Share

Bab 5

Ciuman itu mendarat di bibir Marco. Walau hanya beberapa detik saja, serangan mendadak itu mampu membuat jantung Marco berdetak dengan kencang. Pembuluh darahnya seakan terpompa dengan cepat menghantam katup-katup jantungnya.

Sebuah perasaan yang selama ini belum pernah dirasakannya sepanjang hidupnya, dengan perempuan lain yang pernah disentuhnya. Cassandra benar-benar sudah berhasil mempermainkan hatinya.

Marco terpaku. Sepasang matanya menatap Cassandra tak berkedip. Waktu seakan berhenti baginya. Wajah merona gadis di hadapannya terlihat begitu menggodanya.

Cassandra merasa kikuk setelah berhasil dengan serangannya. Apalagi tatapan mata Marco, membuatnya semakin merasa malu. Wajahnya terasa memanas, seolah aliran darahnya menjadi sangat lancar.

"Sandra, kamu nggak boleh melakukan hal seperti itu," ucap Marco setelah kesadarannya pulih. "Apalagi dengan sembarang pria. Kamu –"

Sekali lagi Cassandra mendaratkan ciumannya, membungkam kalimat bernada tinggi yang hendak diluncurkan Marco kepadanya.

Jantung Marco berdegup semakin kencang ketika sensasi lembut dan kenyal itu kembali mendarat di bibirnya. Dan celakanya, saat ini ia tak dapat mengontrol hasratnya. Lelaki itu tak lagi peduli dengan status kekerabatan mereka, ia justru membalas kecupan itu dengan penuh hasrat.

“Ah!” teriak Marco. Lelaki itu melepaskan pelukannya. Ia menatap keponakannya dengan kesal.

“Kenapa?” tanyanya. “Bukankah itu yang kamu mau? Kenapa malah menggigitku?”

Lelaki itu menyambar lembaran tisu yang berada di atas dashboardnya. Ia menyeka darah yang keluar dari bibirnya.

“Terpaksa,” sahut Cassandra dengan perasaan bersalah. “Habisnya … kalo Om nggak berhenti, aku bakalan benar-benar terlambat untuk mata pelajaran pertamaku.”

Marco menggelengkan kepalanya. Ia merasa bahwa ini adalah sebuah peringatan baginya. Sebuah peringatan bahwa ia tidak boleh membiarkan perasaannya berkembang.

Dalam waktu singkat, Cassandra pun tiba di tempat kuliahnya. Pagi yang semula suram, kini berubah menjadi begitu cerah. Bahkan semua orang terlihat begitu ramah di matanya. Mulai dari Pak Samsul, sang penjaga gerbang sampai Pak Manurung, si dosen killer yang berpapasan dengannya.

“Selamat pagi, Pak!” sapa Cassandra dengan senyum sumringah di wajahnya.

“Selamat pagi,” balasnya dengan satu tangan memegang buku cetaknya tebal. “Jam berapa ini? Kenapa kamu belum masuk kelas?”

Melihat buku itu terangkat ke udara seolah mengancam nyawanya, Cassandra pun melarikan diri. Ia tertawa terkekeh sambil berlari melalui lorong yang mulai sepi.

Bukan hanya itu, saat pelajaran berlangsung pun, ia masih tak bisa melupakan momen kebersamaannya pagi itu. Ia masih dapat merasakan kehangatan bibir Om Marco di bibirnya. Ia masih dapat merasakan ketika lidah lelaki itu menjelajahi rongga mulutnya.

"Cassandra, coba jelaskan inti dari wacana yang sedang kita bahas hari ini!" Bu Zissy seperti menyadari bahwa gadis itu hanya hadir secara fisik, seperti cangkang tanpa isi. Pikirannya terbang melayang tanpa arah.

Mendengar namanya disebut, Cassandra tiba-tiba saja berdiri dari kursinya. Wajahnya terlihat tegang dalam seketika. Ia menatap sekelilingnya, tentu saja untuk mencari pertolongan dari kawan-kawannya. Yang dibutuhkannya saat ini adalah jawaban atas pertanyaan guru bahasanya itu.

Akan tetapi tak ada satupun di antara mereka yang membantunya. Sepertinya jawaban atas pertanyaan ini memang tidak mudah. Hanya Hanny, sahabatnya yang memberikan kode, ia mengarahkan jarinya ke atas lembaran kertas yang dibagikan di awal pelajaran tadi.

"Apa yang Farhan dan Risa rasakan dalam wacana itu? Konflik apa yang diangkat oleh sang penulis? Bukankah semuanya sudah dijabarkan dengan jelas dalam narasinya?" desak Bu Zissy, wanita berusia tiga puluhan itu melangkah menghampirinya.

"Farhan marah pada Risa karena ia tidak mau kehilangan Risa. Ia tidak mau mengakui perasaan yang dipendamnya selama bertahun-tahun karena takut kehilangan, demikian pula sebaliknya."

"Benar. Semua perasaan dinarasikan dengan jelas melalui permainan diksi penulis, bukan?" timpal Bu Zissy. Dosen cantik itu merasa senang karena Cassandra bisa menjawab pertanyaannya dengan baik.

"Tidak, Bu."

Sahutan Cassandra, sontak membuat Bu Zissy mengerutkan dahinya. "Jelaskan alasanmu."

"Penulis mengekspresikan tulisannya dengan cara bertele-tele. Pada kenyataannya, kenapa Farhan tidak langsung mengatakannya saja kalau memang dia mencintai Risa, demikian pula sebaliknya. Saya rasa dengan plot seperti ini, pembaca dibuat bosan dengan kisah yang berputar di tempat yang sama.

Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat. Jika tidak dengan kalimat, Farhan bisa melakukannya dengan perbuatan. Jika tidak keduanya, maka bisa disimpulkan bahwa Farhan tidak mencintai Risa."

Mendengar jawaban Cassandra, wajah Bu Zissy langsung memerah.

"Baik, kalau begitu kalian semua silahkan membuat sebuah cerita pendek sebanyak tiga lembar kertas. Ibu mau lihat, seberapa pandai kalian merangkai diksi dan bernarasi dengan plot yang kalian atur sendiri."

"Huuu!" Teriakan seisi ruang kelas terdengar.

Cassandra duduk kembali di kursinya. Ia mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan kelas. Dari suara gaduh yang terdengar, sangat mudah baginya untuk menyimpulkan jika kawan-kawannya sedang mempersalahkannya atas tugas itu.

"Njir, rese amat sih, ngatain tulisan Bu Zissy bertele-tele! Kita-kita juga kan yang jadi rempong dapat tugas nggak jelas macem gini," keluh seorang siswa tepat saat sang dosen sudah meninggalkan kelas.

Mendengar kalimat itu, Cassandra pun terkejut. "I–itu … wacana itu buatan Bu Zissy, Han? Kamu yakin itu buatan dia?"

"Ah … makanya, kamu itu kalau baca yang lengkap! Budayakan membaca! Tuh ada nama dia juga tercantum di bagian penulis." Hanny menunjuk sebuah nama yang tercetak lebih kecil tepat di bawah judul wacana.

"Astaga! Dia pasti marah sama aku sekarang."

Hanny mengedikkan pundaknya. "Nggak ada cara lain. Kamu mesti minta maaf sama dia. Datangin rumahnya, daripada nilai-nilai kamu jeblok nantinya."

"Ah! Ngeselin amat sih!"

Peristiwa itu spontan membuat mood Cassandra kembali buruk. Bagaimana ia harus meminta maaf pada Bu Zissy, sementara ia bahkan tak merasa bersalah. Semua yang dikatakannya itu benar. Kisah itu terlalu mengada-ngada bagi Cassandra.

Hanya ada satu cara agar ibu dosen itu mau memaafkannya, atau setidaknya mempertimbangkan supaya tidak memberikan nilai buruk, yaitu membawa ayahnya ke dalam kasus ini. Tapi kali ini ia tak bisa memanfaatkan ayahnya karena dia sedang pergi jauh.

"Om Marco!" panggil Cassandra. Gadis itu mengetuk pintu kamar pamannya dengan tak sabar.

Tak lama kemudian, Marco keluar dari kamarnya. Ia menatap heran keponakannya yang berwajah kusut. Ia dapat menebak bahwa sesuatu telah terjadi.

"Kenapa? Apa kamu abis bertengkar dengan temanmu? Ada yang sakit?" Cecar Marco. "Katakan siapa yang berani melakukan semua ini?"

Wajah ceria yang biasanya sama sekali tak terlihat, hanya wajah suram dengan bibir manyun yang ada di hadapannya.

"Dosenku marah sama aku, Om. Cuman gara-gara aku terlalu jujur menjawab pertanyaannya," lapor Cassandra.

"Jujur?" Ulang Marco karena tak percaya. "Guru mana yang tidak suka muridnya jujur. Sepertinya aku perlu menemuinya!"

"Jadi … Om Marco mau temanin aku ketemu sama dosenku itu? Terus terang, aku takut nilaiku bakal dibuat jeblok hanya karena masalah ini."

"Ya! Aku rasa aku harus memberinya pelajaran tentang bagaimana cara menjadi guru yang baik!"

Cassandra tersenyum senang. "Syukurin! Bu Zissy, tamat riwayatmu! Om Marco bakal kasih kamu pelajaran! Gila aja kasih tugas bikin karangan sebanyak itu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status