“.... kecuali Om bisa lebih mencintai diri Om. Melupakan semua masa lalu dan hidup untuk masa depan dengan lebih baik. Bagaimanapun aku akan tetap pergi. Suka atau tidak suka, aku memang harus pergi.” Suara itu terdengar begitu getir dengan getaran yang memperlihatkan kemarahan atau justru kebenciannya. Aura menelan kasar salivanya. Ia sadar kalimat yang diucapkannya barusan bakal memprovokasi lelaki itu. Tapi ia tak peduli. Bagaimanapun ia tidak ingin menjadi boneka pemuas hasratnya. Mungkin saja ia telah jatuh cinta pada lelaki itu. Tapi dia bukan orang yang pantas bagi hatinya untuk berlabuh. Cukup baginya penderitaannya selama ini. Ia tidak ingin menambahkan seorang Rey Damartha sebagai masalah baru dalam hidupnya. Ia harus benar-benar pergi menjauh dan membuang semua hal yang berhubungan dengan Rey. Tekadnya sudah bulat!Rey menatap kepergian gadis itu, lagi-lagi tanpa daya. Sebuah penyesalan memang selalu datang terakhir. Dia datang saat seseorang yang yang benar-benar berha
Ctarr!“Sofia!” teriaknya nyaris bersamaan dengan suara petir. Rey membuka matanya. Napasnya terengah sementara matanya memindai seisi ruangan, seolah mencari sesuatu. Namun ia tak menemukan siapapun, baik itu Aura ataupun Sofia. Lelaki itu menelan kasar salivanya. Sebagian dari dirinya merasakan kelegaan saat mengetahui bahwa semua itu hanyalah mimpi. Walau ada sebagian lainnya yang diharapkannya nyata.Ia bangkit dari ranjangnya, menatap hujan yang turun dengan derasnya dari balik jendela.“Aura, sebenarnya kamu dimana?” gumamnya penuh kerinduan.— “Gue nggak mau denger apapun alasan lo. Lo mesti kembali!” Nada suara Ega mulai meninggi, “sampe kapan lo mau ngumpet di sana? Lo mau ngorbanin kita-kita, buat jadi bulan-bulanan dia?” “Ga, aku nggak bakal kembali,” sahut Aura, “lagian surat resign udah ku kirim ke kantor.” “Girl! Dengerin ya. Gara-gara nyampein surat resign lo, Bu Natusha tuh dipecat.” “Nah, bukannya kalian semua justru senang dia nggak ada lagi?” “Eh, blasteran k
Tiba-tiba suara deringan terdengar. Sofia mengeluarkan ponselnya dari sakunya. Terlihat sebuah nama mengambang di atas layar pipihnya. Nama yang tak asing bahkan bagi Aura.“Aku mengerti Sayang,” ucapnya dengan lembut pada lelaki yang menjadi lawan bicaranya, “tidurlah, bawa aku dalam mimpimu.” Aura menelan kasar salivanya. Wanita itu seolah sedang memberitahukan hubungannya yang spesial dengan kata ‘sayang’ yang diucapkannya pada lelaki itu.Kata yang tak bisa dipungkiri membuat gadis itu berpikir dan menebak hubungan spesial di antara keduanya. Bukankah Sofia adalah kakak ipar Rey? Mustahil ada hubungan intim di antara keduanya. Mana mungkin wanita di hadapannya ini merupakan wanita masa lalu Rey. Mana mungkin mantan calon ibu mertuanya ini merupakan wanita yang pernah ada di hati Rey, wanita yang tak bisa Rey lupakan karena pesonanya atau justru karena wanita itulah yang menciptakan seluruh luka di tubuhnya, dialah yang mengajarkan seorang Rey untuk menikmati rasa sakit sebagai sa
Tarikan kuat itu membuat kepala Aura mendongak seketika. Ia tak mau menyerah. Sepasang tangannya menggapai rambut Rona dan menariknya kuat-kuat. Teriakan kencang keluar dari bibir gadis berkulit eksotis itu. Jessy terkejut melihat kekacauan itu. Ia menarik tangan Rona. “Lepasin Na, malu diliatin orang,” perintah Jessy.Namun tarikan Jessy justru membuat Aura kesakitan. Tarikan itu seperti sebuah tenaga tambahan bagi gadis itu untuk memisahkan rambut indah dari batok kepala Aura. Hingga tiba-tiba cengkraman tangan Rona lepas begitu saja dari rambut Aura.Merasa tarikan Rona melemah, Aura pun segera mengambil kesempatan. Ia menarik kuat-kuat rambut gadis itu hingga beberapa helai terlepas dari tempurungnya.Aura melepaskan cekalannya. Dilihatnya helai rambut yang ada di tangannya, terselip di antara jemarinya, sebelum menyadari bahwa semua mata pengunjung cafe itu sedang menatap mereka. Dan ia melihat seorang lelaki jangkung yang masih berdiri di antara mereka sembari mencengkram tan
“Boss! Aku menemukannya! Seorang anak buahku melihat gadis yang Anda cari di ….”Kalimat itu seakan memacu hormon endorfin Rey meningkat. Rasa bahagia membuat pikirannya semakin tak tenang dan memutuskan untuk segera menemuinya. Ia tidak ingin kehilangan jejak gadis itu untuk kesekian kalinya. Apalagi kali ini benar-benar tidak mudah bagi orang-orang suruhannya untuk menemukannya. “Arga, antar aku menemuinya.” Rasa gelisah yang sudah sekian lama dirasakannya lenyap dalam seketika. Kerinduan semakin membuncah di dadanya membawanya melangkah lebih cepat menyisir setiap lorong toko itu.Lorong peralatan dapur di supermarket sore itu tak begitu ramai, namun cukup hidup. Lampu LED di langit-langit menyinari rak-rak logam yang dipenuhi panci, wajan, dan spatula beraneka rupa. Musik instrumental mengalun pelan, diselingi suara kasir memanggil pelanggan berikutnya.Di depan rak paling ujung, seorang gadis muda berdiri diam dengan mata berbinar. Ia mengenakan blus biru muda dan celana kain
“Aku akan nikahin dia, setelah dia hamil dan separuh harta kakek sudah kumiliki,” ucap Micho penuh rayu, matanya menatap lembut wanita yang sedang meliuk di atas tubuhnya, “aku akan ceraikan dia dan nikahin kamu.” Rona memejamkan matanya seperti merasakan sesuatu yang sangat nikmat berkedut di dalam tubuhnya. “Benarkah?” lirihnya dalam desahan napasnya. “Aura cuma perempuan yang membosankan. Sangat berbeda dengan kamu yang cantik, seksi dan … menggairahkan,” ucapnya memuja. Mendengar perkataan calon suaminya itu, membuat hatinya teriris. Namun Aura langsung menutup mulutnya dengan tangannya. Ia hampir saja berteriak saking terkejutnya, saat seseorang menyentuh pundaknya. Tapi ia tidak mau sepasang kekasih di dalam sana, mengetahui kehadirannya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya lelaki jangkung yang berdiri tepat di depannya. Aura meletakkan telunjuknya di depan bibirnya, sebuah tanda permohonan agar lelaki itu tidak berisik. Cepat-cepaf digenggamnya tangan lelaki asi
“Video itu bukan rekayasa. Aku bisa pastikan kalau itu asli.” Semua mata tertuju pada lelaki yang sedari tadi diam di sudut ruangan. Sosok tubuh jangkung, wajah tampan dengan tatapan penuh karisma itu sontak membuat para tamu yang ramai bagai kawanan lebah itu diam seketika saat ia melangkah maju. “Tentu saja asli. Kedua pelakunya juga masih ada di sini, dengan pakaian yang sama,” lanjut Aura sembari menunjuk Rona yang berdiri tak jauh dari Micho. Tiba-tiba sebuah tamparan mendarat di pipi Aura. Tamparan yang membuatnya tersentak kembali pada kenyataan. “Aura! Minta maaf sama keluarga Damarta sekarang juga!” perintah Linda. “Hah? Dia yang bernain gila, kenapa aku yang harus minta maaf?” bantah Aura. “Nggak usah ngarang! Micho nggak mungkin melakukan hal rendah seperti itu. Apalagi dengan Rona, sahabatmu sendiri,” ucap Linda, ibu tirinya, “minta maaf sekarang juga.” “Tapi Ma.” Linda mendekati Aura dengan mata melotot saking kesalnya. Wanita awal empat puluhan itu
“Tapi aku belum pernah melakukan itu. Aku belum pernah berhubungan dengan lelaki manapun. Mana mungkin aku tahu apa yang kusuka dan tidak.” Rey menatap gadis di hadapannya dengan rasa tak percaya. Tentu saja, di jaman yang semakin gila seperti sekarang, ia tak percaya masih ada gadis yang mempertahankan kesuciannya seperti Aura. “Maksudmu … kamu belum pernah berhubungan dengan keponakanku?” Sekali lagi Aura menggigit bibir bawahnya dengan gelisah sebelum akhirnya menundukkan kepalanya. Tatapan mata itu seperti hendak menelanjanginya. Lelaki itu seperti mempunyai kemampuan untuk membaca semua yang ada di dalam pikirannya. “Si bodoh itu belum pernah menyentuhmu? Maksudku … katakan padaku sejauh apa dia sudah menyentuhmu selama ini,” tanyanya lagi. Aura terdiam. Pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya merasa tak nyaman, bahkan terlalu privacy untuk dibicarakan dengan orang yang masih termasuk asing baginya. “Aku tahu, hari ini cukup berat buat kamu. Istirahatlah, dan pikirkan tawara
“Boss! Aku menemukannya! Seorang anak buahku melihat gadis yang Anda cari di ….”Kalimat itu seakan memacu hormon endorfin Rey meningkat. Rasa bahagia membuat pikirannya semakin tak tenang dan memutuskan untuk segera menemuinya. Ia tidak ingin kehilangan jejak gadis itu untuk kesekian kalinya. Apalagi kali ini benar-benar tidak mudah bagi orang-orang suruhannya untuk menemukannya. “Arga, antar aku menemuinya.” Rasa gelisah yang sudah sekian lama dirasakannya lenyap dalam seketika. Kerinduan semakin membuncah di dadanya membawanya melangkah lebih cepat menyisir setiap lorong toko itu.Lorong peralatan dapur di supermarket sore itu tak begitu ramai, namun cukup hidup. Lampu LED di langit-langit menyinari rak-rak logam yang dipenuhi panci, wajan, dan spatula beraneka rupa. Musik instrumental mengalun pelan, diselingi suara kasir memanggil pelanggan berikutnya.Di depan rak paling ujung, seorang gadis muda berdiri diam dengan mata berbinar. Ia mengenakan blus biru muda dan celana kain
Tarikan kuat itu membuat kepala Aura mendongak seketika. Ia tak mau menyerah. Sepasang tangannya menggapai rambut Rona dan menariknya kuat-kuat. Teriakan kencang keluar dari bibir gadis berkulit eksotis itu. Jessy terkejut melihat kekacauan itu. Ia menarik tangan Rona. “Lepasin Na, malu diliatin orang,” perintah Jessy.Namun tarikan Jessy justru membuat Aura kesakitan. Tarikan itu seperti sebuah tenaga tambahan bagi gadis itu untuk memisahkan rambut indah dari batok kepala Aura. Hingga tiba-tiba cengkraman tangan Rona lepas begitu saja dari rambut Aura.Merasa tarikan Rona melemah, Aura pun segera mengambil kesempatan. Ia menarik kuat-kuat rambut gadis itu hingga beberapa helai terlepas dari tempurungnya.Aura melepaskan cekalannya. Dilihatnya helai rambut yang ada di tangannya, terselip di antara jemarinya, sebelum menyadari bahwa semua mata pengunjung cafe itu sedang menatap mereka. Dan ia melihat seorang lelaki jangkung yang masih berdiri di antara mereka sembari mencengkram tan
Tiba-tiba suara deringan terdengar. Sofia mengeluarkan ponselnya dari sakunya. Terlihat sebuah nama mengambang di atas layar pipihnya. Nama yang tak asing bahkan bagi Aura.“Aku mengerti Sayang,” ucapnya dengan lembut pada lelaki yang menjadi lawan bicaranya, “tidurlah, bawa aku dalam mimpimu.” Aura menelan kasar salivanya. Wanita itu seolah sedang memberitahukan hubungannya yang spesial dengan kata ‘sayang’ yang diucapkannya pada lelaki itu.Kata yang tak bisa dipungkiri membuat gadis itu berpikir dan menebak hubungan spesial di antara keduanya. Bukankah Sofia adalah kakak ipar Rey? Mustahil ada hubungan intim di antara keduanya. Mana mungkin wanita di hadapannya ini merupakan wanita masa lalu Rey. Mana mungkin mantan calon ibu mertuanya ini merupakan wanita yang pernah ada di hati Rey, wanita yang tak bisa Rey lupakan karena pesonanya atau justru karena wanita itulah yang menciptakan seluruh luka di tubuhnya, dialah yang mengajarkan seorang Rey untuk menikmati rasa sakit sebagai sa
Ctarr!“Sofia!” teriaknya nyaris bersamaan dengan suara petir. Rey membuka matanya. Napasnya terengah sementara matanya memindai seisi ruangan, seolah mencari sesuatu. Namun ia tak menemukan siapapun, baik itu Aura ataupun Sofia. Lelaki itu menelan kasar salivanya. Sebagian dari dirinya merasakan kelegaan saat mengetahui bahwa semua itu hanyalah mimpi. Walau ada sebagian lainnya yang diharapkannya nyata.Ia bangkit dari ranjangnya, menatap hujan yang turun dengan derasnya dari balik jendela.“Aura, sebenarnya kamu dimana?” gumamnya penuh kerinduan.— “Gue nggak mau denger apapun alasan lo. Lo mesti kembali!” Nada suara Ega mulai meninggi, “sampe kapan lo mau ngumpet di sana? Lo mau ngorbanin kita-kita, buat jadi bulan-bulanan dia?” “Ga, aku nggak bakal kembali,” sahut Aura, “lagian surat resign udah ku kirim ke kantor.” “Girl! Dengerin ya. Gara-gara nyampein surat resign lo, Bu Natusha tuh dipecat.” “Nah, bukannya kalian semua justru senang dia nggak ada lagi?” “Eh, blasteran k
“.... kecuali Om bisa lebih mencintai diri Om. Melupakan semua masa lalu dan hidup untuk masa depan dengan lebih baik. Bagaimanapun aku akan tetap pergi. Suka atau tidak suka, aku memang harus pergi.” Suara itu terdengar begitu getir dengan getaran yang memperlihatkan kemarahan atau justru kebenciannya. Aura menelan kasar salivanya. Ia sadar kalimat yang diucapkannya barusan bakal memprovokasi lelaki itu. Tapi ia tak peduli. Bagaimanapun ia tidak ingin menjadi boneka pemuas hasratnya. Mungkin saja ia telah jatuh cinta pada lelaki itu. Tapi dia bukan orang yang pantas bagi hatinya untuk berlabuh. Cukup baginya penderitaannya selama ini. Ia tidak ingin menambahkan seorang Rey Damartha sebagai masalah baru dalam hidupnya. Ia harus benar-benar pergi menjauh dan membuang semua hal yang berhubungan dengan Rey. Tekadnya sudah bulat!Rey menatap kepergian gadis itu, lagi-lagi tanpa daya. Sebuah penyesalan memang selalu datang terakhir. Dia datang saat seseorang yang yang benar-benar berha
Rasa panas mendera kulit Aura. Sepasang matanya membulat seketika. Bukan hanya itu, sentuhan panas benda itu, membuatnya tersadar kembali pada dunia nyata. Namun ia sama sekali tak bisa melihat apapun. Pandangannya tertutup sementara tangan dan kakinya terikat dengan kuatnya. “Om ….” Suara gemetar itu keluar dari bibirnya, “apa itu kamu?” Tubuh gadis itu gemetar. Ia benar-benar takut. Bagaimana mungkin ia tidak akan takut, jika beberapa saat sebelumnya berada di dalam kamar apartemennya, lalu tiba-tiba saja berada di tempat asing, bahkan dengan kedua tangan dan kaki terikat. Dari hembusan air conditioner ruangan, ia bahkan yakin bahwa saat ini tak ada sehelai kain pun yang melekat di badannya. Jantungnya berdegup kencang. Ia benar-benar takut, bagaimana jika orang yang mengganggunya itu adalah seorang penjual organ manusia! Seorang penjagal yang hanya berniat mengambil organnya untuk dijual. Mungkin saat ini bahkan beberapa orang sedang mengamatinya. Tapi … tidak! Tak m
“Jess, tolong aku.” Saat ini hanya Jessi yang ada di dalam pikirannya. Ia ingin berlari dari Rey malam ini. Ia tidak ingin berurusan dengan lelaki yang selalu melibatkan ketegangan dalam hidupnya. Seperti yang dialaminya hari ini. Sebelum mengenal Rey, hidupnya sangat teratur dalam ketenangan yang membosankan. Hanya bekerja untuk makan – beristirahat dan bekerja lagi. Tapi semuanya berubah setelah bertemu dengan Rey. Ia seperti tak sempat untuk tidur dengan tenangnya, bahkan dalam mimpinya pun, Rey selalu mendominasi. “Kamu kenapa, Ra?” tanya Jessi yang akhirnya tiba di depan seventy eight degrees. Aura menggelengkan kepalanya. Ia tidak bisa menceritakan semuanya. Ia sudah berjanji untuk menyimpan semua hal yang berhubungan dengan Rey Damartha, walau ia sama sekali tak berniat menandatangani perjanjian konyol itu. “Aku cuma takut pulang sendiri,” sahut Aura sekenanya.“Tumben. Bukannya kamu dah biasa pulang sendiri? Kenapa tadi nggak bareng sama Ega?” tanya gadis dengan rambut g
Mendengar ucapan Aura membuat hati ketiga lelaki itu menciut. Mereka tidak ingin mengganggu, tapi juga tidak bisa mengabaikan perintah Rey, atasannya.“Tuan meminta kita menjaga Nona, karena ia takut seseorang akan menyerang Nona seperti tadi pagi.” Aura semakin kesal. “Tamu-tamu resto ini, nggak jadi masuk gara-gara kalian. Bisa-bisa mereka berasumsi bahwa seventy eight degrees adalah tempat berkumpulnya para preman.” “Tapi ….”“Katakan padanya, tidak ada yang akan menyakitiku di dapur,” perintah Aura sesaat sebelum berlalu dari hadapan ketiganya. Gadis itu menghentikan langkahnya. Sejenak ia berbalik dengan wajah kesalnya yang kentara, “dan satu lagi, aku bakal lapor ke polisi karena kalian bertiga mengganggu ketenangan tempat kerjaku.” Setelah mengatakan semua yang ingin dikatakannya, gadis itu pun pergi. Aura sedang melangkahkan kakinya menuju ke dapur, saat Bu Natusha dengan ketus memanggilnya. “Oh, jadi gini cara kerjamu? Mondar-mandir nerima tamu doang?” Perempuan bertubu
Motor sport berwarna hijau itu melaju dengan kecepatan tinggi, sengaja mengikuti mobil Aura. Helm teropong dan jaket kulit yang dipakainya, menyembunyikan identitasnya dengan sempurna. Tidak ada seorangpun yang bisa mengenali siapa dibalik kaca gelapnya.Dan saat kendaraan beroda dua itu berada sejajar dengan mobil yang menjadi incarannya, ia mengeluarkan sebongkah batu berukuran sekepalan tangan. Tanpa basa-basi, dilemparkannya benda itu ke kaca sang penumpang, tepat dimana Aura berada.Benturan itu mau tak mau membuat kaca itu memperlihatkan retakan. Retakan besar yang bahkan jika disentuh sedikit saja, bakal hancur berserakan. Retakan itu membuatnya tak dapat melihat apa yang terjadi barusan di luar sana. “Nona tidak apa-apa?” tanya Arga yang sekarang justru melajukan kendaraan beroda empat itu lebih kencang. Aura yang terkejut karena peristiwa itu, mencoba menenangkan dirinya. Ia semakin merasa gelisah saat lelaki di balik kemudinya itu semakin ugal-ugalan mengejar pemotor tadi