Derren melangkah lebih dekat ke arah Tisya, tubuh tinggi dan dinginnya kini hanya berjarak beberapa inci dari istrinya.
Tisya melangkah mundur sampai terbentur tembok kamar mewah itu. Mata biru Derren menyorot tajam, Tisya bisa mencium aroma parfum maskulin bercampur dengan tekanan luar biasa di dada. Tisya menggenggam kemeja lengan panjang miliknya yang tinggal satu kancing. Derren mengangkat tangannya ke arah baju Tisya, lalu perlahan menanggalkan kancing terakhir baju wanita itu. Bibir Tisya bergetar hebat, ia tak tahu harus memejamkan mata atau menatap langit-langit kamar, tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tetapi ketakutan yang mendalam, terlebih ini kali pertamanya. Celana panjangnya pun melorot, menyisakan hanya tubuh yang setengah tertutup dan mata yang tak berani menatap siapa pun, bahkan dirinya sendiri, saking malunya. Derren tak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di sana. Lalu tangannya perlahan menjangkau pinggang Tisya sangat dekat seperti hendak melakukan sesuatu yang seharusnya para suami lakukan bersama istrinya. Namun, dalam sekejap, tubuh pria itu menegang. Tatapan Derren yang tadi nyalang, kini perlahan redup. Ada sesuatu yang berkecamuk. Dadanya naik turun, cepat, seolah sedang menahan sesuatu yang berat, lebih berat dari sekadar keputusan gila yang mereka sepakati. Tisya menutup matanya erat-erat, saat benda pusaka milik Derren hendak mengarah pada area intinya. Ada ketakutan yang membara di dada, jika Derren benar-benar sampai melakukan itu. Tetapi yang datang justru sesuatu lembut yang membuat Tisya terperangah, sebuah baju dilempar pada wajahnya. Tisya membuka matanya pelan. Sebuah baju kini menutupi wajah serta tubuh polosnya. Derren berdiri membelakanginya, rahangnya mengeras, tangan mengepal di sisi tubuh. "Pakai bajumu!” titahnya pelan, tetapi tegas. Tisya tercekat. "T–tapi, uangnya ...." Derren menoleh, matanya dingin tapi ada bara api mengobar di sana. "Kita ke rumah sakit sekarang!" "H-hah?" "Saat ini juga," ucapnya tanpa menoleh lagi pada Tisya. "Cepat pakai bajumu. Jangan membuat aku berubah pikiran lagi, Tisya!” Tanpa sempat berpikir panjang, Tisya mengambil pakaiannya kembali yang telah berserakan di lantai, memakainya terburu-buru dengan tangan masih gemetar. Ia tak tahu apa yang barusan terjadi, lebih tepatnya, tak paham kenapa Derren menghentikan aksinya tersebut, padahal tinggal sedikit lagi, tetapi urung dilakukan pria itu. *** Mobil melaju dalam diam, tetapi kali ini bukan diam yang sama seperti tadi. Ini seperti keheningan sebelum badai. Tisya berulang kali melirik jam tangan di dashboard mobil. Pukul 21.44 waktu bagian London. Ya Tuhan … apa rumah sakit masih izinkan operasi di jam seperti ini? Setibanya di rumah sakit, Tisya hampir melompat keluar sebelum mobil berhenti sempurna. Tisya sangat panik, seraya berlari. “Kamar ICU,” kata Tisya, berlari, tanpa memperdulikan penampilannya yang masih berantakan. Derren mengikutinya dari belakang dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku, terlalu santai. Namun, saat tiba dan menuju kamar tujuan, tubuh Tisya sontak lemas, saat matanya melihat di dalam kamar tersebut sudah tak ada lagi tubuh renta neneknya. Dimana Nenek Tisya … ke mana dia pergi. Kenapa tiba-tiba menghilang tanpa pemberitahuan padanya? “Tidak, Nenek saya … Nenek saya di mana?” jeritnya panik di dalam ruangan tersebut. Kamar ini kosong, telah dirapikan. Tirai pun ditarik layaknya kamar yang sudah tak terpakai. Jika begini, neneknya pergi ke mana. Dibawa ke mana dan siapa pelakunya? Seorang perawat datang terburu-buru ke hadapan Tisya yang masih setengah syok. “Keluarga pasien?!" Tisya menoleh, masih dalam keadaan begitu kalut. "Benar, saya cucunya! Di mana nenek saya, Suster?!" “Beliau sudah dibawa ke ruang operasi sepuluh menit yang lalu. Dokter Jack Leonard sedang menanganinya.” “A–apa? T–tapi kami belum membayar sepeser pun uangnya. Saya belum memberikannya ... bagaimana bisa, Suster?” “Operasi sudah ditangani. Sudah ada yang menyelesaikan administrasinya dua puluh menit lalu” beber perawat itu, ramah tetapi terburu-buru. “Tenanglah, kami mohon doanya saja ya, operasi ini genting sekali. Pembuluh darahnya pecah. Kalau telat lima menit saja, pasein akan ….” Ucapannya tak dilanjutkan, membuat Tisya menarik napasnya dalam-dalam, penuh cemas. Tisya terdiam, tetapi kedua tangannya saling bertaut dengan tubuh bergerak gelisah, takut jika operasi ini tak akan berhasil. Derren yang berdiri di belakangnya, menyandarkan punggung ke dinding koridor rumah sakit, tatapannya mengarah lurus ke lantai marmer. Tisya menoleh pada perawat yang masih di sana "Siapa yang membayar administrasi Nenek saya, Suster?" Perawat hanya diam, sedangkan Derren mendengus kesal dan memalingkan wajah saat melihat Tisya bertanya hal konyol itu pada suster. Tisya yang menyadari pun berbalik perlahan. "T-tuan, apa Anda tahu tentang ini semua?" Tak ada jawaban apa-apa dari mulut Derren. Seolah mulutnya terkunci rapat. Tisya menahan napas. “Tuan, apa Anda … yang mengirim uangnya?” Derren masih diam. Tisya perlahan menghampiri Derren "Jangan diam saja … Tolong jawab saya. Anda … Anda yang bantu nenek saya atau bukan, Tuan?" Derren menoleh dengan ekspresi jengah pada Tisya. “Memangnya kenapa?" “Tuan …,” suara Tisya nyaris pecah. “Kenapa … kenapa tidak bilang dari awal kalau Tuan sudah membayar biaya operasinya?!” “Karena aku ingin sedikit mengujimu, mungkin …,” ucapnya pelan. “Dan melihat kesungguhanmu, sebelum kuberikan uang itu secara cuma-cuma.” Tisya menatapnya tak percaya, bingung akan keadaan ini. "Jadi, semua ini … dari tadi … bahkan saat kita akan melakukan —” “Aku tidak pernah berniat menyentuhmu!” potong Derren cepat. “Kalau aku ingin, aku bisa lakukan. Tapi bukan itu tujuanku, karena aku tahu kamu pernah ....” "Pernah apa? Katakan dengan jelas!" Sungguh Tisya sedikit kesal pada suami kilatnya yang seolah-olah tengah mempermainkannya. Derren mendekat pada Tisya, bahkan lebih dekat. Menyelinap pada telinga sehingga menjawab. "Bukankah kamu sudah tidak perawan? Aku tahu, jika kamu pernah menikah siri di negara kelahiranmu.” Saat itu juga, bagaikan dilempar bom tepat di dadanya. Tatapan membulat sempurna di mata Tisya. Tidak-tidak, sebenarnya pria ini siapa? Kenapa dia bisa tahu jika Tisya pernah menikah siri di Indonesia? "Sebenarnya Anda siapa, Tuan?" tanya Tisya, dan sangat bodoh berharap Derren menjawabnya. Pria itu sangat irit bicara. Sial, Derren tak menjawab apa pun dari mulutnya. Tisya berdecit kesal, tetapi tatapannya teduh menunduk melihat lantai, sedikit ketakutan. Mereka terdiam lama. Hanya bunyi mesin dan langkah kaki dokter yang terdengar. Detik-detik rasanya berjalan lambat. Lalu pintu ruang operasi terbuka. Seorang pria berseragam hijau keluar. Wajahnya kelelahan, tapi senyumnya mengembang tipis di wajah yang cukup tampan. “Keluarga pasein?” Tisya yang sedang duduk berdiri cepat, berlari mendekat dokter. “Saya, Dokter! Bagaimana keadaan Nenek saya, Dok?” Dokter itu mengangguk. "Kami berhasil menghentikan pendarahan di kepalanya. Operasi berjalan lancar. Tapi beliau harus tetap diobservasi intensif selama 24 jam. Ini masa krusial." Air mata mengalir di pipi Tisya. Ia memejamkan matanya, menahan tangis bahagia dan lega dalam satu waktu, akhirnya neneknya baik-baik saja. Kecemasan dan kekhawatiran yang sedari tadi menggunung seolah terlepas dari raganya, membuat tubuhnya begitu ringan. “Terima kasih … terima kasih banyak, Dokter,” ucapnya dengan suara serak. Dokter itu menoleh pada Derren, mengangguk. "Jadi kamu sudah menikah dan tidak mengundangku, Derr?" “Cih!” Derren mendecih mendengar gerutuan sahabatnya, dan memalingkan wajah ke kanan. Jack tersenyum, lalu pergi sambil menepuk bahu Derren. "Sepertinya istrimu sangat cantik. Jangan terlalu dingin padanya, kalau tidak ingin aku tikung." Derren hanya mendengkus mendengar lelucon Jack. Begitu Jack hilang dari pandangan, Tisya menatap Derren. Kali ini, tak ada lagi rasa kesal, tetapi hatinya campur aduk yang tak bisa ia uraikan bagaimana, tetapi yang pasti dadanya membuncah bahagia, mengetahui neneknya selamat dari maut, yang lagi-lagi malaikat penyelamatnya adalah suaminya. Ada rasa syukur yang tak henti Tisya panjatkan pada Sang Khalik. "Maaf, Tuan. Jadi ... Tuan yang urus semuanya secara diam-diam … bahkan sebelum kita tiba ke sini?”"Jangan ke mana-mana!" Derren kembali memperingati Tisya untuk tetap di tempatnya. Di sini ada banyak rekan bisnisnya, tetapi tak sedikit musuhnya pun ada di sana. Mereka pasti akan mencari celah untuk bisa mendekati Tisya dan menjadikannya sebagai kelemahan Derren. Derren dengan sengaja menjauh dari Tisya dengan mata elangnya yang tak melepaskan perempuan itu dari jangkauan matanya. "Tidak usah panik, saya di sini," ucap Derren lewat pesan singkat yang dia kirim. Tisya mulai mengamati sekitar dan ya, dia menemukan Derren di ujung ballroom tersebut sedang menikmati minuman. Tisya langsung menarik kedua sudut bibirnya, berusaha terlihat tenang dan menikmati keadaan di sana. "Kau benar-benar gila, Tuan!" cibir Tisya. Seseorang menepuk pundak polos Tisya yang membuatnya langsung berbalik. Di sana berdiri seorang laki-laki muda dengan setelan jas hitam, tampak cukup tampan, dia tersenyum manis. "Hai, Nona. Kau istrinya Tuan Derren?" tanyanya sambil mengulurkan tangan. Tisya tak mem
Derren mengerutkan keningnya, saat Tisya hanya mengaduk-aduk minuman matcha yang dibelikannya tadi. "Saya membeli itu untuk kamu cicip, supaya kamu bisa membuatnya sendiri!" ujar Derren. "Aku lagi tidak selera makan, Tuan. Rasanya—" Derren langsung menyimpan sendok ke meja, menimbulkan suara yang membuat Tisya meliriknya. Derren bangun dari duduknya dengan wajah tanpa ekspresi. Tisya hanya bisa diam menatap, mencoba menganalisa apa yang akan dilakukan Derren. "Mau ikut atau tidak? Ayo!" ajak Derren. "Kita mau ke mana? Kalau mau cari makan aku tidak mau!" tolak Tisya sambil melipat kedua tangannya di dada. Lihatlah, Tisya benar-benar berkamuflase menjadi seorang istri manja yang ingin dibujuk oleh suaminya. Derren memutar bola matanya dengan jengah, kemudian membuang napasnya dengan kasar. "Nanti malam akan ada pesta penting yang dihadiri oleh para petinggi perusahaan besar di sini. Kau harus ikut, Nona Tisya!" tegas Derren. Tisya menekuk wajahnya, terlihat kalau dia malas untuk
Derren mengaduk-aduk pasta yang dibuat Tisya dengan sepenuh hati. Dari penampilannya, ini sama sekali tidak menggugah selera. "Kamu tidak pernah membuat pasta sebelumnya?" tanya Derren dan Tisya hanya menarik kedua sudut bibirnya. Derren membuang napasnya dengan kasar, merasa tak yakin untuk bisa melahap makanan itu. Tisya melirik jam di pergelangan tangannya, dia membulatkan mata, sadar kalau beberapa menit lagi busway akan lewat. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Tisya bergegas pergi dengan membawa tote bag miliknya. Derren membuka mulut, hendak menahan Tisya, tetapi perempuan itu sudah jauh melangkah. Tisya berlari sekuat tenaga, mengejar busway yang sebentar lagi akan tiba di halte. Dia akan kena masalah kalau sampai terlambat masuk kerja, sementara Derren adalah pemimpin di perusahan jadi walaupun terlambat tidak akan ada yang menggunjingnya. "Astaga, maaf saya tidak sengaja!" ucap Tisya sambil sedikit membungkuk. Sosok itu hanya melirik sinis, kemudian duduk di kursi kosong
Supermarket berada tak jauh dari kawasan mansion. Derren juga hanya pergi dengan pakaian santainya, cukup serasi dengan penampilan biasa dari Tisya. "Harganya mahal banget? Bukannya sama-sama matcha, ya?" tanya Tisya dengan heran saat melihat harga matcha. Ini memang kualitas terbaik, tak heran harganya mahal. Namun, Tisya tak menyangka kalau akan semahal ini dan lagi dia yang akan membuatnya. Tisya merasa dia akan menghamburkan uang Derren untuk hal tabu. "Kita beli dari brand biasa aja, ya!" Tisya kembali bernegosiasi. "Kenapa? Kamu takut saya kehabisan uang hanya karena membeli satu matcha?" Derren langsung memberi tatapan sinis. "Tuan, matcha bubuk dijual per gram dan—" "Nona, tolong bungkus matcha kualitas terbaik di sini. Dia mau belajar membuat cookies!" Derren langsung memanggil penjaga toko dan di sana Tisya hanya bisa membuang napasnya dengan kasar. Tisya menenteng semua bahan yang dia butuhkan untuk membuat berbagai minuman dan makanan dari matcha. Kini keduanya sedang
Tisya memalingkan wajahnya, jantungnya tiba-tiba berdegup tak karuan. Bingung harus bersikap apa, dia hanya celingukan menatap jalanan London di balik kaca mobil. "Ayo, saya mau lagi!" ucap Derren yang membuat Tisya kelimpungan. Derren menaikkan sebelah alisnya, dia juga bingung dengan sikap aneh Tisya. "Saya masih pegang setir, jadi tolong cookiesnya!" pinta Derren lagi. Kali ini Derren membuka mulutnya, meminta Tisya untuk segera memberinya asupan. "Tadi bilangnya tidak mau, tapi kayaknya semua makanan ini akan habis Anda makan sendiri," cibir Tisya. Saat Tisya hendak menyuapi Derren lagi, laki-laki itu malah mengulum bibirnya dan menutupnya rapat-rapat. Bukannya kesal, Tisya malah tertawa kecil melihat tingkah Derren. Bisa-bisanya di usianya yang tak lagi muda itu, Derren malah merajuk. Tisya membiarkan Derren menekuk wajahnya sepanjang perjalanan, dia juga ingin makan, jadinya Tisya mengabaikan Derren. Sampainya di rumah, Derren menutup pintu mobil dengan sangat keras, menim
Bukannya masuk, Tisya malah celingukan, takut ada orang lain yang melihatnya. Sosok di dalam mobil sana menghela napas, dia kembali meminta Tisya untuk segera masuk ke mobil. "Tunggu apalagi, ayo!" ajaknya lagi. Tisya pun masuk ke mobil, sambil tersenyum hampa Tisya mulai bertanya, "Ini tidak apa-apa kalau aku ikut mobil Anda, Tuan?" Tak ada jawaban, Derren hanya fokus menatap jalanan, melajukan kendaraan mewahnya itu di tengah kota London. Tisya dan Derren berada di mobil yang sama, tetapi keduanya seperti dua orang asing. Mereka memilih bungkam tanpa ingin terlibat obrolan. "Tuan, di sebelah sini ada kafe yang jual matcha tidak, ya?" tanya Tisya. Derren langsung melirik Tisya, yang membuatnya hanya tersenyum kiku. Derren memasang wajah datar tanpa ekspresi, itu membuat Tisya tenggelam dengan rasa bingung. "Kenapa berhenti?" tanya Tisya saat mobil Derren berhenti di sebuah kafe. "Bisa beli sendiri?" tanya balik Derren sambil menaikkan sebelah alisnya. Tisya mengangguk kecil, m