jangan marah mulu dong Derren 😌🤣
Tisya memalingkan wajahnya, jantungnya tiba-tiba berdegup tak karuan. Bingung harus bersikap apa, dia hanya celingukan menatap jalanan London di balik kaca mobil. "Ayo, saya mau lagi!" ucap Derren yang membuat Tisya kelimpungan. Derren menaikkan sebelah alisnya, dia juga bingung dengan sikap aneh Tisya. "Saya masih pegang setir, jadi tolong cookiesnya!" pinta Derren lagi. Kali ini Derren membuka mulutnya, meminta Tisya untuk segera memberinya asupan. "Tadi bilangnya tidak mau, tapi kayaknya semua makanan ini akan habis Anda makan sendiri," cibir Tisya. Saat Tisya hendak menyuapi Derren lagi, laki-laki itu malah mengulum bibirnya dan menutupnya rapat-rapat. Bukannya kesal, Tisya malah tertawa kecil melihat tingkah Derren. Bisa-bisanya di usianya yang tak lagi muda itu, Derren malah merajuk. Tisya membiarkan Derren menekuk wajahnya sepanjang perjalanan, dia juga ingin makan, jadinya Tisya mengabaikan Derren. Sampainya di rumah, Derren menutup pintu mobil dengan sangat keras, menim
Bukannya masuk, Tisya malah celingukan, takut ada orang lain yang melihatnya. Sosok di dalam mobil sana menghela napas, dia kembali meminta Tisya untuk segera masuk ke mobil. "Tunggu apalagi, ayo!" ajaknya lagi. Tisya pun masuk ke mobil, sambil tersenyum hampa Tisya mulai bertanya, "Ini tidak apa-apa kalau aku ikut mobil Anda, Tuan?" Tak ada jawaban, Derren hanya fokus menatap jalanan, melajukan kendaraan mewahnya itu di tengah kota London. Tisya dan Derren berada di mobil yang sama, tetapi keduanya seperti dua orang asing. Mereka memilih bungkam tanpa ingin terlibat obrolan. "Tuan, di sebelah sini ada kafe yang jual matcha tidak, ya?" tanya Tisya. Derren langsung melirik Tisya, yang membuatnya hanya tersenyum kiku. Derren memasang wajah datar tanpa ekspresi, itu membuat Tisya tenggelam dengan rasa bingung. "Kenapa berhenti?" tanya Tisya saat mobil Derren berhenti di sebuah kafe. "Bisa beli sendiri?" tanya balik Derren sambil menaikkan sebelah alisnya. Tisya mengangguk kecil, m
Thalia sejak tadi menatap pintu ruangan Derren, dia merasa janggal karena office girl yang masuk beberapa waktu lalu tak terlihat keluar lagi. Thalia mengerutkan kening, mulai curiga ada adegan terlarang di dalam sana. "Tunggu, kayaknya selera Derren tidak akan serendah itu. Tidak mungkin dia main gila dengan pegawai rendahan," kata Thalia sambil memicingkan matanya. "Buang pikiran bodohmu itu, Thalia. Tidak mungkin Derren menurunkan seleranya." Thalia yang hendak ke ruangan Derren pun mengurungkan niatnya. Thalia kembali ke mejanya, lagi pula dia akan kena marah kalau sampai masuk ruangan Derren tanpa izin. Sementara di dalam sana, Derren sedang menghabiskan semua makanan yang dibelikan Tisya. "Are you okey?" tanya Derren dengan nada acuh. "A-aku ... aku baik-baik saja," jawab Tisya yang malah membuat Derren meliriknya. Derren menatap lekat sosok Tisya, seolah tengah memastikan kalau ucapan perempuan itu memang benar adanya. Tisya yang melihat makanan sudah habis langsung member
Tisya ingin berterimakasih pada Derren, jadi dia sengaja pergi ke restoran yang ada di seberang kantor untuk membeli makanan. Sambil menenteng paper bag berisikan makanan, Tisya berjalan dengan percaya diri menuju ruangan Derren. Namun, langkahnya seketika terhenti saat melihat sosok Thalia. Dia seperti lupa kalau di kantor ini hubungan mereka hanya sebatas majikan dan bawahan, jadi akan sedikit aneh kalau tiba-tiba Tisya datang memberikan itu. "Kamu ngapain di sana?" ujar Thalia yang menyadari sosok Tisya. Tisya menelan air liurnya, mulai merasakan kekhawatiran yang kini menerpa. "Sa-saya dihubungi Tuan Derren untuk membeli makanan. Ini saya bawakan!" jawab Tisya dengan terbata-bata. "Derren memintmu secara langsung?" tanya Thalia dengan ekspresi tidak percaya. Tisya mengangguk dengan tegas, memberi pernyataan kalau pertanyaan Thalia memang benar adanya. Thalia cukup mengenal Derren dengan baik, jadi dia merasa aneh saat tahu Derren memerintah seorang office girl untuk mengurus m
"Nenek?" tanya Tisya. Tisya langsung mundur beberapa langkah, seolah memberi jarak dengan sosok di hadapannya saat ini. Luis. Laki-laki itu muncul kembali di hadapan Tisya, membuat tubuhnya lemas seketika. Dengan cepat Tisya berbalik, dia tidak mau terlibat dengan manusia satu itu. Namun, dengan cepat tangan Tisya langsung ditarik Luis yang membuat Tisya berbalik kembali. Pandangan mereka saling bertemu, sosok Luis kini menatapnya lekat dengan senyuman khas yang membuat Tisya takut. Tisya terlihat menelan air liurnya, tetapi dia masih berusaha berpikir jernih dan bersikap tenang. Tisya menatik tangannya, berusaha lepas dari Luis. "Tuan, Anda jangan macam-macam atau saya akan teriak!" ucap Tisya. "Seorang office girl ingin meneriaki orang sepertiku? Yang ada kamu hanya mempermalukan diri sendiri, Tisya!" gumam Luis. Tisya semakin ketakutan, secara kebetulan tak ada yang lewat di sana. Tisya sudah celingukan, berharap ada seseorang yang lewat dan bisa menolongnya. "Tolong jangan
Derren yang saling beradu tatap dengan Tisya hanya bergeming, dia menelan air liurnya sendiri karena jarak mereka sangat dekat. Saking dekatnya Derren bisa melihat semua bagian wajah Tisya dengan sangat jelas. Tatapan Derren malah membuat Tisya salah tingkah. Tisya mengusap wajahnya, dia bahkan memeriksa matanya takut ada kotoran di sana. "Tuan, apa ada yang salah dengan wajahku?" tanya Tisya. Derren langsung memalingkan wajahnya yang tanpa ekspresi itu. "Ti-tidak! Sana tidur!" ucap Derren dengan dingin. "Seriusan nggak ada? Coba cek lagi, Tuan?" Tisya malah terus mengikuti arah Derren menghadap. Derren menutup matanya sambil menghembuskan napas dengan kasar. Dia tiba-tiba menangkap wajah Tisya dengan kedua tangannya. Aksi itu secara spontan membuat Tisya membulatkan matanya. Tubuh Tisya seperti membeku seketika, dia bergeming, bahkan untuk menarik napas saja rasanya sesak. Jantungnya berdegup kencang seperti tengah mengikuti lomba lari maraton. Tisya menatap Derren yang saat it