Derren mendengkus, tetapi akhirnya dia pun mengangguk, “Kalau bukan aku, lalu siapa lagi?”
Tisya diam sejenak. Lalu perlahan menoleh pada arah Derren, matanya melebar tak percaya. "T–Tuan?"
Derren hanya menatapnya, tanpa senyum, tanpa pembelaan sedikit pun dari mulutnya itu.
"320 juta," gumam Tisya, seperti bicara pada dirinya sendiri, "Tuan membayar langsung semuanya?"
"Hmm,” gumam Derren setenang mungkin.
Jika memang begini. Kenapa Derren mempermainkan Tisya seperti ini, bahkan tadi Tisya nyaris melayani suaminya di tengah kegugupan ia yang memikirkan nasib neneknya di rumah sakit. Entah apa yang sebenarnya pria ini rencanakan.
Tisya menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Bukannya bahagia, justru hatinya terasa makin berat dan sedikit gamang, suaminya ini semakin misterius, dan Tisya merasa sangat yakin jika Derren merupakan pria yang sama, yang namanya pernah dia dengar.
"Kenapa Tuan … kenapa Tuan mengerjai saya seperti tadi?” bisiknya. “Padahal tadi kita, hampir—”
Derren menghela napas. "Diamlah, kepalaku pusing mendengar wanita yang suka merengek!"
Napas Tisya tercekat, tetapi air matanya menetes, ia segera menyekanya cepat-cepat, meski air matanya tak mau berhenti mengalir dari kelopaknya.
"Saya sudah tidak punya apa-apa lagi," katanya selirih mungkin, "hanya rumah nenek yang tertinggal. Tabungan sudah habis. Saya tidak tahu harus berbuat apa setelah ini. Nenek belum sadar dan perawatan selanjutnya pasti sangat mahal."
Entah mengapa takdirnya begitu buruk, setelah mantan kekasihnya menipunya habis-habisan, kini sekarang dia menjadi gelandangan di negara orang. Apa yang harus Tisya lakukan sekarang?
Derren mendengar lirihan istrinya, tetapi ia hanya diam, tanpa kata apa pun yang keluar dari mulutnya. Seolah tak peduli, tetapi tatapannya menyiratkan banyak arti.
"Saya harus pulang ke rumah Nenek malam ini,” ungkapnya ragu, “maaf, Tuan … tapi ada hal yang harus saya urus di rumah. Jadi, saya belum bisa menjalani tugas saya untuk Tuan.”
"Tapi—"
"Terima kasih sudah menolong Nenek, Tuan. Dan tolong jaga Nenek saya sebentar," ucapnya, lalu berbalik meninggalkan ruangan dengan langkah cepat dan hati yang masih berantakan.
***
Pagi hari, Tisya berdiri di depan cermin kecil, merapikan kerah blazer lamanya yang pernah ia pakai saat menjadi sekretaris pribadi di Indonesia. Pekerjaan itu sempat menjadi sandarannya, sampai semuanya hancur karena pengkhianatan Donal Beik, lelaki brengsek yang mencoba menghancurkan kehidupan Tisya.
Tapi hari ini ia tidak boleh mengingat luka. Ia membuka ponsel, mengecek kembali email konfirmasi lamaran pekerjaan dari Ribela Corporation—perusahaan multinasional yang ia temukan secara tidak sengaja di website resmi pencari kerja, semalam. Tisya melamar sebagai sekertaris, berharap yang terbaik. Tisya menghela napas dalam, lalu berangkat dengan harapan baru.
Dalam beberapa menit, Tisya sudah berada di Ribela Corporation di hadapan matanya, ia menatap gedung menjulang itu dengan dagu sedikit terangkat. Modern, megah, penuh kesan dingin dan profesional, tetapi sangat misterius. Sinar matahari memantul di kaca-kaca yang membingkai bangunannya.
Di dalam lobi, ia langsung disambut oleh suara keyboard dan gemericik air dari kolam kecil dekoratif. Sangat indah bukan?
"Selamat pagi," sapanya pada resepsionis. "Saya Tisya. Saya ada jadwal interview hari ini."
Resepsionis wanita muda itu memeriksa layar komputernya, lalu tersenyum ramah. "Ya, Nona Tisya. Silakan langsung naik ke lantai dua puluh enam. Interview-nya akan dilakukan langsung oleh CEO kami."
Tisya mengerutkan alis. "Langsung, dengan CEO?"
"Benar, hari ini hanya Anda yang dijadwalkan hadir. Mungkin yang lain mengundurkan diri atau belum konfirmasi ulang."
Tisya mengangguk pelan, tetapi hatinya mulai merasa aneh kebingungan, kenapa cuma dia satu-satunya? Bukankah ini perusahaan besar?
Lift terbuka, dan ia melangkah masuk. Tombol lantai 26 dipencet, dan pintu tertutup pelan seperti mulut rahasia yang sedang mengunyah sesuatu yang tak bisa ia pahami.
"Ini benar-benar aneh!"
Detik-detik dalam lift terasa lama. Tisya mengatur napas, menyiapkan jawaban untuk interview dengan CEO, merapikan rambut di refleksi pintu lift tersebut.
Saat pintu terbuka, ia disambut lantai dengan desain berbeda. Lebih tenang. Lebih mewah. Ada sofa kulit putih, lukisan abstrak tergantung di dinding, dan aroma kayu manis samar tercium dari diffuser.
Seorang HRD pria berpenampilan rapi menyapanya. "Selamat pagi, Anda Tisya, ya? Silakan masuk. Anda sudah di tunggu di dalam."
Seorang CEO yang menunggunya di dalam, kenapa suara hatinya mulai tak tenang seperti ini. Ada apa sebenarnya.
Tisya menelan ludah, berjalan mendekati pintu kaca besar bertuliskan 'CEO OFFICE' dan memutarnya pelan, kemudian Tisya masuk ke dalam.
Seketika tubuhnya membeku. Di ruangan besar bernuansa hitam-krem itu, berdiri seorang pria yang sangat dikenalnya. Dengan jas hitam rapi, dasi wine red, dan tatapan yang kini berbeda dari semalam lebih dingin, lebih, berjarak. Dia 'Derren Rynegan— suaminya. Pria itu yang berada di hadapan matanya sekarang.
Tisya mematung di ambang pintu. Tenggorokannya kering. Kepalanya mendadak kosong seolah isi otaknya disedot oleh vakum cleaner secara mendadak.
Derren tak bergeming, hanya mengatakan. "Kemarilah, Tisya Rahani."
Tisya tak bergerak sedikit pun. Jujur, Tisya masih tak menyangka jika Derren seorang CEO perusahaan yang ia lamar, "T-tuan ... Tuan CEO-nya?”
Derren berjalan pelan ke meja kerjanya, mengambil dokumen dari map hitam. "Ini memang perusahaanku, Tisya!” Tatapan mata Derren menajam pada istrinya, yang ternyata melamar pekerjaan di perusahaannya hari ini.
"A–aakah Tuan, sengaja?" suara Tisya nyaris bergetar, ketakutan. Ia bertemu lagi, sebenarnya apa rencana Derren sebenarnya. Kenapa semuanya serba kebetulan.
Derren menatapnya, "kamu melamar dari website resmi. Aku tidak pernah mengatur kamu untuk datang ke sini."
Tisya mencengkeram tas kecilnya. "Bahkan Tuan tahu jika saya membutuhkan pekerjaan. Tapi Tuan hanya duduk di sini, tanpa menawarkan bantuan pada istrimu, Tuan?”
Derren tersenyum miring, memandang Tisya yang terlihat menahan kesal padanya.
"Kamu bisa pergi sekarang juga, jika tidak berkenan," ucap Derren, tenang tetapi tegas, "Atau kamu bisa tetap duduk dan menjalani interview denganku sebagai calon karyawan pada atasannya?"
Tisya diam. Beberapa detik kemudian, ia melangkah maju dan duduk. Bahunya kaku, tetapi matanya berani menatap lelaki dingin tersebut. Pintu sudah tertutup rapat, yang tak mampu memperlihatkan antara Tisya dan Derren, beruntungnya HRD tadi berada di luar ruangan.
Jantung Tisya berdebar kencang, tatapan matanya tak bisa berpaling ke arah mana pun. Keadaan ini masih membuat Tisya bertanya-tanya dan berpikir keras. Kenapa bisa Derren seorang CEO perusahaan ini.
"Kenapa tatapan kamu seperti itu Tisya? Apakah kamu tidak senang?" pertanyaan konyol itu keluar dari mulut Derren. Tetap sama, Derren sangat datar tak bisa untuk senyum sedikit pun.
Jujur Tisya bukan tak senang bertemu dengan Derren, hanya saja ia merasa kebingungan yang sangat luar biasa. Tiba-tiba, ia diminta untuk bertemu dengan CEO dan anehnya bertemu dengan Derren, suaminya sendiri. Tisya mulai curiga. Mungkin sejak awal Derren telah merencanakan ini untuknya. Ditambah lagi hanya dirinya yang diminta interview hari ini, sungguh mencurigakan.
"Sebenarnya, apa rencana Tuan?" tanya Tisya, mencoba untuk berani, "apa yang Tuan inginkan dari saya sebenarnya."
Derren yang tadinya hanya duduk tenang, berdiri dari duduknya. Berjalan pelan, memutar kursi Tisya dan berkata.
"Kita perlu membicarakan hal yang sangat penting, tentang kita dan apa yang sudah kita sepakati sebelumnya belum selesai, Tisya!"
Tisya terperangah bingung, keningnya berkerut. "Ma-maksud Tuan kesepakatan apa ....?”
Tisya menatap Derren dengan mata membelalak tak percaya. Napasnya masih belum teratur sejak mendengar kalimat terakhir pria itu."Apa maksud Tuan? Kesepakatan kita, maksudnya apa?" bisiknya lirih penuh keheranan.Derren tak menjawab langsung. Ia melangkah pelan ke sisi jendela besar di belakang meja CEO, menatap lalu lintas kota London yang padat seperti pikirannya sendiri. Cukup lama ia diam, seakan memilih kata-kata untuk dilontarkan pada Tisya."Saat berada di luar kantor ini, aku minta kita tidak saling mengenal satu sama lain," katanya pelan pada Tisya, tetapi perkataan itu sangat tegas, "di sini, kamu hanya seorang pegawai. Aku atasanmu. Hanya itu status kita di mata dunia."Jantung Tisya berdegup kencang, kali ini bukan karena gugup, tetapi marah dan bingung bersamaan. Tisya tak masalah, hanya saja keadaan ini merasa sangat aneh."Jadi itu rencanamu, Tuan?" tanyanya, suaranya mengeras sedikit, "mendadak menolong, lalu memasukkan saya ke perusahaan, dan bersikap seakan kita berd
Derren mendengkus, tetapi akhirnya dia pun mengangguk, “Kalau bukan aku, lalu siapa lagi?”Tisya diam sejenak. Lalu perlahan menoleh pada arah Derren, matanya melebar tak percaya. "T–Tuan?"Derren hanya menatapnya, tanpa senyum, tanpa pembelaan sedikit pun dari mulutnya itu."320 juta," gumam Tisya, seperti bicara pada dirinya sendiri, "Tuan membayar langsung semuanya?""Hmm,” gumam Derren setenang mungkin.Jika memang begini. Kenapa Derren mempermainkan Tisya seperti ini, bahkan tadi Tisya nyaris melayani suaminya di tengah kegugupan ia yang memikirkan nasib neneknya di rumah sakit. Entah apa yang sebenarnya pria ini rencanakan.Tisya menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Bukannya bahagia, justru hatinya terasa makin berat dan sedikit gamang, suaminya ini semakin misterius, dan Tisya merasa sangat yakin jika Derren merupakan pria yang sama, yang namanya pernah dia dengar."Kenapa Tuan … kenapa Tuan mengerjai saya seperti tadi?” bisiknya. “Padahal tadi kita, hampir—”Derren menghela n
Derren melangkah lebih dekat ke arah Tisya, tubuh tinggi dan dinginnya kini hanya berjarak beberapa inci dari istrinya.Tisya melangkah mundur sampai terbentur tembok kamar mewah itu. Mata biru Derren menyorot tajam, Tisya bisa mencium aroma parfum maskulin bercampur dengan tekanan luar biasa di dada.Tisya menggenggam lengan panjang miliknya yang tinggal satu kancing. Derren mengangkat tangannya ke arah baju Tisya, lalu perlahan menanggalkan kancing terakhir baju wanita itu.Bibir Tisya bergetar hebat, ia tak tahu harus memejamkan mata atau menatap langit-langit kamar, tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tetapi ketakutan yang mendalam, terlebih ini kali pertamanya.Celana panjangnya pun melorot, menyisakan hanya tubuh yang setengah tertutup dan mata yang tak berani menatap siapa pun, bahkan dirinya sendiri, saking malunya.Derren tak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di sana. Lalu tangannya perlahan menjangkau pinggang Tisya sangat dekat seperti hendak melakukan sesuatu yang seh
Kedua tangan Tisya berkeringat dingin, setelah menerima surat nikah, yang baru saja membuat statusnya berubah seratus delapan puluh derajat, hanya dalam hitungan menit, menjadi seorang istri pria asing di depannya.Derren baru saja membuka pintu mobil dan diam menatap kebingungan wajah istri dadakannya itu.“Cepat masuk! Kamu harus melakukan tugas pertamamu terlebih dahulu, sebelum aku memberikan uang padamu!” Teguran bernada dingin itu, membuat Tisya terlonjak kaget.Dengan cepat nyaris terburu-buru, Tisya masuk ke dalam mobil, tepat di samping Derren, yang mulai melajukan mobilnya, pergi meninggalkan kantor catatan sipil.Keduanya terlibat keheningan, hingga Derren menyodorkan kotak beludru berwarna biru tua, yang tak langsung diterima oleh Tisya.Melihat Tisya yang seperti orang linglung, Derren sedikit menggeram rendah, lalu bicara, “Pakailah selama kamu berperan sebagai istriku!”Perkataan Derren membuat alis Tisya saling bertaut. “Apa maksud ucapan Anda, Tuan?”Sungguh Tisya tak
“Berhenti dan bayar hutang-hutangmu, sialan!"Teriak rentenir laki-laki yang lebih mirip preman itu nekat mengejarnya dari Tanah air hingga ke London untuk menagih utang pada Tisya Rhani, mantan sekretaris pribadi di salah satu perusahaan besar di Indonesia.Terlilit utang yang bukan utangnya, mendapat fitnah keji yang menuduhnya sebagai sekretaris selangkangan, yang sialnya hal itu membuat karirnya hancur. Ditambah lagi Tisya dirampok di bandara, semuanya lenyap, yang tersisa hanya kalung, dan ponsel keluaran terbaru di saku celana jeansnya saja.“Aku harus bagaimana ini?”Tisya berlari kencang, sesekali menatap ke belakang, berharap jika rentenir bengis itu sudah berhenti, tetapi ternyata dia begitu semangat mengejarnya, membuat napas Tisya semakin terengah-engah, dan ketakutan setengah mati, apalagi melihat pisau tajam yang diacungkan sang rentenir, seketika membuat tubuh Tisya lemas.Tak ingin mati sia-sia, Tisya terus berlari semakin kencang, sampai akhirnya napasnya putus-putus,