“Kenapa? Apa kakimu sakit lagi?” tanya Marco dengan wajah cemasnya. Gadis itu menarik sudut bibirnya sambil menggelengkan kepalanya. Jantung Marco yang seakan mau copot, tiba-tiba terasa lega. “Sepertinya kamu memang perlu dihukum,” bisiknya di telinga gadis itu. “Aku tidak akan mengampunimu, bocah nakal.” Sepasang tangan besar itu pun menggelitik di pinggang Cassandra, membuat gadis itu tertawa sambil menggeliat layaknya cacing kepanasan. Tapi Marco seakan tak ingin berhenti menggelitik. Ia terus menggelitik tanpa mengindahkan keponakannya yang berteriak minta ampun. Tak kehilangan akal, Cassandra melingkarkan kedua tangannya, memeluk leher Marco. Namun karena Marco tetap menggelitik, Cassandra menyerangnya dengan sebuah kecupan. Dan ia berhasil, perhatian Marco teralihkan. Keduanya kembali saling memagut dengan penuh hasrat. Sementara tangan-tangan mereka sibuk membuka pakaian pasangannya, seakan berlomba adu cepat, untuk menikmati sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Marco
“Tolong jangan katakan kalau kakakku adalah pelakunya,” potong Marco. Ia mendadak gugup. Jantungnya berdebar karena tak sanggup menghadapi kenyataan seandainya saja Irfan benar-benar ayah biologis kekasihnya. Suara tawa terdengar dari dalam ponselnya, seolah lelaki itu sedang menikmati rasa penasaran dari orang yang membayar jasanya. “Tidak … tidak. Pada kenyataannya kasus ini tidak pernah tersebar ataupun diberitakan. Semua saksi bungkam karena ayah Marini menginginkannya.”“Mustahil!”“Itu hal biasa yang dilakukan oleh orang-orang kaya pada umumnya. Mereka tidak mau reputasinya hancur hanya karena kesalahan yang dibuat oleh anaknya.” Marco merasa kesal. Lagi-lagi ia tak mendapat informasi yang cukup berarti. Semua penyelidikannya seperti berjalan di tempat. “Menurut kesimpulanmu, apa yang sebenarnya terjadi pada mereka berempat?” tanya Marco saking frustasinya. “Bisa saja setelah semua kejadian itu, Marini mengakui jika ayah dari putrinya adalah Irfan. Sehingga ayahnya memutus
Buk!Kepalan tangan Irfan mendarat begitu saja di wajah Marco. Wajah lelaki lima puluhan itu memerah karena emosinya. “Dasar keparat!” teriak Irfan. Ia mendekati Marco dan kembali menyarangkan tinjunya ke wajahnya. Marco bergeming di tempatnya. Ia sama sekali tak memberikan perlawanan. Ia merasa bagaimanapun juga ini adalah kesalahannya dan dia pantas menerima hukuman itu. “Cassandra … anakku,” ucapnya dengan suara gemetar. “Aku sudah membesarkan dan menjaganya baik. Dan karena kelalaianmu, dia harus menderita seperti ini.” Marco mengeraskan rahangnya. “Maaf.” Hanya kata itu yang terucap dari bibirnya. Ia terduduk dengan lesu di ruang tunggu. Tak dihiraukannya semua ucapan kakaknya. Yang ada dalam pikirannya hanyalah keadaan gadis itu. Ia hanya dapat menunggu kabar dari dokter yang belum juga selesai memeriksanya. “Marco, jawab aku. Apa sebenarnya yang membuat dia bertindak ceroboh seperti itu?” cecar Irfan. “Ada seseorang yang berusaha menyingkirkan dia,” sahut Marco. Ia menga
Marco menatap wajah pucat yang terbaring lemah di dekatnya. Digenggamnya tangan gadis yang seolah lelap dalam tidurnya itu. Kepalanya yang terbalut perban dan selang infus yang menempel di pergelangan tangannya, membuat kondisi Cassandra semakin dramatis. Semenjak peristiwa itu, Marco sama sekali tak beranjak dari ruangan itu. Lelaki itu merasa bertanggung jawab atas semua yang dialami oleh Cassandra. Ia merasa bersalah dan juga tak tega untuk meninggalkannya bahkan untuk sekejap saja. Tak ada lagi wajah ceria nan manja yang memanggilnya Om. Tak terdengar lagi suaranya yang merdu merayu saat meminta sesuatu. Marco menundukkan kepalanya. Matanya terasa berat karena tak dapat dipejamkan beberapa hari terakhir. Dengan tangan masih menggenggam erat gadisnya, ia pun berusaha memejamkan mata. Namun seperti sebuah mimpi, jemari yang digenggamnya terasa bergerak. Marco menegakkan kembali kepalanya. Ia menatap wajah pucat gadis yang masih tampak lelap dalam tidurnya itu. Ia merasa kecewa
“Amnesia?” Sepasang manik mata lelaki itu membola mendengar penjelasan Dokter Ivan. “Amnesia disosiatif. Ada beberapa bagian peristiwa dalam hidupnya terlupakan olehnya. Sepertinya ia mengalami trauma kejadian di masa lalunya dan reaksi pikirannya mencegah untuk mengingat kembali hal yang tak ingin diingatnya,” jelas Ivan. “Jadi … dia tidak akan mengingatku lagi?” tegas Marco yang masih tak bisa menerima kenyataan. “Mungkin saja ingatannya akan kembali,” lanjut Ivan. “Semua ini tergantung pada keinginannya. Aku, atau bahkan dokter ahli dimanapun tak bisa mengatakan dengan pasti kapan memorinya akan kembali.” Tubuh Marco kembali terasa lemas dan tak bergairah. Harapan yang semula ada, tiba-tiba lenyap dengan seketika. Ia merasa seperti dihempaskan begitu saja dari tempat yang tinggi oleh kenyataan. “Cassandra, anakku.” Wajah Irfan memerah dengan ekspresi yang tak jelas. “Seharusnya aku lebih memperhatikan dia. Tolong, Dokter. Lakukan apapun yang terbaik agar dia segera pulih kembal
Pertanyaan itu seakan sengaja menyudutkan Marco. Lelaki itu menghela napas panjang. Ia tidak membiarkan emosinya menguasai kesadarannya. “Semua ini karena dia salah paham dan mengira aku sudah menyewa seseorang untuk membunuhnya,” papar Marco. “Padahal justru aku sedang memerintahkan seseorang untuk menjaganya.” “Benarkah?” Marco mengeraskan rahangnya. “Bagaimana denganmu sendiri. Apa yang sudah kamu lakukan di masa lalu? Kenapa lelaki itu berambisi untuk membunuh Cassandra? Dosa apa yang kamu lakukan dua puluh tahun yang lalu?” cecar Marco. Irfan tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Apa pedulimu? Bukankah yang terpenting aku menghasilkan banyak uang untuk bisa kamu pakai?” “Kak Irfan! Kalau memang Cassandra bukan putri kandungmu, kenapa kamu justru mau menikahinya dua puluh tahun yang lalu?” “Karena ayahnya menawarkan Sophie Laurent, sebagai bayarannya,” sahut Marco. “Dan aku tak bisa menolaknya karena saat itu kamu sedang membutuhkan banyak uang untuk biaya pendidikanmu.”
“Ya, aku mencintainya. Aku cukup bahagia walau hanya melihat senyum bahagianya dari sini,” sahut Marco. Ia tidak ingin Hani berpikiran aneh tentang hubungannya dengan Cassandra.Namun gadis itu tertawa. Ia tahu bahwa Marco satu-satunya lelaki yang ada di hati sahabatnya. Mungkin benar jika Marco bagi sahabatnya adalah sekedar pria bunglon. Tapi bukankah cinta adalah obat yang paling ampuh untuk semua penyakit. Karena itu Hani tidak bisa diam dan melepaskan peluang untuk memulihkan ingatan sahabatnya itu, walau itu berarti menghancurkan kesempatan Fritz untuk mendapatkan hati Cassandra.“Kenapa dari cuma dari luar sini. Om berhak untuk bertemu dengannya, lebih dari kami temannya,” ujar Hani sembari menarik tangan Marco. Ia membuka pintu ruang rawat inap yang didiami Cassandra, membuat kedua makhluk yang ada di dalamnya menghentikan tawanya. “Om Marco duduk aja di sini. Nggak perlu berdiri di luar macem patung penyambut tamu gitu,” celetuk Hani dengan sengaja. “Aku dan Fritz masih h
“Jangan lupa obat-obatnya diminum secara teratur. Dan … jangan terlalu memaksanya untuk mengembalikan memorinya,” ucap Dokter Ivan pada Marco. “Terima kasih, tentu saja. Aku akan menjaganya baik-baik.” Marco akhirnya bisa bernapas lega karena bisa membawa Cassandra kembali pulang. Walau kini semuanya berbeda. Gadis yang dulu ceria dan selalu tersenyum manja saat bersamanya, kini hanya diam membisu bahkan tatapan matanya kosong seakan tanpa harapan. Seminggu berlalu, namun sepanjang hari gadis itu hanya menghabiskan waktu di depan jendela kaca lebar apartemennya, dengan tatapan matanya yang kosong. “Sandra.” Panggilan Marco hanya seperti angin yang berlalu di telinga gadis itu. “Kamu nggak bisa terus seperti ini. Kamu harus kembali seperti Cassandra yang dulu.” Gadis itu tak menggubrisnya. Tatapan hampanya masih tertuju pada jendela kaca yang memperlihatkan cerahnya langit hari itu.Marco menarik tangannya, membuatnya berdiri tegak. “Kita pergi sekarang.” Kali ini Cassandra menat