Kedua tangan Tisya berkeringat dingin, setelah menerima surat nikah, yang baru saja membuat statusnya berubah seratus delapan puluh derajat, hanya dalam hitungan menit, menjadi seorang istri pria asing di depannya.
Derren baru saja membuka pintu mobil dan diam menatap kebingungan wajah istri dadakannya itu.
āCepat masuk! Kamu harus melakukan tugas pertamamu terlebih dahulu, sebelum aku memberikan uang padamu!ā Teguran bernada dingin itu, membuat Tisya terlonjak kaget.
Dengan cepat nyaris terburu-buru, Tisya masuk ke dalam mobil, tepat di samping Derren, yang mulai melajukan mobilnya, pergi meninggalkan kantor catatan sipil.
Keduanya terlibat keheningan, hingga Derren menyodorkan kotak beludru berwarna biru tua, yang tak langsung diterima oleh Tisya.
Melihat Tisya yang seperti orang linglung, Derren sedikit menggeram rendah, lalu bicara, āPakailah selama kamu berperan sebagai istriku!ā
Perkataan Derren membuat alis Tisya saling bertaut. āApa maksud ucapan Anda, Tuan?ā
Sungguh Tisya tak mengerti dengan ucapan Derren, seperti ada sesuatu yang belum dia pahami.
Mengerti dengan keheranan Tisya, Derren pun berkata, āKamu memang istriku, tapi tidak dengan menunjukkan wajahmu di depan umum.ā
"Māmaksudnya, apa, Tuan?" Tisya menggelengkan kepalanya tak mengerti, atas apa yang Derren katakan.
Bagaimana mungkin dia tampil depan banyak orang tanpa terlihat wajahnya? Oh, Tuhan ⦠apalagi yang sedang suami dadakannya ini rencanakan?
Derren melirik sekilas, lalu memberikan paper bag hitam ke atas pangkuan Tisya, yang dengan ragu, dibuka pelan oleh wanita itu.
Di dalam paper bag itu, terlipat rapi topeng masqerade berwarna hitam. Tisya menatap benda itu bingung seperti menatap takdir yang tak bisa ditolak.
Topengnya sangat indah, tapi dingin jika terlihat. Elegan, tapi menyimpan rasa asing. Seolah ia akan menjadi boneka cantik yang dibungkus misteri dalam kehidupan Derren.
"Kamu akan memakainya di acara-acara penting Tisya, tidak boleh ada yang tahu siapa kamu sebenarnya dalam hidupku," suara Derren mengalun sangat datar, seperti biasa, dingin sekali lelaki itu.
Tisya menggenggam topeng itu dengan tangan gemetar hebat, kebingungan di kepalanya selalu muncul. Apa sebenarnya yang sedang menimpanya?
Tisya menatap pria itu dengan bibir bergetar hebat ketakutan. "Saya tidak paham, kenapa saya harus menyembunyikan wajah saya, Tuan?"
"Karena pernikahan ini cuma formalitas. Aku hanya butuh status, bukan publikasi," balas Derren tegas.
Tisya mendengarnya memilih untuk diam. Tisya tak ada perasaan sedikit pun pada lelaki asing itu, di pikirannya hanya satu. Neneknya di rumah sakit yang sedang membutuhkan banyak uang dan harus segera dioperasi. Mau tak mau, ia harus menerimanya.
Mobil akhirnya berhenti di halaman sebuah mansion megah. Pintu kayunya tinggi menjulang, dihiasi lampu kristal yang menggantung di serambi. Pelayan segera membukakan pintu utama untuk menyambut sang tuan rumah, yang masih duduk di dalam kendaraan roda empat itu.
Di depan mansion yang lebih terlihat seperti galeri seni klasik Eropa. Pilar-pilar marmer menjulang, air mancur di tengah halaman berbentuk malaikat membawa guci. Tisya tercengang melihat keindahan itu, tatapan tak bisa dialihkan. Terfokus pada keindahan mansion tersebut. Sampai Tisya tak sadar, Derren sudah turun berdiri membuka pintu mobil.
"Turun,"perintah Derren pada Tisya.
Tisya membuyarkan lamunannya, melangkah perlahan, mencoba menahan gemetar di lutut. Saat ia masuk bersama Derren, udara dingin dalam ruangan langsung menyergap, tidak ada apa-apa, hanya saja Tisya merasakan sensasi aneh, yang sedikit misterius, dan membuat bulu kuduknya berdiri.
Suara langkah hak tinggi terdengar menggema. Seorang wanita berusia sekitar lima puluhan dengan balutan gaun satin warna ungu tua berdiri di tengah ruangan. Wajahnya cantik, tegas, dan mata tajam itu langsung menilai Tisya dari ujung kepala hingga kaki.
"Inikah wanita yang kamu nikahi, Derren?" suara Sania terdengar dingin, nyaris sinis pada Tisya. "Bukankah seharusnya malam ini? Kenapa kamu menikahi wanita asing jelek ini?ā
Derren hanya mengangguk pelan. "Aku sudah menikah. Itu yang paling penting."
Sania tertawa kecil, lalu menatap Tisya seolah gadis itu bukan siapa-siapa dalam keluarga ini. "Padahal kamu tahu, kan, Thalia dan keluarganya sudah menyiapkan pesta pernikahan itu Minggu depan? Mereka orang terpandang, bukan gadis entah dari mana, seperti wanita yang kamu bawa ini."
Tisya menunduk, menggenggam ujung baju, hatinya mencelos. Derren tetap diam, pandangannya datar.
Sania menyipitkan matanya. "Jadi kamu benar-benar melepaskan perjodohanmu dengan Thalia demi dia?" Ia melirik Tisya tetap sinis. "Seperti apa keistimewaan wanita ini? Mama bahkan tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas."
Karena memang, Tisya telah memakai topeng masqerade hitam tadi di dalam mobil. Membuat Sania sangat penasaran ingin melihat wajah menantu dadakannya ini.
Tisya menunduk dalam-dalam, menahan napas. Bahkan untuk berbicara pun dia tak yakin bisa. Mereka seperti keluarga yang sangat terpandang, Tisya memilih diam saja.
"Bukankah sudah jelas dalam wasiat almarhum Papa, aku harus menikah hari ini juga?" Derren melangkah lebih dekat pada Sania.
Sania tersenyum miring. "Ah, lelaki memang tak pernah bisa ditebak. Padahal itu hanya wasiat mendiang papamu. Pernikahan lelucon macan apa ini Derren. Kamu bahkan tidak bisa menghargai persiapan keluarga Thalia. Mau ditaruh di mana muka Mama!"
Derren tak menjawab. Ia hanya meraih tangan Tisya, menariknya pelan, lalu bicara dengan datar, "Aku tidak peduli. Dan jangan biarkan suami baru Mama menunjukkan batang hidungnya di depanku!ā
Mereka pergi dari hadapan Sania, setelahnya pintu kamar utama tertutup, Tisya menarik napas panjang. Harusnya ia bisa tenang. Tetapi salah, satu kamar dengan Derren justru membuat hatinya berdebar-debar. Tisya baru akan melepaskan tangannya dari genggaman Derren, pria itu berkata pelan, "Sekarang waktunya kamu jalankan tugasmu."
Tisya menatapnya heran pada Derren. "Tugas ... tugas apa maksud Anda?"
"Melayaniku, bukankah kamu sekarang istriku," jawabnya tanpa ragu, seolah tak butuh penjelasan lebih. "Setelah itu, uang 320 juta itu akan kutransfer padamu."
Wajah Tisya memucat tiba-tiba, Ia mundur setengah langkah. "Tapi Nenek saya ⦠dokternya bilang operasinya harus segera dilakukan sekarang juga. Saya janji akan memberikan hakmu, tapi ⦠tolong biarkan Nenek saya menjalani operasinya lebih dulu.ā
Derren mendekat perlahan, menutup jarak antara mereka berdua. "Dan kamu pikir aku akan memberikan uang sebanyak itu cuma-cuma?"
Tisya menahan napasnya. Ia merasa seperti terperangkap dalam lubang buaya, ingin kabur. Tetapi tak bisa.
"Kalau kamu merasa ini salah, kamu bisa keluar sekarang. Tanpa uang. Tanpa perjanjian. Dan biarkan nenekmu terlambat ditangani," ucap Derren, tajam menakutkan.
Tisya terdiam. Pikirannya terpecah bagaikan kaca terbanting di lantai. Wajah neneknya yang ringkih, tubuhnya yang lemah di ranjang rumah sakit, suara perawat yang bilang 'waktu operasinya sempit.' Semua memukul hatinya.
"Ini tidak adil ā¦," gumamnya lirih.
"Memang," geram Derren, masih saja datar layaknya tak punya hati nurani, "tapi hidup adalah sebuah pilihan. Dan aku ingatkan, aku bukan orang yang sabar Tisya!ā
Tisya menggigit bibir bawahnya, gemetar semakin hebat. "Kalau ⦠kalau saya memberikannya ⦠Anda janji, uang itu akan langsung dikirim pada saya, kan?ā
Derren mengangguk. "Selesai tugasmu, uang langsung dikirim."
Tisya tak menjawab. Ia menunduk. Dalam hati, ia berteriak, ingin kabur, ingin membanting pintu dan menghilang. Tetapi bayangan ruangan operasi rumah sakit terus menghantuinya. Ia harus menyelamatkan satu-satunya keluarga yang tersisa.
Derren melangkah mendekat, menatap langsung ke mata Tisya.
"Tunggu dulu, tapi ... sāsaya belum siap," bisik Tisya, suaranya bergetar penuh ketakutan.
Derren mendekat lebih jauh, hingga jarak mereka hanya sejengkal saja. "Kamu pikir aku p
eduli? Cepat lakukanlah dalam waktu lima menit kamu harus sudah siap!ā
Deg!
Tisya menatap Derren dengan mata membelalak tak percaya. Napasnya masih belum teratur sejak mendengar kalimat terakhir pria itu."Apa maksud Tuan? Kesepakatan kita, maksudnya apa?" bisiknya lirih penuh keheranan.Derren tak menjawab langsung. Ia melangkah pelan ke sisi jendela besar di belakang meja CEO, menatap lalu lintas kota London yang padat seperti pikirannya sendiri. Cukup lama ia diam, seakan memilih kata-kata untuk dilontarkan pada Tisya."Saat berada di luar kantor ini, aku minta kita tidak saling mengenal satu sama lain," katanya pelan pada Tisya, tetapi perkataan itu sangat tegas, "di sini, kamu hanya seorang pegawai. Aku atasanmu. Hanya itu status kita di mata dunia."Jantung Tisya berdegup kencang, kali ini bukan karena gugup, tetapi marah dan bingung bersamaan. Tisya tak masalah, hanya saja keadaan ini merasa sangat aneh."Jadi itu rencanamu, Tuan?" tanyanya, suaranya mengeras sedikit, "mendadak menolong, lalu memasukkan saya ke perusahaan, dan bersikap seakan kita berd
Derren mendengkus, tetapi akhirnya dia pun mengangguk, āKalau bukan aku, lalu siapa lagi?āTisya diam sejenak. Lalu perlahan menoleh pada arah Derren, matanya melebar tak percaya. "TāTuan?"Derren hanya menatapnya, tanpa senyum, tanpa pembelaan sedikit pun dari mulutnya itu."320 juta," gumam Tisya, seperti bicara pada dirinya sendiri, "Tuan membayar langsung semuanya?""Hmm,ā gumam Derren setenang mungkin.Jika memang begini. Kenapa Derren mempermainkan Tisya seperti ini, bahkan tadi Tisya nyaris melayani suaminya di tengah kegugupan ia yang memikirkan nasib neneknya di rumah sakit. Entah apa yang sebenarnya pria ini rencanakan.Tisya menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Bukannya bahagia, justru hatinya terasa makin berat dan sedikit gamang, suaminya ini semakin misterius, dan Tisya merasa sangat yakin jika Derren merupakan pria yang sama, yang namanya pernah dia dengar."Kenapa Tuan ⦠kenapa Tuan mengerjai saya seperti tadi?ā bisiknya. āPadahal tadi kita, hampirāāDerren menghela n
Derren melangkah lebih dekat ke arah Tisya, tubuh tinggi dan dinginnya kini hanya berjarak beberapa inci dari istrinya.Tisya melangkah mundur sampai terbentur tembok kamar mewah itu. Mata biru Derren menyorot tajam, Tisya bisa mencium aroma parfum maskulin bercampur dengan tekanan luar biasa di dada.Tisya menggenggam lengan panjang miliknya yang tinggal satu kancing. Derren mengangkat tangannya ke arah baju Tisya, lalu perlahan menanggalkan kancing terakhir baju wanita itu.Bibir Tisya bergetar hebat, ia tak tahu harus memejamkan mata atau menatap langit-langit kamar, tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tetapi ketakutan yang mendalam, terlebih ini kali pertamanya.Celana panjangnya pun melorot, menyisakan hanya tubuh yang setengah tertutup dan mata yang tak berani menatap siapa pun, bahkan dirinya sendiri, saking malunya.Derren tak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di sana. Lalu tangannya perlahan menjangkau pinggang Tisya sangat dekat seperti hendak melakukan sesuatu yang seh
Kedua tangan Tisya berkeringat dingin, setelah menerima surat nikah, yang baru saja membuat statusnya berubah seratus delapan puluh derajat, hanya dalam hitungan menit, menjadi seorang istri pria asing di depannya.Derren baru saja membuka pintu mobil dan diam menatap kebingungan wajah istri dadakannya itu.āCepat masuk! Kamu harus melakukan tugas pertamamu terlebih dahulu, sebelum aku memberikan uang padamu!ā Teguran bernada dingin itu, membuat Tisya terlonjak kaget.Dengan cepat nyaris terburu-buru, Tisya masuk ke dalam mobil, tepat di samping Derren, yang mulai melajukan mobilnya, pergi meninggalkan kantor catatan sipil.Keduanya terlibat keheningan, hingga Derren menyodorkan kotak beludru berwarna biru tua, yang tak langsung diterima oleh Tisya.Melihat Tisya yang seperti orang linglung, Derren sedikit menggeram rendah, lalu bicara, āPakailah selama kamu berperan sebagai istriku!āPerkataan Derren membuat alis Tisya saling bertaut. āApa maksud ucapan Anda, Tuan?āSungguh Tisya tak
āBerhenti dan bayar hutang-hutangmu, sialan!"Teriak rentenir laki-laki yang lebih mirip preman itu nekat mengejarnya dari Tanah air hingga ke London untuk menagih utang pada Tisya Rhani, mantan sekretaris pribadi di salah satu perusahaan besar di Indonesia.Terlilit utang yang bukan utangnya, mendapat fitnah keji yang menuduhnya sebagai sekretaris selangkangan, yang sialnya hal itu membuat karirnya hancur. Ditambah lagi Tisya dirampok di bandara, semuanya lenyap, yang tersisa hanya kalung, dan ponsel keluaran terbaru di saku celana jeansnya saja.āAku harus bagaimana ini?āTisya berlari kencang, sesekali menatap ke belakang, berharap jika rentenir bengis itu sudah berhenti, tetapi ternyata dia begitu semangat mengejarnya, membuat napas Tisya semakin terengah-engah, dan ketakutan setengah mati, apalagi melihat pisau tajam yang diacungkan sang rentenir, seketika membuat tubuh Tisya lemas.Tak ingin mati sia-sia, Tisya terus berlari semakin kencang, sampai akhirnya napasnya putus-putus,