca-kaca. "Aku cuma nggak ingin Om sakit! Om nggak bakal tahu gimana cemasnya aku semalaman! Aku nggak bisa tidur hanya gara-gara tak tahu bagaimana cara menolong Om!"

Marco menelan kasar salivanya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Sandra akan begitu cemas. Tapi tidak mungkin pula mengatakan bahwa ia takut akan menyakitinya di bawah pengaruh obat itu.

Ia juga tak mungkin menceritakan bahwa ia harus berendam semalaman di dalam bak berisi air dingin itu. Dan apa yang sudah dilakukannya semalam adalah satu-satunya cara yang tepat untuk menghindari hal yang tak diinginkan.

"Maaf! Om janji, hal itu nggak bakal terulang lagi," ucap Marco. Ia harus segera mengakhiri pertengkaran ini sebelum rumah tinggalnya saat ini berubah menjadi neraka.

"Tapi … bagaimana kalau hal seperti ini kembali terulang? Ah … mungkin sebaiknya aku mencari wanita di luar sana, bukan pulang seperti kemarin," batin Marco.

"Sungguh?" Cassandra menatapnya dengan penuh harap. "Om harus janji, Om akan biarkan Cassandra merawat Om saat Om sakit! Dan sebagai pasien, Om harus patuh."

“Iya. Baik Bu dokter,” sahut Marco kemudian.

Cassandra mengusap matanya. Kali ini seulas senyuman terlihat di sudut bibirnya. Ia telah memberikan sebuah jawaban atas permintaan maaf itu.

“Nah … gitu kan jauh lebih cantik,” puji Marco. “Senyum kamu itu jauh lebih manis jika dibandingkan dengan gula apalagi pemanis buatan.”

Mendengar kalimat pujian itu, hati Cassandra bagai terbang ke langit ketujuh. Dia kerap kali mendapatkan pujian cantik dari kawan seumurannya, tapi itu tak berarti baginya. Sama sekali berbeda dengan apa yang dirasakannya saat ini. Om Marco terlihat matang dan lebih menantang dibandingkan kawan sebayanya.

“Aku belum bilang kalau aku bisa memaafkan Om.” Ucapan Cassandra membuat kening Marco berkerut. Ditambah lagi dengan gerakan jari telunjuk Cassandra yang seolah memintanya untuk bergerak mendekat padanya. Permainan apa lagi yang hendak dibuat oleh gadis ini

“Sini, aku kasih tahu apa yang harus Om lakuin agar bisa mendapatkan maafku,” ucapnya.

Seperti dihipnotis, Marco mendekatkan wajahnya, seakan menunggu kalimat berisi sejumlah permintaan terlontar dari bibirnya yang basah dan merona itu.

Tapi Cassandra justru tidak mengatakan satu katapun. Gadis itu menatap sepasang manik hitam Marco dan mendekatkan wajahnya hingga hanya menyisakan jarak beberapa senti saja.

“Dengan ini, aku memaafkan Om Marco,” ucapnya.

Gadis itu semakin merapatkan wajahnya, menghapus jarak diantara mereka dengan sebuah ciuman.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status