Rey menatap Maya dalam-dalam, tak lagi ada jarak pertahanan atau sikap membela diri. Yang tersisa hanya kejujuran dan luka. Ia menghela napas panjang sebelum berkata, suaranya datar tapi penuh bobot:“Ada satu hal lagi yang harus kamu tahu.”Maya mengangkat dagunya, ekspresi wajahnya masih menantang, meski sedikit ragu mulai merambati sorot matanya.“Maureen sempat meninggalkan pesan terakhir. Sebuah pengakuan. Semuanya ia rekam dan sembunyikan... dalam sebuah flashdisk.” Rey menundukkan kepala sejenak, sebelum kembali menatap Maya. “Ia menyelipkannya di bawah bantalmu, di rumah sakit. Tepat sehari sebelum dia meninggal.”Dada Maya naik-turun cepat. “Apa katamu...?”“Sofia tahu keberadaan flashdisk itu. Karena itulah dia menyusup ke ruang rawatmu. Tapi kamu memergokinya, kan?” lirih Rey.Maya perlahan teringat. Sosok perempuan asing yang muncul di tengah malam, mengendap-endap, lalu membeku saat Maya membuka mata untuk pertama kalinya. Ia pikir saat itu hanya mimpi. Tapi wajah itu—taj
Dengan napas tertahan, Rey menatap Maya. Tatapan gadis itu menusuk, bukan sekadar tuduhan, tapi jeritan jiwa yang dirusak waktu dan kehilangan. Untuk sesaat, Rey merasa seperti pria paling kejam di dunia, walau ia tahu, kebenaran tidak sesederhana potongan video tanpa suara yang diperlihatkan. .Ia menarik napas pelan, mencoba menenangkan dirinya. Tapi di balik ketenangan itu, perasaannya bergemuruh, antara rasa bersalah, amarah, dan ketidakadilan yang tak bisa ia tepis begitu saja.“Aku menikah memang untuk bahagia, Maya,” ucap Rey lirih tapi tegas. “Dan aku tidak mencintai Aura karena ingin melupakan kakakmu. Tidak ada perasaan apapun di antara aku dan kakakmu.”Maya menyeringai kecil. “Kau mengira itu terdengar adil? Maureen mati karena kau, dan kau bilang kau dan kakakku tidak ada perasaan apapun? Kau pikir aku akan percaya setelah mendengar itu?”Rey menatapnya lekat-lekat. “Maureen bukan korban, Maya. Tidak seperti yang kau kira.”Maya mendengus. “Tentu saja kau akan bilang begi
Lampu gantung di kamar hotel masih menyala lembut, menyisakan kehangatan dari malam yang begitu panjang. Sprei kusut, tubuh Aura yang tertidur di bawah selimut putih, dan aroma bunga segar yang mulai memudar menjadi saksi bisu malam panas mereka.Rey duduk di sisi ranjang, memandangi wajah istrinya yang tertidur damai. Ada kedamaian di sana, begitu tenang, seakan semua luka yang pernah mereka tanggung bersama telah ditelan waktu. Tapi di dadanya, ada satu sesak yang tak bisa diabaikan.Ponselnya bergetar pelan. Ia menoleh, meraih ponsel dari atas nakas. Satu pesan masuk dari Arga."Intrusi. Seorang tak dikenal menyelinap ke area utama rumah. Pelayan baru berhasil melepaskan diri dari sekapan dan memberi laporan. Target bergerak ke lantai atas."Rahang Rey menegang. Ia segera menekan tombol panggil."Detailnya?""Sudah saya periksa dari CCTV. Masuk sekitar pukul 01.47. Perempuan. Jalurnya akurat. Tidak ragu. Ini bukan pencuri biasa.""Amankan dia. Jangan buat keributan.""Sudah ditangk
Pelukan mereka tak lagi hanya tentang kehangatan. Ada detak jantung yang mulai berdebar cepat, ada helaan napas yang tak lagi pelan, dan ada aliran gairah yang perlahan menggantikan dinginnya trauma. Tubuh Aura yang semula menggigil, kini mulai menghangat dalam dekapan Rey. Ia bisa merasakan dada suaminya naik-turun, teratur namun menegang. Napas Rey kini hangat di telinganya.Rey mengangkat wajah Aura, menatap mata bening yang masih menyimpan sisa ketakutan. Perlahan ia mendekatkan wajahnya, dan menghapus jarak di antara mereka dengan sebuah lumatan lembut di bibirnya. Sentuhan Rey terasa membara di bibir Aura. Seperti api yang membakar jiwanya yang sedang dibalut dalam hasrat. Aura memejamkan mata, membiarkan hasratnya mengambil kendali atas tubuh dan pikirannya. Ia membalas lumatan di bibir rey, seakan berusaha mengimbangi tanpa keraguan. Rey menarik sudut bibirnya, merasakan penerimaan tulus penuh cinta dan kepasrahan istrinya. Lelaki itu menyentuh kulit lembut punggung istriny
Micho dilempar duduk ke sofa oleh salah satu pengawal Rey. Wajahnya memucat, napas memburu, dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Di seberangnya, Rey berdiri membelakangi jendela, tubuhnya tegak, matanya dingin menatap keponakannya itu seperti singa yang siap menerkam.Hening. Sampai akhirnya suara Rey terdengar, pelan tapi tajam.“Jelaskan.”Micho menggertakkan rahangnya. “Dia seharusnya jadi istriku. Om merebutnya dariku.”Rey menyipitkan mata. “Apa?”“Kakek menjodohkan kami. Aura seharusnya menikah denganku. Semuanya sudah disiapkan … kalau saja Om tidak muncul dan ikut campur. Kalau saja Om tidak datang dan membawa Aura pergi dari hari pernikahanku.”Suara Micho mulai meninggi, penuh dendam dan frustrasi. “Kalau saja Om nggak merebut dia dariku … semuanya nggak akan jadi seperti ini!”Rey menghela napas, langkahnya perlahan mendekat ke arah Micho.“Dia bukan benda untuk direbut, Micho. Dan kamu … kamu kehilangan hak untuk menyebutnya calon istrimu sejak hari itu.”Rey berhenti
Brak!Pintu kamar rias terhempas keras hingga membentur dinding, membuat hiasan bunga di atas meja rias terjatuh. Rey menerobos masuk dengan napas memburu, mata elangnya menyapu ruangan dengan cepat. Ada sesuatu yang salah. Terlalu sunyi. Terlalu rapi … namun justru itu yang membuat ruangan ini mencurigakan.Matanya menangkap anting-anting dan kalung Aura tergeletak di atas meja rias, seolah dilepas terburu-buru. Rey mendekat, menyentuhnya sebentar, lalu menoleh ke sekeliling dengan jantung makin berdebar. Instingnya menyala, seperti binatang pemburu yang mencium aroma ancaman.Lalu ia melihat jejak kaki basah di atas lantai. Langkah-langkah tergesa, tidak teratur, meninggalkan noda air di atas lantai marmer, mengarah keluar dari kamar mandi. Ada seseorang yang baru saja keluar dari sana.Bayangan samar melintas di ujung lorong belakang, tapi Rey tidak mengejarnya. Firasatnya berteriak seakan melarangnya.Bukan sosok yang kabur itu yang penting. Ia tidak bisa mengabaikan firasatnya.