Jantung Maira berdegup kencang menatap pria yang sedang berdiri diambang pintu. Om? yang benar saja, Maira sama sekali tak menyangka jika mantan kekasihnya itu adik dari ibu tirinya.
"Apa Nathan sudah tahu kalau aku anak tiri rubah betina itu?" “Maira, sini,” panggil Toni menyadarkan Maira dari lamunannya. Perlahan Maira mendekat, suasana pun semakin canggung kala mata Maira dan Nathan saling menatap. “Hai, namaku Nathan adik Mbak Mila,” ucapnya memperkenalkan diri seolah baru bertemu dengannya. Maira berdecak lalu menjabat tangan Nathan. Dia pikir hanya dia saja yang bisa bersikap acuh, Maira pun menunjukkan hal yang sama. “Maira,” jawabnya. Toni tersenyum lalu merangkul bahu Nathan berjalan ke meja makan. “Maaf aku mengundangmu datang ke sini di tengah kesibukanmu mengurus Atmaja Grup.” “Nggak apa-apa Mas, lagi pula aku ke sini ingin mengunjungi kalian.” Maira hanya diam memandangi punggung kedua pria yang sedang asik berbincang. Tiba-tiba saja Mila merangkul lengan Maira lalu berkata, “Ini loh Nath, sekretaris yang Mbak rekomendasikan buat kamu.” “Apa?” Maira sontak terkejut dengan ucapan ibu tirinya itu. Seketika dia menyingkirkan tangan wanita yang merangkul lengannya itu. “Ah iya,” sahut Toni menepuk pundak Nathan. “Aku mohon bantuanmu. Hanya tiga bulan saja, aku ingin Maira bekerja denganmu agar siap mengurus bisnisku kedepannya.” “Oh ... oke,” jawab Nathan ada sedikit keraguan di sana. "Nggak perlu, aku bisa mengurus perusahaanku sendiri," sahut Maira tak terima. Toni yang merasa reaksi putrinya berlebihan pun menepuk pundak Nathan. "Maaf, putriku begitu keras kepala sepertiku," desisnya. "Dengar Maira, Papa nggak akan melepaskan perusahaan Papa begitu saja kalau kamu nggak mau belajar bisnis dengan Nathan." Maira yang tak suka pun beranjak pergi. Bagaimana bisa dia bekerja dengan mantan kekasih yang paling dia benci. Apa lagi pria itu bersikap polos seperti tidak terjadi apa-apa di antara mereka. “Maira tunggu!” “Lepas!” Dengan kasar Maira menepis tangan Mila. “Maira, kamu akan mengurus semua bisnis Papamu. Jadi kamu harus belajar dari orang yang sudah berpengalaman. Apa kamu lebih setuju aku yang mengurus semuanya?” Mila pun menyeringai seolah mencibir Maira. “Tak masalah, bukankah kamu mengira aku akan mengambil semua kekayaan Papamu. Sepertinya tanpa aku minta pun dia akan memberikannya untukku dengan senang hati.” Maira mengepalkan tangannya mendengar penuturan Mila. “Apa kamu pikir aku akan memberikannya semudah itu untukmu? JANGAN MIMPI!” “Kalau begitu turuti apa mau Papamu dan buktikan kalau kamu bisa mengurus bisnisnya. Kalau tidak ….” Mila mendekati Maira lalu berbisik, “Aku akan merebutnya dengan senang hati.” Melihat senyum liciknya membuat Maira muak. "Langkahi dulu mayatku. Aku nggak akan memberikan sepeserpun harta Papa dan Mamaku untuk perempuan sepertimu." Maira pun keluar dari rumah Toni tanpa permisi. Dia bergegas masuk ke dalam mobil— membawanya menjauh dari sana. “Aku semakin yakin jika Nathan memutuskan hubungan kita karena dia tahu aku anak tiri Kakaknya," gumam Maira menerka-nerka. “Atau selama ini dia dan Mila ingin menjebak ku? Lihat saja aku akan membalas perbuatan kalian." Getar ponsel mengalihkan perhatian Maira, dia pun membuka pesan yang baru saja masuk. [Besok datang ke gedung Atmaja Grup jalan Beloved A depan restoran cepat saji.] Maira berdecak membaca pesan dari Toni. Dengan cepat dia membalas pesan dari papanya itu. [Oke, tapi dengan satu syarat. Aku ingin Papa memindahkan semua aset Papa atas namaku tanpa terkecuali.] [Setuju, tapi kalau sampai kamu berhenti ditengah jalan Papa akan mencoret namamu di daftar pewaris." "Argh, sial. Si tua bangka itu masih saja membuat kesepakatan denganku," protes Maira dengan kesal. [Oke.] Balasnya. *** Setelah perpisahan itu Maira sama sekali tak pernah sekalipun menghubungi Nathan, bahkan dia memblokir nomor ponsel serta membatasi sosial media pribadinya dari pria yang sudah membuatnya patah hati. Dengan percaya diri Maira melangkah masuk ke gedung Atmaja bertemu kembali dengan pria yang sebenarnya tak ingin dia lihat lagi, tapi saat tahu dia adik sepupu ibu tirinya Maira pun berubah pikiran dan bersiap menghancurkan semuanya. "Permisi, apa Pak Nathan-nya ada?" "Maaf dengan Ibu siapa dan ada keperluan apa?" tanya resepsionis. "Namaku Maira, sebelumnya sudah ada janji temu dengan Pak Nathan." "Ditunggu sebentar saya cek terlebih dahulu." Maira masih berdiri sembari memainkan ponselnya. "Dengan Ibu Maira?" Suara seorang pria mengangetkan Maira, dia lalu menoleh ke sumber suara. "Iya." "Ehm, sebelumnya perkenalkan namaku Devan, bisa dibilang tangan kanan keluarga Atmaja." Maira hanya tersenyum, enggan menjawab ucapan pria itu dan hanya membalas jabatan tangannya. “Mari ikut denganku.” Maira pun berjalan di belakang pria yang berpostur tinggi serta tubuh yang atletis, sungguh idaman para wanita. "Oh ya, aku dengar kamu anak sambung Mbak Mila?" ujarnya membuat Maira jengkel karena menyebut namanya. "Ah, seperti itulah," jawabnya dengan nada ketus. "Apa kamu sudah punya kekasih?" Pertanyaan yang konyol menurut Maira, baru bertemu dia sudah bertanya soal pribadi. "Haruskah aku menjawab pertanyaanmu?"Pelukan Nathan semakin erat, Maira hanya diam merasakan aroma tubuh pria yang begitu dia rindukan. Perlahan Nathan mengurai pelukannya, menatap kedua mata Maira dalam-dalam. Tanpa aba-aba, Nathan mencium bibir Maira. Mencurahkan kerinduannya yang beberapa hari ini tak bisa dia luapkan. “Aku akan menikah,” ucap Maira saat bibir keduanya perlahan menjauh. “Menikah?” “Hm, aku akan menikah dengan Devan,” jawab Maira sekenanya sambil melihat reaksi pria yang ada di hadapannya. Namun, pria itu hanya diam seolah tak bisa mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. “Jadi mulai sekarang jaga sikapmu karena sebentar lagi aku akan menjadi istri dari keponakanmu." "Apa kamu serius?" tanya Nathan meyakinkan diri. "Apa wajahku terlihat main-main?" Seketika Nathan tertawa. "Ayolah, hubungan kalian nggak akan berjalan dengan mulus." "Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?" "Karena aku tahu siapa Tanteku sebenarnya. Dia hanya akan memanfaatkanmu saja, apa lagi sekarang kamu seorang C
Perlahan aku membuka mata saat mendengar seseorang masuk ke dalam kamar.“Mbak Aisyah sudah sadar,” ucap Aira. Aku pikir Mas Arya yang datang ternyata Aira menampilkan senyuman yang biasa dia tunjukkan.“Mbak mau minum atau makan sesuatu? Aku panggilkan Dokter dulu ya.”Sengaja aku membiarkan dia mengoceh tak mau menimpali ucapannya. Tak lama terdengar suara Mas Arya membuatku sedikit lega.Namun, bukan hanya Mas Arya yang datang tetapi mertuaku juga ikut masuk bersama Abyan.“Sayang, kamu sudah sadar?”“Iya, Mas,” jawabku lalu menoleh ke arah mertuaku. Bukannya menyapaku wanita paruh baya itu malah sibuk bermain dengan Abyan.“Aisyah, syukurlah kalau kamu baik-baik saja,” ucap ayah mertua yang mengalihkan perhatianku.“Iya, Ayah. Maaf sudah merepotkan.”Ayah hanya tersenyum lalu duduk di sofa. Bukannya ingin disapa ibu mertuaku, hanya saja wanita itu benar-benar tak menaruh perhatian untukku.“Ibu,” panggil Abyan.Suara pintu terbuka mengalihkan semua perhatian yang ada di sana. Tak
Keduanya saling bertatapan, sebelum akhirnya Maira beranjak dari sofa lalu keluar dari apartemen Nathan. Dijadikan pemuas nafsu, membuat Maira geram. Angannya terlalu jauh, dia pikir bisa mengambil hati Nathan dan merubah arah pikirannya. Ternyata selama ini dia salah, tetap saja dia akan di buang jika waktunya tiba. Pagi harinya, Maira sudah siap dengan setelan kerja berwarna putih yang membalut tubuhnya. Tak lupa dia mengkerli rambutnya agar terlihat bergelombang. Saat melewati pintu apartemen Nathan dia berpura-pura tak melihat lalu masuk ke dalam lift. “Devan,” ucap Maira terkejut melihat pria itu tengah berdiri tepat saat pintu lift terbuka. “Hai.” Maira masuk ke dalam lift yang sama menuju basement apartemen. “Beberapa hari nggak ketemu banyak sekali perubahan,” puji Maira. “Berubah menjadi tampan kan? Aku yakin penampilanku ini bisa meluluhkan hatimu,” ungkapnya panjang lebar. Maira tertawa mendengar candaan yang biasa Devan ucapkan. “Hm, kamu terlihat
Maira terus mengetuk jemarinya di atas meja. Hari sudah larut tapi dia begitu gelisah dan tak bisa tidur.Dia terus melihat layar ponsel berharap Nathan menghubunginya. Namun pria itu sama sekali tak memberi kabar bahkan mengabaikan pesannya.“Apa aku ke rumahnya saja? Tapi kalau aku ke sana, ada si rubah betina yang juga tinggal di rumah itu,” gumamnya.Tak karuan, Maira pun memilih keluar dari dalam kamar untuk mencari angin. Namun, tepat saat dia membuka pintu pria yang sedari tadi dia tunggu sedang duduk di sofa.“Kapan kamu datang?” tanya Maira seraya duduk di samping Nathan.“Barusan, aku pikir kamu sudah tidur,” jawabnya.Maira menyandarkan kepalanya di bahu Nathan, merasakan aroma tubuh pria yang dia rindukan akhir-akhir ini.“Sepertinya Selly tak meninggalkan parfum ditubuhmu,” cibir Maira.“Sebelum ke sini aku sudah mandi untuk menghilangkan jejak dia.”Ucapan Nathan cukup membuat Maira memicingkan matanya. Dia lalu bergeser seolah tak ingin bersentuhan dengan Nathan.“Aku
Suara dentuman pintu begitu nyaring terdengar seolah meluapkan emosi. Iya, Maira begitu kesal karena Adi berani mengancamnya dengan foto dirinya dan Nathan.“Sial, ternyata dia memata-mataiku. Apa dia masih punya foto lain? Argh, kenapa aku harus berurusan dengan dia,” kesal Maira.Tak tinggal diam Maira pun menghubungi Nathan. Terdengar suara sambungan telepon yang terhubung.[Halo.]“Kamu di mana, ada yang ingin aku bicarakan?”[Aku lagi di luar. Apa itu sangat penting? Kalau nggak kita bisa bicara lewat telepon.]“Ini tentang Selly dan dalang di balik semuanya,” ungkap Maira.[Maksudmu?]“Ternyata ada seseorang yang memata-matai kita, bahkan dia yang memberitahu Selly soal hubungan kita.”[Oh begitu.]Maira sedikit menggeser teleponnya tak menyangka dengan respon Nathan yang terdengar biasa saja.“Kamu dengar aku kan?”[Hm, kita bicara nanti.]Setelah mengatakan itu Maira terlihat sangat kesal hingga mengumpat tak jelas.Sementara itu di tempat lain, Nathan sedang duduk bersama se
Suasana terasa canggung saat Toni keluar dari ruang kerja Maira, meninggal mereka berdua.Maira kembali ke meja kerjanya membiarkan ibu tirinya itu berdiri di ambang pintu.“Apa ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Maira sinis.Mila berdecak tak percaya, sifat Maira berubah seketika saat mereka hanya berdua.“Ternyata sikapmu bisa berubah seketika.”“Aku mencoba menirumu. Bukannya kamu juga seperti itu, di depan Papa dan Nathan terlihat seperti Ibu Peri sedangkan saat nggak ada mereka wajah iblis-mu di perlihatkan,” cibir Maira tak kalah pedas.Mila berjalan mendekati Maira menatapnya dengan sinis. “Kamu sama sekali nggak mengenalku, Maira. Aku bisa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang aku inginkan.”“Uuhhh … takut. Lakukan apa yang kamu inginkan, tapi perlu kamu ingat kalau tembok saja punya telinga.”Mila mengepalkan tangannya dia lalu berbalik meninggalkan Maira begitu saja.“Dasar rubah betina, kamu pikir aku takut dengan ancamanmu,” gumam Maira.Dia lalu mengambil