Share

2. Layani Aku!

last update Last Updated: 2025-06-13 13:38:18

Kedua tangan Tisya berkeringat dingin, setelah menerima surat nikah, yang baru saja membuat statusnya berubah seratus delapan puluh derajat, hanya dalam hitungan menit, menjadi seorang istri pria asing di depannya.

Derren baru saja membuka pintu mobil dan diam menatap kebingungan wajah istri dadakannya itu.

“Cepat masuk! Kamu harus melakukan tugas pertamamu terlebih dahulu, sebelum aku memberikan uang padamu!” Teguran bernada dingin itu, membuat Tisya terlonjak kaget.

Dengan cepat nyaris terburu-buru, Tisya masuk ke dalam mobil, tepat di samping Derren, yang mulai melajukan mobilnya, pergi meninggalkan kantor catatan sipil.

Keduanya terlibat keheningan, hingga Derren menyodorkan kotak beludru berwarna biru tua, yang tak langsung diterima oleh Tisya.

Melihat Tisya yang seperti orang linglung, Derren sedikit menggeram rendah, lalu bicara, “Pakailah selama kamu berperan sebagai istriku!”

Perkataan Derren membuat alis Tisya saling bertaut. “Apa maksud ucapan Anda, Tuan?”

Sungguh Tisya tak mengerti dengan ucapan Derren, seperti ada sesuatu yang belum ia pahami.

Mengerti dengan keheranan Tisya, Derren pun berkata, “Kamu memang istriku, tapi tidak dengan menunjukkan wajahmu di depan umum.”

"M–maksudnya, apa, Tuan?" Tisya menggelengkan kepalanya tak mengerti, atas apa yang Derren katakan.

Bagaimana mungkin dia tampil depan banyak orang tanpa terlihat wajahnya? Oh, Tuhan … apalagi yang sedang suami dadakannya ini rencanakan?

Derren melirik sekilas, lalu memberikan paper bag hitam ke atas pangkuan Tisya, yang dengan ragu, dibuka pelan oleh wanita itu.

Di dalam paper bag itu, terlipat rapi topeng masqerade berwarna hitam. Tisya menatap benda itu bingung seperti menatap takdir yang tak bisa ditolak.

Topengnya sangat indah, tapi dingin jika terlihat. Elegan, tapi menyimpan rasa asing. Seolah ia akan menjadi boneka cantik yang dibungkus misteri dalam kehidupan Derren.

"Kamu akan memakainya di acara-acara penting Tisya, tidak boleh ada yang tahu siapa kamu sebenarnya dalam hidupku," suara Derren mengalun sangat datar, seperti biasa, dingin sekali pria itu.

Tisya menggenggam topeng itu dengan tangan gemetar hebat, kebingungan di kepalanya selalu muncul. Apa sebenarnya yang sedang menimpanya?

Tisya menatap pria itu dengan bibir bergetar hebat ketakutan. "Saya tidak paham, kenapa saya harus menyembunyikan wajah saya, Tuan?"

"Karena pernikahan ini cuma formalitas. Aku hanya butuh status, bukan publikasi," balas Derren tegas.

Tisya mendengarnya memilih untuk diam. Tisya tak ada perasaan sedikit pun pada pria asing itu, di pikirannya hanya satu. Neneknya di rumah sakit yang sedang membutuhkan banyak uang dan harus segera dioperasi. Mau tak mau, ia harus menerimanya.

Mobil akhirnya berhenti di halaman sebuah mansion megah. Pintu kayunya tinggi menjulang, dihiasi lampu kristal yang menggantung di serambi. Pelayan segera membukakan pintu utama untuk menyambut sang tuan rumah, yang masih duduk di dalam kendaraan roda empat itu.

Di depan mansion yang lebih terlihat seperti galeri seni klasik Eropa. Pilar-pilar marmer menjulang, air mancur di tengah halaman berbentuk malaikat membawa guci. Tisya tercengang melihat keindahan itu, tatapan tak bisa dialihkan. Terfokus pada keindahan mansion tersebut. Sampai Tisya tak sadar, Derren sudah turun berdiri membuka pintu mobil.

"Turun,"perintah Derren pada Tisya.

Tisya membuyarkan lamunannya, melangkah perlahan, mencoba menahan gemetar di lutut. Saat ia masuk bersama Derren, udara dingin dalam ruangan langsung menyergap, tidak ada apa-apa, hanya saja Tisya merasakan sensasi aneh, yang sedikit misterius, dan membuat bulu kuduknya berdiri.

Suara langkah hak tinggi terdengar menggema. Seorang wanita berusia sekitar lima puluhan dengan balutan gaun satin warna ungu tua berdiri di tengah ruangan. Wajahnya cantik, tegas, dan mata tajam itu langsung menilai Tisya dari ujung kepala hingga kaki.

"Inikah wanita yang kamu nikahi, Derren?" suara Sania terdengar dingin, nyaris sinis pada Tisya. "Bukankah seharusnya menunggu Thalia kembali? Kenapa kamu menikahi wanita asing jelek ini?”

Derren hanya mengangguk pelan. "Aku sudah menikah. Itu yang paling penting."

Sania tertawa kecil, lalu menatap Tisya seolah gadis itu bukan siapa-siapa dalam keluarga ini. "Padahal kamu tahu, kan, Thalia dan keluarganya sudah menyiapkan pesta pernikahan itu Minggu depan? Mereka orang terpandang, bukan gadis entah dari mana, seperti wanita yang kamu bawa ini."

Tisya menunduk, menggenggam ujung baju, hatinya mencelos. Derren tetap diam, pandangannya datar.

Sania menyipitkan matanya. "Jadi kamu benar-benar melepaskan perjodohanmu dengan Thalia demi dia?" Ia melirik Tisya tetap sinis. "Seperti apa keistimewaan wanita ini? Mama bahkan tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas."

Karena memang, Tisya telah memakai topeng masqerade hitam tadi di dalam mobil. Membuat Sania sangat penasaran ingin melihat wajah menantu dadakannya ini.

Tisya menunduk dalam-dalam, menahan napas. Bahkan untuk berbicara pun dia tak yakin bisa. Mereka seperti keluarga yang sangat terpandang, Tisya memilih diam saja.

"Bukankah sudah jelas dalam wasiat almarhum Papa, aku harus menikah hari ini juga?" Derren melangkah lebih dekat pada Sania.

Sania tersenyum miring. "Ah, para pria memang tak pernah bisa ditebak. Padahal itu hanya wasiat mendiang papamu. Pernikahan lelucon macam apa ini Derren. Kamu bahkan tidak bisa menghargai persiapan keluarga Thalia. Mau ditaruh di mana muka Mama!"

Derren tak menjawab. Ia hanya meraih tangan Tisya, menariknya pelan, lalu bicara dengan datar, "Aku tidak peduli. Dan jangan biarkan suami baru Mama menunjukkan batang hidungnya di depanku!”

Mereka pergi dari hadapan Sania, setelahnya pintu kamar utama tertutup, Tisya menarik napas panjang. Harusnya ia bisa tenang. Tetapi salah, satu kamar dengan Derren justru membuat hatinya berdebar-debar. Tisya baru akan melepaskan tangannya dari genggaman Derren, pria itu berkata pelan, "Sekarang waktunya kamu jalankan tugasmu."

Tisya menatap heran pada Derren. "Tugas ... tugas apa maksud Anda?"

"Melayaniku, bukankah kamu sekarang istriku," jawabnya tanpa ragu, seolah tak butuh penjelasan lebih. "Setelah itu, uang 320 juta itu akan kutransfer padamu."

Wajah Tisya memucat tiba-tiba, Ia mundur setengah langkah. "Tapi Nenek saya … dokternya bilang operasinya harus segera dilakukan sekarang juga. Saya janji akan memberikan hak Tuan, tapi … tolong biarkan Nenek saya menjalani operasinya lebih dulu, Tuan.”

Derren mendekat perlahan, menutup jarak antara mereka berdua. "Dan kamu pikir aku akan memberikan uang sebanyak itu dengan cuma-cuma?"

Tisya menahan napasnya. Ia merasa seperti terperangkap dalam lubang buaya, ingin kabur. Tetapi tak bisa.

"Kalau kamu merasa ini salah, kamu bisa keluar sekarang. Tanpa uang. Tanpa perjanjian. Dan biarkan nenekmu terlambat ditangani," ucap Derren, tajam menakutkan.

Tisya terdiam. Pikirannya terpecah bagaikan kaca terbanting di lantai. Wajah neneknya yang ringkih, tubuhnya yang lemah di ranjang rumah sakit, suara perawat yang mengatakan 'waktu operasinya sempit.' Semua memukul hatinya.

"Ini tidak adil …," gumamnya lirih.

"Memang," geram Derren, masih saja datar layaknya tak punya hati nurani, "tapi hidup adalah sebuah pilihan. Dan aku ingatkan, aku bukan orang yang sabar, Tisya!”

Tisya menggigit bibir bawahnya, gemetar semakin hebat. "Kalau … kalau saya memberikannya … Tuan harus berjanji, uang itu akan langsung dikirim pada saya, kan?”

Derren mengangguk. "Selesai tugasmu, uang langsung dikirim."

Tisya tak menjawab. Ia menunduk. Dalam hati, ia berteriak, ingin kabur, ingin membanting pintu dan menghilang. Tetapi bayangan ruangan operasi rumah sakit terus menghantuinya. Ia harus menyelamatkan satu-satunya keluarga yang tersisa.

Derren melangkah mendekat, menatap langsung ke mata Tisya.

"Tunggu dulu, tapi ... s–saya belum siap," bisik Tisya, suaranya bergetar penuh ketakutan.

Derren mendekat lebih jauh, hingga jarak mereka hanya sejengkal saja. "Kamu pikir aku peduli? Cepat lakukanlah, dan dalam waktu lima menit kamu harus sudah siap!”

Deg!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gairah Liar Mr Presdir-ku   37. Cemburu ....

    "Jangan ke mana-mana!" Derren kembali memperingati Tisya untuk tetap di tempatnya. Di sini ada banyak rekan bisnisnya, tetapi tak sedikit musuhnya pun ada di sana. Mereka pasti akan mencari celah untuk bisa mendekati Tisya dan menjadikannya sebagai kelemahan Derren. Derren dengan sengaja menjauh dari Tisya dengan mata elangnya yang tak melepaskan perempuan itu dari jangkauan matanya. "Tidak usah panik, saya di sini," ucap Derren lewat pesan singkat yang dia kirim. Tisya mulai mengamati sekitar dan ya, dia menemukan Derren di ujung ballroom tersebut sedang menikmati minuman. Tisya langsung menarik kedua sudut bibirnya, berusaha terlihat tenang dan menikmati keadaan di sana. "Kau benar-benar gila, Tuan!" cibir Tisya. Seseorang menepuk pundak polos Tisya yang membuatnya langsung berbalik. Di sana berdiri seorang laki-laki muda dengan setelan jas hitam, tampak cukup tampan, dia tersenyum manis. "Hai, Nona. Kau istrinya Tuan Derren?" tanyanya sambil mengulurkan tangan. Tisya tak mem

  • Gairah Liar Mr Presdir-ku   36. Kenapa Dia ...

    Derren mengerutkan keningnya, saat Tisya hanya mengaduk-aduk minuman matcha yang dibelikannya tadi. "Saya membeli itu untuk kamu cicip, supaya kamu bisa membuatnya sendiri!" ujar Derren. "Aku lagi tidak selera makan, Tuan. Rasanya—" Derren langsung menyimpan sendok ke meja, menimbulkan suara yang membuat Tisya meliriknya. Derren bangun dari duduknya dengan wajah tanpa ekspresi. Tisya hanya bisa diam menatap, mencoba menganalisa apa yang akan dilakukan Derren. "Mau ikut atau tidak? Ayo!" ajak Derren. "Kita mau ke mana? Kalau mau cari makan aku tidak mau!" tolak Tisya sambil melipat kedua tangannya di dada. Lihatlah, Tisya benar-benar berkamuflase menjadi seorang istri manja yang ingin dibujuk oleh suaminya. Derren memutar bola matanya dengan jengah, kemudian membuang napasnya dengan kasar. "Nanti malam akan ada pesta penting yang dihadiri oleh para petinggi perusahaan besar di sini. Kau harus ikut, Nona Tisya!" tegas Derren. Tisya menekuk wajahnya, terlihat kalau dia malas untuk

  • Gairah Liar Mr Presdir-ku   35. Insecure

    Derren mengaduk-aduk pasta yang dibuat Tisya dengan sepenuh hati. Dari penampilannya, ini sama sekali tidak menggugah selera. "Kamu tidak pernah membuat pasta sebelumnya?" tanya Derren dan Tisya hanya menarik kedua sudut bibirnya. Derren membuang napasnya dengan kasar, merasa tak yakin untuk bisa melahap makanan itu. Tisya melirik jam di pergelangan tangannya, dia membulatkan mata, sadar kalau beberapa menit lagi busway akan lewat. Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Tisya bergegas pergi dengan membawa tote bag miliknya. Derren membuka mulut, hendak menahan Tisya, tetapi perempuan itu sudah jauh melangkah. Tisya berlari sekuat tenaga, mengejar busway yang sebentar lagi akan tiba di halte. Dia akan kena masalah kalau sampai terlambat masuk kerja, sementara Derren adalah pemimpin di perusahan jadi walaupun terlambat tidak akan ada yang menggunjingnya. "Astaga, maaf saya tidak sengaja!" ucap Tisya sambil sedikit membungkuk. Sosok itu hanya melirik sinis, kemudian duduk di kursi kosong

  • Gairah Liar Mr Presdir-ku   34. Ada Apa Sebenarnya?

    Supermarket berada tak jauh dari kawasan mansion. Derren juga hanya pergi dengan pakaian santainya, cukup serasi dengan penampilan biasa dari Tisya. "Harganya mahal banget? Bukannya sama-sama matcha, ya?" tanya Tisya dengan heran saat melihat harga matcha. Ini memang kualitas terbaik, tak heran harganya mahal. Namun, Tisya tak menyangka kalau akan semahal ini dan lagi dia yang akan membuatnya. Tisya merasa dia akan menghamburkan uang Derren untuk hal tabu. "Kita beli dari brand biasa aja, ya!" Tisya kembali bernegosiasi. "Kenapa? Kamu takut saya kehabisan uang hanya karena membeli satu matcha?" Derren langsung memberi tatapan sinis. "Tuan, matcha bubuk dijual per gram dan—" "Nona, tolong bungkus matcha kualitas terbaik di sini. Dia mau belajar membuat cookies!" Derren langsung memanggil penjaga toko dan di sana Tisya hanya bisa membuang napasnya dengan kasar. Tisya menenteng semua bahan yang dia butuhkan untuk membuat berbagai minuman dan makanan dari matcha. Kini keduanya sedang

  • Gairah Liar Mr Presdir-ku   33. Salah Tingkah

    Tisya memalingkan wajahnya, jantungnya tiba-tiba berdegup tak karuan. Bingung harus bersikap apa, dia hanya celingukan menatap jalanan London di balik kaca mobil. "Ayo, saya mau lagi!" ucap Derren yang membuat Tisya kelimpungan. Derren menaikkan sebelah alisnya, dia juga bingung dengan sikap aneh Tisya. "Saya masih pegang setir, jadi tolong cookiesnya!" pinta Derren lagi. Kali ini Derren membuka mulutnya, meminta Tisya untuk segera memberinya asupan. "Tadi bilangnya tidak mau, tapi kayaknya semua makanan ini akan habis Anda makan sendiri," cibir Tisya. Saat Tisya hendak menyuapi Derren lagi, laki-laki itu malah mengulum bibirnya dan menutupnya rapat-rapat. Bukannya kesal, Tisya malah tertawa kecil melihat tingkah Derren. Bisa-bisanya di usianya yang tak lagi muda itu, Derren malah merajuk. Tisya membiarkan Derren menekuk wajahnya sepanjang perjalanan, dia juga ingin makan, jadinya Tisya mengabaikan Derren. Sampainya di rumah, Derren menutup pintu mobil dengan sangat keras, menim

  • Gairah Liar Mr Presdir-ku   32. Mau Apa Dia?

    Bukannya masuk, Tisya malah celingukan, takut ada orang lain yang melihatnya. Sosok di dalam mobil sana menghela napas, dia kembali meminta Tisya untuk segera masuk ke mobil. "Tunggu apalagi, ayo!" ajaknya lagi. Tisya pun masuk ke mobil, sambil tersenyum hampa Tisya mulai bertanya, "Ini tidak apa-apa kalau aku ikut mobil Anda, Tuan?" Tak ada jawaban, Derren hanya fokus menatap jalanan, melajukan kendaraan mewahnya itu di tengah kota London. Tisya dan Derren berada di mobil yang sama, tetapi keduanya seperti dua orang asing. Mereka memilih bungkam tanpa ingin terlibat obrolan. "Tuan, di sebelah sini ada kafe yang jual matcha tidak, ya?" tanya Tisya. Derren langsung melirik Tisya, yang membuatnya hanya tersenyum kiku. Derren memasang wajah datar tanpa ekspresi, itu membuat Tisya tenggelam dengan rasa bingung. "Kenapa berhenti?" tanya Tisya saat mobil Derren berhenti di sebuah kafe. "Bisa beli sendiri?" tanya balik Derren sambil menaikkan sebelah alisnya. Tisya mengangguk kecil, m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status