Share

Bab 3

Marco mengecup bibir Zissy dengan penuh hasrat. Tentu saja, perempuan itu menyambutnya dengan sepenuh hati. Penantian selama sepuluh tahun seakan terbayar lunas berkat obat yang diberikan oleh Reana. Zissy bisa melepaskan kerinduannya selama sepuluh tahun ini.

Dengan penuh hasrat, Marco mengecup perempuan di hadapannya. Badannya yang semakin memanas, membuatnya semakin tak sabar untuk melepaskan birahi yang sengaja di tekannya selama beberapa menit terakhir pada wanita yang dicintainya itu.

"Cassandra …."

Marco semakin menggila. Hanyalah Cassandra yang saat ini berada di benaknya. Ia sama sekali tak menyadari bahwa semua itu hanya halusinasinya. Ia mulai mencecap setiap inchi tubuh perempuan di hadapannya, hingga meninggalkan noda kemerahan di kulit putihnya.

Zissy mengerjapkan sepasang matanya. Perasaan gelisah mulai bergelayut di dalam pikirannya. Mungkin bagi Marco dia hanyalah perempuan yang lewat dan singgah sementara dalam hatinya. Tapi ia hanya bisa menahan perasaan cemburunya saat lagi-lagi nama gadis lain yang keluar dari bibir Marco.

Marco adalah satu-satunya bagi Zissy. Dan itu justru membuatnya takut. Apa jadinya jika Marco meninggalkannya setelah semua yang mereka nikmati malam ini. Setelah dia memberikan miliknya yang paling berharga.

Bukan lagi mengenai kapan dia akan mengakhiri masa lajangnya, bukan lagi mengenai kapan dia akan mengakhiri kesendiriannya. Lebih dari itu, dia berhak dicintai dan menjadi satu-satunya perempuan di hati lelakinya.

"Marco, apa kamu sayang aku?" tanya perempuan yang berada di bawah kungkungannya dengan manja. "Apa kamu akan menikahiku?"

"Cassandra, aku cinta kamu. Tapi kita tidak bisa –"

Marco menghentikan gerakannya. Ia menarik kembali tangannya yang sedang asyik mempermainkan kedua gunung kembar perempuan cantik itu.

Ia kembali tersadar. Mungkin ia bisa melakukan segala hal buruk dengan perempuan lain. Tapi tidak dengan Cassandra. Keponakannya itu tidak akan pernah disentuhnya walau tak ada perempuan lainpun di dunia ini. Ia tidak boleh menyakitinya.

"Tidak! Kita tidak bisa melakukan ini, Sandra!" teriaknya tiba-tiba.

Mendengar teriakan itu, Zissy bangkit dari ranjangnya. "Cassandra? Sandra? Siapa dia?" tanyanya. "Aku Zissy, Marco. Ini aku, Zissy. Lihat aku–"

Marco menepiskan tangan Zissy. Ia merapatkan kembali kemejanya dan dengan kesadaran yang tersisa, lelaki itu menyambar jaketnya.

"Marco! Tunggu," teriak Zissy. "Kamu tidak bisa meninggalkan aku begitu saja."

Teriakan Zissy sama sekali tak mendapatkan respon dari Marco. Lelaki itu berlalu begitu saja meninggalkan kamar itu.

"Sialan! Mereka mengkhianatiku," geram Marco. Panas menjalar di tubuhnya. Ditambah lagi pemandangan yang sengaja disuguhkan oleh Zissy sebelumnya, mau tidak mau membuat darah pria normal seperti Marco bergolak. Semakin kuat ia melawan hasrat itu, panas semakin menjalar di pembuluh darahnya.

Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengenali reaksi yang timbul. Marco segera tahu bahwa semua ini adalah ulah kawan-kawannya. Mereka pasti sedang berusaha menyatukannya kembali dengan mantan kekasihnya.

Tubuhnya semakin memanas saat ia sampai di rumah. Ia segera turun dari kendaraan yang diparkirkan sekedarnya. Saat ini yang ada di dalam pikirannya hanya satu, mengurung diri di dalam kamarnya. Ia harus mengontrol dirinya agar tidak melukai keponakannya. Ia tidak ingin menghancurkan masa depan Cassandra hanya karena nafsunya.

"Om Marco!" teriak Cassandra.

Gadis manis itu berlari-lari kecil menuruni tangga menyambut kedatangan Marco. Sepasang bukit kembarnya berayun-ayun tanpa bra pengamanan. Wajah ceria sang pemilik kulit putih itu menawarkan sebuah kehangatan dan kenyamanan yang diharapkan oleh Marco.

"Om Marco dari mana aja, sih? Kenapa nggak ajak-ajak? Sandra jadi makan malam sendirian tadi," berondong gadis bertubuh sintal itu sembari mencebikkan bibirnya dan memasang wajah sedihnya.

Tapi bukannya jawaban yang diterimanya. Marco mengabaikannya, ia berlalu begitu saja dari hadapan Sandra. Sandra segera menyadari ada sesuatu yang tidak beres ketika melihat wajah Marco yang merah padam.

"Sesuatu sudah terjadi, tapi apa? Apa dia marah?" Pikiran buruk bergelayut di dalam batinnya. "Mungkin … dia sakit!"

Sandra berlari kembali naik ke lantai atas, menyusul langkah-langkah kaki Marco yang menapaki anak tangga menuju kamarnya.

"Om, apa Om sakit?" cicitnya.

"Tidak, pergilah. Jangan ganggu aku."

"Tapi muka Om merah banget. Om pasti sakit!"

"Aku baik-baik saja. Pergilah!" Usir Marco untuk yang kedua kalinya.

"Kalo Om baik-baik saja, kenapa Om seperti menghindariku?" Tak menyerah, Cassandra mendesak Marco untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

"Sandra! Pergilah tidur! Sekarang!" teriak Marco.

Sepasang mata gadis itu membulat. Wajahnya memucat. Teriakan itu membuat Sandra terkejut. Baru kali ini ia melihat kemarahan Marco. Sejak kecil, Marco selalu memanjakan Sandra, memperlakukannya dengan manis. Tapi sesaat barusan, Marco terlihat mengerikan di matanya.

"Om … tapi," ucap Sandra.

Marco melihat wajah Sandra yang memucat. Ia mulai merasa menyesal. Tidak seharusnya ia membentaknya, seharusnya ia bisa menahan hasratnya. Sandra tidak bersalah, bagaimana bisa ia marah pada malaikat manis seperti dia.

Marco mendekati gadis itu. Ia memeluknya dengan penuh penyesalan. "Maaf. Aku sedang tak ingin diganggu. Biarkan aku sendiri malam ini."

"Om Marco demam," lirihnya saat tubuh mereka saling bersentuhan.

Sang pemilik kulit eksotis itu justru tak dapat menahan gairahnya setelah kulitnya bersentuhan dengan kulit lembut nan lembab milik Cassandra. Bahkan kekenyalan yang baru saja dirasakan menempel di dadanya, semakin membuat kejantanannya berdiri tegak menantang.

Marco menatap gadis itu seperti seekor singa lapar yang siap untuk memangsa calon korbannya.

Dengan berani gadis itu menatapnya. Tanpa rasa ragu, sepasang manik matanya yang bening, bergerak ke kiri dan ke kanan dengan raut wajahnya yang polos, sementara telapak tangannya ditempelkannya ke kening Marco.

"Aku ambil paracetamol dulu. Om Marco berbaringlah di dalam," perintah gadis itu setelah merasa yakin suhu tubuh Marco benar-benar lebih panas dari yang seharusnya.

Tapi belum jauh gadis itu melangkah, Marco berbalik dan masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak ingin melakukan kesalahan. Hasratnya tidak boleh mencelakai gadis lugu itu.

Suara debam pintu yang tertutup, membuat Cassandra terkejut dan berbalik kembali mendekati pintu. Gadis itu menjadi panik. Cepat-cepat ia masuk ke dalam kamarnya yang berada tepat di hadapan kamar Marco. Dicarinya obat penurun panas di laci tempat ia biasa menyimpan obat-obatannya.

"Ketemu!"

Setengah bersorak, ia mengambil sebotol kapsul parasetamol dari dalam lacinya dan bergegas menuju kamar Marco. Ia memutar knop pintu kamar Marco. Tapi tidak seperti biasanya, kamar itu tertutup rapat, bahkan terkunci!

"Om! Bukain pintunya. Sandra bawa obat demam buat Om!" Teriaknya dari luar kamar.

Marco berusaha mati-matian menahan hasratnya. Keringat bercucuran di keningnya. Selama ini ia belum pernah merasa tersiksa karena hasratnya. Ia selalu dengan mudahnya melampiaskan pada gadis-gadis yang mendekatinya.

Tapi itu terjadi sebelum ia menginjakkan kakinya ke tanah Papua. Hasratnya yang mati, seakan hidup kembali semenjak kedatangannya di rumah ini. Dan semua itu karena seorang gadis yang berdiri tepat di balik pintu kamarnya sekarang.

Marco melangkah mendekat ke arah pintu. Hanya dalam beberapa langkah saja, dia tak perlu lagi bersusah payah menahan hasrat yang sejak tadi. Ia tak perlu menahan rasa sakit di kepalanya karena harus melawan nafsu birahinya saat ini.

"Cassandra tidak mungkin akan menolakku. Bukankah hal ini sebenarnya yang diinginkannya? Bermain kuda-kudaan lalu tidur denganku," batin Marco.

Kepalanya semakin berdenyut ketika tangan kanannya berhasil meraih kenop pintu dan mulai memutarnya..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status