“Kita putus.”
Maira diam terpaku menatap sosok pria yang sedang berdiri menatapnya. Entah berapa puluh kali dia meminta putus dengan berbagai alasan dan kini terulang lagi. “Kenapa lagi?” tanya Maira berusaha tetap tenang. “Aku bosan,” jawabnya enteng. “Hanya itu?” desaknya. Pria itu hanya mengedikkan kedua bahunya seolah menganggap semuanya itu mudah baginya. Wanita cantik bermata coklat itu pun menyeka rambutnya dan mulai frustasi. “Kenapa kamu mudah sekali mengatakan kata putus. Hanya karena bosan kamu membuangku?” “Iya, aku bosan memiliki hubungan dengan wanita yang kekanak-kanakan.” “Apa?” wanita itu pun berdecak tak percaya. “Kekanakan ... yang benar saja selama ini aku yang mengimbangi sikap egoismu itu. Aku yang selalu meminta maaf lebih dulu padahal kamu yang salah.” “Lihat kamu mengungkit semuanya. Apa kamu pikir aku bisa bertahan dengan wanita yang selalu mengoceh hanya karena hal-hal kecil. Kamu selalu marah kalau aku telat mengabari dan aku benci selalu mengikuti kemanapun kamu pergi. Wanita dewasa tak seperti itu Maira. Aku benar-benar sudah lelah dengan sikapmu itu jadi, kita putus saja.” Setelah mengatakan itu Nathan pun beranjak pergi meninggalkan Maira. “Tunggu, Nathan Arkana Prasetyo.” Langkahnya terhenti lalu berbalik. Sesaat keduanya saling bertatapan. “Setelah ini jangan pernah membujukku untuk kembali lagi.” “Nggak akan, aku pastikan ini yang terakhir dan aku nggak akan pernah menemuimu lagi.” Setelah mengatakan itu pria itu pun pergi. Maira hanya bisa diam memandangi punggung kekasihnya yang semakin lama menghilang. Baginya keputusan sepihak ini cukup membuatnya sakit hati, tanpa sebab dia di campakan begitu saja. “Sial, dia benar-benar pergi.” Dengan kasar Maira menyeka air matanya sambil mengejar pujaan hatinya. Sekuat tenaga dia berlari ke basement, tapi sayangnya Nathan sudah masuk ke dalam mobil. “Nathan, TUNGGU!” Tepat saat mobil Nathan berjalan melewatinya, Maira pun sengaja merentangkan tangannya mencoba menghalangi. “KELUAR … Aku bilang KELUAR!” Maira memukul kap mobil dengan kencang seolah meluapkan kekesalannya. Nathan pun keluar dari dalam mobil menghampiri Maira. “Nggak perlu berteriak!” hardik Nathan. “Beri aku alasan kenapa kamu memutuskan hubungan kita begitu saja?" "Nggak bisakah kamu bersikap dewasa Maira, aku sudah muak dengan hubungan kita. Hubungan ini sudah berakhir jadi berhentilah seolah kamu yang paling tersakiti.” “Apa? Dengar Nathan kalau kamu memutuskan aku karena hal lain mungkin aku bisa terima, tapi kamu memutuskan hubungan kita disaat semuanya baik-baik saja." “Cukup Maira! Aku sudah bosan dengan hubungan kita, lagi pula usiaku sudah nggak muda lagi aku nggak mau bermain-main denganmu.” “Bermain-main, apa kamu pikir selama ini hubungan kita hanya main-main?” “Iya, karena kamu tak pantas untuk dijadikan istri." "Istri ... bukannya kamu yang selalu mengalihkan pembicaraan saat kita membahas pernikahan?" "Karena aku nggak mau menikah sama wanita sepertimu!" Suara tamparan terdengar begitu nyaring hingga membuat tangan Maira terasa kebas. “Brengsek, setelah apa yang aku lakukan untukmu, kamu membuangku begitu saja? Aku bersumpah kamu tak akan pernah bahagia dengan wanita manapun.” Tangan Maira terkepal dengan kuat. Setelah meluapkan emosinya Maira pun kembali masuk ke dalam apartemen tanpa menoleh sedikitpun. Sementara itu, Nathan masih diam berdiri di depan mobilnya seolah menenangkan pikirannya. *** Maira Catrina Mawardi terlahir sebagai anak tunggal dari keluarga Mawardi. Namun, sejak ibunya meninggal dan papanya menikah dengan wanita yang usianya tak beda jauh dengannya, Maira pun memilih kabur ke Singapura karena tak setuju dengan keputusan papanya itu. Namun, disinilah Maira sekarang, berdiri menatap rumah yang belum pernah dia datangi setelah ibu tirinya itu mengabari bahwa sang ayah kecelakaan. Meski awalnya enggan, akhirnya Maira memilih kembali ke Indonesia dan meninggalkan pekerjaan serta mimpinya di negeri orang. “Maira.” Suara wanita terdengar memanggil namanya. Dia pun berbalik, betapa terkejutnya Maira saat mendapati Mila yang tak lain ibu tirinya sedang berjalan ke arahnya. “Sial,” desisnya. “Terima kasih kamu sudah datang. Ayo masuk, Papamu ada di dalam.” Dengan kasar Maira menepis tangan wanita itu lalu masuk ke dalam rumah untuk menemui Papanya. Namun, keadaannya tak seperti yang dia bayangkan. “Kamu datang Maira, Papa sangat merindukanmu, Nak!” Pria paruh baya itu pun berlari ke hadapan Maira lalu memeluknya dengan erat. “Sepertinya kecelakaan itu hanya omong kosong belaka,” tutur Maira enggan membalas pelukan pria itu. Perlahan pria itu pun melepaskan pelukannya. “Papa benar-benar kecelakaan, tapi hanya luka ringan. Kenapa, apa kamu menyesal sudah datang ke sini?” Maira hanya berdecak lalu menepis tangan Toni Mawardi yang tak lain papanya itu. “Ehm, Papa memintamu datang karena Papa rindu sama kamu Maira. Apa Papa harus mati dulu agar kamu pulang menemui Papa?” Maira menghela napasnya, jujur sebenarnya dia sangat merindukan papanya. Namun, Maira harus menahan rasa itu karena tak suka dengan ibu tirinya. "Karena Papa baik-baik saja, sebaiknya aku pulang." “Tunggu dulu, ada yang ingin Papa bicarakan. Ikut Papa!” Maira pun berjalan mengikuti langkah Toni ke ruang kerjanya. "Tutup pintunya, Papa ingin bicara empat mata denganmu." Maira pun menurut lalu menghampiri meja kerja Toni. Di atas meja sudah ada berkas yang di simpan di sana. “Papa sudah mengalihkan semua saham atas nama kamu, jadi tetaplah disini dan urus semua perusahaan Papa. Untuk itu Papa ingin kamu belajar berbisnis dengan Om-mu.” Maira mengerutkan dahinya selama ini dia tak memiliki Om karena Papanya anak tunggal sama seperti dirinya, bahkan almarhum ibunya pun tak memiliki saudara. “Om?” “Iya, dia adik Mama Mila.” Argh sial, mendengar namanya disebut membuat Maira kesal. “Nggak usah, aku bisa sendiri.” “Kalau kamu nggak mau terpaksa Papa akan mengalihkan perusahaan atas nama Mamamu.” “Ap-apa? Yang benar saja, hanya masalah sepele seperti ini Papa ingin mengganti namaku dengan nama rubah betina itu!” “Suuuttt ... pelankan suaramu, dia bukan rubah betina tapi MAMA barumu. Pikirkan baik-baik, Papa yakin kamu akan setuju dengan keputusan Papa,” ucap Toni seolah mengerti apa yang ada di pikiran Maira. Toni yakin putrinya tak akan setuju jika semua aset miliknya atas nama istri barunya. “Oh ya, hari ini Om-mu akan datang atau mungkin dia sudah datang,” sambungnya melihat jam tangan. “Secepat ini?” tanya Maira terkejut. “Iya, Papa sudah mengatur pertemuan kalian. Bukankah lebih cepat lebih baik agar kamu segera mengurus perusahaan ini.” "Pah, aku—" Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian keduanya. "Permisi Sayang.” Wajah Mila menyembul dari celah pintu. “Nathan sudah datang." Nathan, mendengar namanya sedikit membuat Maira tertegun sesaat "Baiklah, aku segera turun." Mata Toni kini beralih ke Maira. "Ayo, turun." Mau tidak mau dia harus mengikuti kemauan papanya dari pada kehilangan segalanya. "Bersikap baiklah, Papa tak mau namamu jelek di depan keluarga Mila." Maira hanya diam tak peduli dengan ucapan Toni karena selama ini dia membenci ibu tirinya itu. "Selamat datang Nathan." Langkah Maira terhenti, matanya pun fokus ke sosok yang tak asing baginya. "Nathan?"Setelah pergi bersama ke Bali, Maira yakin jika mantan kekasihnya itu masih menginginkannya. Hanya saja, orang tuanya sudah menjodohkan Nathan dengan wanita lain ditambah status keluarga menjadi penghalang hubungan mereka.Namun, hal itu tak menghalangi niat Maira untuk merebut kembali hati mantan kekasihnya itu.“Americano satu,” ucap pria yang ada di belakang Maira.Mendengar suara yang tak asing baginya, sontak Maira pun menoleh ke sumber suara.“Devan.”“Hai,” sapa Devan. “Kamu pesan apa?”“Aku ….”“Ini pesanannya, ice caramel latte, hot americano dan dua sandwich,” ucap staf sambil menyajikan pesanan Maira.“Wah, ternyata kamu sudah membeli sarapan untukku. Terima kasih,” tutur Devan.Tanpa rasa malu, Devan mengambil alih paper bag yang Maira pegang.Mau tak mau Maira pun membiarkan Devan begitu saja, dia tak mungkin memberi tahu Devan kalau kopi itu untuk Nathan.“Kapan kamu pulang dari Bali?” tanya Devan sambil menyeruput americano.Maira hanya bisa menelan ludah sembari menaha
Maira tertawa melihat wajah Nathan yang tampak begitu kesal melihat kelakuannya. Harusnya dia bersikap dewasa untuk mengambil hatinya kembali seperti yang di inginkan mantan kekasihnya itu. Namun berbanding terbalik, Maira malah seperti menabuh genderang perang dengan Nathan. Senyuman Maira menghilang saat melihat layar ponsel Nathan menyala, di sana terlihat foto wanita yang sebelumnya dia bawa ke acara ulang tahun nenek tirinya. "Wah, jadi dia benar-benar serius dengan wanita itu?" [Sayang, kamu di mana? Aku menunggumu.] Notif pesan muncul dan masih bisa Maira baca tanpa membuka kuncinya. Tak lama wanita itu mengirimkan sebuah gambar yang tak bisa Maira lihat. Penasaran Maira pun mencoba membuka kunci ponsel, tapi paswordnya sudah di ganti.Dia terus mencoba sampai ponselnya benar-benar tak bisa lagi memasukan pasword. Tak lama terdengar suara pintu kamar mandi terbuka, panik Maira pun menyembunyikan ponsel Nathan lalu berjalan menghampirinya. "Tubuhmu masih basah, biar aku y
Maira menyeringai saat Nathan keluar dari lift lebih dulu. Namun, sedetik kemudian Maira menghirup oksigen disekitar sebanyak-banyaknya karena merasa sesak didada. Jujur, jantungnya berdegup kencang saat menatap kedua mata Nathan. Kalau saja dia tidak bisa mengendalikan dirinya mungkin saat itu juga dia sudah mencium bibir mantan kekasihnya itu. Brak! Dentuman pintu menyadarkan Maira dari pikiran liarnya. Dia lalu mengambil tab untuk memeriksa jadwal atasannya itu. “Bali, apa dia juga punya bisnis di Bali?” gumam Maira lalu mengecek semua yang di butuhkan atasannya selama di sana. Setelah memastikan riwayat perjalanan ke Bali, Maira pun pergi ke ruangan Nathan. “Permisi.” Nathan tak bergeming, pandangannya masih fokus ke layar ponselnya. “Hari ini ada jadwal ke Bali untuk mengecek perkembangan pembangunan resort.” “Atur penerbangan nanti sore.” “Baik Pak. Ini berkas pendapatan minggu ini dan dokumen dari beberapa perusahaan yang ingin mengajukan kerjasama dengan perusa
Acara ulang tahun nenek tiri Maira pun berjalan dengan meriah. Sambutan dari orang-orang penting di keluarganya cukup membuat suasana semakin terasa dekat. Namun, tak seperti apa yang di rasakan Maira. Dia hanya diam memandangi papanya yang terlihat begitu bahagia bersama istri barunya. Maira sengaja menjauh dari keramaian, dia tak ingin bergabung dengan keluarga ibu tirinya itu termasuk Nathan. Meski diam, tetapi matanya terus mengawasi orang-orang yang ada di sana. “Kenapa kamu sendirian, bergabunglah dengan keponakan Mama Mila,” ucap Toni. “Jangan sebut nama dia dengan sebutan Mama, dia bukan Mamaku. Lagi pula, mereka bukan sepupuku, aku nggak mau berbasa basi dengan orang-orang yang nggak aku kenal.” Toni menghela nafas kemudian merangkul bahu putri kesayangannya itu. “Dengar sayang, keluarga Mama Mila itu orang-orang penting kalau kamu bergabung dengan mereka banyak pelajaran tentang bisnis yang bisa kamu petik.” “Sayangnya, aku nggak tertarik membicarakan bisnis den
Dibalut gaun berwarna hitam serta bahu yang sedikit terbuka yang membungkus ketat tubuh Maira, menampilkan kesan seksi. Dia berjalan anggun masuk ke halaman rumah yang belum pernah dia datangi sebelumnya. “Ternyata rubah betina itu orang berada,” batin Maira melihat rumah serta tamu yang datang. “Maira ….” teriak wanita yang melambaikan tangan ke arahnya. “Kenapa dia berteriak,” gumam Maira menatap tajam ke arah Mila dan Toni. Wanita itu tersenyum sambil berjalan menghampirinya. Semua mata tertuju pada Maira, mereka menunjukkan tatapan sinis dan mengintimidasi. “Terima kasih sudah datang, kamu bawa kado untuk Nenek kan?” “Papa nggak bilang kalau aku harus membawa kado.” Mila tersenyum lalu menyelipkan sebuah kotak kecil ke tangan Maira. “Oops, aku sudah mempersiapkan semuanya. Tersenyumlah dan sapa semua keluargaku agar Papamu tak kehilangan muka,” bisiknya. Maira memutar bola matanya— jengah karena harus berpura-pura baik di depan keluarga wanita yang tak dia suka.
Maira hanya diam menatap pemandangan Ibu kota yang begitu cerah nan bising. Selama tinggal di Singapura dia tak pernah merasakan sesepi ini karena ada Nathan. Namun, semuanya berubah saat pria yang begitu dia percaya ternyata meminta mengakhiri hubungannya secara sepihak. “Selamat pagi,” sapa Devan sembari membawakan kopi dan sandwich ke atas mejanya. “Kamu pasti belum makan, jadi aku beli sarapan untukmu.” “Terima kasih, jadi berapa totalnya?” Seketika raut wajah Devan berubah. “Apa aku terlihat seperti pengemis? Aku memberikan ini untukmu karena buy one get one.” “Oh, terima kasih. Tapi kamu nggak perlu repot-repot seperti ini.” “Sama sekali nggak merepotkan,” tuturnya sambil menggeser kursi. “Aku dengar dulu kamu juga bekerja sebagai sekretaris di perusahaan besar?” “Hm,” jawab Maira singkat sambil menikmati sandwichnya. “Apa kamu sudah punya pacar?” Seketika Maira tersedak makanannya, dia lalu meraih botol minumannya— menelan habis sisa makanan yang ada di mulutnya