Marco mengecup bibir Zissy dengan penuh hasrat. Tentu saja, perempuan itu menyambutnya dengan sepenuh hati. Penantian selama sepuluh tahun seakan terbayar lunas berkat obat yang diberikan oleh Reana. Zissy bisa melepaskan kerinduannya selama sepuluh tahun ini.
Dengan penuh hasrat, Marco mengecup perempuan di hadapannya. Badannya yang semakin memanas, membuatnya semakin tak sabar untuk melepaskan birahi yang sengaja di tekannya selama beberapa menit terakhir pada wanita yang dicintainya itu."Cassandra …."Marco semakin menggila. Hanyalah Cassandra yang saat ini berada di benaknya. Ia sama sekali tak menyadari bahwa semua itu hanya halusinasinya. Ia mulai mencecap setiap inchi tubuh perempuan di hadapannya, hingga meninggalkan noda kemerahan di kulit putihnya.Zissy mengerjapkan sepasang matanya. Perasaan gelisah mulai bergelayut di dalam pikirannya. Mungkin bagi Marco dia hanyalah perempuan yang lewat dan singgah sementara dalam hatinya. Tapi ia hanya bisa menahan perasaan cemburunya saat lagi-lagi nama gadis lain yang keluar dari bibir Marco.Marco adalah satu-satunya bagi Zissy. Dan itu justru membuatnya takut. Apa jadinya jika Marco meninggalkannya setelah semua yang mereka nikmati malam ini. Setelah dia memberikan miliknya yang paling berharga.Bukan lagi mengenai kapan dia akan mengakhiri masa lajangnya, bukan lagi mengenai kapan dia akan mengakhiri kesendiriannya. Lebih dari itu, dia berhak dicintai dan menjadi satu-satunya perempuan di hati lelakinya."Marco, apa kamu sayang aku?" tanya perempuan yang berada di bawah kungkungannya dengan manja. "Apa kamu akan menikahiku?""Cassandra, aku cinta kamu. Tapi kita tidak bisa –"Marco menghentikan gerakannya. Ia menarik kembali tangannya yang sedang asyik mempermainkan kedua gunung kembar perempuan cantik itu.Ia kembali tersadar. Mungkin ia bisa melakukan segala hal buruk dengan perempuan lain. Tapi tidak dengan Cassandra. Keponakannya itu tidak akan pernah disentuhnya walau tak ada perempuan lainpun di dunia ini. Ia tidak boleh menyakitinya."Tidak! Kita tidak bisa melakukan ini, Sandra!" teriaknya tiba-tiba.Mendengar teriakan itu, Zissy bangkit dari ranjangnya. "Cassandra? Sandra? Siapa dia?" tanyanya. "Aku Zissy, Marco. Ini aku, Zissy. Lihat aku–"Marco menepiskan tangan Zissy. Ia merapatkan kembali kemejanya dan dengan kesadaran yang tersisa, lelaki itu menyambar jaketnya."Marco! Tunggu," teriak Zissy. "Kamu tidak bisa meninggalkan aku begitu saja."Teriakan Zissy sama sekali tak mendapatkan respon dari Marco. Lelaki itu berlalu begitu saja meninggalkan kamar itu."Sialan! Mereka mengkhianatiku," geram Marco. Panas menjalar di tubuhnya. Ditambah lagi pemandangan yang sengaja disuguhkan oleh Zissy sebelumnya, mau tidak mau membuat darah pria normal seperti Marco bergolak. Semakin kuat ia melawan hasrat itu, panas semakin menjalar di pembuluh darahnya.Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengenali reaksi yang timbul. Marco segera tahu bahwa semua ini adalah ulah kawan-kawannya. Mereka pasti sedang berusaha menyatukannya kembali dengan mantan kekasihnya.Tubuhnya semakin memanas saat ia sampai di rumah. Ia segera turun dari kendaraan yang diparkirkan sekedarnya. Saat ini yang ada di dalam pikirannya hanya satu, mengurung diri di dalam kamarnya. Ia harus mengontrol dirinya agar tidak melukai keponakannya. Ia tidak ingin menghancurkan masa depan Cassandra hanya karena nafsunya."Om Marco!" teriak Cassandra.Gadis manis itu berlari-lari kecil menuruni tangga menyambut kedatangan Marco. Sepasang bukit kembarnya berayun-ayun tanpa bra pengamanan. Wajah ceria sang pemilik kulit putih itu menawarkan sebuah kehangatan dan kenyamanan yang diharapkan oleh Marco."Om Marco dari mana aja, sih? Kenapa nggak ajak-ajak? Sandra jadi makan malam sendirian tadi," berondong gadis bertubuh sintal itu sembari mencebikkan bibirnya dan memasang wajah sedihnya.Tapi bukannya jawaban yang diterimanya. Marco mengabaikannya, ia berlalu begitu saja dari hadapan Sandra. Sandra segera menyadari ada sesuatu yang tidak beres ketika melihat wajah Marco yang merah padam."Sesuatu sudah terjadi, tapi apa? Apa dia marah?" Pikiran buruk bergelayut di dalam batinnya. "Mungkin … dia sakit!"Sandra berlari kembali naik ke lantai atas, menyusul langkah-langkah kaki Marco yang menapaki anak tangga menuju kamarnya."Om, apa Om sakit?" cicitnya."Tidak, pergilah. Jangan ganggu aku.""Tapi muka Om merah banget. Om pasti sakit!""Aku baik-baik saja. Pergilah!" Usir Marco untuk yang kedua kalinya."Kalo Om baik-baik saja, kenapa Om seperti menghindariku?" Tak menyerah, Cassandra mendesak Marco untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."Sandra! Pergilah tidur! Sekarang!" teriak Marco.Sepasang mata gadis itu membulat. Wajahnya memucat. Teriakan itu membuat Sandra terkejut. Baru kali ini ia melihat kemarahan Marco. Sejak kecil, Marco selalu memanjakan Sandra, memperlakukannya dengan manis. Tapi sesaat barusan, Marco terlihat mengerikan di matanya."Om … tapi," ucap Sandra.Marco melihat wajah Sandra yang memucat. Ia mulai merasa menyesal. Tidak seharusnya ia membentaknya, seharusnya ia bisa menahan hasratnya. Sandra tidak bersalah, bagaimana bisa ia marah pada malaikat manis seperti dia.Marco mendekati gadis itu. Ia memeluknya dengan penuh penyesalan. "Maaf. Aku sedang tak ingin diganggu. Biarkan aku sendiri malam ini.""Om Marco demam," lirihnya saat tubuh mereka saling bersentuhan.Sang pemilik kulit eksotis itu justru tak dapat menahan gairahnya setelah kulitnya bersentuhan dengan kulit lembut nan lembab milik Cassandra. Bahkan kekenyalan yang baru saja dirasakan menempel di dadanya, semakin membuat kejantanannya berdiri tegak menantang.Marco menatap gadis itu seperti seekor singa lapar yang siap untuk memangsa calon korbannya.Dengan berani gadis itu menatapnya. Tanpa rasa ragu, sepasang manik matanya yang bening, bergerak ke kiri dan ke kanan dengan raut wajahnya yang polos, sementara telapak tangannya ditempelkannya ke kening Marco."Aku ambil paracetamol dulu. Om Marco berbaringlah di dalam," perintah gadis itu setelah merasa yakin suhu tubuh Marco benar-benar lebih panas dari yang seharusnya.Tapi belum jauh gadis itu melangkah, Marco berbalik dan masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak ingin melakukan kesalahan. Hasratnya tidak boleh mencelakai gadis lugu itu.Suara debam pintu yang tertutup, membuat Cassandra terkejut dan berbalik kembali mendekati pintu. Gadis itu menjadi panik. Cepat-cepat ia masuk ke dalam kamarnya yang berada tepat di hadapan kamar Marco. Dicarinya obat penurun panas di laci tempat ia biasa menyimpan obat-obatannya."Ketemu!"Setengah bersorak, ia mengambil sebotol kapsul parasetamol dari dalam lacinya dan bergegas menuju kamar Marco. Ia memutar knop pintu kamar Marco. Tapi tidak seperti biasanya, kamar itu tertutup rapat, bahkan terkunci!"Om! Bukain pintunya. Sandra bawa obat demam buat Om!" Teriaknya dari luar kamar.Marco berusaha mati-matian menahan hasratnya. Keringat bercucuran di keningnya. Selama ini ia belum pernah merasa tersiksa karena hasratnya. Ia selalu dengan mudahnya melampiaskan pada gadis-gadis yang mendekatinya.Tapi itu terjadi sebelum ia menginjakkan kakinya ke tanah Papua. Hasratnya yang mati, seakan hidup kembali semenjak kedatangannya di rumah ini. Dan semua itu karena seorang gadis yang berdiri tepat di balik pintu kamarnya sekarang.Marco melangkah mendekat ke arah pintu. Hanya dalam beberapa langkah saja, dia tak perlu lagi bersusah payah menahan hasrat yang sejak tadi. Ia tak perlu menahan rasa sakit di kepalanya karena harus melawan nafsu birahinya saat ini."Cassandra tidak mungkin akan menolakku. Bukankah hal ini sebenarnya yang diinginkannya? Bermain kuda-kudaan lalu tidur denganku," batin Marco.Kepalanya semakin berdenyut ketika tangan kanannya berhasil meraih kenop pintu dan mulai memutarnya..Sepasang insan itu menikmati kebersamaan mereka. Tak ada lagi kecemasan dalam pikiran mereka. Semua keraguan dan kecemasan yang beberapa hari terakhir dirasakannya, menghilang dalam sekejap. Keduanya seakan berlomba untuk saling memuaskan satu sama lain dalam degup irama jantung yang sama kencangnya.“Om,” desah suara itu memanggil kekasihnya. Marco menghentikan hentakannya. Ia menatap wajah lelah istrinya yang telah dipacunya beberapa menit berlalu. Dikecupnya bibir merahnya dengan senyuman mengembang. “Sampai kapan kamu akan memanggilku seperti itu?” godanya. “Apa kamu ingin semua orang menganggapmu sugarbaby ku?” Cassandra menarik sudut bibirnya, memberikan seulas senyuman manjanya. “Suamiku. Atau sayangku. Mana yang lebih baik menurutmu?” Marco memautkan jari jemari ke tangan istrinya. Sepasang matanya seakan tersenyum lembut bersama dengan bibirnya.“Keduanya terdengar sexy, asal keluar dari bibirmu,” bisiknya. Lelaki itu kembali mencumbu istrinya, menyerangnya dengan gelit
Marco terkesiap saat melihat Cassandra di depan pintu. Ia tidak menduga Cassandra harus terlibat dalam masalah ini. Seharusnya semua rencananya berhasil, jika saja Dave tidak dengan sengaja membawa istrinya ke tempat itu. Ia bahkan dapat melihat senyum lelaki itu saat mengikuti langkah Cassandra masuk ke dalam kamarnya. Namun Marco tidak ingin semua rencananya berantakan. Ia segera menutup pintu sesaat setelah Dave masuk. Dan pertunjukan utama pun dimulai. Cassandra melihat seorang gadis, kedua tangannya terikat menjadi satu dan Rexy sedang berdiri tepat di hadapannya. “Om Rexy? Dan kamu … bukankah kamu Shereen? Apa yang kalian bertiga lakukan di kamar ini?” Tentu saja Cassandra kebingungan melihat keberadaan mereka di tempat itu. Semua pikiran buruk tentang perselingkuhan suaminya, langsung dimentahkan karena kehadiran Rexy. “Tidak, bukan seperti itu pertanyaannya, Sandra,” sahut Rexy. “Seharusnya kamu minta Dave menjelaskan semuanya. Bagaimana ia tahu Marco ada di hotel ini
“Ngapain kamu bawa aku kemari?” Cassandra menatap curiga lelaki di sampingnya. Ia mulai gelisah. Perasaannya makin tak tenang saat lelaki itu memutar kemudinya memasuki lobi hotel berbintang empat itu. “Seperti yang aku katakan. Aku punya janji minum dengan Indra, interior desainer yang aku ceritakan tadi,” sahut Dave dengan tenangnya. Cassandra menatap lelaki itu dengan sudut matanya. Ia terus memperhatikan gerak-gerik lelaki yang dikenal dengan sifat buruknya – pemain wanita.Dave tersenyum tipis saat mengetahui Cassandra menatapnya penuh kecurigaan. “Apa?” tanyanya sembari tertawa terkekeh. “Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kamu mulai menyadari bahwa teman kamu yang satu ini terlihat tampan?” Cassandra mengalihkan perhatiannya. “Iya, sebenarnya kamu cukup tampan. Tapi –” “Tapi? Tapi apa?”“Kenapa kamu sampai sekarang belum juga menikah?” ungkap Cassandra karena tak tahan lagi dengan sikap lelaki itu. Lelaki itu tersenyum lebar. “Karena aku sedang menunggu seseorang. Se
“Aku akan segera pulang setelah melakukan survey lokasi.” Marco mengatakan dengan jelas alasan kepergiannya kepada istrinya. “Hanya satu malam, Sayang.” “Tapi ….” Cassandra mendecak kesal. “Aku benci tidur sendirian, Om.”“Aku janji, seandainya nanti semuanya selesai tidak terlalu larut, aku akan langsung kembali,” sahut Marco. Cassandra mengerucutkan bibirnya. Seandainya saja Marco mengajaknya, ia pasti mau ikut bersamanya. Tapi ia malu untuk terlihat posesif terhadap suaminya. “Baiklah. Kabari aku setelah kamu sampai di tujuan,” pinta Cassandra. Marco menganggukkan kepalanya, tanda menyetujui permintaan istrinya. “Tentu saja,” ucapnya. Ditatapnya wajah manis perempuan yang ada di dalam pelukannya. Rasa hangat pelukan Marco, membuat perasaan gelisah di hati Cassandra memudar. Hatinya seharian ini memang merasa tak tenang, seperti merasakan sebuah firasat buruk tentang suaminya. Namun ia tak bisa menemukan sesuatu yang tak seharusnya. Bahkan dia percaya suaminya tak akan pernah
Shereen mengunci pintu ruang kerja Marco. Dengan liar kedua tangannya mengunci ciumannya dari belakang tengkuk Marco. Perempuan itu memeluk Marco dan melumat bibir lelaki itu dengan penuh hasrat.“Hentikan Shereen,” lirih lelaki itu. Marco meraih pinggang ramping gadis itu dan menyentakkannya agar ia melepaskan pelukannya.Tak bisa disangkal, sebagai seorang pria normal tentu saja penampilan dan sentuhan sensual gadis itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Marco seakan dibawa ke sebuah petualangan baru yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. “Bukankah ini menyenangkan?” bujuk gadis itu. “Hentikan semua omong kosong ini. Aku sudah punya–”“Istri? Aku tidak menyuruhmu menikahiku,” sambung Shereen yang tak mau mendengar sebuah penolakan. “Aku cuma ingin seseorang ada di sisiku ketika aku kesepian. Ada seseorang yang peduli padaku saat aku kesakitan.”“Keluarlah.” Marco menyingkirkan sepasang tangan yang masih enggan lepas dari lehernya itu. “Keluarlah sebelum aku memanggil sek
Cassandra berjalan selangkah demi selangkah mendekati Marco. Sepasang matanya menatap laki-laki itu dengan tatapan dinginnya. Tatapan dingin yang membuat jantung Marco seakan hampir berhenti berdetak. “Mati aku! Apa dia tahu sesuatu? Sepertinya Shereen tidak main-main dengan ancamannya.”Dengan kedua tangannya, Cassandra mendorong tubuh Marco, hingga membuat tubuh lelaki yang tidak siap menghadapinya itu limbung dan jatuh terjengkang. Marco menelan kasar salivanya. Panik! Itu yang saat ini dirasakannya. Apalagi saat melihat Cassandra yang seakan tak mau melepaskannya. Namun tiba-tiba ia merasakan sentuhan lembut di bagian tengah tubuhnya. Bagian yang masih berdiri menantang itu, kini berada dalam genggaman tangan Cassandra. Sentuhannya bahkan membuat jagoan Marco itu semakin mengeras. “Tadi … kamu kenapa?” tanya Marco ragu, “apa ada yang salah?”Cassandra menggelengkan kepalanya. “Aku cuma nggak nyaman aja, ruangannya terlalu sempit dan … keras.” Marco menghela napas lega. Ia ta